|
| SENOPATI PAMUNGKAS I | |
| | |
Pengirim | Message |
---|
mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I Wed Jul 21, 2010 1:03 pm | |
| Episode 1
Tokoh-Tokoh Berdasarkan Urutan Penyebutan Sanggrama Wijaya, atau Naraya Sanggrama Wijaya, atau Raden Wijaya. Nama yang dikenal ketika mengalahkan Raja Jayakatwang, yang secara culas menguasai Keraton Singasari dan mendepak Baginda Raja Kertanegara. Bersama dengan prajurit dan senopati yang setia, Wijaya berhasil menggempur balik pasukan Tartar dari negeri Cina. Menurut catatan sejarah, dinobatkan menjadi Raja Majapahit pada tanggal 15 bulan Kartika atau sekitar bulan Oktober-November 1298. Nama kebesarannya adalah Kertarajasa Jayawardhana. Nama ini menunjukkan rasa hormat terhadap leluhurnya, raja-raja Singasari. Upasara Wulung, salah seorang ksatria hasil godokan Ksatria Pingitan. Ksatria Pingitan adalah semacam perguruan yang berusaha melahirkan ksatria sejati yang dilatih ilmu surat dan ilmu silat, atau kanuragan. Para ksatria yang terpilih, dilatih sejak lahir di Ksatria Pingitan. Menurut cerita ini, Ksatria Pingitan didirikan atas gagasan Baginda Raja Sri Kertanegara Raja Singasari yang terakhir, dengan tujuan menciptakan manusia yang selain jago silat juga mempunyai watak luhur, yang kelak diharapkan menjadi senopati utama yang melanjutkan kebesaran Keraton dan melindungi penduduk. Selama dua puluh tahun Upasara Wulung berada dalam Ksatria Pingitan, dilatih oleh Ngabehi Pandu, sebelum terjun ke medan persilatan. Ilmu dasarnya adalah Banteng Ketaton, atau Banteng Terluka. Akan tetapi mengalami perubahan besar sejak mempelajari Bantala Parwa atau Kitab Bumi yang berisi Dua Belas Jurus Nujum Bintang serta Delapan Jurus Penolak Bumi. Bantala Parwa dianggap babon segala kitab kanuragan. Merupakan puncak berbagai sumber ilmu silat yang ada di tanah Jawa. Gayatri, atau Permaisuri Rajapatni, salah satu dari empat putri Baginda Raja Sri Kertanegara yang dipermaisurikan oleh Raja Majapahit. Menjelang penyerbuan ke Daha untuk menaklukkan Jayakatwang. Gayatri pergi bersama Upasara Wulung untuk mengetahui kekuatan lawan. Di sinilah bibit-bibit daya asmara tumbuh. Dan berpuncak saat Gayatri ditawan di atas benteng dan Upasara maju menggempur tanpa memedulikan keselamatan dirinya. Akan tetapi Menurut perhitungan dan ramalan para pendeta, Gayatri harus menikah dengan Sanggrama Wijaya, karena inilah pasangan Dewi Uma dan Dewa Siwa, yang kelak kemudian hari akan menurunkan raja terbesar. Hubungan masa lalu ini ternyata banyak membebani tapi sekaligus juga mewarnai perjalanan hidupnya. Mpu Renteng, salah seorang senopati Majapahit yang berjuang sejak awal. Ilmu andalannya ialah Bujangga Andrawina atau Ular Naga Berpesta Pora, dengan menggunakan ujung kain yang tersampir di pundaknya. Mpu Sora, salah seorang senopati Majapahit yang berjuang sejak awal. Ilmu andalannya ialah Bramara Bekasakan, atau Lebah Hantu. Tokoh yang tangguh ini banyak mendapat dukungan untuk menjabat sebagai mahapatih. Mahapatih ialah jabatan tertinggi di Keraton sesudah raja. Namun ia sendiri merasa tidak berhak. Pangkat yang disandang adalah adipati, semacam penguasa daerah, di Dahanapura. Tempat Kala Gemet, putra mahkota, berada. Mpu Elam, salah seorang senopati Majapahit, yang menjadi prajurit telik sandi. Prajurit yang terpilih dalam pasukan telik sandi, atau pasukan rahasia, adalah prajurit pilihan yang tugasnya mengumpulkan semua laporan yang menyangkut keamanan. Dalam jajaran pemerintahan ditangani secara langsung oleh Mahapatih. Dyah Palasir, salah seorang senopati muda Majapahit. Anak buah langsung Senopati Nambi, seperti juga Dyah Singlar yang bertugas menjadi prajurit pribadi Raja. Bersama Dyah Pamasi, mereka Merupakan senopati-senopati muda yang dipersiapkan untuk menjadi pengganti. Klikamuka, tokoh yang selalu menutupi wajahnya dengan klika atau kulit kayu. Kelihatannya mempunyai hubungan dekat dengan Keraton. Toikromo, penduduk biasa yang ingin mengangkat Upasara Wulung sebagai menantu. Gendhuk Tri, calon penari Keraton Singasari yang menjadi anak murid Mpu Raganata sebentar, lalu dilatih Jagaddhita. Ilmu andalannya menggunakan selendang seperti penari. Karena satu dan lain hal, seluruh darahnya teraliri racun sangat ganas. Dalam usianya yang masih belasan tahun, dan hidup di tengah pergolakan jago silat, adatnya memang rada aneh. Diam-diam sangat mengagumi Upasara Wulung, dan mencemburui setiap wanita yang mendekati Upasara. Jaghana, salah seorang murid Perguruan Awan, perguruan yang dianggap sumber segala ilmu kanuragan di tanah Jawa. Kepalanya gundul pelontos, pakaian yang dikenakan asal menutup tubuh. Sabar dan welas asih. Namanya bisa diartikan sebagai "pantat". Ini cara merendahkan diri sebagai "bukan apa-apa, bukan siapa-siapa", salah satu ciri ajaran Perguruan Awan. Eyang Sepuh, lebih dikenal sebagai nama seorang empu yang mahasakti yang mendiami Perguruan Awan. Dari Eyang Sepuh-lah terdengar gema ajaran Kitab Bumi dengan jurus yang ampuh, yaitu Tepukan Satu Tangan. Ajaran yang sejajar dengan ajaran Budha, baik di negeri Hindia, Cina, maupun Jepun. Atau bahkan sampai ke negeri Turkana. Eyang Sepuh pula yang membuat para jago seluruh penjuru jagat datang ke Trowulan, untuk membuktikan siapa yang mewarisi ilmu sejati. Namun sejak semula, Eyang Sepuh tak pernah menampakkan diri. Hanya beberapa orang, Gayatri dan Upasara, yang pernah mendengar suaranya. Penguasaan ilmu Eyang Sepuh telah sampai ke tingkat moksa, lenyap bersama raga dan jiwanya. Adipati Lawe, atau Ranggalawe, salah seorang senopati Majapahit yang besar jasanya. Putra Aria Wiraraja ini nama kecilnya seperti juga ayahnya, Aria Adikara. Ranggalawe, nama pemberian Raden Sanggrama Wijaya yang mungkin menjadi petunjuk kepangkatannya ketika itu. Rangga adalah jabatan yang sama dengan camat sekarang ini. Kuda hitam dan umbul-umbul bergambar kuda, menunjukkan kegagahannya ketika menjadi adipati, semacam patih penguasa suatu wilayah, di daerah Tuban. Sebutan yang lain ialah patih amancanegara, yaitu semacam kepala di wilayah luar Keraton. Patih amancanegara menunjukkan penguasaan di luar wilayah kekuasaan Keraton. Yang terbagi di daerah barat, timur, utara, maupun selatan letak Keraton. Galih Kaliki, tokoh yang asal-usul ilmu silat dan perguruannya tidak gampang dimengerti. Senjata andalannya sebuah tongkat galih asam, bagian tengah atau hati pohon asam. Baru kemudian diketahui bahwa gaya permainannya mirip dengan ksatria pedang panjang dari Jepun. Orangnya keras, jujur, apa adanya. Dan sepanjang hidupnya kesengsem atau tergila-gila pada Nyai Demang. Senopati Anabrang, atau Mahisa Anabrang. Salah seorang senopati zaman Keraton Singasari yang menjelajah sampai ke tlatah Melayu dan baru kembali dua puluh tahun kemudian. Melanjutkan pengabdian kepada Raja Majapahit, dengan membawa dua putri ayu yang salah satunya dipermaisurikan Baginda Raja. Senopati Nambi, atau Mpu Nambi, salah seorang senopati Majapahit, pimpinan prajurit telik sandi, atau pasukan rahasia. Diangkat sebagai mahapatih, suatu jabatan tertinggi sesudah raja. Mahapatih menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Secara langsung membawahkan para senopati, pemerintahan sehari-hari. Secara langsung membawahkan para senopati, adipati, ataupun patih. Pengangkatannya sebagai mahapatih banyak mengundang pertentangan. Terutama dari Adipati Lawe, yang mengharapkan dirinya atau Mpu Sora yang memangku jabatan tersebut. Wilanda, salah seorang murid Perguruan Awan yang kemudian melepaskan diri dan menjadi prajurit andalan Keraton Singasari, dan kemudian kembali lagi ke Perguruan Awan. Budinya luhur, dan menjadi pendamping Upasara sejak kecil. Ilmunya yang sulit ditandingi ialah cara mengentengkan tubuh seperti capung hinggap di ujung daun. Kiai Sumelang Gandring, atau Mpu Sumelang Gandring, turunan seorang ahli pembuat keris yang mengembara sampai ke ujung barat tanah Jawa. Di sana meneruskan ilmunya. Seluruh muridnya berjumlah dua belas, dan semua memakai sebutan Gandring. Istimewanya ialah kedua belas Gandring ini bisa menyusun barisan yang luwes dan ampuh. Di antaranya gaya serangan Jiwandana Jiwana, atau Tembang Kehidupan. Nyai Demang, satu-satunya tokoh wanita yang sering dinilai hanya karena mengobral asmara, serta bentuk tubuhnya yang montok. Menurut cerita, dulu istri seorang demang, pangkat setingkat Camat. Banyak para ksatria menjadi korban senyuman dan bentuk tubuhnya. Akan tetapi di balik segala daya tarik lahiriahnya, Nyai Demang selama ini tak tertandingi dalam soal kemampuannya mempelajari bahasa mancanegara. Dialah yang menjadi penyalin bahasa sewaktu pasukan Tartar mendarat. Halayudha, salah seorang senopati Majapahit yang tak terlalu menonjol dalam peperangan. Gerak-geriknya penuh teka-teki, karena hubungannya yang sangat dekat dengan Raja Majapahit, dan kemampuannya untuk taktik yang dijalankan sangat culas, bergetah, tapi berhasil. Ilmu silatnya termasuk sangat tinggi karena ia murid langsung Paman Sepuh, ditambah berbagai ilmu yang diperoleh sendiri. Tribhuana, putri Baginda Raja Sri Kertanegara yang dipermaisurikan oleh Raden Wijaya. Sebagai putri Keraton, Tribhuana dikenal memiliki pengetahuan yang luas dan cara berbicara yang ulung dalam menangkap suasana, sehingga digelari Mahalalila. Sebagai permaisuri pertama, sebenarnya Tribhuana berhak melahirkan putra mahkota. Akan tetapi nyatanya tidak, karena Raja Majapahit memilih permaisuri yang lain. Mahadewi, adik Tribhuana yang juga dipermaisuri oleh Raja. Mahadewi dikenal sebagai putri landasan daya asmara Baginda. Jayendradewi, atau Permaisuri Pradnyaparamita, adik Mahadewi yang juga dipermasurikan Baginda. Tidak secantik adiknya “Gayatri”, namun kesetiaan dan keluhuran budinya menjadi contoh teladan. Dara Jingga, putri boyongan dari Melayu yang dipersembahkan Senopati Anabrang kepada Baginda. Namun kemudian menikah dengan salah seorang bangsawan Keraton yang melanjutkan pemerintahan di tlatah Melayu. Dara Petak, adik Dara Jingga, yang dipermaisurikan Baginda dengan gelar Permaisuri Indreswari. Disebut sebagai istri tinuheng pura atau permaisuri yang dituakan. Menggeser kedudukan Tribhuana dan dengan demikian berarti anak keturunannya yang bakal mewarisi takhta Baginda Kertarajasa. Dewa Maut, tadinya menjadi tokoh yang ganas, setiap kali berperang harus mencabut nyawa lawan karena daya asmara kepada gadis pujaannya bertepuk sebelah tangan. Hidup menyendiri hanya dengan sesama kaum pria, di atas perahu yang selalu berada di Kali Brantas. Dalam salah satu pertarungan ilmunya lenyap, dan gayanya seperti kehilangan ingatan. Seluruh rambutnya putih. Gendhuk Tri dianggap "kekasihnya" yang hilang dan selalu dipanggil Tole, panggilan untuk anak lelaki. Dewa Maut hanya mau mengikuti perintah Gendhuk Tri. Kama Kalacakra, salah seorang ksatria Jepun yang mahir memainkan pedang panjang. Kama Kalandara, saudara seperguruan Kama Kalacakra. Dua nama yang berbeda akan tetapi artinya sama, yaitu "benih matahari". Bila bergabung, keduanya menjadi disegani, karena bisa memindah serangan sambil berputar kencang. Kama Kangkam, guru Kama Kalacakra maupun Kama Kalandara. Datang ke tanah Jawa untuk mengadu kekuatan dengan Eyang Sepuh, memperebutkan gelar sebagai ksatria lelananging jagat, atau ksatria yang paling lelaki yang paling tak terkalahkan. Senopati Semi, salah seorang senopati Majapahit. Salah seorang dari tujuh dharmaputra, putra istana yang mendapat perlakuan istimewa dari Baginda. Senopati lain yang termasuk dharmaputra ialah Senopati Kuti, Senopati Pangsa, Senopati Wedeng, Senopati Yuyu, Senopati Tanca, serta Senopati Banyak. Kala Gemet, putra mahkota Keraton Majapahit, putra Permaisuri Indreswari. Sejak muda telah diangkat menjadi calon pewaris takhta dengan mengambil tempat latihan kekuasaan di Dahanapura. Ketakutan disaingi saudaranya, ia melarang saudara lain ibu menikah. Mahisa Taruna, putra Mahisa Anabrang, yang terbakar oleh dendam sejak kematian ayahnya di tangan Senopati Sora. Merasa pengabdian ayahnya kepada Keraton disiasiakan, Mahisa Taruna mudah dipermainkan orang lain. Aria Wiraraja, tokoh yang dihormati dari Sumenep, Madura, inilah yang pertama kali mengulurkan tangan kepada Sanggrama Wijaya. Taktik dan strateginya jitu. Dengan kematian Lawe, putra kesayangannya, Aria Wiraraja sangat kecewa. Kemudian meninggalkan Keraton dan berdiam di Lumajang, yang membawahkan wilayah Majapahit sebelah timur. Naga Nareswara, atau Raja Segala Naga, merupakan utusan tertinggi dari Tartar, yang masih menyimpan dendam, karena pasukannya yang mampu menaklukkan dunia dikalahkan oleh senopati-senopati Majapahit. Akan tetapi kedatangannya yang terutama untuk bertarung dengan Eyang Sepuh, dalam memperebutkan gelar ksatria lelananging jagat. Untuk membuktikan siapa pewaris suci dari ajaran yang sama sumbernya. Kiai Sambartaka, atau Kiai Kiamat, seorang pendeta dari tanah Hindia. Datang ke tanah Jawa untuk mengadu ilmu sejati dengan Kama Kangkam, Naga Nareswara, serta Eyang Sepuh. Agaknya, lima puluh tahun lalu, para tokoh itu sudah berjanji untuk mengadakan pertempuran habis-habisan. Paman Sepuh Dodot Bintulu, atau menyebut dirinya Bik Suka Bintulu karena menyamakan dirinya sebagai pendeta peminta-minta. Dodot Bintulu adalah nama untuk menunjukkan kesederhanaan sebagai rakyat jelata. Panggilan Paman Sepuh karena tokoh sakti ini saudara seperguruan Eyang Sepuh maupun Mpu Raganata, & yang sesungguhnya menuliskan Kitab Bumi atau Bantala Parwa bagian pertama, yaitu yang berisi Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Wajahnya hancur karena dikhianati dua muridnya yang durhaka, yaitu Ugrawe dan Halayudha. Kemunculannya kembali ke dalam dunia persilatan untuk memenuhi undangan yang disebarkan Eyang Sepuh lima puluh tahun yang lalu. Di mana akan berkumpul seluruh jago silat, jawara dari jawara seluruh jagat. Salah satu gubahan ilmunya yang terkenal, selain Banjir Bandang Segara Asat yang disempurnakan Ugrawe, adalah jurus-jurus Timinggila Kurda, atau jurus-jurus Ikan Gajah Murka. Ikan gajah adalah sebutan untuk ikan paus pada masa lalu. Kiai Gajah Mahakrura, nama lain Paman Sepuh yang dipakai oleh Halayudha, yang menggambarkan gurunya yang dianggap sebagai gajah mahabengis. Ratu Ayu Bawah Langit, menunjukkan sebutan bahwa di seluruh kolong langit ini, dialah yang paling ayu tanpa tanding. Nama sesungguhnya Ratu Ayu Azeri Baijani, datang dari negeri Turkana. Suatu negeri yang disebut sebagai tlatah tapel wates, karena merupakan tapal batas dengan wilayah yang tak dikenal. Ratu Ayu berkelana ke tanah Jawa karena mendengar bakal ada pertemuan seluruh jago silat. Bersama para senopatinya, Ratu Ayu ingin mencari jodoh, yaitu yang bisa mengalahkannya. Karena ia percaya bahwa bersama lelaki yang mampu mengalahkannya, ia bisa membebaskan negerinya dan jajahan Raja Tartar. Repotnya, justru dalam pengelanaannya, tak ada yang mampu mematahkan ilmunya, yaitu Tathagati, atau ilmu Budha Wanita, yang dianggap sesat karena menyamakan sang Budha dengan wanita. Gerak langkah ilmu ini disebut Tathagata Pratiwimba atau gerakan Arca Budha yang Kaku, serupa dengan cara bergerak boneka. Sariq, senopati utama Ratu Ayu Bawah Langit. Sariq berarti kuning, karena ketika memainkan ilmunya seakan tubuhnya berwarna kuning seluruhnya. Senopati lainnya ialah Uighur, Karaim, Wide, Chagatai, dan Kazakh. Bersama-sama mereka mampu memainkan barisan yang disebut Lompat Turkana, atau 64 Langkah Jong. Jong bisa berarti payung, bisa berarti tertutup. Barisan Lompat Turkana ini disusun sedemikian rupa, sehingga langkah ke belakang tertutup. Mereka selalu bergerak maju ke depan, ke samping kanan, atau ke samping kiri. Konon ini merupakan permainan yang lazim di negeri Turkana. Gajah Biru, senopati yang setia kepada Mpu Sora, baik di saat jaya maupun ketika tersisih, seperti juga: Juru Demung, Maha Singanada, gagah perkasa, wajah & penampilannya sangat mirip dengan Upasara Wulung. Hanya rambutnya dibiarkan tergerai dan sikapnya jauh lebih urakan, tak mengenal tata krama. Senopati ini termasuk dalam rombongan yang dikirim oleh Baginda Raja Sri Kertanegara dari Keraton Singasari (itu sebabnya masih memakai nama Singa) ke tlatah Campa, ke Keraton Caban. Untuk mengantarkan Dyah Ayu Tapasi, putri Baginda Raja, untuk dipermaisurikan Raja Campa. Senjata utamanya adalah kantar, atau tombak pendek. Ilmunya bersumber pada Kitab Bumi, akan tetapi cara mengatur pernapasannya disebut Nawawidha, atau Mengatur Tenaga Dalam Lipat Sembilan. Jurus-jurusnya dikenal sebagai Nawagraha, atau Siasat Sembilan Bintang, yang kesemuanya berintikan kepada angka sembilan. Pendeta Syangka, atau Pendeta Sidateka, berasal dari tanah Syangka atau Sri Langka. Merupakan pendeta kesayangan Putra Mahkota Bagus Kala Gemet, sehingga kelak kemudian hari sang putra mahkota ini memakai gelar kebesaran sebagai Sri Sundarapandya Adiswara. Sebutan pandya berarti mengakui kebesaran dinasti Pandya yang memerintah di Sri Langka. Sejak tata pemerintahan Keraton Sriwijaya, pendetapendeta dari Syangka mencoba menanamkan pengaruhnya, akan tetapi selalu gagal. Sekali ini Pendeta Sidateka yang menguasai Pukulan Dingin, berhasil. Maha Singa Marutma, salah seorang senopati yang dikirim oleh Baginda Raja Sri Kertanegara ke Keraton Mon, di delta Sungai Saluen di tlatah Burma. Keraton Mon menjadi rebutan kekuasaan antara Keraton Burma dan Keraton Sukothai, dari bangsa Thai. Maha Singa Marutma kembali ke tanah Jawa mencari bantuan untuk membebaskan Keraton Mon dari serbuan Burma maupun Sukothai. Pangeran Jenang, nama yang dimudahkan untuk menyebutkan Pangeran Che Nam, yang terdesak oleh bangsa Vietnam. Karena Keraton Campa merupakan wilayah yang dikuasai Singasari, Pangeran Jenang minta bantuan ke tanah Jawa. Hanya saja ketika ia datang, yang memerintah bukan lagi Baginda Raja Sri Kertanegara. Oleh Bagus Kala Gemet, ditarik sebagai salah seorang pendukungnya. Kebo Berune, oleh Upasara dipanggil dengan sebutan hormat Eyang Kebo Berune, sedangkan Nyai Demang memanggil dengan Kakek Kebo Berune. Salah seorang tokoh sakti yang hidup sezaman dan seangkatan dengan Paman Sepuh, Eyang Sepuh, maupun Mpu Raganata. Bahkan sama-sama merumuskan lahirnya Kitab Bumi. Kebo Berune hanyalah nama sebutan karena tokoh ini mengembara sampai ke tlatah Berune atau Brunei, dan baru kembali untuk bertanding menguji ilmu siapa yang paling unggul. Suatu pertemuan setiap lima puluh tahun sekali. Sayangnya, karena cara berlatih tenaga dalam yang keliru, Kebo Berune selalu dibayangi maut, dan tak bisa bergerak. Salah satu ajiannya yang sejajar dengan ilmu Weruh Sadurunging Winarah Mpu Raganata, sejajar dengan ajian Tepukan Satu Tangan Eyang Sepuh, sejajar dengan Banjir Bandang Segara Asat Paman Sepuh, adalah Pukulan Pu-Ni yang diciptakannya. Pu-Ni sekadar untuk mengingatkan bahwa ilmu itu diciptakan di tanah Pu-Ni atau Berune atau Brunei. Konon ilmu-ilmu itu diciptakan untuk menjadi penangkal ilmu Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Pulangsih, atau Putri Pulangsih dalam sebutan Nyai Demang. Menurut cerita yang dituturkan Kebo Berune, Pulangsih adalah gadis yang diperebutkan oleh Mpu Raganata, Eyang Sepuh, Paman Sepuh, maupun Kebo Berune. Tokoh wanita yang masih serba samar ini memilih Eyang Sepuh yang disebut Bejujag atau si kurang ajar, namun justru pada saat itu Eyang sepuh mencampakkannya. Penolakan itulah yang mengilhami lahirnya bagian terakhir Kitab Bumi, yang disebut Kitab Penolak Bumi, atau Tumbal Bantala Parwa. Pulangsih pastilah sebutan di antara keempat ksatria muda pada zamannya, karena arti pulangsih sesungguhnya adalah bersatunya daya asmara secara jasmani. Cebol Jinalaya, si cebol berkulit hitam. Mewakili pemuja yang tetap mengagungkan Sri Kertanegara, sehingga menganggap bahwa bila mereka mati, bisa terus menjadi abdi Baginda Raja. Jinalaya sendiri nama yang dipakai untuk menunjukkan tempat untuk mati. Senopati Agung Brahma, bangsawan tua yang dihormati oleh kalangan Keraton, tetapi juga jauh dari kekuasaan karena lebih suka menyepi. Kepedihan hatinya tetap tak terhibur dengan menikahi Dyah Dara Jingga, yang dengan demikian ia adalah kakak ipar Baginda. Termasuk salah seorang senopati yang dikirimkan ke seberang oleh Baginda Raja Sri Kertanegara. Hanya satu yang menyebabkan ia keluar dari "persembunyiannya", yaitu terutama karena mendengar berita datangnya utusan dari Keraton Caban di Campa, di samping keruwetan yang menimpa Keraton.
