Jumat malam kemarin, sepulang dari Bandung, entah kenapa tiba-tiba ada perasaan enggak enak di hati. Seperti firasat akan terjadi sesuatu. Benar saja, begitu sampai rumah, terlihat ada undangan tergeletak di meja tamu.
Undangan reuni ternyata! Seharusnya ini adalah hal yang biasa. Memang hampir setiap dua tahun sekali ada undangan reuni dari kampus dulu. Namun hampir setiap tahun aku tidak hadir. Undangan kali ini sungguh mengejutkan. Aku gemetar waktu melihat sebuah tulisan tangan yang cukup aku kenal di sisi dalam undangan.
“Mas Iwan, datang ya… Saya mengerti mas biasanya tidak hadir, tapi kali ini acaranya berbeda, saya jamin mas, kebetulan saya ketua panitianya, ttd Ifa.”
Ifa Fikriana….. cinta masa lalu yang selalu bersemayam dihati.
Mungkin hanya Ifa yang tahu alasanku tidak pernah menghadiri reuni. Bertemu teman-teman lama sewaktu kuliah pastilah menyenangkan. Terutama teman kumpul, yang seingatku lucu-lucu dan juga lebih “garing” dari aku. Ifa tahu, aku juga sebenarnya sangat ingin bertemu teman-temanku. Tapi itu tidak cukup membuatku hadir di reuni.
Suasana reuni sebenarnya juga sangat menyenangkan. Kadang waktu ketemu gebetan lama muncul pikiran “kok dia sekarang bentuknya kayak gini siih.., untung gw dulu gak jadi sama dia”. Sebaliknya, mungkin dia juga punya pikiran sama “Untung gw dulu gak jadi sama dia, tampangnya kok jadi kriminal gitu ya”... he he, Ifa tahu, suasana reuni yang lucu juga tidak cukup untuk membuatku hadir di situ.
Ada beberapa teman yang juga jarang hadir. Mungkin ada yang ngerasa kurang PeDe karena karirnya kurang berhasil dibanding teman-teman lain. Sehingga merasa minder untuk datang, apalagi terkadang adu tinggi jabatan, pamer rezeki, sombong diri atas keberhasilan karirnya, biasa terjadi waktu reuni. Tapi Ifa tahu, bukan hal itu juga yang menyebabkan aku tidak pernah datang di reuni.
Ifa sebenarnya tahu, aku tidak mau hadir adalah karena Ifa. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kampus selalu mengingatkanku pada Ifa, cinta hati yang tak pernah kuraih. Aku tidak mau hadir, karena tidak ada Ifa, Afifa Fikriana.
Afifa Fikriana.
Dia adik kelasku di jurusan yang sama Studi Pembangunan FE Unpad. Dua tahun dibawahku. Pertama kenal waktu aku mengambil mata kuliah Ekonomi Makro untuk perbaikan nilai. Aku terlambat datang ke kampus hari itu. Kebetulan ada bangku kosong disebelah Ifa. Waktu lagi panik nyari-nyari bolpen ditas buat isi absen, “kok enggak ada ya..” tiba-tiba Ifa dengan sedikit senyum, menyodorkan bulpennya untuk dipinjamkan kepadaku.
Awalnya aku tidak punya perasaan apa-apa terhadap Ifa. Secara fisik, walaupun tidaklah cantik, namun wajahnya yang berkerudung itu sangat bersih dan teduh. Seperti wajah orang-orang yang sering berwudhu. Hati ini rasanya menjadi damai memandang wajahnya berlama-lama. Ifa memang sering berwudhu. Dia sering menghilang saat time break antara dua jadwal mata kuliah. Belakangan aku tahu dia menghilang untuk menyempatkan berdoa di mesjid kampus.
Ifa tidak pernah mengenakan celana jeans atau baju-baju agak ketat, yang terkadang aku lihat dikenakan gadis-gadis berkerudung masa kini. Dia selalu mengenakan baju muslim terusan yang longgar. Memang waktu itu, gadis berkerudung seperti Ifa belumlah semarak sekarang, baju muslim belumlah menjadi fashion. Tapi setahu aku, terakhir ketemu Ifa dia masih menggunakan baju muslim seperti itu.
