Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia dinilai berisiko tinggi karena berada di daerah gempa. Indonesia disarankan menggunakan energi alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan listrik di tanah air.
Demikian disampaikan anggota Dewan Energi Nasional, Rinaldy Dalimi dalam diskusi mengenai Prospek PLTN dalam memenuhi keburuhan listrik yang terjangkau, di Gedung BPPT.
Ujar Rinaldy, hal lain yang perlu diperhatikan yaitu potensi uranium yang ada di tanah air relatif sedikit sehingga tidak ekonomis untuk dikomersialkan. Kalau nanti harus impor uranium masalahnya perdagangan uranium di dunia di kawal oleh empat negara yaitu Amerika Serikat, Perancis, Jepang dan Rusia. Jadi Indonesia tidak akan pernah diberi izin oleh dunia untuk bangun PLTN.
Apalagi, mulai tahun 2020, negara-negara pemilik PLTN mulai meninggalkan penggunaan PLTN di negerinya. Untuk itu, Rinaldy menyarankan agar Indonesia sebaiknya lebih mengoptimalkan pemanfaatan energi alternatif lainnya untuk bahan bakar pembangkit, daripada memanfaatkan uranium sebagai sumber energi pembangkit.
Apalagi, potensi energi alternatif lainnya seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), biofuel, air, dan panas bumi begitu besar di Indonesia. Ia mencontohkan, potensi air laut yang dimiliki Indonesia sebesar 240.000 Megawatt. Potensi air 75.000 MW. Dan kalau semua tenaga air dipakai sampai 2030, masih mencukupi. Belum potensi panas bumi kita yang mencapai 27.000 ribu, jelasnya.
Ia juga menghitung investasi yang dibutuhkan untuk membangun PLTN itu jauh lebih besar daripada pembangkit dengan menggunakan sumber energi investasi lainnya. Ia memperkirakan dana investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan listrik per kilo watt hour (KWh) sekitar US$ 3000-7000.
Dari sisi lokasi-pun masih belum pasti akan dibangun di mana. Ia menilai, satu-satunya lokasi yang paling aman adalah di Kalimantan. Hingga kini, institusi yang akan operasikan PLTN belum ada dan sumber daya manusia untuk menjadi operator juga belum siap.