KOKOK ayam jantan pagi itu tak terdengar. Cengkerik juga tak sempat memperdengarkan musik akhir. Bahkan tetesan embun belum sepenuhnya mengental, ketika tiga ekor kuda melintas dengan tergesa. Suasana desa yang tenteram, hutan rimbun yang sunyi berubah serentak dengan suara bising. Tapak kuda menderap makin cepat dan rapat menyatu dengan dengusan napas kuda kelelahan. Ketiga penunggang kuda itu pun kalau diperhatikan cermat, sudah basah kuyup oleh keringat. Robeknya alam pagi yang damai, seakan menandai terjadinya suatu peristiwa. Peristiwa yang berbeda dari sebelumnya, setidaknya puluhan tahun terakhir ini. Jalan setapak di desa tanpa, nama itu tak pernah terusik apa-apa. Bahkan sangat jarang sekali terdengar langkah kaki manusia. Binatang pun hanya sesekali, pada malam hari. Akan tetapi sekali, kali ini, dipecahkan oleh rombongan tiga ekor kuda yang tergesa. Sampai di ujung jalan, mereka tak bisa sejajar lagi. Terpaksa berurutan karena jalan terhalang dahan, ranting, dan pohon tumbang. Dari bawah menguap bau tanah. Angin sangat bersih. Menyeberangi sungai kecil yang airnya dangkal, ketiga penunggang kuda itu kemudian memacu lagi. Kalau saja di sepanjang jalan itu ada rumah, pastilah penghuninya terheran-heran. Suatu pemandangan aneh dan baru; tiga ekor kuda perkasa melintas tergesa. Bau tubuh mereka seakan asing untuk suasana sekitar yang sepenuhnya berbau daun dan tumbuh-tumbuhan. "Benarkah ini jalannya?" tanya salah seorang penunggang kuda yang nampaknya paling muda. Namun dari nada bicaranya kentara sekali ia yang menjadi pemimpin. Setidaknya yang paling dihormati. Bukan karena wajahnya yang bersih yang membedakannya dari kedua penunggang yang lain, juga bukan karena alis matanya yang tebal dengan sorot mata memerintah, akan tetapi terutama sekali dari sikap hormat yang diajak bicara. "Benar, Raden Mas. Tak ada yang berubah sejak lima belas tahun lalu hamba lewat di sini." Yang menjawab adalah seorang lelaki bertubuh gempal , gagah dengan kumis tebal. Sikapnya amat sangat menghormati. Dan sekelebatan saja ketahuan bahwa jawaban ini keluar dari orang yang mempunyai ilmu. Setidaknya dari caranya menunggang kuda yang seakan sama sekali tak menambah berat tunggangannya. Dibanding dengan bentuk tubuhnya, gerakannya sangat enteng. Bahkan ketika meloncat turun untuk memeriksa rumput dan kemudian meloncat kembali ke punggung kuda, dengan satu gerakan tak terputus, menegaskan sesuatu yang disembunyikan dengan sikapnya yang merendah. Sebaliknya, penunggang ketiga yang berwajah sangat pucat sedemikian pucatnya sehingga kalau saja ia berhenti di air sungai dan mandi, tak akan kelihatan lagi. Menyatu dengan warna air. Kehadirannya hanya ditandai dengan nampak gedombrangan. Kain yang dikenakan longgar di sana-sini. Nampaknya pemakainya tak peduli sama sekali. Juga tidak pada suasana sekitar. Pandangannya lurus ke arah belukar. Seakan ia sudah memperhitungkan dua tindak yang akan dilalui. Atau seperti tak memperhitungkan apa-apa. Hanya mereka yang lama berkecimpung dalam dunia silat bisa melihat sesuatu yang luar biasa dari penunggang ketiga ini. Dari cara mengatur napasnya kelihatan bahwa simpanan tenaga dalamnya luar biasa. Dibandingkan dua penunggang kuda yang lain, si wajah pucat ini nampak tetap segar. Berkuda sepanjang malam tanpa henti sama sekali tak mempengaruhi tarikan dan embusan napasnya. Bahkan juga tidak membuat kulitnya berubah warna. "Kalau begitu kita sudah sampai," kata penunggang kuda yang dipanggil Raden Mas. "Tapi tak ada apa-apa. Hmmm, mengherankan juga. Nama besar Nirada Manggala selama ini hanya kabar murahan saja. Percuma memakai nama Perguruan Awan kalau di markasnya tak ada apa-apanya. Tidak juga sepotong batu untuk duduk, selembar daun untuk berteduh, dan secangkir teh untuk menyambut tetamu." "Maaf, Raden Mas," suara si penunggang kuda kedua nampak sangat berhati-hati. Dari nadanya terasakan kekuatiran tetapi juga teguran. Kekuatiran akan suasana yang bisa mendadak berubah. Sebagai orang yang pernah mengenal dekat Nirada Manggala, ia tahu persis bagaimana perguruan ini bukan perguruan yang bisa dikatai seenaknya. Nama besarnya juga bukan nama kosong belaka. Kalau nama sekadar nama, mereka tak akan datang kemari. Nada teguran lembut, karena walaupun, memegang jabatan yang penting, ia tak bisa begitu saja melarang atau mempengaruhi junjungan yang dipanggil Raden Mas. "...memang beginilah hidup mereka." "Seharusnya mereka tahu kita kemari. Bukan begitu, Pamanda Pandu ?" Si muka pucat yang ditanyai sama sekali tak bereaksi. "Ini sudah keterlaluan. Saya bisa memerintahkan agar hutan ini dibakar habis!" Mendadak saja, sebelum ucapannya selesai, ia merasa ada yang menepuk pundaknya. Dan sebelum bisa mengerti apa yang terjadi, kuda yang ditungganginya sempoyongan. Dengan sigap ia meloncat turun, dan langsung pasang kuda-kuda. Semuanya terjadinya dalam sekejap. Penunggang kuda yang berwajah pucat yang dipanggil Pamanda Pandu sudah turun di samping kudanya. Sementara si kumis juga sudah meloncat enteng. Begitu kakinya menginjak rumput, punggungnya menekuk dengan sikap hormat. "Kami utusan dan Keraton ingin bertemu dengan Eyang Sepuh yang terhormat. Nama saya Wilanda, bekas murid Nirada juga. Saya datang bersama Raden Mas Upasara Wulung, dengan Ngabehi Pandu. Kami datang menghaturkan sembah bakti kepada Eyang Sepuh dan membawa berita dari Keraton." Upasara serasa tak percaya pada apa yang masuk di telinga. Ini hebat! Wilanda bukan prajurit sembarangan. Ia satu-satunya yang terpilih menyertai ke Perguruan Nirada ini di antara sekian puluh pemimpin pasukan yang lain. Ilmunya juga di atas rata-rata yang terpilih. Bahkan dalam kecepatan bergerak rasanya hanya satu-dua yang bisa menandinginya. Nama Wilanda adalah gelar kehormatan karena gerak meringankan tubuhnya bagai seekor capung. Yang sanggup hinggap di tangkai tanpa menggoyang ranting. Namanya itu sendiri adalah anugerah, dari wilala yang artinya capung. Maka cukup membuat Upasara agak bengong melihat Wilanda merendahkan diri. Dalam sekejap saja Wilanda sudah menjelaskan semua. Bahkan secara langsung sudah menyebut-nyebut sebagai utusan resmi dan Keraton. Meskipun Upasara baru menginjak usia dua belas tahun, pengalamannya boleh dikatakan segudang. Ia mendengar nama Perguruan Nirada yang banyak disebut-sebut. Namun itu semua bukan berarti harus menghormat dengan cara seperti itu. Dan sebenarnya yang lebih mengherankan lagi ialah Ngabehi Pandu pun turut turun dari kudanya. Selama ini Upasara mengenal pamannya sebagai seorang tokoh yang bergeming oleh gempa, tak terusik oleh badai. Di Keraton, tokoh ini boleh dikata tak peduli apa-apa. Bahkan upacara sowan kepada Baginda Raja pun tak dilakukan. Ia lebih suka menyembunyikan diri di gua pertapaannya, dan secara terus-menerus berlatih ilmunya. Paling sebentar hanya keluar dan ruangan semadinya seratus hari sekali. Itu pun sekadar menemui Upasara untuk melihatnya berlatih silat. Upasara boleh dikatakan beruntung karena ia satu-satunya yang diajari secara langsung. Ia satu-satunya murid yang menerima ajaran dari Ngabehi Pandu. Ini saja sebenarnya sudah membuat Upasara bisa malang-melintang di Keraton. Ia merasa sedikit saja yang bisa menandinginya. Dan puncak kekagumannya memang pada Ngabehi Pandu, yang menurut perhitungannya orang yang paling sakti. kalau tokoh yang dikagumi sampai perlu turun dan kudanya, itu pasti bukan basa-basi belaka. Ngabehi Pandu bukan orang yang bisa dan biasa berpura-pura. Ataukah mereka berdua juga "dipaksa" turun dari punggung kuda, Seperti dirinya? Tak mungkin hal itu terjadi. Upasara melihat secara lebih jelas. Kekuatannya dipersiapkan untuk satu serangan mendadak-baik untuk menyerang atau bertahan. Kuda-kudanya kuat mantap. Lebih heran lagi, karena yang keluar dari semak-semak adalah seorang lelaki gundul yang praktis telanjang. Hanya kain gombal sekenanya menutup di bagian bawah selebihnya tak ada apa-apanya. Tidak juga sehelai rambut. Yang membuat Upasara gusar adalah kenyataan bahwa lelaki itu seperti tidak melirik ke arah mereka. Bahwa di Perguruan Awan banyak hal yang ganjil, itu Sudah lama didengar. Tapi kenyataannya ternyata lebih ganjil lagi. Tak ada bangunan rumah, tak ada sambutan. Hanya tetumbuhan liar dan seorang lelaki setengah tua yang lebih mirip binatang hutan. Upasara merasa tak bisa menahan sabarnya. "Bapak Gundul, saya ingin bertemu dengan pemimpin Nirada Manggala. Katakan kepadanya untuk menjemput saya. Katakan Raden Mas Upasara Wulung bersama Pamanda Ngabehi Pandu dan Wilanda sendiri yang datang. "Paman Gundul, kau dengar apa yang saya katakan?" "Saya...," jawab si gundul sambil menunduk hormat. Upasara melihat Wilanda yang masih bersila seperti mengisyaratkan agar jangan kurang ajar. Tapi siapa yang peduli? Untuk apa menghormat lelaki setengah tua yang berpakaian saja tak sempurna? "Paman Gundul, kau dengar?" "Saya...." Tapi selain jawaban yang diberikan, paman gundul itu tetap bergeming. "Rupanya di perguruan ini banyak yang angkuh dan sok. Saya sudah bicara baik-baik, tapi kalian memperlakukan seperti ini. Jangan bilang anak muda berlaku kurang ajar." Upasara menggeser kakinya. "Saya..." Seumur hidup, belum pernah Upasara mendapat perlakuan hina seperti ini. Di Keraton, semua menuruti keinginannya. Apa yang diharapkan bisa terlaksana. Tak ada yang membandel seperti ini. "Maaf, Kisanak...," suara Wilanda tetap ramah. "Kami sudah mengenalkan diri. Bolehkah kami mengetahui nama besar Kisanak?" "Saya... Saya bernama Jaghana, Kisanak." Upasara tak bisa menahan diri lagi. Ini jelas cara mempermainkan yang keterlaluan. Bagaimana mungkin pertanyaan yang baik-baik, dengan rasa hormat, dijawab seenaknya ? Bagaimana mungkin seorang bernama Jaghana yang artinya pantat? Tanpa memedulikan lirikan mata menahan, Upasara langsung menerjang. Jaraknya masih sekitar dua tombak, akan tetap hanya dengan sekali menginjak tanah, tubuhnya sudah melayang maju ke depan Persis di depan Jaghana yang gundul, dan langsung menyerang. Dua tangan, kiri dan kanan, maju secara serentak seperti menjepit tubuh Jaghana. Ini adalah gerakan dasar dari serangan banteng. Ilmu yang diandalkan selama ini. Kedua tangannya berfungsi sebagai pengganti tanduk. Kalau saja Jaghana bisa dijepit, kepalanya bisa retak, sebelum tubuhnya berputar dan melayang ke atas. Kunci utama dari serangan kilat ini adalah pada kekuatan besar yang mengunci gerak lawan, dan di samping itu juga tak memberi kesempatan lawan untuk menggagalkannya. Karena Upasara yang berarti banteng sangat kuat kuda-kudanya. Persis seperti ketiga banteng menyerbu harimau. Ilmu ini boleh dikatakan ciptaan Ngabehi Pandu sendiri, yang disesuaikan dengan sifat-sifat Upasara yang masih berdarah panas bertenaga besar seperti banteng. Selama ini selalu terbukti bahwa jurus pembukaannya selalu membuat lawannya repot. Upasara sudah memperhitungkan. Andai terpaksa menghindar, Jaghana harus mundur, paling sedikit dua tindak. Itu juga akan menempatkan Jaghana pada posisi yang sulit, karena dua tangan Upasara akan menyusul langsung. Dan kali ini sasarannya adalah pusar. Bagai tanduk sepasang yang menemukan sasaran empuk. Pukulan ini merupakan rangkaian. Hanya beberapa jago saja yang mampu menghindar dari rangkaian pukulan berantai ini, itu pun akan mempersulit posisinya kemudian. Dalam beberapa latihan, hanya Wilanda yang secara berturut-turut mampu menghindar. Terutama karena ilmu meringankan tubuh yang satu kelas di atasnya. Itu pun harus mengorbankan kedudukan kuda-kuda untuk tetap berada dalam sikap bertahan. Ngabehi Pandu menciptakan jurus yang kelihatannya sederhana ini bukan sekadar bangun dari tidur. Walau kelihatannya sederhana, perubahannya cukup rumit. Sederhana karena gerakannya seperti kaku. Lurus menerjang dengan dua tangan sekaligus. Namun sebenarnya ini juga merupakan inti untuk menjajal kekuatan lawan. Seperti diketahui, untuk menghadapi jurus ini hanya tersedia dua pilihan. Menghindar mundur atau langsung menggempur. Ini berarti secara langsung beradu tenaga. Saat itu juga, si penyerang sudah bisa memperkirakan kekuatan lawan. Karena saat beradu, dua tangan yang menjotos berputar arahnya ke bawah. Cara mengatur kekuatan lawan inilah yang disebut serangan efektif. Menerjang sekaligus menakar kekuatan lawan. Dengan mengetahui secara persis kekuatan lawan, si penyerang bisa mengatur siasat. Ngabehi Pandu menciptakan rangkaian jurus ini terutama sekali untuk menerjang lawan yang belum dikenal seberapa kekuatannya. Namun dilihat dari kuda-kudanya, jurus ini tidak sekadar menjajal untuk coba-coba, akan tetapi sudah sekaligus menggilas. Seekor kerbau liar pernah terjungkir dan terbanting kasar di tanah ketika Upasara mempraktekkannya. Apakah Jaghana akan terbanting seperti seekor kerbau? Itulah yang akan terjadi karena Jaghana tidak menggempur langsung dan tidak menghindar. Seakan membiarkan saja. Jaghana seperti membiarkan dirinya diserang! Upasara serta-merta mengurangi kekuatan tenaganya. Ia ingin sekadar memberi pelajaran kepada lawan dan bukan ingin menghancurkan. Akan tetap justru di saat seperti itu, dalam sepersekian detik yang bersamaan, Upasara merasa kakinya bergetar. Seperti kesemutan. Aneh. Padahal Jaghana hanya menggeser sedikit posisi kakinya. Ini soal tenaga dalam. Dalam sekelebatan saja Jaghana sudah bisa membaca gerak dan inti serangan. Justru dengan sekali gebrak, Jaghana membalas pada posisinya yang paling kuat. Di arah kuda-kuda. Upasara berpikir cepat. Membatalkan serangan utama, dan balik menggeser kaki kiri untuk mengurangi tekanan lawan. Sekaligus dengan itu tangan kirinya ditarik mundur untuk menampik lawan. Tanpa menggeser tubuh, Upasara kini melancarkan serangan berikut. Tubuhnya sedikit meloncat, dengan cara menjatuhkan diri, Upasara ingin mengetok punggung lawan dari belakang. Tubuhnya melengkung bagai plastik yang bisa berubah menjadi lebih panjang. Lawan akan mengira ia masih bertahan di tempatnya, tetapi secepat kilat ia menyerang arah belakang. Inilah salah satu kehebatan jurus Ngabehi Pandu. Dua jenis serangan yang mempunyai sifat berbeda, bisa dilakukan secara beruntun. Meskipun sebenarnya gerakan ini pada awalnya mengandalkan kekerasan, tapi di saat yang bersamaan bisa diubah menjadi luwes. Untuk mempraktekkan gerak semacam ini sebenarnya tak diperlukan latihan yang panjang. Kekuatan utamanya justru terletak pada mengatur dan menyalurkan tenaga sesuai yang dibutuhkan. Jaghana seperti mengeluarkan seruan pujian dari hidungnya. Lagi-lagi, seperti pada mulanya, ia seperti membiarkan punggungnya dipatuk dari belakang. Caranya menghadapi justru dengan meneruskan serangan kakinya ke depan. Sehingga tubuhnya seperti jatuh.