Ifa kalo bicara seperlunya. Bahkan cenderung pasif. Namun sekali bicara, tidak pernah ada perkataan sia-sia keluar dari bibirnya.
Suatu saat kita sedang berdiskusi dalam kelas, tentang kebijakan fiskal and moneter. Setelah debat kusir yang menjemukan dari beberapa teman, tiba-tiba Ifa mengangkat tangan dan berbicara
“Setiap jengkal tanah di bumi Indonesia berpotensi untuk menghasilkan rezeki. Yang dibutuhkan adalah infrastruktur akses yang adil ke segala arah. Sehingga ekonomi akan berjalan dengan alami. Diibaratkan seperti pohon buah, yang cabang-cabangnya tumbuh alami mencari arah dan posisi terbaik untuk menghasilkan buah. Jika ekonomi sudah tumbuh dan berjalan dengan alami, harga-harga akan menyesuaikan juga pada posisi terbaik sesuai tingkat kompetisi alami, sehingga akan selalu sesuai dengan tingkat kemampuan masyarakat, bahkan akan menguntungkan masyarakat. Jika ekonomi telah berjalan by nature, kita tidak lagi membutuhkan pengaturan moneter yang njelimet dan bahkan kebijakan fiscal yang terkait perdagangan internasional bisa ditiadakan”
Luar Biasa........ economy runned naturally..? waktu aku tanyakan dia kok punya pemikiran seperti itu, Ifa menjawab”Itu bukan murni idenya aku, itu sudah dicontohkan sejak jaman dauhulu. Dulu, yang namanya prinsip perekonomian dan perdagangan hanyalah kejujuran dan keadilan. Yang namanya pengaturan moneter dan fiscal hanyalah penerapan kewajiban zakat secara ketat. Zaman dahulu orang yang tidak bayar zakat bisa diperangi, dihukum atau bahkan dipenjara” Ifa menguraikan dengan kata-kata yang jelas tanpa maksud menggurui atau menasehati. Dari situ aku mulai menyadari kecerdasan gadis ini. Tiba-tiba hati ini ingin selalu dekat dengan Ifa..
Aku mulai membandingkan diriku dengan Ifa. Aku seperti pungguk merindukan bulan. Boro-boro membaca sejarah agama, rasanya sembahyang saja aku tidak pernah tepat waktu dan bahkan suka blentang-blentong. Ifa seperti nasehat hidup tanpa kata-kata. Jika adzan berkumandang, dan kebetulan Ifa sedang berdiskusi dengan teman-temannya, dia pasti diam-diam menghilang atau pamit tanpa menyampaikan alasannya. Tapi aku tahu, dia selalu pergi ke mesjid kampus untuk shalat tepat waktu. Waktu aku tanya kenapa dia selalu shalat tepat waktu, Ifa cuma tersenyum.. dia mengeluarkan sebuah buku, dan menunjuk satu halaman berisi kata-kata dan aku disuruh membacanya. Aku protes. “Ifa, kenapa kamu enggak menjelaskan langsung ke aku!!?” Ifa cuma tersenyum….
Semakin aku mengenal Ifa, semakin aku merasa bahwa dia dan aku seperti bumi dan langit. Selesai kuliah aku lebih sering kongkow-kongkow sama teman-teman, sambil ngegosip atau ngobrol yang gak penting, ngalor-ngidul. Sedangkan Ifa? Dia lebih sering terlihat menyendiri membaca buku ditaman teduh halaman mesjid kampus. Dalam ibadah terlebih lagi, boro-boro melaksanakan, cara menjalankan yang benar saja banyak yang belum aku ketahui.. Ini aku ketahui dari teman kos sekamarnya. Ifa hampir setiap malam berdoa. Hampir setiap pagi menyempatkan ke mesjid kampus. Kadang aku perhatikan, ketika ia sedang duduk-duduk menunggu dosen datang, ujung ibu jari tangan kanan menari-nari diantara ruas-ruas jari tangan, dengan tasbihnya..
