Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai ketepatan shalat ke arah kiblat bukan kemutlakan sahnya shalat seseorang.
Menurut Ketua Badan Komunikasi Informasi dan Publikasi PBNU HM Sulthan Fatoni, hal itu perlu disampaikan karena belakangan ini umat Islam di Indonesia disibukkan dengan informasi tentang rasydul qiblat (penyesuaian arah kiblat).
Informasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu menyerukan agar umat Islam menentukan kembali arah shalat yang tepat lurus ke Ka’bah di Mekkah, Arab Saudi.
Sulthan mengatakan seruan tersebut pada prinsipnya adalah anjuran. Hanya saja, karena tidak diimbangi dengan informasi keagamaan yang komprehensif, telah membuat keragu-raguan dan kesimpangsiuran mengenai status shalatnya selama ini.
Sulthan lantas merujuk pada pendapat para kiai NU melalui forum Bahtsul Masa’il tanggal 23 April 1934 yang telah memutuskan sah dan tidaknya shalat. Saat itu, para ulama sudah berpendapat, Muslim di Nusantara yang shalat menghadap ke arah barat (tidak persis menghadap Ka’bah) dinyatakah sah.
Lanjut Sulthan, Seorang Muslim yang mengerti metode pencarian tanda-tanda kiblat, tetapi tidak mampu menentukan arah kiblat, maka salat menghadap ke barat dinyatakan sah. Sedanga seorang Muslim yang mengerti metode pencarian tanda-tanda kiblat dan berhasil mengetahui arah kiblat, maka salatnya harus persis menghadap arah kiblat.
Sementara itu, Badan Komunikasi Informasi dan Publikasi PBNU, menyatakan, rasydul qiblat (penentuan arah shalat menghadap Ka’bah) akan terjadi pada Jumat (16/7/2010) pukul 16.26 nanti, persis saat matahari benar-benar di atas Ka’bah.
Saat itulah, setiap bayang-bayang matahari terhadap semua benda yang berdiri tegak pada permukaan bidang datar mengarah tepat ke arah Ka’bah.
Pendapat itu merujuk pada penegasan dari Lajnah Falakiyah PDNU yang membidangi astronomi. Sulthan menambahkan, posisi Ka’bah (Masjidil Haram) dari Indonesia adalah arah barat laut. Jadi, lanjutnya, dari arah barat lurus bergeser sedikit kira-kira antara 20-25 derajat ke utara.