Terakhir diubah oleh mahaputra99 tanggal Mon Aug 23, 2010 1:12 pm, total 1 kali diubah | |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:05 pm | |
| Upasara bersorak dalam hati. Sekuat-kuatnya badan manusia, tulang punggung bukan bagian yang boleh dibiarkan menerima pukulan. Secepat-secepatnya menjatuhkan diri, tak mungkin bisa menghindari pukulan. Memang begitu kenyataannya. Upasara merasa bahwa tangannya bukan mengenai punggung, tetapi kepala. Karena lawan menjatuhkan diri. Tetapi kepala juga sama lemahnya dalam penjagaan. Hanya saja di luar segala perhitungannya, kepala Jaghana ternyata sangat licin. Sehingga emposan tenaganya seperti makin mendorong dirinya. Tenaganya justru menyeret, seperti orang terpeleset. Tak ada jalan lain, selain menyelamatkan diri. Upasara berjumpalitan satu setengah agar bisa berdiri tegak. Ia memang berhasil berdiri tegak. Akan tetapi ini pertanda surut. Dari menggempur, dalam satu gebrak saja sudah mundur dan bertahan. Perubahan mendadak yang secara serentak membalik situasi. Upasara siap untuk menerima serangan. Tapi Jaghana, si pantat gundul, hanya memandang sambil tersenyum. "Anak muda, sungguh luar biasa. Serangan yang mengagumkan. Saya tak pernah menyangka bahwa dunia sudah sedemikian majunya. Siapa mengira anak muda yang masih bau kencur ini mempunyai kepandaian luar biasa. Selamat, selamat." Sebenarnya apa yang diucapkan Jaghana adalah ucapan yang jujur. Sesuatu yang nampaknya melekat sebagai sikap Perguruan Awan. Mereka memang sering dikatakan hidup dengan cara yang sangat ganjil dan tak menentu, akan tetapi mereka dikenal sebagai orang-orang yang jujur. Satu kata satu perbuatan. Apa yang putih tak bakal dibilang hitam. Pujian ini juga pujian yang jujur. Akan tetapi bagaimana mungkin Upasara bisa menelan kata-kata semacam itu? Pertama, ia seorang bangsawan yang belum pernah mendapat perlakuan begitu "kurang ajar". Kedua, kata-kata "anak muda yang masih bau kencur" sangat menyinggung perasaannya. Ia tak menangkapnya sebagai pujian bahwa sesungguhnya anak seusianya belum tentu bisa menguasai jurus-jurus tadi dengan baik. Berarti masa depannya cukup bagus. Perbedaan latar belakang ini masih ditambah lagi bahwa Upasara tak cukup sabar. "Kita lihat siapa yang bau kencur dan siapa yang bau bawang merah," ujarnya keras sambil terus menyeruduk. Karena merasa kalah dalam serangan pertama, Upasara menyerang dengan tenaga penuh. Kedua kakinya memancal tanah, jotosannya mengarah ke depan. Kedua-duanya. Hanya kali ini dalam perjalanan pergelangan tangan ini berputar seperti menyerap tenaga lawan. Menyerap, memutar, dan mengarahkan pada si pemilik sendiri. Jaghana juga menjadi berhati-hati. Ia meloncat tinggi, tidak berusaha menghindar jarak pendek atau memapaki serangan. Sambil meloncat tinggi, seperti memantul, tubuhnya berputar. Serangan balasan yang dilancarkan dengan berputar bukan hanya berbahaya bagi lawan, tapi juga berbahaya bagi diri sendiri. Wilanda yang pernah berada dalam perguruan yang sama, sedikitnya mengetahui hal ini. Harus diakui serangan sambil berputar adalah serangan yang mengandung risiko. Lawan memang bisa bingung, mau menyerang kepala bisa keliru pantat, mau menerjang dada bisa keliru kaki. Itu pun tenaganya tak akan mengena separuhnya, karena sebagian besar sudah dinetralisir dengan gerakan berputar. Akan tetapi menyerang berputar perlu mengerahkan tenaga dalam yang kelewat banyak. Ini bukan untuk pertempuran jangka panjang. Agaknya Jaghana ingin menyelesaikan pertandingan dalam waktu singkat. Kenyataan ini saja sebenarnya sudah harus membuat Upasara merasa bangga. Tak begitu banyak kesempatan seorang ksatria semacam dia menemukan lawan yang langsung mengeluarkan langkah-langkah rahasia berikut kuncinya. Ditilik dari sudut ini, Upasara boleh dibilang sangat beruntung. Dalam usianya yang masih muda ia boleh dikatakan bisa mengimbangi lawan yang jauh lebih tua, lebih berpengalaman, dan sudah mempunyai nama besar. Kalau pada gebrakan pertama tadi ia dibuat bertahan, itu semata-mata karena soal pengalaman. Bukan soal perbedaan ilmu. Menghadapi lawan yang bergulung, Upasara mengubah gerakannya. Ia tak mau mengeluarkan tenaga keras, karena bisa terseret lawan. Ia melengkungkan tubuh, meloncat terbalik, dan kemudian masuk ke dalam pusaran lingkaran. Wilanda mengeluarkan pekik tertahan. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Upasara akan mengimbangi lawan dengan gerakan yang sama. Dengan saling melibat diri, berarti pengurasan tenaga secara besar. Dan kalau sedikit saja alpa, satu jari saja menyentuh bagian lunak dari wajah bisa berakibat fatal seumur hidup. Lima kali kedua tangan lawan beradu. Suaranya terdengar bagai dua batu ditumbukkan. Upasara kaget karena tangan lawan seperti mempunyai sengat. Setiap kali beradu, ia cepat menarik tangan dan mengganti dengan sabetan kaki. Namun ini pun mengalami hal yang sama. Yang tak diketahuinya ialah bahwa agaknya Jaghana pun mengalami hal sama. Sengatannya seperti tak bisa menusuk langsung. Beberapa bagian tenaganya bisa ditolak. Sepuluh jurus berlalu tanpa ada yang memisah. Tanpa ada tanda-tanda kalah. Tanpa ada yang menyerah. "Kisanak Jaghana, maafkan kami..." Wilanda tetap bersujud. Suara perlahan tapi mengiang. "Upasara, cukup." Terdengar suara mantap. Ngabehi Pandu mengucap seperti menggertak. Dan betapapun berangasan dan congkak, Upasara agaknya ada rasa takut kepada pamannya. Ia mengunci diri dan bergulung keluar satu tombak. Untuk bisa berdiri tetap, ia masih memerlukan beberapa tindak lagi. Sementara Jaghana tetap berdiri tegak sambil tersenyum. "Sudah kurang ajar, kalah, masih berlagak?" Pandu berteriak. Upasara menghela napas. Lalu berjongkok menghaturkan sembah. "Maaf, Paman Gundul. Saya terlalu lancang dan kurang ajar. Saya menerima kalah." Dari ucapannya terkesan bahwa Upasara sebetulnya masih belum mau menyerah. Sebutan Paman Gundul menandai kedongkolannya. "Ah, jangan terlalu merendahkan diri dan mengangkat lawan terlalu tinggi. Nama saya memang Jaghana, tak pantas dipanggil Paman Gundul. Walaupun antara pantat dan kepala gundul tak ada bedanya. Tapi letaknya yang satu di atas dan lainnya di bawah. Silakan berdiri, anak muda." Ya, begitulah cara hidup Perguruan Nirada yang aneh. Bahkan untuk ngomong pantat atau gundul saja tak ada bedanya. Tak merasa risi sama sekali. "Wilanda menyampaikan sembah bekti." "Saya tak bisa menerima kehormatan ini," lalu sambil melirik ke arah Ngabehi Pandu, suaranya jadi penuh hormat. "Terima kasih atas pertolongannya. Kalau saja tidak dihentikan tadi, saya tak bisa mengelus kepala lagi. Ternyata nama besar Ngabehi Pandu terlalu kecil untuk menunjukkan hal yang sebenarnya. Terimalah salam saya." Wilanda maju ke depan. "Kisanak Wilanda, rasanya baru kemarin kita berpisah. Tapi kini Kisanak sudah hidup enak mempunyai pakaian bagus dan kuda bagus. Aha, kapan lagi mengajak saudara lama ini?" Kalimatnya setengah menyindir setengah mengalem. Sulit dibedakan. "Kerinduan saya tak bisa diutarakan lagi. Namun kali ini, saya datang membawa perintah Baginda Raja." "O, jadi kalau punya pakaian dan kuda bagus harus begitu, ya? Siapa itu Baginda Raja?" Upasara merasa darahnya mendidih lagi. Kalau tadi kurang ajar keterlaluan, sekarang ini sudah buyutnya keterlaluan. Tak ada ampunan. Maka sekarang ini tanpa bertanya ba atau bu langsung saja menerjang. Kali ini malah langsung dengan keris saktinya. Ujung keris tergetar karena menahan dendam. Yang diarah pun tak kepalang tanggung. Tenggorokan. Ini sebenarnya merupakan jurus pamungkas, atau jurus terakhir dari rangkaian serangan ilmu banteng yang disebut Banteng Ketaton, atau Banteng Terluka. Serangan ini biasanya hanya muncul kalau keadaan sudah betul-betul kepepet, tak ada jalan keluar sama sekali. Seperti banteng yang terluka tak ada harapan lagi. Dengan sekali gempur, bisalah mendahului lawan, atau setidaknya mati bersama. Dengan jurus ini semua tenaga dihimpun ke ujung keris. Sehingga bagian yang lain tidak sepenuhnya terlindungi. Kalau saat itu lawan menyobek perut atau menotok urat nadi di leher, tak ada halangan yang berarti. Akan tetapi juga dengan demikian Upasara bisa meneruskan niatnya. Kalau lawan mengurungkan niatnya, berarti Upasara terbebas dari sergapan untuk sementara. Dan Upasara mengeluarkan jurus Banteng Terluka meskipun sama sekali tidak dalam keadaan terjepit. Wilanda mengeluarkan seruan tertahan. Langsung bersamaan dengan itu tubuhnya meloncat keras dan menubruk Jaghana. Caranya sedemikian rupa sehingga punggungnya yang dibiarkan terbuka. Dalam detik yang pendek ia ternyata tak berpikir untuk nyawanya sendiri. Jaghana sendiri nampaknya tidak memperhitungkan bahwa seorang anak muda bisa begitu telengas dan ringan tangan untuk mengeluarkan jurus maut. Alisnya berkerut tapi tak sempat menghindar. Hanya karena Ngabehi Pandu bergerak lebih dulu. segalanya berakhir tanpa ada yang terluka. Sebagai tokoh yang menciptakan jurus itu. Ngabehi Pandu tahu kelemahannya. Dua jarinya menghadang pergelangan tangan Upasara, dan disertai entakan tenaga dalam, keris itu terloncat dan tangan Upasara. Melesat ke udara. Ngabehi Pandu menggerakkan tubuhnya meloncat, menyambar keris, dan sebelum kakinya menyentuh tanah ia bisa mengembalikan lagi ke sarung keris yang terselip di punggung Upasara. Suatu gerakan indah bagai tarian yang memesona. Dengan sekali gebrak, tiga gerakan berbahaya dilakukan. Menggagalkan serangan dengan melontarkan keris ke udara, menangkap, dan mengembalikan ke sarungnya yang masih dipakai pemiliknya. Ngabehi Pandu menunduk. "Maafkan, kami yang tua ini tak bisa mendidik anak." Jaghana berdiri tegak, lalu membalas hormat dan menghela napas. "Yang tua makin arif, yang muda makin sulit dikendalikan. Anak muda, kau berbakat besar, mempunyai guru yang sungguh luar biasa. Di belakang hari nanti tanah Jawa menjadi ramai karenanya. Luar biasa. Sayang aku si pantat bulat tak bisa menyaksikan semua ini. Setelah nyawa yang tak berharga ini diselamatkan berkalikali rasanya tak pantas menjadi murid Nirada lagi." Suaranya berubah parau. "Eyang Sepuh, mohon ampun... murid Eyang memang tak pantas berdiam di sini." Lalu disertai helaan napas, Jaghana berlalu. "Tunggu, Kisanak. Ada yang ingin kami ketahui." "Kanjeng Ngabehi, nyawa yang hina telah Ngabehi tolong. Kalau ada yang bisa saya lakukan untuk Ngabehi, mati pun saya rela melakukannya." "Jangan terlalu sungkan, Kisanak. Ini semua karena kesalahan kami. Sesungguhnya kami datang untuk menemui Eyang Sepuh." "Sedih sekali rasanya. Untuk permintaan yang tak berarti itu saya tak bisa menjawab. Saya sendiri tak tahu di mana beliau berada." "Ah," Wilanda mengeluarkan suara tertahan. Ngabehi Pandu menghela napas. Dengan pengalaman yang sudah setua umurnya, ia tahu bahwa Jaghana tidak berdusta sama sekali. "Satu pertanyaan lagi. Apakah dalam sebulan ini ada Tamu dari Seberang datang kemari?" Jaghana menampilkan senyum. Senyum getir. "Entah kenapa begitu banyak yang menanyakan hal yang sama. Hal yang saya sendiri tidak tahu. Ketika Eyang Sepuh memilih desa tanpa nama ini rasanya sudah tak ada tempat lain yang lebih sunyi. Akan tetapi nyatanya sekarang ini jadi tempat berkumpul para jagoan di seluruh jagat. Oi, tak ada lagi tempat sepi." Begitu selesai ucapannya, terlihat dua bayangan melesat datang. Seorang lelaki tua yang seluruh rambutnya putih nampak menjinjing kadut-kantong karung dari serat pohon-besar. Seorang lagi adalah seorang bocah, yang nampak ganjil karena wajahnya seperti merah membara. Dua manusia aneh yang berdiri berjajar aneh. Lelaki tua berambut putih dan seorang bocah berwajah merah. "Nah, kita di sini dulu, Tole. Mendengarkan orang bicara," kata lelaki tua berambut putih. Yang dipanggil sebagai tole-artinya anak lelaki kecil- tidak menjawab, hanya memandang selintas. Lalu duduk di rumput. Wilanda seperti terbangun dari tidurnya. Memang aneh, di tempat yang kelewat sunyi ini tiba-tiba datang dua orang yang namanya pernah menggetarkan Kali Brantas. Yang dipanggil Tole adalah Padmamuka, alias Padmanaba, alias si Muka Merah. Yang tua berambut perak dipanggil Niriti, alias Dewa Maut yang Kekal Abadi. Entah dari mana mereka mendapat sebutan itu dan apa alasannya. Selama ini Wilanda tak pernah mendengar. Karena selama ini keduanya hanya beroperasi di sepanjang Kali Brantas Menurut cerita, keduanya tak pernah berada di daratan, selalu saja tengah sungai. Bahkan menurut dongeng, mereka bertempat tinggal di salah satu kedung Brantas. Pasti ada sesuatu yang luar biasa kalau sampai turun ke darat. Apalagi berada di daerah terpencil. "Tole, mereka tidak ngomong lagi. Apa perlu kita paksa?" "Semaumulah. Kau dewa maut yang bisa berbuat sekehendakmu. Apa susahnya memaksa orang bicara mengenai Tamu dari Seberang?" "Tole, siapa yang kita paksa pertama?" "Siapa saja. Lebih baik dimulai dari yang paling jelek." "Bagus. Bagus." Suara Niriti berubah gembira. Kadutnya bergoyang-goyang. "Kalian semua sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan cucuku ini. Ayo, mengaku saja. Siapa yang paling jelek harap menyembah." Padmamuka terkekeh. "Kalau ditanya begitu, mereka pasti akan berebutan. Karena semuanya memang jelek. Paksa saja semua." "Itu juga bagus. Kalian semua sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan cucuku ini. Dan sesungguhnya, aku tak pernah menolak apa yang diminta cucuku. Baiklah. Kalian perlu kupaksa atau langsung berterus terang di mana Tamu dari Seberang itu?" "Agaknya Kali Brantas sudah kering. Tak ada ikan kecil lagi, sehingga nelayan sungai cari makan di darat. Pengemis pun harus menunjukkan hormat kalau meminta sesuatu. Bukannya omong besar." Upasara yang maju ke depan. Agaknya ia yang paling muak dengan segala kesombongan dan kecongkakan-barangkali juga karena ia memiliki sifat yang sama. "Tole, ada yang berani berkata. Kau dengar?" "Ya, tetapi tidak jelas maksudnya." "Lalu bagaimana, Tole?" "Suruh menjilat kakiku, agar lidahnya bisa ngomong ndak ngawur." Niriti, si kakek berambut putih, tertawa terkekeh. "Nah, kamu dengar sendiri apa yang dikatakan cucuku. Ayo lekas, jilat kakinya. Biar dewa bermurah hati hanya memotong lidah bukan nyawamu. Lakukan, tunggu apa lagi?" "Hanya karena merasa terantuk batu pengalaman yang keras, Upasara tidak segera menyerang. Coba saja tidak mengalami peristiwa yang baru saja terjadi, ia sudah langsung menerjang. "Soal menjilat kaki apa susahnya. Tetapi kenapa harus melakukan itu, kalau ada soal lain?" "Tole, kau dengar siapa itu yang ngomong?" "Maaf, namaku yang rendah adalah Wilanda. Salam hormat untuk Dewa Maut dan Padmamuka." "Bagus. Itu bagus. Kamu menjawab dengan baik. Apa kau dari Perguruan Mendung ini?" Jelek-jelek Wilanda bekas murid Perguruan Nirada. Memang nirada bisa berarti awan, tetapi juga bisa berarti mendung. Namun cara si kakek merendahkan dalam sebutan cukup membuatnya panas. "Saya hanya murid yang tak tercatat. Silakan memberi pelajaran." Wilanda langsung mengambil kuda-kuda memberi hormat. Ini berarti tantangan yang resmi. Tantangan seorang ksatria. Wilanda cukup menghormati lawan untuk memulai dengan gerakan pembukaan, menghormat ke arah lawan. Kakek tua itu langsung bergelak. "Kalian manusia darat terlalu banyak sopan santun. Buka mulut di mana Tamu dari Seberang atau bakal jadi makanan cacing." Niriti meluncur, dalam artian sebenarnya. Tiba-tiba saja tubuhnya tertekuk, seperti gerakan orang mau meloncat ke air. Dan benar-benar meloncat. Hanya bedanya kalau meloncat ke air, tubuhnya turun ke bawah, yang ini meluncur ke depan lurus. Kedua tangannya terbuka dan siap mencakar wajah. Wilanda menotol dengan ujung kakinya tanpa menekuk lebih dulu, atau memang tak terlihat saking cepatnya dan tubuhnya melayang ke atas. Dari atas, kedua kakinya ditekuk seakan ingin berdiri di punggung si kakek. Namun sebelum gerakan itu sempurna, bentuknya sudah diubah lagi, karena Niriti memutar kakinya. Sehingga tubuhnya menjauh dan cakar tangannya tetap mengarah ke lawan. Meluncur bagai peloncat indah, sambil tetap menjinjing kadut besar dan dengan enak bisa memutar di tengah udara. Semua bisa dilakukan sambil tetap menyerang. Kalau Upasara yang disergap semacam itu, pasti sudah kelabakan. Wilanda jauh lebih berhati-hati. Gaya capungnya dipertontonkan dengan indah. Tangan lawan yang mencakar dibentur keras, dan meminjam, tenaga benturan ia melayang tinggi berjumpalitan di udara, lalu turun di tanah, menotol lagi, menyerang ganti. Kakek berambut putih itu mengeluarkan suara di hidung. Kali ini kadutnya dipakai untuk memapak serangan. Wilanda bisa menjajal kemampuan lawan. Tetapi ia cukup cerdik untuk memeras tenaga si kakek. Lagi-lagi ia meminjam tenaga kadut berputar untuk berjumpalitan, meluncur turun, menotol tanah, dan balik menyerang. Taktik yang membuat Niriti terkesiap dan untuk beberapa kejap seperti bertempur dengan angin kosong. Namun sebagai jago kelas satu yang menguasai daerah tertentu, dengan cepat ia bisa menentukan cara untuk mengatasi. Kali ini ia menyerang dengan tenaga yang lembek, hanya dua persepuluh saja. Sehingga Wilanda tak mungkin meminjam tenaganya. Memang ini sempat mengacau Wilanda, namun cara mengentengkan tubuhnya boleh dibilang sudah kelas satu. Sehingga meskipun tak terlalu keras, ia tetap bisa berjumpalitan, menotol tanah, dan tetap menyerang. "Kakek tua tak tahu diri. Apa susahnya menangkap capung?" "Bagus, Tole. Nih, aku tangkap." Serentak dengan itu Niriti mengayunkan karungnya dengan keras ke atas. Kedua tangannya terentang lebar, lalu menutup dengan gerakan berputar, dan langsung menyerang lawan. Wilanda tak menduga bahwa tenaga dalam si kakek sedemikian saktinya. Sehingga hawa di sekitar dada dan wajahnya jadi panas dan sesak. Lalu secara cepat hawa panas dan menyesakkan itu musnah, dan Wilanda seperti berada dalam ruang tanpa udara. Kekuatannya jadi lenyap seketika. Tak ada jalan lain kecuali mengerahkan sisa kekuatan yang tersimpan di bawah pusar. Tubuhnya berputar pendek, seirama dengan tangan yang melingkar ke depan dengan sangat cepat. Dalam setiap ajaran silat, gerakan ini sangat umum dan mudah dikenali sebagai gerakan untuk mencari tenaga dari bumi. Hanya dengan latihan yang keras dan konsentrasi penuh, "kekuatan bumi" ini bisa dipinjam. Kalau dasarnya tidak mempunyai tenaga dalam, yang diisap adalah tenaga kosong belaka. Sebenarnya ini gerakan yang sangat efektif. Hanya saja karena merupakan gerakan umum, lawan pun melakukan. Jadi boleh diartikan siapa yang lebih dulu mengambil tenaga dari bumi. Niriti bukannya mengambil, melainkan membuyarkan dengan sapuan kakinya. Terkurung dalam lingkaran pukulan Niriti, Wilanda mengempos kekuatannya. Ia menekuk lutut dan melompat ke atas. Dalam keadaan biasa hal itu tak perlu dilakukan. Seakan tanpa menekuk pun bisa meloncat, Akan tetapi kekuatan ini diperlukan, karena kedua tangan Niriti tak akan membiarkan bebas. Ini berarti adu tenaga. Wilanda mengegos sedikit untuk melunakkan tenaga lawan, dan tubuhnya mumbul ke atas. Agaknya ini pun sudah diperhitungkan Niriti ketika melemparkan kadutnya ke atas. Bersamaan dengan itu, kadut itu bakal menimpa tubuhnya. Paling tidak ia bisa menjotos. Hanya saja kesadarannya yang tinggi menahan gerakan itu. Berarti kadut itu berisi manusia. Astaga. Siapa pula yang berada di dalamnya? Kalau seseorang yang sedang menderita, bisa saja menjadi luka atau bahkan meninggal dunia. Jiwa ksatria Wilanda menahan pukulan itu. Akibatnya memang gerakannya jadi terganggu. Apalagi ia justru berusaha menangkap kadut itu, menyebabkan pinggangnya terbuka. Niriti bersorak dingin. "Kena!" Sebenarnya, sejak Niriti datang, Jaghana sudah melihat sesuatu yang aneh. Sesuatu yang mencurigakan dari kadut. Makin jelas ketika kadut itu dilemparkan ke atas. Mendengar suara rintihan, Jaghana bahkan mengenali nada rintihannya. Tak ayal lagi ia langsung menyerbu