Sering aku terdiam, Kenapa selama ini mata hati dan telingaku seperti tertutup, tidak pernah sedikitpun aku tergerak untuk mengikuti cara hidup Ifa. Aku mencintainya, namun cinta itu tidak cukup membuka mata-hati ini.
Aku terpuruk.. bagaimana caranya menyampaikan isi hati ini kepada Ifa. “wanita yang soleh hanya akan dijodohkan dengan lelaki yang soleh dan sebaliknya”. Hatiku semakin terpuruk. Ada rasa sedikit marah pada Ifa, kenapa selama ini dia tidak pernah meminta aku untuk berubah? Tidak pernah memberi nasehat untukku? Apakah dia memang tidak mencintaiku?
Waktu terus berjalan, dan rasa ingin memiliki Ifa semakin kuat bersemayam di hati. Namun selama ini yang bisa aku lakukan hanya berangan-angan. Sepertinya Ifa tahu aku sering memandangnya dari kejauhan, namun jika mata kami tanpa sengaja beradu pandang, Ifa tidak menampakan reaksi apa-apa, kecuali hanya tersenyum sedikit tanda menyapa kepada diriku. Sampai akhirnya, ketika hari wisuda, aku bertekad harus menyampaikan isi hati ini kepada Ifa dan memiliki Ifa. Namun pada hari itu… ternyata aku hanya bisa menyerahkan kepadanya secarik kertas bertuliskan “Ifa, aku mengerti, aku tidaklah layak untuk dirimu, namun kamu harus tahu bahwa aku mencintai mu”.
Ifa membaca tulisan itu seperti tidak terjadi apa-apa. Dia cuma tersenyum dan berbicara “selamat ya mas, sekarang udah lulus, aku doakan semoga cepet dapet kerja dan sukses”. Kemudian dia pergi berlalu, menghindari tatapan aku yang penuh harap. Aku kembali teringat “wanita yang soleh hanya akan dijodohkan dengan lelaki yang soleh dan sebaliknya”. Hatiku kembali terpuruk
Beberapa tahun berlalu sejak hari wisuda itu. Aku sudah diterima bekerja di Jakarta. Aku belum bisa melupakan Ifa. Ifapun telah menyelesaikan kuliahnya dan pulang ke Yogya, ketanah kelahirannya. Aku sempat memberikan nomer telp rumahku untuk Ifa dan berharap suatu saat Ifa akan menghubungi aku. Hanya itu yang bisa aku lakukan, aku kehilangan kontak sama sekali dengan Ifa.
Sampai datangnya kabar pada Hari itu .... Tiba-tiba dikantorku aku kedatangan seorang tamu, gadis berkerudung yang cantik.
“Mas Iwan?”
“Ya, mbak siapa ya?”
“Saya Ima, adiknya Ifa”
“Apa khabar kakakmu ? dimana dia sekarang? Akhirnya ada titik terang juga khabar tentang kakakmu. Bertahun-tahun aku menunggu dia, apakah dia sudah berkeluarga?” Aku gembira, haru, campur aduk jadi satu.
Aku lihat mata Ima berkaca-kaca..
“Maaf mas, Ifa telah tiada…” Ima terbata-bata, sambil menyerahkan sepucuk surat untukku. Aku terpaku… kakiku terasa lemas… Tanpa menyadari Ima yang buru-buru pamit, aku dengan gemetar membaca surat dari Ifa.
Mas Iwan yang baik,
Apa khabar mas..? Syukur jika kabar mas baik-baik saja.
Aku mau minta maaf, belum bisa telpon mas, karena sejak kembali dari Bandung, aku harus dirawat dirumah sakit. Mungkin ini sebagai penganti dosa-dosaku mas, aku terkena cancer.