ke arah pertempuran. Hanya saja terlambat. Kadut itu sudah ditangkap oleh Wilanda yang pinggangnya serasa patah Namun walau begitu dalam jatuhnya, ia masih membiarkan dirinya lebih dulu. Wilanda tetap memegang karung itu dengan sakit yang serentak menjalar ke arah perutnya. Niriti berbalik menghadapi Jaghana yang melancarkan pukulan dan samping kiri. Dewa Maut hanya menggeser kepalanya sedikit, lalu balas menyerang. Di luar dugaan, Jaghana tidak berusaha menghindar. Malah langsung menyapu lawan dengan keras. Jika mereka membiarkan diri, keduanya akan terkena pukulan lawan. Dewa Maut mengegos ke samping. Tak urung ikat kepalanya tercongkel sedikit. Lepas, dan rambutnya yang putih terurai ke depan. Jaghana menjambak rambut itu dan menarik ke bawah sekuatnya, sementara kedua lututnya terayun ke atas. Gaya membungkuk menyebabkan punggungnya terbuka. Namun seperti tidak peduli, Jaghana terus merangsek lawan. Dewa Maut mengeluarkan seruan tertahan dan menahan benturan lutut dengan kedua tangannya. Terdengar bunyi plak yang sangat keras. Biarpun Dewa Maut sangat hebat tenaga dalamnya, tak urung terguncang pula. Biar bagaimanapun, kekuatan kaki Jaghana lebih tangguh dari daya tahan tangannya. Tubuhnya terdorong ke belakang. Segenggam rambutnya lepas. Belum berdiri lurus, Jaghana sudah memutar tubuhnya dan bagai pusaran angin beliung langsung menggulung lawan. Baru kini Upasara sadar bahwa Jaghana bukan sembarang jago. Tadi ia sudah menyaksikan dan mengalami sendiri. Baru kini Upasara sadar bahwa tadi Jaghana tidak mengeluarkan seluruh tenaganya. Kalau tadi ia diserang dengan cara seperti ini, barangkali tubuhnya sudah terlipat bagai tali pelintiran. Jaghana adalah tokoh yang mempunyai watak sabar, pikir Upasara. Bahwa ia menjadi begitu geram dan menyerbu tanpa memikirkan keselamatan dirinya, ini pasti ada yang menyebabkan. Tak mungkin orang yang begitu ramah, sabar, dan suka tersenyum menjadi nekat tanpa sebab. Hanya saja Upasara tidak mengetahui apa yang membuat Jaghana begitu bernafsu. Mungkin ia juga tetap tak tahu, kalaupun mengetahui, bahwa isi kadut itu salah seorang dari Perguruan Awan. Dasar-dasar yang kuat dari perguruan ini adalah rasa setia kawan sesama anggota perguruan. Bahwa dasar ini berlaku di setiap perguruan, itu tak ada yang membantah. Hanya pada Perguruan Awan, dasar ini memperoleh bentuknya, yang kadang sangat ekstrem. Seperti diketahui, dalam perguruan ini tak ada perbedaan antara murid yang satu dan yang lain. Soal ilmu dibagi rata, soal pemilikan tak ada yang mempersoalkan. Ini barangkali bedanya dari perguruan lain. Di Perguruan Awan tak ada tingkat yang berbeda. Tak ada yang dianggap senior atau yunior. Tak ada murid ketua atau wakil atau yang biasa. Bahkan Eyang Sepuh sendiri, yang dianggap ketua, mendapat perlakuan yang sama. Mereka semua hidup di hutan secara bersama. Eyang Sepuh pun harus menanam sayur atau mencari sendiri buah-buahan. Mereka berlatih bersama dan belajar bersama. Hal ini mudah diduga kenapa Wilanda mau mengorbankan dirinya ketika mengetahui ada saudara seperguruan yang tersimpan dalam kadut. Walaupun itu sudah lewat bertahun-tahun dan ia hidup sebagai prajurit utama di Keraton, perasaannya masih sama. Tak ada yang lebih mulia daripada membantu sesama. begitulah kira-kira salah satu ajaran dari Eyang Sepuh. Barangkali itu pula sebabnya perguruan ini tak pernah memiliki apa-apa. Pondok secuil pun tidak. Bahkan dalam bentuk yang juga berlebihan. mereka tak memerlukan pakaian penutup tubuh semuanya diberikan pada orang lain yang dianggap memerlukan. Ajaran yang mendarah daging ini boleh dikatakan menjadi undang-undang tak tertulis. Barang siapa merasa perlu memiliki sesuatu apa pun, walau seikat rumput untuk kepentingan sendiri, ia tak diakui lagi sebagai anggota. Wilanda dulu juga begitu. Karena merasa perlu untuk memperdalam ilmu meringankan tubuh, ia perlu mencari guru di tempat lain. Ia merasa dirinya tak pantas menjadi murid lagi, dan minta keluar dari hutan. Sejak itu beberapa kali Wilanda ganti guru, menjajal kemampuan. Perjalanan hidup mempertemukannya dengan Ngabehi Pandu yang tertarik pada tekad besarnya. Sementara itu di tengah lapangan, Jaghana terus berputar menggulung. Sepertinya ia akan membelitkan tubuhnya ke tubuh Dewa Maut dan mereka berdua bakal terpelintir jadi satu. Dewa Maut terdesak menghadapi gempuran habis-habisan ini. Sejak ia masuk daratan, belum pernah bertemu lawan| setangguh dan senekat ini. Lagi pula ia baru saja menghadapi Wilanda yang dalam beberapa hal ilmunya berbeda sekali dari Jaghana. Wilanda jauh lebih mengandalkan ilmu mengentengkan tubuh. Berkelit ke sana. membelok kemari. Sementara Jaghana sama sekali mengandalkan kekuatan menggempur. Sebagai seorang yang tergolong kelas satu, hal ini sebenarnya bukan masalah utama. Hanya saja waktunya berurutan, dan lawan yang dihadapi sekarang seperti tidak ingin memperpanjang waktu. Dalam jangka pendek saja tanpa peduli menang atau kalah. hidup atau mati. "Hei, tahu diri dikit," teriak Tole yang masih duduk di tanah. "Kalau berputar macam begitu kau bisa kentut. Dan aku tak suka." Padmamuka menggelinding maju. Wilanda masih merasa perutnya bagai ditusuk-tusuk. Jangan kata untuk bergerak, untuk mengambil napas pun sakitnya tak tertahankan. Akan tetapi melihat Tole maju, ia tak bisa menahan diri. Dengan mengempos tenaga terakhir ia meloncat untuk mencegat gelundungan Padmamuka. Keduanya bertemu, berbenturan, dan Wilanda terbanting. Muntah darah. Upasara mencabut kerisnya. Dalam keadaan terluka Wilanda sekilas masih melihat Upasara menghalangi gelundungan Padmanaba dengan, lagi-lagi, rangkaian jurus Banteng Keraton. Dalam banyak hal, Upasara adalah seorang yang boleh dikatakan congkak. Kesombongannya karena lingkungan yang memanjakan. Namun sebagai seorang ksatria yang banyak menerima ajaran silat dan biasanya ajaran seperti ini tidak berdiri sendiri, selalu dengan sikap-sikap yang lain ia tak tega melihat Wilanda yang sudah muntah darah diserang. Pun kalau Wilanda bukan orang dekatnya, Upasara bisa maju menolong. "Anak kecil, kau tak usah ikut." Padmanaba meraih pergelangan tangan Upasara dengan gaya meyakinkan. Yakin bahwa dengan sekali gebrak ia bakal bisa merebut keris lawan. Perhitungan ini cukup beralasan. Padmamuka bisa melihat sejak pertama tadi, bahwa di antara yang hadir Upasara paling lemah. Apalagi dandanannya sama sekali tidak mencerminkan seorang pendekar. Pakaian yang dikenakan terlalu bagus. Ikat kepalanya juga milik para pangeran yang biasa digunakan dalam upacara besar, mewah. Kerisnya bertatahkan intan. Gelang kakinya dibuat dari emas murni. Mana ada pendekar silat sempat berpakaian begitu necis? Upasara sendiri memang sangat cerdik. Bahwa Ngabehi Pandu mau menerimanya sebagai murid tunggal, pasti ada alasan kuat. Ngabehi Pandu melihat bahwa Upasara mempunyai ketajaman yang luar biasa dalam membaca persoalan. Ajaran yang diberikan Ngabehi tak pernah diulang. Sekali dengar bisa dipraktekkan dan dikembangkannya. Menyadari dirinya sudah dibikin keok pada awal pertarungan tadi, Upasara memanfaatkan ini. Ia sengaja menyerang dengan cara yang tidak terlalu rumit. Jebakannya berhasil. Lawan mencengkeram tangan kanannya dalam usaha merampas keris. Memang itu berhasil, akan tetapi yang tak diperhitungkan si wajah merah adalah bahwa tangan kiri Upasara bisa mengambil oper keris itu dan langsung menikam! Semua terjadi dalam satu gerakan tanpa putus. Ini merupakan rangkaian jurus Banteng Terluka, di mana Ngabehi Pandu menciptakan dari serangan banteng. Tanduk kiri atau kanan sama saja! Kalau yang kiri tak bisa, yang kanan akan sampai juga. Padmamuka tak menduga bahwa "anak kecil" yang berpakaian model bangsawan pelesiran ini menguasai dengan baik perubahan secara mendadak. Cepat sekali ia mengibaskan tangan Upasara dengan maksud agar tangan Upasara sendiri yang menangkis kerisnya. Ini juga yang tak diduga olehnya. Tangan kanan Upasara memang bisa dikibaskan semaunya akan tetapi justru ini untuk menyambut keris dari tangan kiri dan sekaligus mengarah ke tengah dada. Harus diakui bahwa dalam soal bertempur, Upasara tidak memperhitungkan apakah serangannya terlalu ganas atau tidak. Pertimbangan semacam itu belum merasuk dalam dirinya. Kalau bisa menyerang, ia akan menyerang sepenuhnya. Kalau bisa menusuk dada kenapa harus dibelokkan ke arah lengan. Ini karena Upasara masih berusia muda, di samping soal tenggang rasa, tak pernah dirasa perlu diperhatikan. Ia tak biasa mengalah. Bahkan untuk tunduk pada orang bin pun, rasanya ogah. Satu-satunya yang didengar dan dipatuhi hanya Ngabehi Pandu. Selama Ngabehi Pandu tidak melarang, ia merasa yang dilakukannya adalah benar. Walau ilmunya lebih tinggi dan pengalamannya lebih kaya. saat ini Padmamuka tak mempunyai kesempatan untuk lolos dengan mulus. Sambil menggertak keras, ia paksa membuang tubuh sejauh mungkin. Tak urung keris lawan menyerempet baju bagian atas serta memotong kain. Kulit ari di dada teriris panjang ke bawah hingga paha! Kalau saja Upasara meloncat sekali dan menancapkan kerisnya, Padmamuka bisa berubah nama menjadi Pandumuka, alias si muka pucat karena jadi mayat. Upasara sebenarnya tidak bermurah hati. Ia tak menyangka sama sekali lawan masih bisa lolos. Dalam perhitungannya kerisnya bakal amblas di dada lawan. Dasar cerdik, Upasara mengeluarkan suara mengejek di hidung sambil membanting kerisnya amblas ke tanah "Hari ini aku masih bermurah hati. Kutitipkan nyawa tak berguna itu dalam dirimu. Hayo. masih bengong di situ? Kenapa tidak menghaturkan sembah dan lekas angkat kaki dari sini?" Padmamuka memang tak tahu bahwa sebenarnya Upasara tidak bisa memperdaya dalam seketika. Keringat dingin mengucur dan wajahnya makin merah. Ia berjongkok. Betul-betul menghaturkan sembah. Kalau ada orang luar yang melihat kejadian ini pasti tak percaya pada apa yang dilihatnya. "Saya mohon diri," kata Padmamuka sambil menggelinding pergi, dalam artian sebenarnya karena tubuhnya memang bergulung menggelinding. "Tole, aku mau tangkap mainan ini," seru Dewa Maut yang terus mendesak Jaghana. "Pulang...." Sayup-sayup terdengar jawaban Padmamuka. Dalam sekejap sajaternyata Padmamuka telah menggelinding jauh. Entah dengan cara bagaimana tubuhnya bisa menghindar dari onak dan duri. "Baik, Tole. Aku tak pernah bisa membantah permintaanmu." Lalu dengan mengibaskan tangannya, Dewa Maut mendorong lawannya mundur. Ia sendiri meloncat ke atas dan berlalu. Di tengah udara it sempat mengayunkan tangannya ke segala penjuru. Upasara tak menduga apa-apa bila saja Ngabehi Pandu tidak bergerak sangat cepat luar bisa. Tubuhnya berkelebat, kainnya dibuka. dan dengan kain itu ia menangkap apa yang dilemparkan oleh Dewa Maut. lalu mengembalikan ke arah lawan. Dewa Maut telah berlalu, dan yang menjadi sasaran adalah pohon di kejauhan. Upasara melongok melihat perubahan yang menakjubkan. Pohon itu seperti bergoyang. Dan daunnya yang dekat dengan tanah melayu secara perlahan. "Iblis jahat, Tunggu..." "Tahan," seru Ngabehi Pandu yang kini berdiri lurus, kakinya hanya mengenakan celana sebatas lutut. Kainnya itu lalu dilemparnya jauh. Upasara baru bermaksud mengambil kain pengganti di kudanya ketika menyadari bahwa ketiga ekor kuda itu sudah lari menjauh. Berlari kencang sekali, dua di antaranya menabrak pohon hingga tunggang langgang, mengeluarkan pekikan keras, berkelojotan bangun, dan berlari terus. Ngabehi Pandu berjalan mendekati Wilanda, memeriksa nadi dan pernapasannya. Lalu mendekati orang yang berada dalam karung. Memeriksa, sambil mengernyitkan alisnya hingga beradu. Setelah memencet beberapa nadi, Ngabehi Pandu duduk bersila di tanah. Menempelkan telapak tangan ke dada orang yang masih mengerang perlahan itu. Erangan itu makin lama makin pelan. Jaghana berlutut di sampingnya. Tenaganya seperti habis terkuras, dan ia sedang melakukan semadi untuk memulihkannya. Suasana kembali sunyi. Sepi. Hanya bunyi napas teratur. Upasara melihat bahwa Wilanda masih terbaring pingsan. Ngabehi Pandu masih mengobati, dan Jaghana belum sepenuhnya bisa menguasai pergolakan tenaganya, karena masih tersengalsengal. Kalau tadi terlambat beberapa saat saja, bukan tidak mungkin Jaghana akan mengalami jalan hidup yang berbeda. Upasara berjaga kalau-kalau ada sesuatu yang tak diinginkan. Sementara itu otaknya berpikir keras, merangkai kejadian yang baru saja terjadi. Dewa Maut sambil meloncatpergi karena gusar, sempat melemparkan senjata rahasia, yang bisa ditangkis oleh Ngabehi Pandu. Tidak seluruhnya karena sebagian dari senjata rahasia itu mengenai kuda. Meski masih muda, secara teori Upasara telah menguasai banyak hal. Ia tahu bahwa senjata rahasia yang dilemparkan Dewa Maut mengandung bisa. Bukan sembarang bisa, karena pohon pun bisa layu secara perlahan, dan kuda jadi gila tak karuan. Lalu menabrak pohon dan nekat lari terus. Samar-samar Upasara ingat bahwa pasangan Dewa Maut dengan Padmamuka adalah pasangan yang memang maut. Kalau mereka berkelahi tak pernah meninggalkan lawan tanpa membunuh! Itulah sebabnya gelar mereka Dewa Maut. Tak ada lawan yang pernah bertempur dengan mereka pulang dengan selamat.
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:06 pm | |
| Mereka berdua terkenal sakti dan juga jahat. Dewa Maut memiliki senjata rahasia yang diramu dari segala macam bisa ikan sungai. Dengan ramuan khusus yang hanya diketahuinya sendiri, ia mengambil sari pati sengat dan bisa segala hewan air. Bisa itu dimasukkan ke dalam tulang ikan. Itulah yang tadi disambitkan ke arah lawan. Orang biasa yang terkena sengatan seekor ikan saja bisa demam panas-dingin tiga hari tiga malam! Apalagi yang sudah diramu. Apalagi yang memang dibuat sedemikian rupa untuk membunuh. Entah berapa ratus, atau ribu, binatang air yang di-korbankan oleh Dewa Maut untuk meramu senjata rahasia! Ini saja sudah pertanda betapa kejamnya mereka. Dan kalau seekor kuda terkena menjadi gatal-gatal tak karuan, pohon perlahan bisa layu, bisa dibayangkan bagaimana sakitnya jika mengenai manusia. Dan pasti juga bukan satu atau dua senjata saja. Upasara merinding. Korban yang kena itu adalah yang dicoba untuk disembuhkan Ngabehi Pandu. Dan sekarang Ngabehi Pandu menggelengkan kepalanya. "Kenapa tak ditolong, Kisanak?" Yang ditolong membuka mata tersenyum. "Tidak usah, Ngabehi. Sudah terlambat. Untuk apa Ngabehi membuang tenaga percuma? Ini semua tak mengurangi rasa hormat dan terima kasih kami." Suaranya bening. Jaghana menghela napas, membetulkan posisinya, dan duduk di dekat yang terluka. "Jaghana, adikku..." "Kakang, tenanglah. Saya akan..." "Tak perlu. Aku memang tak tahan sakit. Ketika tadi Dewa Maut memaksakan duri ikan ke dalam mulutku, aku tak tahan rasa sakitnya.. Gatal luar biasa. Makanya kubuka semua jalan darah, dan kubiarkan semua racun mengalir. Biar aku segera mati. Adikku, jangan sedih. Kematian menjadi ada, bukan menjadi tidak ada." Upasara tidak sepenuhnya mengerti kata-kata yang terakhir, tapi ia tak berani mengusik. "Tak nyana, perguruan yang dibangun Eyang Sepuh puluhan tahun lenyap begitu saja. Ah, kita belum sempat membantu orang lain. Kamu yang harus meneruskan, Adik Jaghana." "Kakang..." "Dengar, adikku. Aku tak bisa bertahan lama. Tugas seluruh perguruan ini ada padamu. Sampai Eyang Sepuh bisa ditemukan kembali Usahanya tak boleh berhenti. "Eyang Sepuh sangat luhur dan agung jiwanya. Bukankah Wilanda saja masih mau menolong sesama dan berani mengorbankan dirinya? Ia harus tetap kita akui sebagai saudara sendiri. Kita tak harus memanggilnya dengan sebutan kisanak. Ah, sebenarnya aku ingin menunggu ia siuman dan mengatakan ini. Akan tetapi aku kuatir tak bisa bertahan lama. "Adikku..." Kalimat itu terhenti oleh batuk-batuk keras. Upasara berlutut di samping, lalu menggeser duduknya. Tanpa sengaja ia memangku kepala yang terluka. "Anak muda yang mempunyai masa depan hebat. Banyak ksatria yang akan menolong orang yang memerlukan. Yah, Eyang-andai masih ada akan merasa bahagia sekali. Sayang, kita tak tahu di mana Eyang... sayang, banyak yang jahat dan juga sakti. Aku dibokong, dipaksa mengaku di mana Tamu dari Seberang. Padahal kita semua tak tahu tamu yang mana... Tak kusangka sama sekali, dua tokoh kenamaan dalam dunia persilatan begitu curang. Eyang Sepuh mengatakan bahwa menolong orang lain, bahwa berbuat baik, adalah suatu kebajikan. Sesuatu yang harus dilakukan dengan rela. Bukan karena terpaksa oleh suatu ajaran. Sesuatu yang biasa. Tetapi justru yang dilakukan Eyang menjadi sesuatu yang istimewa- Istimewa kalau dibandingkan dengan perbuatan curang dan keji. Ah..." Suaranya seperti menahan kesakitan yang lebih dalam dari sekadar mengamuknya racun dalam tubuh. Suaranya mengaduh keperihan. Upasara melihat orang yang dipangkunya nampak mengerahkan sisa tenaga yang terakhir. "Aku harus mengatakan ini semua, adikku. Ketika tadi Dewa Maut datang bersama Padmamuka, mereka menanyakan Eyang. Sambil membawa bingkisan persembahan. Katanya untuk menjamu Tamu dari Seberang. Aku mengatakan apa adanya bahwa Eyang Sepuh tak ada di tempat, bahwa kita tak mempunyai Tamu dari Seberang. Aku disergap serentak, dan sebelum sadar mereka telah bisa melumpuhkanku. Dan mengatakan kalau aku tak mengatakan di mana Eyang dan di mana Tamu dari Seberang, aku akan diracuni. Kalaupun tahu, aku tak mau membuka mulut. Tapi Dewa Maut memaksa aku membuka mulut dan menyambitkan senjata rahasianya. Kemudian aku dimasukkan ke dalam karung kulit kayu. Mereka berdua ingin mempraktekkan ilmu Pasangan Ikan dengan Keong pada tubuh mereka. Lalu mereka mendengar suara pertempuran kalian dan aku dibawa kemari. "Adikku, jangan berpikir tentang balas dendam. "Aku kalah dan mati karena kesalahanku. "Yang harus dilakukan adalah mencari Eyang dan meneruskan ajarannya. Itu permintaanku. Dan aku akan mati dengan tenang. "Ngabehi Pandu..." Ngabehi Pandu menoleh dengan wajah dingin. Tetap dingin. "Terima kasih atas budi baik Ngabehi. Anak muda, kau mempunyai ilmu yang hebat di usiamu yang masih muda. Mudah-mudahan..." Suara batuknya menghentikan kata-katanya. Terhenti untuk selamanya. Ngabehi Pandu menghela napas. Jaghana memberi hormat dengan dalam. Lalu perlahan menutup mata saudara seperguruannya, sambil berbisik di telinga. Dan rasanya air sungai pun berhenti mengalir. Hanya helaan napas yang berat. Selebihnya sepi. Sepi yang diam membeku. Angin kembali bertiup seperti sediakala. Seperti tak ada yang berubah. Seperti tak ada yang terjadi. Semua kembali ke keadaan yang tenang, damai. Suatu perkampungan-yang tak bisa dinamai kampung karena tak ada rumah satu pun-dilingkari pohon-pohon tinggi, rumput yang lebih tinggi dari lutut. Upasara tak menemukan perubahan. Juga tidak dengan adanya kuburan seorang anggota Nirada. Karena sesuai dengan kepercayaan Perguruan Awan, mereka yang meninggal dikubur tanpa nisan tanda pengenal. Bahkan tanah di atasnya diratakan seperti semula. Rumput dan ilalang yang tercongkel dikembalikan seperti keadaan aslinya. Suasana memang seperti sebelumnya. Hanya manusianya yang berbeda. Wilanda masih jauh dari pulih. Ia masih mengerang perlahan. Racun dari bisa ikan sungai yang dilepaskan oleh Dewa Maut tetap menyiksanya. Ngabehi Pandu berusaha menghentikan menjalarnya rasa sakit. Tapi ia sendiri bukan tabib. Sementara Jaghana menunggui di sebelahnya. Selebihnya sunyi yang sama. Ini pertama kalinya Upasara turun ke lapangan. Sebelumnya ia tak pernah meninggalkan dinding Keraton. Sebagai pemuda yang lagi mekar-mekarnya, rasa hausnya memang tak bisa dibendung. Segala apa ingin ditenggak kalau bisa sekaligus. Pengalaman ini sudah lama ditunggu-tunggu. Sejak masih bocah, Upasara tertarik mempelajari ilmu silat. Tak ada yang lebih menyita perhatiannya selain ilmu silat. Pada usia belum ada sewindu, belum ada delapan tahun. Upasara mampu tapa pati geni. Bertapa hidup tanpa api. Berada di tempat gelap selama empat puluh hari empat puluh malam. Boleh dikata setiap harinya dilalui dengan berbagai macam pantangan. Gemblengan dari Ngabehi Pandu yang dilakukan dengan keras dan secara maraton, membuatnya sebagai ksatria yang boleh dibilang komplet. Sejak usia dua belas tahun Upasara hanya keluar dari tempat latihannya setahun sekali. Untuk menjajal ilmunya. Dengan para prajurit yang lain. Baik satu lawan satu, ataupun dikeroyok. Dengan lawan perwira yang biasa-biasa, sampai dengan yang pilihan. Dan setiap 33 hari sekali, Ngabehi Pandu menemuinya untuk menurunkan ilmunya. Memberikan pelajaran satu-dua jurus baru. Selebihnya mengulang yang lama. Meskipun boleh dibilang gila silat, Upasara jemu sekali. Itu sebabnya tanpa membantah ia mengatakan sanggup. Apalagi dikawal langsung oleh Ngabehi Pandu, dan Wilanda satu-satunya perwira Keraton yang mengenal Perguruan Nirada. Upasara boleh dibilang tak menemukan lawan yang setanding di Keraton. Akan tetapi begitu terjun ke gelanggang, ia menyadari bahwa apa yang dimiliki selama ini masih tingkat awal sekali. Boleh dikatakan, sekali pun ia belum pernah menang. Malah boleh dikata kalah. Beberapa kali, malahan ditolong oleh gurunya sendiri untuk menyelamatkan nyawa. Sebenarnya Upasara tak perlu menggetuni dirinya sendiri. Boleh dikatakan lawan yang ditemui adalah jagoan kelas tinggi. Dewa Maut dengan Padmamuka misalnya, adalah jagoan yang tersohor. Bukan nama sembarangan. Apalagi kini sekali masuk, ia berada di Perguruan Awan yang mempunyai pengaruh begitu luas. Namun, mudah diduga, Upasara tidak merasa puas. Justru sebaliknya sangat mendongkol. Darahnya serasa masih berdesir panas. Makanya, ketika yang lainnya mempergunakan kesempatan untuk beristirahat dan bersemadi, Upasara melihat sekeliling. Menemukan kudanya yang mati kaku. Lagi-lagi korban racun Dewa Maut. Kalau beberapa saat lalu disaksikannya sendiri kuda itu lari pontang-panting menabrak cabang dan ranting tanpa peduli, kini sudah mati kering. Mata kuda itu membelalak, badannya kaku kejang. Dari bibirnya seperti keluar ringkik yang tak selesai. Dan tak ada air liur meleleh itulah sebabnya Upasara menyebut sebagai mati kering. Berjalan beberapa tindak lagi, tiba-tiba Upasara mendengar suara-suara. Dengan sigap ia meloncat ke atas pohon untuk mengawasi keadaan sekitar. Tak begitu sulit memanjat pohon sampai ke ujung tanpa menimbulkan suara. Hanya saja, begitu sampai di ujung Upasara terperanjat sekali. Ia tak pernah menduga bahwa di bagian lain dari tempatnya bertempur, kini sedang terjadi sesuatu yang lebih besar. Bagaimana mungkin ia bisa tak mengetahui? Memang apa yang dilihat Upasara cukup membuat heran. Di sebuah lapangan yang rada luas, tapi masih tetap dikelilingi pohon tinggi, berdiri sepuluh perwira Keraton. Dalam keadaan siap siaga dengan tombak dan tameng. Agak jauh di belakang mereka ada seorang pemimpin yang naik kuda. Kuda hitam mulus. Sekelebatan, Upasara bisa mengenalinya sebagai Senopati Suro, Kepala pasukan Keraton. Mana mungkin bisa sampai kemari lebih dulu, pikir Upasara. Rasanya, Ngabehi Pandu memberitahukan bahwa ini tugas rahasia dari Keraton. Boleh dikata tak ada yang tahu. Tapi nyatanya, jelas omong kosong, Karena Senopati Suro sudah mengerahkan sepuluh pengawalnya yang terbaik. Agak di belakang ada sebuah tandu tertutup. Upasara tidak bisa memastikan siapa yang ada di dalamnya. Tapi ini pasti hebat. Ia sendiri berkuda siang-malam. Boleh dikatakan tanpa berhenti untuk makan atau mandi. Eh, toh ada rombongan lain yang juga dari Keraton serta memakai tandu. Apa bukan luar biasa? "Kami datang dengan baik-baik. Tetapi kalau tuan rumah tak mau menyambut, jangan salahkan kami yang berlaku kurang ajar," Senopati Suro menyepit perut kuda hitamnya. Yang seperti busur panah melesat ke depan. Baru kini Upasara bisa melihat jelas. Ternyata di lapangan itu ada beberapa kelompok. Selain pasukan Senopati Suro juga ada tiga kelompok lain. Salah satu kelompok berjalan dengan seenaknya maju ke tengah. "Aha, kalau negara sudah ikut campur, urusan ini bakalan ramai. Ramai sekali. Tetapi untuk apa berkaok-kaok seperti itu. Semut bisa takut lihat kuda gagah, tetapi manusia bukanlah semut. Tak bisa ditakuti seperti anak kecil. Hai, penunggang kuda yang gagah, apa maksudmu berteriak seperti itu?", Upasara melengak. Benar-benar aneh dunia silat ini. Kalau di Keraton segalanya serba teratur, serba penuh tata krama, tapi kayaknya di sini tak ada aturan apa-apa. Boleh main tegur sekenanya. Siapa kira seorang yang setengah baya, berpakaian penduduk biasa, berani menggertak seorang senopati? "Maaf, kami tak ada urusan dengan kalian. Kami ingin bertemu tuan rumah." "Astaga, sebagai sesama tetamu kenapa mesti berbuat kasar? Kami juga tetamu yang justru datang lebih dulu. Kenapa yang datang belakangan minta dilayani lebih dulu? Apa karena ia senopati Keraton sehingga bisa dan boleh berbuat semaunya? "Aku tak bisa melihat cara-cara seperti ini. Kalian harus antre dengan baik." Dua prajurit yang di depan bereaksi. Akan tetapi Senopati Suro memberi tanda untuk bersikap tenang. "Saya datang kemari ngemban dawuh, mengemban sabda raja, tidak ada waktu untuk bermain-main. Maaf, bisa kita lanjutkan pada kesempatan yang lain. "Kami bukan tak kenal dengan Tiga Pengelana Gunung Semeru yang terhormat. Kami bukan tak gatal untuk menjajal nama besar, akan tetapi sekarang bukan saatnya." Lelaki yang disebut sebagai anggota Tiga Pengelana Gunung Semeru tertawa lebar. "Siapa minta dilayani? Siapa minta bermain? Saya hanya bilang kalau mau bertemu dengan tuan rumah, harap pakai aturan yang benar. Kita datang lebih dulu. Bukan begitu?" Pertanyaannya entah ditujukan kepada siapa. Karena tak ada yang menjawab dan tak ada yang bereaksi. Di atas pohon, Upasara merasa bergirang hati. Ia mengetahui dari Wilanda tentang tokoh-tokoh dunia silat. Tiga Pengelana Gunung Semeru termasuk yang disegani. Terutama jika ketiganya maju secara bersamaan membentuk Barisan Trisula. Mereka ini terdiri atas tiga orang yang selalu pergi bersama-sama. Malah menurut beberapa sumber ketiganya masih saudara kandung. Nama mereka tak terlalu sulit, karena merupakan urutan persaudaraan. Yaitu Kakang Mbarep si sulung, Panengah yang kedua, serta Wuragil yang paling berangasan sifatnya. Namun seperti pendekar yang lain, selama ini meskipun namanya pengelana, mereka sudah sejak lima tahun terakhir tak ada kabar beritanya. Karena memusatkan diri di Gunung Semeru. Boleh dikatakan, meskipun ketiganya termasuk jagoan, akan tetapi karena lebih banyak berkutat dengan diri sendiri, pengaruhnya tak begitu terasa. Bahkan dalam kurun waktu terakhir ini boleh dikata tak ada yang membicarakan lagi. Tetapi bagi Upasara lain soalnya. Ia sedang kesengsem untuk bermain silat. Apalagi dari Ngabehi Pandu ia pernah mendengar tentang Barisan Trisula yang termasuk disegani. Makanya ia ingin agar terjadi bentrokan segera dengan Senopati Suro. Namun yang terakhir ini nampaknya masih bisa menahan diri. "Kalau yang tua tak tahu aturan, kapan lagi bisa mati dengan tenang?" Ini baru kejutan. Kalau yang mengatakan itu seorang jago masih masuk akal. Tapi sekali ini semua yang hadir dibuat melengak. Karena yang mengatakan adalah seorang bocah yang masih bau ingus. Benar-benar bau ingus, karena di bagian bawah hidung nampak kotoran. Pakaiannya kelewat dekil. Kalau tidak betul-betul diperhatikan, agak susah membedakan dia lelaki atau perempuan. Hanya kain kembennya yang menutup sebagian dada yang memperlihatkan ciri-ciri kewanitaannya. "Oho, ada kuntilanak mana membiarkan anaknya keluyuran seperti ini?" Suara Wuragil belum selesai, ketika si gadis kecil mengayunkan tangannya. Lembut, indah, bagai seorang sedang menari. Hanya saja Wuragil cepat menghindar dan balik menyerang. Semua yang hadir rada bercekat. Bukan karena apa, tapi karena Wuragil ternyata sangat telengas. Sekali gebrak tangannya mencowel bagian dada. Ini jelas kurang ajar. Walaupun tak ada aturan tertulis, semua pendekar atau jago silat tak begitu mudah mengumbar serangan yang menjijikkan. Boleh dikatakan tak bakal menyerang bagian yang melanggar kesusilaan. Maka termasuk aneh kalau Tiga Pengelana Gunung Semeru, yang selama ini punya nama baik, bisa melakukan hal yang rendah. Tapi si gadis cilik ternyata juga bukan sembarangan, Tangan kirinya menangkis dengan keras. "Sudah tua masih jorok. Sungguh, mati tak pantas, hidup pun tak pantas." Wuragil sengaja tidak menarik tangannya. Plak. Plak. Sekali dua tangan saling beradu. Plak kedua sungguh mengherankan. Pipi Wuragil kena ditampar! Tak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang jagoan bisa kena gampar dalam sekali gebrak? Mana lagi lawannya anak kecil? Dalam satu gebrak di depan banyak tokoh kelas satu. Cuh. Kali ini benar-benar sial bagi Wuragil. Sudah kena gampar masih diludahi lagi. Yang kedua juga tak sempat menghindar. Sehingga baju atasnya jadi basah. "Aha, harum kan baunya?" Ledekan ini juga lebih menyakitkan. Kakang Mbarep dan Panengah yang sejak tadi berdiam diri mengawasi, langsung meloncat maju dan memasang kuda-kuda. Barisan Trisula. Namun jelas, mereka sendiri jadi kagok. Biar bagaimanapun agak repot kalau ketiganya harus mengeroyok seorang anak kecil. Menyerang jadi malu, bertahan bisa terus-menerus diperolok. "Ayo, aku mau jajal barisan kalian. Trisula yang kalian banggakan itu macam mana. Apa cukup untuk menggaruk punggung atau tidak. Kalau ternyata tidak bisa, kalian harus turun dari Gunung Semeru. Mengotori tempat. Gunakan barisan kalian untuk meluku sawah. "Ayo, jangan sampai aku menampar kalian satu per satu. "Hebat dan panas kalimat si gadis cilik. Dilihat dari usianya, baru sekitar sepuluh tahun. Sebanyak apa pun pengalamannya, pastilah tetap luar biasa bisa mengenali Tiga Pengelana. Apalagi mengenali Barisan Trisula. Dan sekaligus meledek sebagai barisan untuk menggaruk punggung atau meluku sawah. Memang pada zaman itu ada alat yang digunakan untuk menggaruk punggung yang gatal. Biasanya digunakan oleh para bangsawan. Dibuat dari tanduk. Ujungnya bergigi seperti sisir. Maka cukup keterlaluan mengumpamakan dengan alat penggaruk punggung. Sama tidak lucunya dengan mengumpamakan sebagai luku alat untuk membalik tanah seperti bajak. Kalau Upasara terheran-heran, jago yang lain yang lebih jeli bisa melihat bahwa si gadis cilik kepandaiannya tidak terlalu tinggi. Biar bagaimana seusia itu tenaga dalamnya belum bisa menandingi Wuragil. Bahwa tadi berani bentrok tangan itu soal lain. Soal keberanian semata. Bahwa si gadis cilik tidak mengaduh atau memperlihatkan rasa nyeri, itu juga karena bandel saja. Dan soal tamparan di pipi, karena Wuragil sama sekali tak memperhitungkan bahwa setelah bentrok tangan, si gadis cilik ingusan masih meneruskan serangannya. Kini kalau terjadi duel benaran, bisa-bisa si gadis cilik jadi sungsang-sumbel. Tapi dasar si gadis cilik masih belum tahu tingginya langit dalamnya lautan, ia menantang dengan tenang saja. Melihat yang ditantang berdiam diri, si gadis cilik tertawa bercekakakan. "Kalau cuma tiga orang gunung yang kepandaiannya sebegini, buat apa mencari tuan rumah? Eyang Sepuh tak perlu menemui sendiri. Dengan modal dengkul begini, bagaimana bisa menyambut Tamu dari Seberang? Lebih baik kalian cepat pulang kampung di gunung bertanam jagung." Wuragil tak bisa menahan diri. Pertama kali karena disinggung modal dengkul. Ini sindiran yang mengena. Memang Barisan Trisula mengandalkan daya tahan dan daya serang bagian kaki. Jadi boleh dikata memang bermodalkan dengkul alias lutut. Tapi dari caranya menyebutkan, si gadis cilik bisa memojokkan. Kedua, secara langsung si gadis cilik ini sudah menyebut nama Eyang Sepuh. Bahkan dengan suara sama entengnya meneriakkan Tamu dari Seberang. "Adik Cilik, maafkan...." Suara Kakang Mbarep atau Pembarep masih terdengar menggambarkan kesabaran. "Kami memang kurang pantas dan berlaku kurang ajar pada adik cilik. Kami ingin sowan Eyang Sepuh, adakah beliau bersedia menerima kami?" "Adik Cilik, Adik Cilik! Memangnya aku tak punya nama?" "Maafkan, siapa nama Adik Cilik?" "Jagattri namaku. Nah, panggil yang baik." "Baik, Jagattri...." "Enak saja memanggil seperti itu. Memangnya aku sudah setua kalian semua. Panggil aku Gendhuk Tri." "Gendhuk Tri...," suaranya tetap kalem. Bahkan terdengar akrab. Sebutan gendhuk, anak perempuan kecil, adalah sebutan yang akrab. "Baik. Apa yang akan kautanyakan, Pembarep? Kau sudah mau mengubah cara memanggilmu. Aku akan menjawab dengan jujur. Tadi kautanyakan apakah Eyang Sepuh bersedia menerima kalian atau tidak. Bagaimana kalau jawabannya mau?" "Kami akan sowan?" "Kalau dikatakan tidak mau?" "Kami akan segera angkat kaki dari sini." "Tak percuma kalian mendapat gelar yang bagus. Ternyata masih ada yang berharga dari manusia gunung ini. Aku akan menjawab dengan jujur. Eyang Sepuh tak bisa menerima kalian semua. Juga tak bisa menerima siapa pun. Silakan angkat kaki seperti janji kalian." "Anak ingusan, kau tahu apa tentang Eyang Sepuh? Siapa sudi mendengarkan omonganmu yang tak becus?" "Wuragil ini mestinya tak usah dilahirkan di dunia, Untuk apa kalau cuma Mengotori Gunung Semeru?" Wuragil mengangkat tangannya, Pembarep menggelengkan kepalanya. Dalam gusarnya Wuragil membuang tenaga ke samping. Pohon di mana Upasara berlindung jadi bergoyang-goyang keras. Daunnya rontok. Terpaksa Upasara melorot turun. "Sejak kapan Eyang Sepuh tak menerima tetamu?" "Tak ada yang memastikan. Tetapi memang agak lama." "Apakah Eyang Sepuh pergi bersama dengan Tamu dari Seberang?" "Siapa yang tahu? Siapa tahu Eyang Sepuh pergi bersama Tamu dari Seberang atau tidak? Siapa tahu Tamu dari Seberang itu bakal datang atau tidak? Kenapa kalian semua mempersoalkan ini? Apa istimewanya Tamu dari Seberang sehingga kalian semua berbondong-bondong datang ke tempat sunyi ini? Kukira tadinya kalian para ksatria dan pendekar ternama. Tak tahunya seperti anak-anak yang mudah dibohongi. Percuma nama besar kalian semua." Baru saja Gendhuk Tri menutup mulutnya, terdengar ringkik kuda tinggi. Senopati Suro melayang dan sekali gebrak ia mencoba meringkus tubuh si gadis kecil. Jarak antara Senopati Suro dan Gendhuk Tri cukup lumayan jauhnya. Tak bisa dijangkau dengan satu loncatan. Tetapi Senopati Suro meminjam tenaga kuda hitam. Dengan sendirinya cukup untuk menjambret Gendhuk Tri. Apalagi caranya ialah dengan meluncurkan badan seolah tiduran. Dan sekali cengkeram, akan sulitlah untuk dilepaskan. Kalaupun menangkis, ia pasti sudah akan terlibat dalam pertempuran jarak pendek, karena Senopati Suro sudah berada di depannya. Kalau menghindar juga menghadapi hal yang sama. Karena begitu Senopati Suro bergerak, Senopati Joyo, Senopati Lebur, sudah mengurung. Sementara Senopati Pangastuti sudah bersiaga untuk maju ke tempat mana memerlukan bantuan. Tiga Pengelana Gunung Semeru mengeluarkan seruan tertahan. Mereka boleh dibilang jago dalam soal baris-berbaris, dalam serangan bersama. Akan tetapi melihat kesigapan dan kecepatan bergerak, rasanya para perwira Keraton Singasari ini tak akan kalah gesit. Padahal kalau dilihat dari awal tadi, seperti tak ada persiapan khusus. Bahkan sepertinya, Senopati Surolah yang menjadi pemimpin utama, sementara yang lain seperti prajurit biasa. Namun dalam seketika, si pemimpin atau yang dipimpin menjadi satu. Kalau Gendhuk Tri mempunyai ilmu yang lebih tinggi lagi, rasanya masih sulit melepaskan cengkeraman. Dalam sekejap terjadi beberapa perubahan besar. Gendhuk Tri dengan cara yang aneh meloloskan diri. Cara yang disebut aneh, karena Gendhuk Tri secara tiba-tiba menjatuhkan dirinya ke tanah, bergulung seperti bayi masih dalam kandungan. Tubuhnya memang termasuk ukuran pendek, apalagi menjatuhkan diri secara seketika. Bukan dengan merendahkan diri atau duduk, tetapi benar-benar berbaring. Mana ada jurus menghindar model begini? Serentak dengan gerakan itu tadi, sesosok tubuh menyerbu ke tengah, Mudah diperhatikan karena sosok itu tinggi, besar, dan semua pakaiannya berwarna hitam. Dengan gerakan kaku, tapi gerakan tubuhnya memperlihatkan kekuatan, ia langsung menggempur ke arah Senopati Suro, Senopati Joyo langsung menyambut dari kiri. Di tangannya ada kelewang pendek sementara Senopati Lebur mengayunkan gadanya. Seakan benar-benar ingin menggebuk hancur. Tak dinyana, lelaki berpakaian hitam itu tak berusaha menghindar, tak menangkis. Ia maju begitu saja. Karena memang tak bermaksud membunuh, Senopati Joyo mengurangi tenaganya. Ia hanya ingin sekadar melukai kulit saja. Dan Senopati Lebur juga mengalihkan ayunan gadanya. Di tempat persembunyiannya Upasara terpekik. Sebagai orang Keraton, Upasara paham betul kelebihan masing-masing perwira. Dengan senjata andalannya, Senopati Joyo memang termasuk luar biasa. Makanya, walaupun bukan sampai mati ngenas, luka yang diakibatkannya takkan bisa dianggap enteng. Tapi ajaib. Ketika kelewang itu menyentuh bagian lengan, seperti menumbuk besi. Keras. Senopati Joyo kaget. Tapi terlambat. Lelaki berpakaian hitam itu sudah nyelonong ke depan, langsung mengangkat Gendhuk Tri, mengempit di pinggang kanan, dan berlalu. Baru kini Upasara bisa memperhatikan dengan saksama. Lelaki itu berwajah keras. Seluruh wajahnya hampir ditutupi dengan rambut. Ikat kepalanya pun seperti tertutup rambut. Hingga kepalanya nampak aneh. Sorot matanya tajam dan keras. Tidak menunjukkan wajah bersahabat. "Mau ke mana, Pu'un Tua?" Tiba-tiba terdengar seruan halus. Seorang nenek yang seluruh rambutnya berwarna putih, berdiri genit menghalang. Sikapnya sangat bertentangan dengan usianya. Nenek tua berambut putih ini tidak membawa senjata apa-apa. Hanya selendang warna-warni yang nampak aneh sekali. Aneh karena tidak cocok dengan usianya, Yang paling gusar adalah Dewa Maut. Baginya, Padmamuka yang dipanggil Tole, adalah segalanya. Apa yang dikatakan Padmamuka akan dituruti dengan sertamerta. Memang sebenarnya ada hubungan yang aneh antara Dewa Maut dan Padmamuka. Hubungan ini bukan rahasia lagi di kalangan dunia persilatan. Dewa Maut konon tadinya adalah pendekar biasa, tidak mempunyai sifat yang aneh. Sampai kemudian karena mengalami peristiwa yang menghancurkan cintanya. ia bersumpah tak akan mau menginjakkan kakinya di daratan lagi. Seumur-umur hidupnya dilewati sendirian di atas perahu yang hilir-mudik di Kali Brantas. Sampai suatu ketika bertemu dengan Padmamuka. Seorang yang tersisih dari dunia karena tubuhnya yang tetap kecil dan pendek. Entah bagaimana ceritanya, Padmamuka diambil sebagai murid atau anak angkat atau cucu angkat. Diajari ilmu silat. Sedemikian kerasnya Dewa Maut mengajari sehingga lambat laun wajah si bocah aneh ini menjadi merah, dan dipanggil Padmamuka. Mungkin sekali karena pengaruh ilmu racun yang diperdalam oleh Dewa Maut. Sejak pertemuan yang tak banyak diketahui itu Dewa Maut dan Padmamuka selalu bersama-sama. Paling hanya bertemu orang luar kalau ada nelayan yang lewat sungai. Untuk dirampas barang yang dibawanya atau diambil nyawanya. Begitulah selalu, sehingga timbul dugaan bahwa hubungan mereka berdua bukan sekadar hubungan guru dengan murid. Tetapi lebih jauh dari itu. Mengingat keduanya manusia yang segi biologisnya normal tapi sikap hidupnya suka melanggar aturan. Apalagi keduanya tersisih dari masyarakat ramai baik karena kemauan sendiri maupun karena situasi. Maka hubungan yang aneh-tapi-mesra antara keduanya juga tercermin dalam sikap sehari-hari secara agak berlebihan. Cara mereka menggendong satu sama lain, cara mereka memperhatikan satu sama lain. Bisa dibayangkan kini, ketika Padmamuka menjerit, betapa murkanya Dewa Maut. Dalam keadaan seperti itu, sudah bisa ditebak. Dengan mengeluarkan teriakan keras, Dewa Maut memutar kedua tangannya ke atas dan serentak dengan itu, dari seluruh bagian tubuhnya meluncur senjata rahasia beracun. Duri-duri beracun