Aku juga melarang adikku menghubungi mas, karena aku tidak ingin bertemu mas dalam kondisi seperti ini. Aku ingin bertemu mas nanti dalam kondisi telah sehat, supaya mas juga bisa merasakan kebahagiaan aku, jika aku sembuh nanti. Maaf mas, aku takut mas kecewa melihat kondisi aku sekarang, kurus dan lemah hanya tulang berbalut kulit. Padahal aku ingin selalu bisa membahagiakan siapa saja, termasuk mas ... Aku pun menulis ini meminta bantuan adikku..
Aku menulis ini, karena aku masih punya hutang sama mas, hutang untuk menjawab pertanyaan mas, apakah aku mencintai mas?. Aku takut kembali kepada-Nya dalam kondisi masih memiliki hutang ini.
Mas Iwan yang baik,
Aku selama ini mencoba mencari tahu dan bertanya-tanya kenapa mas mencintai aku. Mungkin mas melihat aku adalah gadis yang berkerudung, taat beragama menurut pandangan manusia atau pandangan mas... Coba lihat sekeliling mas. , ada banyak ratusan dan bahkan ribuan gadis seperti aku. Mereka lebih cantik dan lebih bertakwa dari pada aku. Bila mas mencintai aku karena aku gadis berkerudung, maka aku bisa kehilangan cinta mas bila mas bertemu dengan gadis lain yang lebih dari aku. Aku juga manusia biasa, ingin dicintai seutuhnya oleh lelaki yang aku cintai.
Sesungguhnya aku juga mencintai mas... Jika mas perhatikan, tidak banyak teman lelaki dalam hidupku. Namun diantara mereka hanya mas yang bertanya tentang aku, menghargai pendapat dan sikapku dan aku merasa mas juga selalu memperhatikan aku. Aku juga tidak tahu kenapa mas menjadi lelaki yang pertama bersikap seperti ini terhadapku. Namun dengan kondisi aku seperti ini sekarang.. apakah aku masih layak menerima cinta mas..?
Aku sedikit banyak tahu juga tentang kondisi mas. Aku tidak pernah menyarankan mas lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan karena aku tidak mencintai mas. Namun aku sendiri merasa tidak layak, aku takut bila aku menasehati orang lain, sedangkan aku ternyata dihadapan-Nya masih banyak kekurangan,. Aku pun takut hati ini menjadi tidak ikhlas, aku takut menasehati mas karena mencintai mas, bukan karena Tuhan. Aku juga takut mas berubah hanya karena mencintai aku, bukan karena Tuhan.
Oleh sebab itu aku percaya, tanpa nasihat dari aku pun, mas dengan seizin-Nya bisa mendapat berubah.Aku percaya bahwa perubahan akan diberikan Tuhan pada orang yang dikehendaki-Nya.
Mas Iwan, jika aku diberi kesempatan, aku ingin menjadi istrimu. Karena jauh didalam hatiku, telah ternanam cinta untukmu Mas. Mudah-mudahan ini merupakan jawaban dari doa aku, supaya dijodohkan dengan lelaki yang baik, seperti mas. Namun bila Tuhan telah memanggilku sebelum kita berjodoh, aku berharap bisa menjadi bidadarimu disurga nanti.
Maafkan kekhilafanku ya Mas..
Ifa
Kini, kupandangi undangan reuni dari Ifa dihadapanku...
Kubaca sekali lagi
Acara : Reuni Masa Lalu
Waktu : End of day
Tempat : Surga yang dijanjikan
Reservation : Malaikatul Maut, kapanpun dan dimanapun.
Aku tentunduk…. Setetes kerinduan mengalir di pipi, Kerinduan tuk kembali kepada Nya
Ada penyesalan, ada keharuan untuk bersimpuh, ada ketenangan bathin dan ketenangan jiwa, yang diam-diam mulai merasuki hati., Kau tetap mengundangku ke surga Mu, walau diri ku tak layak.
Ifa, aku mengerti, ini adalah undangan dari-Nya untukku yang Dia titipkan kepadamu. Ifa, aku tahu engkau menungguku tuk menjadi bidadari ku disana. Tunggu aku ya Ifa,