yang sangat diandalkan. Upasara, untung saja, sudah mengetahui keganasan Dewa Maut. Ia memakai cara yang dipergunakan Ngabehi Pandu. Meloloskan kainnya secara seketika, dan memutar bagai payung. Bagai kitiran hidup, Upasara bergerak menyongsong ke arah serbuan duri beracun. Gendhuk Tri dengan demikian juga terlindungi. Jagaddhita mengeluarkan pekik keras, "Keji!" Sambil meloncat tinggi. Senopati Suro, Joyo, Lebur, dan Pangastuti juga berjaga dengan senjata masing-masing untuk melindungi diri secara sempurna. Tiga Pengelana Gunung Semeru pun serentak saling merapatkan diri, dan mengatur pertahanan dengan gerak bertahan. Pu'un yang sejak tadi hanya berdiri kaku dan mendongak juga mengeluarkan seruan keras sambil jumpalitan. Kalau tokoh yang terkenal dengan ilmu kebal pun harus menyingkir dengan cara seperti itu, bisa dimengerti bahwa yang disebarkan oleh Dewa Maut sangat mengerikan. Kalau di antara mereka yang ada di tengah lapangan bisa mempertahankan diri, tidak demikian halnya dengan yang menjaga tandu. Para prajurit ini, walau bukan prajurit sembarangan. akan tetapi tak cukup bersiaga untuk diserang dengan cara hina seperti ini Lima prajurit langsung mengaduh, berteriak keras, sebelum akhirnya menjadi kejang. Mata masih melotot membayangkan rasa sakit yang tak tertahankan sebelum ajal sampai. Tidak berhenti di sini, Dewa Maut meloncat maju. menebarkan sisa-sisa racun durinya. Sambil menjerit bagai serigala terluka. Dewa Maut berusaha membunuh Upasara dalam sekali gebrak. Tirai yang menutup tandu terkuak sedikit dan sebatang anak panah meluncur lurus ke arah mata Dewa Maut. Di tengah udara, Dewa Maut menampik anak panah dan terus menerjang. Tapi begitu anak panah pertama berhasil ditebas, anak panah kedua menyusul. Dewa Maut menghindar ke samping, satu pukulan keras dilemparkan ke arah tandu. Senopati Suro mengangkat kedua tangannya secara serentak memapak tangan keras Dewa Maut. Tiga Senopati yang lain juga tak tinggal diam melihat junjungannya diserang. Dalam sekejap Dewa Maut berada dalam kepungan para senopati. "Senamata Karmuka, kenapa kau tak ikut keluar melihat suasana? Udara di dalam tandu terlalu sumpek, bukan?" Jagaddhita bersuara pelan. Arah suaranya ditujukan ke bagian dalam tandu. "Di dalam lebih enak. Kenapa kau tak masuk saja?" "Ah, itu undangan bagus sekali. Hanya saja aku takut kau akan mati berdiri melihat diriku. Aku tak pantas menakut-nakuti pada saat sekarang ini." Meskipun sedang dikerubut, Dewa Maut mendengar percakapan antara Jagaddhita dan yang sedang berada di dalam tandu. Ekor matanya melirik ke arah tandu. Kalau ada kesempatan sedikit saja, ia akan menggedor ke dalam tandu untuk memaksa penghuninya keluar. Adat Dewa Maut memang lain dari kebanyakan orang. Ada kecongkakan yang mendarah daging. Ia tak bisa diperlakukan sebagaimana orang biasa. Selalu ingin lebih dihormati. karena merasa paling jago. Maka darahnya menjadi mendidih mengetahui ada orang yang enak-enak berada dalam tandu. Seolah memandang kelewat remeh padanya. Bahwa nama besar Senamata Karmuka cukup dikenal. Dewa Maut tak mengingkari. Semua penduduk Singasari mengenal nama besarnya. Bagaimana tidak, kalau ia adalah laksamana perang. atau panglima perang. Senamata berarti panglima perang. Sedang Karmuka berarti busur. karena laksamana yang satu ini terkenal mahir dalam memanah. Hanya saja ketika menangkis tadi, Dewa Maut merasa keahlian dan gelar besar lawan seperti dilebih-lebihkan. Jagaddhita memang jeli sekali melihat anak panah meluncur, ia bisa langsung menebak. Dan melihat cara pembicaraan keduanya, memang terlihat keakraban. Sementara itu, Padmamuka masih berbaring di tanah. Darah mengucur keras dan pundaknya. Keris Upasara masih menancap. Agaknya Padmamuka tak berani menarik keris itu. Melihat kejadian ini, Gendhuk Tri merasa tidak sampai hati. Ia bergerak maju untuk mengobati. "Hmmm. soal luka kecil begini saja bikin ribut. Mari sini aku tolong. "Gendhuk Tri maju dua tindak. Pu'un yang mengawasi bersiap diri. "Ikut aku," katanya keras sambil menyambar Gendhuk Tri. Kali ini serangan Pu'un cukup kuat menutup kemungkinan larinya Gendhuk Tri. Bahkan andai berbaring seperti tadi pun, akan tetap tertangkap. Kesepuluh jari mekar bersamaan. Bagai cakar harimau. Gendhuk Tri menebas dengan kedua tangannya, hanya sekali ini ia tak berkutik. Langsung kena tangkap pergelangannya dan ditarik, untuk digendong lagi. Pembarep yang melihat ini turun tangan. Namun kasep. Gendhuk Tri sudah digendong, dan Pu'un meloncat pergi. Wuragil mengayunkan pedang sambil meloncat, mencoba menghadang. Tebasan pedangnya dipapak dengan jotosan keras. Dan aneh sekali, pedang Wuragil terlepas dari tangan! Bahkan kaki Pu'un langsung menyambar dada. Wuragil hanya punya satu jalan. Berjumpalitan ke atas. ...kenapa harus bersedih hati waktu bayi temanmu adalah bidadari... Gesit loncatan Jagaddhita, dan juga indah. Akan tetapi Pu'un telah meloncat lebih dulu. Jadi jarak antara keduanya tetap terentang jauh. Agaknya ini tak jadi soal benar bagi nenek berambut putih. Kalau ia bertekad mengejar, sampai ke ujung laut pun akan terus dikejar. Kalau buruannya masuk jurang atau mendaki gunung, ia akan terus mengikuti. Sampai bisa dekat dan untuk terus melanjutkan pertempuran. Sampai salah satu benar-benar tak berdaya. Pu'un yang satu ini agaknya juga menyadari kenekatan lawan. Maka ia mengerahkan tenaganya. Larinya kencang dan sebentar kemudian meninggalkan lapangan. Tepat di arah jalan masuk ke gerombolan hutan, tiba-tiba muncul seseorang yang juga menggendong orang lain di pundaknya. Itu adalah Jaghana yang sedang menggendong Wilanda. Dua-duanya nampak kaget dengan kemunculan yang mendadak. Bedanya, Pu'un merasa yang menghadang ini juga lawannya, maka langsung melakukan serangan. Cakar macannya kembali ke arah tengkorak lawan. Kepala Jaghana yang licin gundul seakan mau dikelupas kulitnya. Jaghana memiringkan sedikit kepalanya, dan giginya membuka. Kali ini cakar harimau dilawan dengan gigitan Sebenarnya ini juga pemandangan yang menarik. Seorang berpakaian serbahitam dengan rambut awut-awutan sambil menggendong gadis cilik di pundaknya, melawan seorang gundul bersih yang juga menggendong seorang tua. Dilihat sekelebatan seperti orang tua yang sedang bercanda. Hanya saja kalau diperhatikan benar, ada semacam ketegangan yang menggigit. Gadis cilik yang dipanggul Pu'un meskipun nampak tersenyum geli, pandangan matanya kosong. | |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:07 pm | |
| Kesadarannya telah hilang. Tadi dalam mencengkeram, Pu'un sekaligus melapalkan mantera dengan mengusap wajah Gendhuk Tri. Yang kontan seperti kena sihir. Makanya ia tertawa-tawa aneh di atas panggulan Pu'un. Sementara Wilanda tak bisa banyak bergerak karena racun dalam tubuhnya masih terasakan. Kalau tenaga dalam dan penolongan padanya tidak dilakukan segera, nasib Wilanda tak berbeda dengan prajurit pilihan yang lain. Mati seketika. Membarengi dengan gigitan, Jaghana menyapu kaki lawan. Justru saat ini Pu'un juga mengayunkan kaki untuk menebas dengkul lawan. Ini juga tak mengherankan. Ada beberapa persamaan mengenai asal-usul antara Perguruan Awan dan ilmu yang dimiliki Pu'un. Juga mengenai pengembangannya dititikberatkan pada gerakan kaki. Mencari kuda-kuda, memperkuat pertahanan, ataupun menyerang, hampir semua berasal dari gerakan kaki. Sebenarnya ini memang ciri khas ilmu silat daerah pedalaman. Agak berbeda sedikit dari yang berkembang di daerah pegunungan. Di sini gerak meloncat lebih mendapat tekanan. Mungkin juga karena alam dan situasi di mana ilmu dan gerakan itu lahir mempengaruhi secara langsung. Di daerah pegunungan loncatan lebih banyak dilakukan. Dilihat dari titik ini, bisa dimengerti kenapa Wuragil tadi bisa terus-menerus diungguli lawan. Keistimewaan gerakan loncat tidak diperlihatkan.
Apalagi memang gerakan mereka lebih banyak menuntut permainan bersama. Dua kaki saling beradu keras. Jaghana mundur selangkah, tapi juga memapak tendangan lawan dengan kaki yang sama. Dalam sekejap terjadi delapan kali pertemuan dua kaki. Sama keras, seakan beradu tulang. Dalam delapan kali beradu, Jaghana bergeser mundur lima kali. Pu'un hanya tiga kali. Itu pun dengan perhitungan satu langkah digunakan untuk menyamping. Dari situ bisa ditakar bahwa untuk adu keras lawan keras, Pu'un lebih unggul. Setidaknya dalam situasi seperti itu. Wilanda yang berada dalam rangkulan Jaghana merasa tidak enak. Diam-diam ia mengerahkan tenaganya. Walau rasa sakit kembali menjalar, ia tak peduli. Dengan satu sentakan, ia melepaskan diri dari rangkulan dan melemparkan dirinya menjauh. Wilanda, dalam keadaan terluka parah pun, masih unggul dalam soal ilmu meringankan tubuh. Sehingga loncatannya masih jauh juga. Hanya saja Pu'un tidak mengira kalau Wilanda membuang diri. Ia justru berjaga. Begitu melihat bayangan melesat, disangkanya mau menerjang dirinya. Ia angkat tangan kanan tinggi-tinggi dan langsung mencengkeram bagian pundak. Langsung dilempar ke atas untuk terbanting keras di tanah. Pu'un memang sengaja mengerahkan delapan bagian dari tenaganya. Hatinya bercekat ketika berhasil mencengkeram tubuh lawan. Rasanya tidak ada perlawanan sama sekali. Akan tetapi untuk menarik pulang tenaga dalamnya, bukan hal yang mudah. Bisa-bisa malah melukai dirinya sendiri. Pu'un hanya mengurangi sepersepuluh tenaganya. Akan tetapi jelas bantingan itu masih cukup untuk meremukkan tulang-tulang Wilanda. Jaghana sama sekali juga tidak mengira bahwa Wilanda akan berbuat nekat. Perbuatan itu semata-mata dilakukan karena ia tak ingin merepotkan orang lain. Jaghana terharu. Sama sekali ia tak menyangka, bahwa jiwa luhur yang diturunkan sebagai sikap dasar dari Eyang Sepuh, ternyata tak pernah berkurang dalam diri bekas murid Perguruan Awan. Saking terpananya, Jaghana tak menyangka bahwa Pu'un telah berhasil membetot dan mencengkeramnya. Saat itu yang sedang melayang di udara adalah Jagaddhita. Ia sejak tadi mengejar Pu'un sambil terus rengeng-rengeng. Hanya saja Jagaddhita tak curiga sedikit pun bahwa Wilanda dalam keadaan sakit berat. Ketika melihat larinya Pu'un berhasil dihadang dan disibukkan, Jagaddhita tak menyangka sama sekali kalau ternyata yang sedang dibanting itu nyawanya sudah di ujung bibir. Dan ia memang bertujuan untuk menyelamatkan Gendhuk Tri. Maka begitu melihat Pu'un rada bebas dan berusaha lari, Jagaddhita langsung menyambar alis lawan. Kalau sentuhan itu dilorotkan sedikit saja, mata lawan bisa bolong karenanya. Kalaupun mencoba mengegos, telinga lawan bisa terpuntir karenanya. Bukan cuma daun telinganya yang bakal somplak atau lepas, tapi seluruh sarafnya bakal putus. Kalaupun ia mengegos mundur, rangkaian berikutnya sudah tersedia, yang akan makin menyulitkan kedudukannya. Inilah rahasia keunggulan silat Jagaddhita. Jenis penyerangan yang rumit dan penuh dengan variasi. Agaknya juga sengaja diciptakan khusus untuk dimainkan oleh Jagaddhita. Disesuaikan dengan kelembutan gaya tarian. Yang dalam setiap gerak mengandung seribu perubahan. Penyesuaian ini sangat banyak artinya. Seperti yang dialami sendiri oleh Upasara Wulung. Dasar gerakan Banteng Ketaton diciptakan Ngabehi Pandu untuk Upasara Wulung yang memiliki semangat dan daya serangan kuat. Makanya, seperti menjadi gerakan yang istimewa. Pu'un juga mengetahui kelebihan ini. Sekarang biar bagaimanapun, ia sendiri repot dengan Gendhuk Tri yang dipanggulnya. Nampaknya Pu'un cukup cerdik. Dalam keadaan terjepit ia menggunakan akalnya. Daripada makin keteter, Pu'un memutar tubuhnya sambil menekuk lututnya. Itu berarti kalau Jagaddhita tak mengubah atau tak menarik elusannya, yang menjadi sasaran adalah Gendhuk Tri sendiri. Dalam perhitungan Pu'un, Jagaddhita tak bakal melukai Gendhuk Tri sendiri. Toh dari sekian banyak orang, semua mempunyai dendam dan urusan dengan Gendhuk Tri, hanya Jagaddhita yang melindungi. Tapi justru perhitungannya meleset! Jagaddhita ternyata jauh lebih cerdik dari Pu'un. Ia tak mengubah dan mengurangi tenaganya. Ujung jarinya yang lentik terus melaju. Anginnya mendesir menuju ubun-ubun Gendhuk Tri yang kini terputar ke arahnya. Dan Gendhuk Tri sendiri dalam keadaan setengah sadar setengah tidak, tak menyadari bahaya besar. Ia tetap tertawa kosong. Perhitungan Jagaddhita sebenarnya sama dengan perhitungan Pu'un. Hanya saja ia menarik kesimpulan yang berbeda. Ia juga memperhitungkan bahwa Gendhuk Tri menjadi incaran karena Gendhuk Tri mengisyaratkan tahu mengenai Eyang Sepuh serta Tamu dari Seberang. Pu'un pastilah menghendaki Gendhuk Tri dalam keadaan hidup. Dengan sendirinya ia akan berusaha melindungi. Itulah kesimpulan Jagaddhita sehingga ia tak menarik serangannya. Pada saat Pu'un menyadari hal ini, penahanannya sudah terbuka. Hanya ada dua kemungkinan. Pu'un mengorbankan Gendhuk Tri, atau untuk sementara mengalah. Dan Jagaddhita bisa membaca bahwa kesimpulan terakhirlah yang dipilih Pu'un. Jauh-jauh ia datang dari ujung barat, pasti tak ingin pulang dengan tangan kosong. Justru karena sekarang ada kesempatan. Cerdik benar Jagaddhita membaca jalan pikiran lawan. Menebak dengan tepat dan memperoleh manfaat. Sementara di pihak lain, Dewa Maut masih disibukkan dengan serangan bersama para senopati. Terutama desakan kuat dari Senopati Suro yang paling tangguh. Dalam keadaan murka, lebih banyak tenaganya terkuras. Kalau tadi ingin segera menyerbu ke dalam tandu, sekarang harus memusatkan konsentrasi pada lawan yang mengerubuti. Bahwa ia berada dalam posisi yang unggul, Dewa Maut sangat yakin mengenai hal ini. Akan tetapi bahwa ia tak bisa menyelesaikan dengan segera, ia mulai menyadari. Ia harus mengerahkan tenaga ekstra. Kalau pertempuran ini tak segera diselesaikan, berarti tenaganya akan makin terkuras. Padahal lawan lain yang bakal dihadapi cukup tangguh. Selain Upasara Wulung yang menjadi sumber dendamnya, juga masih ada tokoh yang berada dalam tandu yang misterius. Belum lagi tokoh lain, yang ia tak tahu berdiri di pihak mana. Dewa Maut mengeraskan hatinya. Kedua tangannya bergulung bagai kitiran dengan sangat, sangat cepat. Berusaha menerobos lingkaran penyerangan. Senopati Suro merasa arus berbalik dalam serangan itu. Ia merasakan keras dan makin berat. Ini yang dinamakan Sampan Membalik Arus. satu jurus simpanan yang diandalkan. Kekuatan utama jurus ini adalah menggabungkan tenaga sendiri dengan tenaga lawan yang datang, untuk digulung dalam satu kumparan dan dipindahkan ke arah lawan. Makin besar daya serangan lawan. daya serang balik juga besar. Tetapi jika lawan berusaha mengurangi tenaganya. ia akan segera tergencet. Dewa Maut menggerakkan tangannya lebih cepat. Getaran udara yang menekan menjadi semakin berat. Yang pertama kali terganggu adalah pernapasan Senopati Suro, Tekanan ini bila terus berkelanjutan. Senopati Suro akan kehilangan penguasaan diri. Gerakannya sekadar meluncur dari latihan atau hafalan yang ada dan lebih banyak menutup diri. Bukan lagi memainkan gerakan sesuai dengan situasi yang ada. Bukan menyerang bagian yang lemah dan memanfaatkan kekurangan lawan. Ini memang saat-saat yang kritis. Bagaimanapun Dewa Maut masih setingkat lebih tinggi. Di samping itu, gerakan dan jurusnya termasuk berbeda dari yang berkembang di darat. Dewa Maut lebih banyak menghabiskan sisa hidupnya di atas sampan. Dengan sendirinya situasi lingkungan sangat besar pengaruhnya. Maka dalam beberapa hal. variasi dan jurusnya sulit ditebak. Pada saat berhasil menebak pun, sudah sangat kepepet. Ini semua masih harus ditambahkan bahwa Dewa Maut mampu memanfaatkan situasi. Bukan sekadar menguasai jurus yang dimainkan, tetapi bisa membaca. Biarpun ia jauh lebih lihai, cukup repot juga kalau melayani empat senopati yang mempunyai kepandaian hampir sama. Jalan satu-satunya adalah mendesak salah satu hingga benar-benar keteter. Dan itulah yang dilakukan oleh Dewa Maut. "Tole. aku beresi satu demi satu." Ketika itu, Pu'un yang mencelos luar biasa. Ia tak nyana bahwa Jagaddhita sama sekali tak menarik tangannya. Terpaksa ia meloncat ke depan—karena punggungnya menghadap ke Jagaddhita—seperti pohon rubuh. Dan Gendhuk Tri yang berada di pundaknya, dilontarkan ke atas. Tak terlalu sulit bagi Jagaddhita untuk meraih Gendhuk Tri lewat selendangnya. Sekali tarik, tubuh Gendhuk Tri berubah arah. Dengan satu putaran pendek, Gendhuk Tri mendekat ke arah Jagaddhita dan langsung dipeluk dengan enak. Jagaddhita mengucapkan mantera pendek, lalu mengusap wajah Gendhuk Tri. Namun ternyata pengaruh sihir Pu'un. tak hilang begitu saja. Dua kali Jagaddhita mengusap, tapi hasilnya sia-sia. Gendhuk Tri masih bengong saja dan matanya nyalang kosong. Sementara di tempat lain, terjadi hal yang tak terduga. Ketika terayun tadi, tubuh Wilanda seperti bakal terempas keras. Sejak tadi Tiga Pengelana Gunung Semeru seperti penonton saja. Sejak Wuragil dipecundangi Gendhuk Tri, mereka jadi serba salah. Tapi Pembarep memang memiliki sifat seorang ksatria tulen. Melihat seseorang menderita dan mendapat perlakuan tidak adil, hatinya tergerak. Hanya saja ia tak bisa menolong dengan tangannya sendiri karena ia belum yakin siapa yang ditolong, termasuk lawan atau kawan. Maka dengan menyalurkan tenaga dalam, ia menepuk pundak Panengah. Panengah sendiri, sejak tadi sudah bersiap. Maka begitu mendapat dorongan, langsung menjejakkan kaki dengan kuat ke tanah, dan sedetik berikutnya tubuhnya melayang, menyongsong tubuh Wilanda. Karena jaraknya yang tak memungkinkan bisa menangkap dengan sempurna, Panengah melemparkan tubuh Wilanda ke angkasa kembali. Dengan satu gerakan lembut, Pembarep menangkap tanpa menggeser kakinya. Baru sekarang Upasara yakin bahwa mereka yang berkumpul di lapangan ini, masing-masing memiliki kelebihan utama. Meskipun hanya satu gebrakan. apa yang ditunjukkan oleh Pembarep dan Panengah cukup hebat. Kerja sama yang sangat terpadu. Seolah hanya satu kehendak saja. Pembarep merasa tubuhnya menerima rasa hangat yang aneh. Datang dan pergi, dan tercium bau amis. Baru ia sadar bahwa tubuh yang digendongnya menderita keracunan yang ganas. "Dewa Maut, kami mohon obat pemunah untuk saudara ini." suaranya tetap kalem dan lembut ketika menurunkan tubuh Wilanda. Wuragil-lah yang lebih dulu menyerang ke arah Dewa Maut. "Kakang Mbarep, biar Adik yang mengambil sendiri." Panengah juga langsung menyusun serangan dari arah yang berlainan. Dewa Maut yang tengah mencecar Senopati Suro jadi terdesak untuk sementara. Kalau tadi ia berpikir sudah bisa menaklukkan Senopati Suro, kini jadi lain. Pinggangnya jadi sasaran telak. Tangan kirinya diadu dengan tangan Wuragil sambil membalikkan tangan lawan ke arah serangan Pembarep. Dengan memindahkan tenaga, tekanan ke arah Senopati Suro jadi berkurang banyak. Dengan sigap Senopati Suro membebaskan diri dari tekanan, menghirup udara sangat banyak di dadanya, memusatkan perhatiannya, dan balas menyerang. Sebenarnya walau Dewa Maut berilmu tinggi, ia tak mungkin menghadapi keroyokan empat senopati dan dua pengelana dari Semeru secara sekaligus. Justru karena kedua kelompok lawan yang dihadapi bisa menyusun serangan berantai yang rapi. Dan terutama sekali susah ditembus. Hanya karena dua kesatuan, jadi untuk sementara Dewa Maut masih bisa bertahan. Kalau tadi ia berniat menyerang ke dalam tandu, kini pusat perhatiannya dialihkan untuk menghadapi lawan sambil melihat suasana Dan di lain pihak, Upasara mendekati Padmamuka. Ia merasa salah. karena kerisnya mengenai Padmamuka. Dalam hatinya. Upasara mempunyai penilaian yang berbeda antara Padmamuka dan Dewa Maut. Meskipun keduanya terkenal sama-sama jahat, tapi tetap berbeda kadarnya. Mungkin kalau Upasara tahu latar belakangnya jadi lebih yakin. Bahwa Dewa Maut mengalami kekecewaan yang besar dalam hidupnya karena orang lain. Sementara Padmamuka, sejak lahir ia sudah merasakan ketidakadilan dunia pada dirinya. Cacat tubuhnya terbawa sejak lahir. Kalau hubungannya sangat erat dengan Dewa Maut, itu karena Dewa Maut-lah yang sangat memperhatikan dirinya. Namun tanpa mengetahui latar belakang ini pun. Upasara bisa menimbang sendiri. Bahwa sejak penampilan pertama. ia mendapat kesan bahwa Padmamuka menampilkan sikap yang memelas. Di balik wajahnya yang kemerahan, di balik senyum bayinya. seperti menyembunyikan suatu penderitaan. "Mari, saya bantu untuk melepaskan." Padmamuka memandang Upasara. Seperti menimbang-nimbang. Tapi sorot mata pemuda itu begitu polos. Mata itu menunduk mendekat. Dengan menotok jalan darah di punggung, Upasara berusaha menghentikan muncratnya darah dan sekaligus mengurangi rasa sakit. Baru kemudian, mencabut kerisnya dengan satu tarikan. Padmamuka mengeluarkan erangan pendek. Upasara mengeluarkan sesuatu dari gembolannya. Sejenis bubuk isika, yang diramu dari sejenis rumputan sebangsa ilalang. Upasara menaburkan bubuk isika ke luka Padmamuka. "Sebentar akan mengering." Bahwa seorang jago silat membawa jenis obat-obatan bukan hal yang aneh. Apalagi perjalanan ini sudah direncanakan, sehingga Upasara sudah mempersiapkan segala keperluannya. Yang agak aneh adalah sikap Upasara. Tadi baru saja bertempur soal mati-hidup. Sekarang malah membantu lawan dengan pengobatan. Cara berpikir begini bukannya tidak masuk di akal Dewa Maut. Sejak melihat Upasara mendekat dan mencabut keris, mendengar Padmamuka mengaduh, dan Upasara menaburkan bubuk, Dewa Maut berubah pikirannya-Pastilah itu sebangsa obat pengurang rasa sakit. Maka dengan serta-merta Dewa Maut kembali mempraktekkan loncatan simpanan. Seperti orang yang terjun ke sungai. Tubuhnya meluncur setengah membelok bagai bentuk buah pisang. Upasara sama sekali tidak menduga. Tidak menduga bakal diserang, dan tidak menduga serangan lawan bisa sampai ke arahnya. Jaraknya masih jauh, namun sentilan tangan mengeluarkan desis tipis. Tak ada waktu buat menghindar. Satusatunya cara adalah menenggelamkan kepalanya. Tapi serangan lawan tertuju ke arah pundaknya. Upasara menahan rasa sakit dengan mengatupkan gerahamnya. Ia tak mau mengeluarkan rintihan atau aduhan. Mencoba menghindar beberapa tindak, seluruh tubuhnya bagian kiri terasa kaku. Langkahnya limbung. Dan ternyata Dewa Maut tidak terhenti dengan satu serangan. Begitu menjejak tanah. sudah langsung mengirim serangan beruntun. Upasara membalik. Satu tangan terangkat untuk menerima pukulan dari Dewa Maut. Memang bukan tandingannya. Bahkan dalam keadaan paling siap pun Upasara bukan tandingan Dewa Maut. Karena ini soal mengadu tenaga dalam. Yang bisa melukai dari dalam. Jika tidak hati-hati, akibatnya bisa fatal. Cacat seumur hidup. Dan bagi kaum persilatan, adalah sesuatu yang paling mengerikan kalau tak bisa bermain silat lagi. Upasara memang tak bisa memilih jalan lain. Kecuali kalau ia melemparkan tubuhnya dengan pancalan kaki satu, dan itu akibatnya bisa terguling-guling. Itu pun pasti akan terkejar lagi. Tapi mana mungkin Upasara memilih cara menghindar bergulingan seperti anjing kena pukul? Kalah atau menang tak jadi soal benar. Mati atau hidup itu soal kedua. Yang penting kehormatan tetap terjaga. Jiwa ksatria Upasara lebih kuat. Sambil mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya ia himpun tenaganya. Tangannya terlepas dan terayun lurus. Dewa Maut tersenyum dalam hati. Bibirnya menyeringai. Sejak pertama tadi ia memang mengincar Upasara. Kini kesempatan untuk melumatkannya. Namun sebelum ia melanjutkan pukulan, Dewa Maut menggeser tubuhnya, sebelah tangannya digerakkan ke belakang dan berteriak gusar. Sebatang anak panah kena disampok keras olehnya. Sementara satu tangan lagi beradu keras dengan Upasara. Dewa Maut hanya mempergunakan empat persepuluh tenaganva untuk diadu, namun enam persepuluh untuk menyampok anak panah yang menjurus ke arah tenggorokannya. Karena menyampok panah lebih diperhatikan daripada pukulan Upasara. Akibatnya sungguh tak terduga! Anak panah itu ternyata tak sehebat yang ia duga. Bisa disampok dengan mudah. Sementara benturan tenaga keras menumbuk dari tangan Upasara. Jotosan tangan Upasara sangat keras dan menyentak. Itu barangkali bedanya dengan tenaga dalam mereka yang telah berpengalaman. Pada tingkat Dewa Maut, penyaluran tenaga dalam tidaklah menyentak seperti yang dilakukan Upasara. Biasanya bergelombang yang makin lama makin besar. Karena kalau mengerahkan sepenuh tenaga. dan lawan lebih dahsyat, bisa habis-habisan. Betul-betul bakal terluka dalam. Rontok semua isi dada dan perutnya. Bagi Upasara, serangan ini pukulan terakhir. Karena tak mungkin bisa menghindar dan tak mungkin menyusun serangan berikutnya. Dada Upasara merasa sesak sekali. Panas luar biasa. Pandangannya jadi kabur. Tumpuan kekuatan dengan satu bagian yang kaku tak mampu menyangga tubuhnya. Upasara bagai tertekuk. Ditahankan hatinya untuk bisa berdiri, tapi tetap tak mampu. Tubuhnya terguling. Yang diderita Dewa Maut tak kurang parahnya. Gempuran tenaga dalam Upasara mampu menerobos ke ulu hatinya. Terasa sangat nek. Setelah bertempur sekian lama, tenaga Dewa Maut terkuras cukup banyak. Kim hanya dengan tenaga kurang dari separuh yang dipergunakan. bisa jebol pertahanannya. "Kalian semua setan busuk. Main keroyokan kayak anjing kampung." Belum selesai omelannya, bibirnya berwarna merah karena darah. Sementara itu dari tandu keluar seorang lelaki yang tinggi. Pakaian kebangsawanannya begitu indah dan menawan. Wajahnya tak begitu kelihatan karena memakai irah-irahan. atau hiasan berbentuk mahkota. "Menghadapi sesama anjing kampung. apa pedulinya main keroyok atau tidak." "Percuma kau bernama panglima besar. Percuma kau laksamana Keraton Singasari, kalau beraninya menyerang dari belakang." Dewa Maut menghapus cairan merah dari mulutnya. Sebagian rambutnya yang putih terkena semburan. "Sekarang ini semuanya ada di sini, biar mereka menyaksikan siapa yang jantan dan siapa yang busuk. Ayo majulah, Panglima." "Kau tahu, aku tak peduli tata krama. Bagiku membunuhmu saat sakit atau jaya apa bedanya? Kau tahu apa bedanya aku dianggap panglima besar atau manusia busuk? Kau tahu itu. Semua tahu itu. Senamata Karmuka bukan orang gagah. Senamata Karmuka orang busuk yang menjadi kentut Baginda Raja. Penjilat besar, itulah gelarku sebenarnya. Nan, kau masih belum puas. Ayo maki sekali lagi." "Pantas Keraton jadi sumpek. Isinya cuma cecunguk macam begini. Hah. Sungguh tidak nyana. Tadinya aku mengira penjilat besar adalah nama main-main. Hanya karena tidak berani dikirim ke mana-mana dan lebih suka menjadi kentut, makanya gelar itu kauterima. Tak tahunya memang begitu." "Sudah cukup puas? Kalau sudah, aku akan membunuhmu, agar kau mati dengan sedikit rasa lega." Kini boleh dikata semua pertempuran berhenti. Tinggal Senamata Karmuka yang sedang mendesak Dewa Maut. Semua perhatian tertuju ke arah mereka berdua. Termasuk Jagaddhita yang merasa bingung karena Gendhuk Tri masih belum juga bebas dari pengaruh sihir Pu'un. Kalau orang lain dicaci seperti itu, pastilah sudah murka. Akan tetapi Senamata Karmuka biasa. Tertawa juga tidak, murka juga tidak. Kalem saja. Gelar penjilat besar, kentut besar, sudah lama jadi bahan pembicaraan. Bukan hanya di kalangan Keraton, tetapi juga meluas ke masyarakat Singasari. Cemooh itu terdengar sejak Baginda Raja Sri Kertanegara banyak mengirimkan pasukan ke luar Jawa. Iringan demi iringan diberangkatkan. Para senopati dikirim ke berbagai penjuru tanah Jawa dan ke negeri seberang. Para senopati yang tingkatnya seperti Senamata, boleh dikatakan semua sudah dikirim ke luar Keraton. Akan tetapi Senamata Karmuka ini lain. Boleh dikatakan ia tak pernah meninggalkan Keraton. Ketika terjadi pemberontakan besar, Senamata Karmuka lebih suka berjaga dalam batas dinding Keraton. Kalau para pemberontak lari ke luar, itu bukan urusannya lagi. Bahwa Baginda Raja yang gemar mengirim ekspedisi tidak mengirimkan Senamata Karmuka, itulah awal dugaan adanya penjilatan besar. Cemoohan seperti kentut, karena sebenarnya justru untuk meledek. Kentut pun setelah keluar akan menjauh terbawa angin. Sementara Senamata masih saja ada di sekitar Keraton. Kalau sekarang ini Senamata Karmuka sampai berada di Perguruan Awan, ini boleh dikatakan sudah luar biasa. Apalagi disertai dengan empat senopati yang lain. Pastilah ada peristiwa yang dianggap penting sekali dan segi keselamatan negara. "Ayo keluarkan semua yang ingin kaukatakan. Aku masih memberi kesempatan sampai hubungan dua. Dua saja, tidak tiga. Dewa Maut menyurut dua tindak. Mengumpulkan tenaga dalam. Memusatkan konsentrasi. Tapi ternyata susah dikendalikan. Buyar entah terserap ke mana. Sebagian perhatiannya terserap ke rasa sakit. "bangs*t tua." "Dua..." "Ayo bunuh aku. Biar dunia menyaksikan..." "Satu..." Senamata Karmuka mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Seperti mau menepuk nyamuk. Tapi semua sadar bahwa tepukan itu bisa mencabut nyawa. "Tunggu, Kisanak..." Terdengar suara lembut. Jaghana maju ke depan sedikit, memberi hormat dengan menganggukkan kepala. "Kalau saya boleh mengajukan suatu usul, dan kalau Kisanak masih mempunyai waktu untuk mendengarkan..." "Apa urusannya orang itu denganmu?" "Semua manusia adalah saudara kandung. Semua titah Dewa Yang Menguasai. Lebih dari itu, Niriti adalah tamu saya. Seperti juga kalian semua yang terhormat. Sungguh tak enak hati saya melihat tetamu harus mati di sini. Maaf, Kisanak, saya Cuma orang dusun yang kurang mengerti tata krama." "Hmmm, jadi kau dari Perguruan Awan?" "Saya tak berani mengatakan ini. Saya hidup di dusun ini. Nama saya Jaghana." Lagi-lagi Jaghana memberi hormat dengan menganggukkan kepalanya. Senamata Karmuka mendongakkan kepalanya. "Seumur hidupku belum pernah aku mengabulkan permohonan orang lain yang bertentangan dengan kemauanku sendiri. Lalu untuk apa sekarang aku harus berbuat lain?" Nada suaranya tetap menggambarkan kecongkakan yang luar biasa. Caranya mengangkat wajah benar-benar menggambarkan pribadi yang tinggi hati. "Kematian, seperti juga kelahiran adalah milik Penguasa Tunggal. Kita adalah hambanya yang kecil dan hina, sama sekali tak berkuasa untuk campur tangan." "Hmmm. Baguslah itu, Kisanak. Aku memang hanya bisa berbuat hina dan kecil. Membunuh manusia yang telah melukai orang lain yang sedang ditolong. Katakan apakah ini juga campur tangan kehendak Dewa yang kausebut-sebut?" "Saya minta maaf untuk itu. Kesalahan adalah sifat manusia, kekeliruan bisa kecil bisa besar. Bisa sekali bisa berulang kali. Akan tetapi, jika kita merasakan udara pagi, berarti kita sadar." "Itu juga bagus. Tapi aku tetap mau membunuhnya. Kecuali kalau dengan satu serangan ia bisa membalas, ini sudah nasib baiknya. Kalau dalam satu serangan ini bahkan bisa melempar racun tikusnya, itulah nasib baikku. Apakah aku tidak cukup adil?" "Kisanak... Maukah Kisanak membantu saya? Saya mempunyai satu masalah yang tak pernah bisa saya selesaikan. Mohon Kisanak memberi petunjuk.*' Tiba-tiba saja Jaghana bersila di tanah. Helaan napasnya tertahan di dada. Matanya tertutup rapat. Satu tangan terangkat ke atas, sedang tangan kiri tetap di alas lutut. Hanya tangan kanan itu yang sedikit tergetar, selebihnya seluruh anggota badan seperti kosong tak berisi. Pu'un melongo. Ia tak menyangka sama sekali sikap Jaghana menjadi demikian hormat. Dan caranya memberi hormat sama persis dengan yang biasa dilakukannya. Tanpa terasa Pu'un pun mengambil sikap yang sama. "...Kisanak," suara Jaghana tetap lembut, namun semua yang ada di lapangan bisa mendengar jelas dan empuk. "Ada satu keluarga yang semua matanya buta. Seorang suami dengan istrinya, dan dua mertua perempuan. Yang satu ibu si suami, yang satu ibu si istri. Pada suatu hari mereka berjalan bersama. Si suami buta ini menemukan barang di jalan. Barang terbungkus itu ketika dibuka isinya adalah tujuh buah mata. Maka si suami pun memakai dua, si istri memakai dua. Satu diberikan pada mertuanya, satu lagi diberikan pada ibunya sendiri. Dan masalahnya tinggal satu mata. Kisanak, kepada siapa seharusnya mata itu diberikan? Kepada ibunya sendiri, ataukah kepada mertuanya?" Yang hadir melengak. "Kenapa jumlahnya cuma tujuh?" Wuragil berteriak gusar. Jagaddhita, walau merasakan keanehan, akan tetapi tidak mengeluarkan pertanyaan. Ini memang semacam teka-teki yang biasanya menjadi bagian dari tanya-jawab keagamaan. Konon, cara menanyakan dan cara menjawabnya dengan sikap seperti yang ditunjukkan oleh Jaghana dan Pu'un. Sebenarnya juga, ketika Upasara Wulung menangkap lemparan keris dengan dua tangan tadi, sudah membuat Pu'un heran setengah mati. Itu persis juga dengan gerakan Tepukan Satu Tangan. Gerakan murni yang diajarkan dengan tanya-jawab seperti ini. Seperti sekarang ini, hanya menengadahkan satu tangan saja. Kalau Pu'un terheran-heran, bisa dimengerti. Karena ia jarang bahkan tak pernah berkelana. Jarang bersua dengan lawan yang ilmu silatnya bermacam-macam— namun rasa herannya justru berlipat manakala merasa ilmu silatnya yang murni ada yang menyamai secara persis. Padahal ini merupakan gerak dasar. Lain dengan Jagaddhita. Sejak lepas dari Keraton, Jagaddhita selalu berkelana. Ia juga mendapatkan guru yang bersifat aneh, tapi sangat luas pengetahuannya. Baru sekarang ia ingat salah satu bagian yang dulu diceritakan. Mengenai ilmu Tepukan Satu Tangan. Menurut si empunya cerita, ilmu itu datang dari Jambu Dwipa atau tanah India. Akan tetapi mengalami proses perkembangan yang sangat berbeda; baik di tanah Kaisar Matahari, Jepang, atau di negara turunan dewa, Cina. Di kedua negara itu perkembangannya menjadi sangat jauh berbeda. Walau kemungkinan pada akarnya masih bisa ditemukan persamaan. Jagaddhita masih ingat kalimat gurunya, "Angin ada di mana-mana. Dhita. Di bukit di sawah, di laut, di dalam gua. Di luar tubuh dan di dalam tubuh. Tetapi keberadaannya menjadi berbeda-beda. Angin bisa sejuk. bisa membuat badan sakit, dan bisa menjadi badai. Itulah intisari Tepukan Satu Tangan. Ilmu itu sedemikian sederhananya, sehingga semua orang yang paling bodoh pun bisa mengerti artinya. Tapi juga sedemikian sulitnya, sehingga semua orang yang paling pandai pun tak mampu menguasai sepenuhnya. Sejak lama para empu di jagat raya ini gandrung mempelajari.
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:08 pm | |
| "Di negeri mana pun, di keraton mana pun, terjadi perebutan dalam mencari keaslian ilmu itu. Dan tak ada yang mengetahui. Yang menemukan merasa tak berhak mengatakan. Yang tidak menemukan merasa berhak menyalahkan dan mencaci bahwa itu semua kabar bohong. Yang menemukan ujungnya saja, merasa berhak berteriak bahwa dialah yang telah menguasai. "susah, susah." "Rama Guru, kalau itu ajaran silat. kenapa para raja di semua negeri ikut ribut mencarinya? Ataukah ada wahyu sejati?" "Susah, susah." "Siapa yang bisa menjawab? Siapa yang membawa kabar? Siapa sebenarnya Tamu dari Seberang itu? Tak ada yang tahu pasti. Hanya kabar burungnya tersiar bahwa dalam suatu kurun masa tertentu, murid tunggal Tamu dari Seberang ini muncul. Tamu dari Seberang ini semacam Ratu Adil yang ditunggu masyarakat. "Kalau pihak Keraton—tidak di India, tidak di Jepang, tidak di Cina— mempersoalkan, itu karena dianggap Tamu dan Seberang bakal memberikan wahyu." "Rama Guru, apakah kita semua menjadi bodoh? Kenapa percaya wahyu itu berasal dari seseorang dan bukan dari Penguasa Tunggal jagat raya ini? Apakah..." "Ah... kau tak tahu apa-apa. Bagaimana mungkin kau mengatakan dirimu sebagai selir terkasih Kertanegara kalau tidak tahu bahwa raja itu pun mempersoalkan Tamu dan Seberang? Dhita..." Saat itu sebenarnya Dhita sudah sedikit berdamai dengan Rama Gurunya yang masih selalu menyembunyikan identitas sebenarnya. Berdamai setelah mengetahui bahwa Rama Guru memang menyebut nama raja junjungannya dengan enteng saja. Dan memanggil nama Jagaddhita seperti Baginda Raja dulu memanggilnya. "Bahkan raja yang kaujunjung setinggi langit itu pun pasti selalu memasang kuping dengan teliti, kapan Tamu dari Seberang datang. Ia tak mau kehilangan takhtanya. "Ia mau Tamu dari Seberang datang padanya. Ia yang paling berkuasa pun masih ragu. Setidaknya masih perlu berjaga-jaga. "Dhita, kaukatakan dirimu selir terkasih, masa tidak tahu sejarah yang diceritakan, bahwa dulu Tamu dari Seberang telah datang ke tanah Jawa, menemui seorang bromocorah bernama Ken Arok?" "Kalau mengenai Baginda Raja Ken Arok pendiri Keraton, semua juga mengetahui tanpa perlu mendengar langsung dari Baginda Raja." "Lalu apa bedanya kalau semua juga percaya? Apa bedanya Raja dengan rakyat jelata dalam hal ini? Yang mengancam Keraton bukanlah Tamu dari Seberang, tetapi Penghuni dari Dalam. Itu yang rajamu tidak mau melihat!" Kalau sudah berbicara mengenai hal ini, Rama Guru menjadi murka luar biasa. Bisa selama berminggu-minggu tak mengeluarkan suara lagi. Dan kemudian menghilang entah ke mana. Lalu muncul lagi, dan memberikan pelajaran kepada Jagaddhita. Di antara pelajaran yang diberikan itu disinggung juga mengenai pertanyaan seperti yang diutarakan Jaghana. Maka kini dengan cukup berdebar-debar Jagaddhita menunggu jawaban Senamata Karmuka. Senamata Karmuka menatap ke arah langit. Seakan silaunya matahari tak menjadi penghalang. Lalu, dengan suara rendah, sambil menahan napas, Senamata Karmuka bersuara pelan, sangat pelan. "Suwung" Terdengar helaan napas bersamaan. Napas berat dari Jaghana dan Pu'un secara bersamaan. Keduanya dengan cara bersamaan memberi hormat kepada Senamata dan lalu berdiri kembali. Kini, giliran Upasara yang merasa bingung. Ini agak aneh. Jaghana menahan gempuran terakhir pada Dewa Maut dari Senamata, lalu mengeluarkan teka-teki. Dan Senamata menjawab dengan kata: suwung. Lalu terdengar helaan napas berat secara bersamaan, dan Jaghana serta Pu'un seperti menyilakan Senamata melakukan kehendak matinya. Aneh karena Upasara tidak melihat bahwa Senamata bisa menjawab teka-teki mata ketujuh harus diberikan kepada siapa. Suwung itu bisa berani kosong, hampa, sunyi, sepi, Lalu apa hubungannya dengan teka-teki yang dilontarkan? "Kisanak yang bernama hebat Dewa Maut, saya tak bisa menghalangi atau menahan lagi. Barangkali begitulah takdir yang harus dijalani." Dewa Maut meludah ke tanah. "Ini baru namanya sandiwara yang paling buruk. Kalian mau main keroyok, silakan. Kalian mau membunuhku, lakukan saja. Kenapa pakai sandiwara teka-teki segala macam? Kau kira aku Dewa Maut akan menyembah kalian untuk memperpanjang umur?" "Barangkali Senamata yang budiman akan mengampuni Kisanak, kalau Kisanak mau mengobati Dimas Upasara." Upasara memang masih merasa sebagian tubuhnya kaku. Bagian sebelah kiri susah digerakkan. Beberapa kali dicoba dengan meneroboskan hawa dan pusar, tapi seperti menembus dinding batu yang keras. "Untuk apa? Bocah itu telah melukai cucuku dan aku melukainya. Siapa yang masih utang?" "Omong kosong. Aku justru telah menolongnya." teriak Upasara gusar. "Akan tetapi jangan harap kau bisa menyentuh kulitku untuk menyembuhkan. Dengan sekali tiup Pamanda Pandu akan menyelesaikan ini semua. Sekarang pun, kalau kau maju, aku siap meladenimu. Jangan hanya karena sekali gempur, kau sudah mengaku kalah. Niriti atau Dewa Maut hanyalah nama kosong belaka. Sebelum ini kudengar kabar, kau tak bakal meninggalkan lawan tanpa membunuh. Tapi sepagi ini saja sudah dua pertempuran yang kautinggalkan seperti tikus kampung. Masihkah kau punya hati lelaki untuk tetapi memakai gelarmu?" "Bocah ingusan, omonganmu besar. Tak layak kau jadi murid Ngabehi Pandu yang bisanya cuma membisu. Kalah atau menang dalam pertempuran bukan hal yang aneh. Kau akan segera mengalami juga. Tetapi kau sungguh kurang ajar mengatakan aku omong kosong. "Kau merasa jago dengan mengobati Padmamuka. Itu tandanya kau masih ingusan. Darah diri tole-ku yang paling cakep berbeda dengan darah kalian semua. Karena ia melatih ilmu khusus mengenai bisa dan racun ikan sungai. Sehingga ketika bubuk rumput kauberikan, itu ibarat racun dalam tubuhnya. Kerismu melukai, itu tak menimbulkan soal. Hanya caramu mencabut yang sembrono menyebabkan ia teracuni, dan parah. "Nah, sekarang kau bilang aku omong kosong?" Upasara melengak. Ia tak menyangka bahwa tubuh Padmamuka berbeda dengan kebanyakan orang. Dalam tubuh yang hampir seluruhnya beracun, obat malah menjadi racun baginya. Hilang dan rasa kejutnya. Upasara menunduk. Ia mengacungkan jempolnya dengan hormat. "Maafkan kekeliruan saya. Padmamuka." Padmamuka meringgis. "Memang pintar murid Pandu bisu ini. Bicaranya..." Belum selesai bicara, Dewa Maut sudah diserang. Bagi Upasara tak bisa orang merendahkan Ngabehi Pandu begitu saja. Apalagi dengan menyebut bisu segala macam. Meskipun tenaganya belum disalurkan sempurna. Upasara tak bisa menahan diri. Dewa Maut juga tidak menduga sama sekali kalau dalam keadaan seperti itu. Upasara berusaha menyerang. Cari mati juga bukan begitu caranya, pikirnya sekilas. Anak muda ini benar-benar berangasan, tak bisa diinjak bayang-bayangnya. Senamata yang lebih dulu bergerak. Tangan kirinya meraup pundak kiri Upasara dan membetotnya. "Kalau sudah kubilang aku yang akan membunuhnya, kau jangan turut campur." Pundak Upasara seperti tersengat. Ia kaget. Berusaha untuk mengumpulkankan tenaga sebagai reaksi spontan. Akan tetapi terobosan tenaga Senamata begitu keras. Dan sorot mata keras Senamata seperti tak ingin dibantah. Upasara memang cerdas. Ia segera menangkap maksud Senamata. Kau jangan turut campur, dengan cepat diartikan bahwa ia tak usah melawan tenaga yang masuk. Benar saja. Rembesan tenaga Senamata bisa leluasa, dan dalam beberapa kejap saja rasa kaku di bagian tubuh sebelah kiri berkurang. Senamata mengibaskan tangannya. Upasara terdorong ke belakang agak jauh, terpaksa berjumpalitan. Benar juga. Bahkan dalam mendorong pun Senamata memakai perhitungan yang pasti. Sehingga Upasara terpaksa berjumpalitan dan ini membuat darahnya mengalir lebih cepat. Diam-diam Upasara berterima kasih dalam hati. Senamata sendiri setelah selesai mendorong Upasara, tangannya meraih busur beserta anak panahnya sekaligus dari seorang prajurit. Dengan ketenangan yang dimiliki, kepala Dewa Maut yang dibidik. Sebelum lawan sadar, anak panah itu sudah melesat. Wuragil berseru tertahan. Ia tak menyangka bahwa kekejaman Senamata yang didengar selama ini benar-benar ada buktinya. Masakan seorang tokoh seperti Senamata, seorang laksamana, tega membunuh lawan yang terluka dengan membidik? Berbeda dengan Wuragil, Pembarep mengawasi jalannya panah dengan waspada. Benar juga perhitungannya. Panah hanya beberapa senti di atas kepala Dewa Maut, dan langsung lurus ke arah semak. Disusul anak panah kedua dan ketiga. Dari balik semak terdengar teriakan merintih. Seperti ada orang yang terluka. Disusul teriakan keras, dan tiga bayangan meloncat ke tengah lapangan. Yang lebih menarik ternyata bukan tiga bayangan itu saja. Melainkan munculnya puluhan prajurit dari balik setiap semak. Ternyata sekitar lapangan telah dikepung. Di kejauhan terdengar sangkakala ditiup keras, lalu terdengar sorak-sorai yang luar biasa gegap-gempitanya. Dari arah timur malah muncul umbul-umbul, bendera yang sengaja dikibarkan tinggi-tinggi. Jagaddhita bisa melihat jelas, akan tetapi seperti tak percaya. Di antara rombongan yang membawa bendera itu, ada bendera dengan warna dasar kuning dan simbol lingkaran seekor harimau muda. Itu berarti tanda pengenal seorang pangeran. Simbol umbul-umbul dengan gambar harimau adalah gambar resmi Keraton Singasari. Bila pinggiran dilapisi warna emas, itu berarti Baginda Raja sendiri. Akan tetapi siapa yang datang ini? Siapa yang mengerahkan begitu banyak pasukan ini? Memang selama ini dalam Keraton banyak sekali jumlah pangeran. Namun dari sekian banyak ini, tidak semua pangeran berhak mengibarkan umbul-umbul sendiri. Hanya beberapa nama saja yang diizinkan mengibarkan dan memiliki umbul-umbul seperti itu. Yaitu pangeran yang telah mendapat didikan siasat perang dan mempunyai daerah tertentu sebagai daerah kekuasaannya. Dulu pun, Baginda Raja Sri Kertanegara memiliki. Karena saat menjadi pangeran pati atau putra mahkota, Baginda Raja telah memiliki wilayah sendiri, yaitu Daha. Sehingga beliau berhak memakai umbul-umbul bergambar harimau. Sampai dengan ketika dinobatkan sebagai raja, Sri Kertanegara masih menggunakan simbol harimau. Jagaddhita menduga ada sesuatu yang tidak beres. Kalau mereka prajurit dari Keraton, pastilah Senamata Karmuka mengetahui hal ini. Setidaknya tahu rencana pengepungan ini. Nah, kalau ini bukan rombongan dari Keraton Singasari, lalu dari mana? Dan apa maksudnya datang dengan barisan lengkap dengan peralatan perang seperti ini? Pembarep menghela napas. Kedua tangannya bergerak. dan Panengah serta Wuragil mendekat ke arahnya. Pu'un yang sejak tadi berdiam diri, juga mengambil posisi Dewa Maut mendekat ke arah Padmamuka tanpa ada yang memedulikan. Senamata Karmuka mendongak ke langit. Pandangannya tertuju ke atas, akan tetapi suaranya ke arah samping, perlahan. "Jaga dirimu baik-baik. Kejadian ini tak bisa diramalkan. Jangan pedulikan orang lain. Ingat, jaga diri baik-baik." Upasara menunduk hormat "Terima kasih, Pakde,..." Sementara itu kepungan sudah makin rapat. Ternyata bukan hanya puluhan, akan tetapi sudah ratusan. Benar-benar luar biasa. Tempat yang begitu sunyi tiba-tiba menjadi medan laga yang paling menentukan. Senamata Karmuka mendekat kembali ke arah tandu. Senopati Suro, Joyo, Lebur, Pangastuti bersiap-siap melindungi, dengan sisa beberapa prajurit yang masih ada. Dari semua yang ada di lapangan, hanya Jaghana dan Wilanda yang bergeming. Yang satu seperti tidak peduli. yang lainnya sedang sakit Tiga orang meloncat pertama tadi, berdiri tegak. Mengawasi sekeliling. Dilihat dari pakaian yang dikenakan. jelas ketiganya bukan prajurit sembarangan. Dilihat dari cara meloncat yang enteng dan sangat pegas. Ilmu mereka juga tidak sembarangan. Jagaddhita mengenali mereka sebagai Kawung Sen, Kawung Benggol, dan Kawung Ketip. Ketiganya dikenal sebagai pemimpin Kelana Bhayangkara. Nama ketiga pendekar ini pernah mencuat ketika terjadi pemberontakan Cayaraja yang terkenal. Ketiga bhayangkara Inilah yang berhasil menembus Keraton Singasari yang terkenal dijaga rapih. Dalam pemberontakan berdarah yang habis-habisan itulah ketiganva tak bisa dikalahkan. Hanya karena ampunan Baginda Raja, ketiga kawung dibiarkan bebas. Mereka meninggalkan Keraton setelah pemberontakan berhasil dipadamkan. Akan tetapi korban dari pihak Keraton tidak sedikit. Banyak senopati yang terbaik gugur. Sejak pemberontakan itu ketiga kawung ini menghilang dari peredaran. Siapa sangka sekarang muncul lagi dengan membawa sekian banyak prajurit yang siap perang? "Atas nama Raja Muda Gelang-Gelang, harap kalian semua berlutut menerima titah." Kini baru Jagaddhita sadar. Bahwa rombongan pasukan yang datang mengepung adalah prajurit dari Gelang-Gelang, yang dipimpin Raja Muda Jayakatwang. Jagaddhita selama ini mendengar kabar angin bahwa Raja Muda Gelang-Gelang sedang menghimpun kekuatan besar. Akan tetapi selama ini ketaatan dan kesetiaan kepada Keraton Singasari tak pernah diragukan oleh Baginda Raja sendiri. Jagaddhita sedikit tenang hatinya, namun kewaspadaannya dipertinggi. Ia menarik Gendhuk Tri yang masih terbengong-bengong. Bahkan kemudian meloloskan selendangnya dan memakainya sendiri. "Hanya ada satu matahari yang menerangi bumi ini. Hanya ada satu raja yang berhak memerintah. Maafkan, kalau Prajurit Suro tidak memenuhi peran." "Selama masih ada pengampunan, gunakan kesempatan. Kalau sudah terlambat tak bisa diulang lagi." Terdengar suara nyaring, cempreng sangat tinggi. Dalam barisan muncul seorang lelaki, ada benjolan di bagian punggung. Hidungnya juga tertekuk. Sepasang matanya kecil bagai biji gabah. Pakaiannya luar biasa indah. Di belakangnya seorang prajurit siap memayungi: Tangan kanannya diangkat ke atas. Ketiga kawung itu mundur ke belakang. Lalu gerakan tangan itu berubah menjadi lingkaran pendek. Serentak dengan itu, barisan prajurit yang mengepung membentuk barisan lagi. Barisan yang tadinya bergerombol, dalam sekejap sudah berbaris lapis. Berkeliling, lalu di bagian belakangnya berjajar rapi susun sepuluh. Membentuk seperti kalajengking. Barisan belakang ini merupakan ekor kalajengking. Yang setiap saat, sesuai dengan aba-aba, akan berubah menjadi bala bantuan di mana diperlukan. Benar-benar ekor yang berbisa. "Apakah kalian mau menjajal sengatan kalajengking sebelum bertekuk lutut?" "Ular busuk, siasat perang itu hanya untuk menakut-nakuti anak kecil. Kau mencurinya dari Keraton, untuk apa kau pamerkan kemari?" "Senopati Suro kau masih jadi prajurit biasa yang menjaga kamar tidur? Sayang, sayang sekali. Kepandaianmu tidak terlalu menonjol akan tetapi kesetiaanmu bolehlah. Hanya sayang. Orang seperti kamu itu pantas menjadi Senamata. Aku tawarkan pangkat itu padamu" Senopati Suro tertawa bergelak. Nyaring dan keras suaranya. Terbawa oleh gusar yang bergolak. "Ular busuk, kau kira kau ini siapa? Menawari pangkat segala macam. Kau kira setiap orang bisa seperti kamu ini, mengangkat dirinya sendiri dan kemudian memamerkannya?" Upasara kini merasa seluruh tubuhnya kembali seperti semula. Dengan istirahat beberapa saat ia bisa menghimpun tenaganya. Ia merasa siap. Hanya saja kini ia merasa tidak ingin bertindak sembrono. Setidaknya nasihat Senamata tadi berhasil mengerem keinginannya untuk langsung menyerbu ke lapangan. Sebenarnya ini saat yang paling ditunggu oleh Upasara. Selama ini ia hanya mendengar tokoh yang sekarang dijumpai secara langsung. Dari penuturan Ngabehi Pandu, gurunya, tokoh ini disebut-sebut sebagai gabungan dari jago silat yang sakti, akal licik dan culas, ahli siasat perang, pandai berbicara, dan berkuasa. Nama sebenarnya tak bisa dipastikan yang mana. Ia sendiri menyebut dirinya sebagai Pujangga Pamungkas. Artinya pujangga terakhir, atau pujangga yang menyelesaikan segalanya. Oleh Senopati Suro tadi dikatakan sebagai ular busuk. Ular raksasa yang busuk, dalam bahasa kuno disebut sebagai bujangga. Ini nama ejekan untuk pujangga. Tetapi ia juga dipanggil sebagai Lembu Ugrawe. Lembu, sebagai orang yang masih keturunan raja. Ugrawe, jelas adalah sebutan yang sangat berlebihan. Ugra artinya puncak, ujung, dahsyat, menakutkan. Sedang we artinya matahari. Sehingga sebutan puncak matahari bagi dirinya sendiri kedengarannya sangat berlebihan. Ia juga menyebut dirinya sendiri sebagai Panji Wacanapati, alias turunan bangsawan tinggi yang ahli berbicara. Namun siapa pun nama dan gelarnya, ia termasuk tokoh yang disegani karena ilmu silatnya yang diberi nama Sindhung Aliwawar. alias Angin Topan. Menurut Ngabehi Pandu, selama ini belum ada tokoh yang mampu mengimbangi Sindhung Aliwawar. "Mungkin hanya Eyang Sepuh yang bisa mengimbangi. Tapi Eyang Sepuh sudah lama menyembunyikan dirinya di Perguruan Awan dan tidak berniat turun ke dunia lagi. Sehingga sulit untuk ditentukan siapa yang lebih unggul." Apa yang berkelebat dalam bayangan Upasara tak jauh berbeda dengan apa yang dipikirkan Jagaddhita. Ia pun mendengar nama besar ilmu Sindhung Aliwawar hanya dari penuturan Rama Guru. "Dibandingkan dengan Rama Guru, ilmu siapa lebih hebat?" "Ilmu siapa saja sama hebatnya. Tapi manusia busuk itu memang tak bisa diperkirakan. Rama Gurumu ini pernah bertempur dengannya. Akan tetapi itu sudah lama berlalu. Dulu saja masih sulit ditentukan pemenangnya; Apalagi sekarang. Katanya ilmunya maju pesat. Entah apa maunya Dewa Penguasa jagat ini, sehingga ada manusia seperti itu diciptakan di dunia." Baru sekarang Jagaddhita melihat sendiri, tokoh congkak yang paling banyak disebut-sebut. "Aku memang mengangkat diriku sendiri, Prajurit Kecil Suro. Karena siapa lagi yang. mampu memberi gelar padaku? "Hari ini kalian semua berkumpul di sini, sehingga mudah untuk menyelesaikannya. Tak usah mencari jauh-jauh. Apakah kalian mau berlutut dan minta pengampunan dari Raja Muda Gelang-Gelang, atau memilih mati? "Aha. rupanya kau yang menyebar kabar bahwa akan ada Tamu dari Seberang di Perguruan Awan ini. Aha, akal licik." Jagaddhita berseru heran, dan menyadari bahwa mereka yang datang ini masuk dalam perangkap yang dipasang Panji Wacanapati. "Akal licik apa, kalau kalian semua termakan? Untuk menangkap tikus busuk juga diperlukan umpan kecil yang busuk. Untuk mendatangkan seorang wesya, kan tidak perlu memakai umpan seorang pendeta?" Jagaddhita mengeluarkan suara tertahan. Selendang sampai bergetar. Ia tak nyana bakal dimaki sebagai wesya atau sundal. di arena begitu luas. Seumur-umur ia selalu membanggakan diri sebagai selir Baginda Raja. Itu adalah kehormatan terbesar yang membuat hidupnya berarti. Mana mungkin sekarang ia dianggap sebagai sundal begitu saja? "Hehehe, kau marah kupanggil sebagai wesya? Kalau bukan, siapa anak kecil itu? Bisakah kautunjukkan siapa bapaknya? Hehehe, mungkin kau pun tidak mengenali lagi siapa bapaknya. Bahkan kau pasti tidak berani mengakui bahwa akulah bapak anak kecil itu." Kawung Benggol meloncat ke samping. Ia bersiap kalau Jagaddhita langsung menyerang. "Untuk apa aku meladeni ucapanmu yang memang busuk itu?" "Kalau kau bisa menjawab siapa bapak anak itu, aku akan mengampunimu. Mengingat kemesraan yang pernah kauberikan padaku." "Oho, rupanya Bapak Ugrawe masih ingat kejadian Syiwaratri yang lalu. Sungguh suatu kenangan yang manis." Jagaddhita benar-benar kepepet hingga tak bisa menjawab sepatah kata pun. Bagi yang mengenal Ugrawe, mungkin menduga bahwa ucapannya main-main belaka. Meskipun juga tidak sepenuhnya bohong. Tetapi Kawung Benggol seperti memberi tekanan bahwa ada suatu peristiwa asmara terjadi pada Syiwaratri. Syiwaratri, atau malam Syiwa, adalah malam hari bulan purnama, tanggal empat belas, yang dianggap malam kudus bagi Dewa Syiwa. Melihat Jagaddhita berkumat-kamit tapi tak bisa mengeluarkan kalimat, Kawung Benggol makin keras tawanya. "Baiklah, kalau kau sendiri tak menentukan siapa bapak anak kecil ini. Tapi untuk yang masih berada dalam kandunganmu itu, aku bersedia mengakui. Setidaknya bisa kudidik menjadi prajurit kelak." Ugrawe mendengus ringan. Lupakan sejenak urusan hawa nafsu. Sekarang saat membicarakan negara." Lalu kembali mendongak ke udara. "Aku telah mengundang kalian semua datang kemari. Kecuali yang berada dalam tandu, semua yang ada di sun bisa memperoleh pengampunan. "Jika kalian semua mau berlutut dan menghaturkan sembah kepada Raja Muda Gelang-Gelang yang sebentar lagi memerintah di tanah Jawa ini, kalian bisa memperoleh kedudukan. "Kalau menolak, tanah ini akan diratakan." Pembarep menggeser kakinya. "Nama besar yang selama ini terdengar di penjuru angin. bukan nama kosong belaka. Hari ini sungguh suatu kehormatan besar saya bisa bertemu. Entah saya harus menyebut gelar yang mana...." "Kakang Mbarep. kau terlalu merendah diri. Aku tahu kaulah yang menguasai Gunung Semeru. Kalau kau ingin bicara, katakan apa maumu. Aku sudi memberi ampunan kepada semua saja, kecuali yang berada di dalam tandu. Kentut satu itu tak ada gunanya." Senopati Suro menggeram keras. Menerjang bersama kuda hitamnya, dibarengi teriakan nyaring. Senopati Joyo, Lebur, dan Pangastuti pun serentak bergerak. Adalah suatu hinaan yang luar biasa kepada Baginda Raja yang tak bisa diterima oleh mereka. Bahwa Senamata Karmuka dibilang kentut atau lebih dari itu, tak akan menjadi soal. Akan tetapi sebutan itu sebenarnya ada embel-embelnya. Senamata Karmuka dikenal sebagai laksamana yang setia kepada Baginda Raja. Selalu berada di dekat Baginda Raja. Sehingga dikatakan sebagai kentut. Tapi ini juga diartikan oleh mereka yang tidak menyukai Baginda Raja untuk mengatakan Baginda Raja adalah kotoran. Hubungan "kentut dengan kotoran", adalah hubungan yang sangat dekat. Maka bisa dimengerti kalau Senopati Suro murka. Kali ini, empat senopati tangguh maju secara serentak. Dari empat penjuru langsung mengurung. Kawung Benggol yang sudah bersiaga, langsung memapak Senopati Suro. Tidak kepalang tanggung. Kawung Benggol meloncat ke atas punggung kuda. Satu tangan menjitak ke arah kepala. satu tangan merebut kendali kuda. Meski ilmunya tidak termasuk kelas satu, Senopati Suro juga bukan jagoan yang baru lahir. Apalagi bersatu di atas kuda hitam yang sudah merupakan bagian dari tubuhnya. dengan mendadak saja Senopati Suro menyepit perut kuda dan menarik keras tali kekangnya. Kuda hitam yang tengah meluncur, tiba-tiba berhenti mendadak. Kedua kaki depan terangkat ke atas. Dan Kawung Benggol yang sudah berada di atas harus berhadapan dengan tendangan kuda. Meliuk dan samping, Kawung Benggol memutar gerakan tubuhnya. Kim dua tangan langsung mencekik ke arah Senopati Suro. Tapi senopati yang punya banyak pengalaman ini menjatuhkan tubuhnya ke samping. Dengan cepat berputar di bawah perut kuda! Lewat bagian bawah! Dengan tetap menyepit perut kuda, kaki Senopati Suro menjadi poros untuk berputar. Dengan sangat cepat sudah muncul lagi. Dan tubuh Kawung Benggol yang menubruk ruang kosong bisa dipukul dari belakang. Sebenarnya itu juga tidak perlu. Karena justru Senopati Lebur sudah mengayunkan gadanya dari samping.. Tak ampun lagi Kawung Benggol harus menangkis dengan dua tangan kosong. Di pihak lain, Kawung Ketip berteriak gusar dan mengayunkan rantainya, sementara Kawung Sen yang bersenjatakan jala juga menerjang dengan jala tertebar. Dalam sekejap saja pertempuran sudah berlangsung seru. Kalau pada terjangan pertama, Senopati Suro boleh dibilang unggul, kini mereka berempat harus memusatkan perhatian seluruhnya; Itu pun belum mencapai ke arah Ugrawe. "Baik. Kalau kalian memilih pertempuran." "Tunggu," teriak Jagaddhita nyaring. Ia langsung meloncat menghadang Ugrawe yang siap memberi aba-aba untuk serangan total. Jagaddhita mencoba menghadang. Salah satu cara hanyalah dengan mendesak Ugrawe. Karena ia berpikir bahwa posisi lawan jauh lebih menguntungkan. Sedangkan Ugrawe sendiri, masih teka-teki siapa yang bisa menghadapi dengan imbang. Barangkali hanya Senamata Karmuka yang bisa menghadapi. Itu pun belum tentu bisa menang. Kalaupun bisa, diperlukan pertempuran yang lama dengan kemungkinan besar dua-duanya luka parah. Sementara pihak lawan terdiri atas banyak sekali pasukan. Seratus bisa dibikin binasa, yang lain masih ada. Sedangkan di pihaknya sendiri, mereka' tidak merupakan kesatuan dengan tujuan yang sama. Sementara beberapa orang sudah terluka. Dewa Maut, Padmamuka, Wilanda tak bisa berbuat apa-apa. Pu'un juga tak bisa diharap. Belum dihitung bahwa Gendhuk Tri bisa membahayakan dirinya sendiri. "Kau mau bergabung bersama kami?" "Tentu, kalau kau bisa mengalahkan kami secara ksatria." "Hehe, kau kira aku begitu bodoh? Di sini jelas sekali aku menang pasukan. Dengan mengandalkan mereka ini saja, kalian semua bakal bisa diringkus. Untuk apa aku pedulikan tata krama? Untuk apa perlu mengalahkan kalian seorang demi seorang?" "Licik. Kau sengaja memancing kami datang ke Perguruan Nirada ini, dan menunggu kami bertempur...." "Licik itu apa? Mulia itu apa? Aku ingin mengembalikan takhta kepada yang berhak. Kenapa kau tidak menyebut Ken Arok licik? Kenapa kamu tidak mengatakan Ken Arok menurunkan raja-raja perampok di tanah Jawa ini? "Hanya rakyat kecil yang tak tahu apa-apa mempersoalkan licik atau mulia. Hanya mereka yang tak tahu yang bisa menuntut macam-macam. Aku sudah berbaik hati untuk mengampuni. Akan tetapi kalian memilih jalan bunuh diri. Aku hormati pendirian kalian. Keraton yang akan kubangun nanti tidak membutuhkan pendekarpendekar seperti kalian.
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:09 pm | |
| "Makanya, sekarang ini juga, yang ada di sini dan tak menganggap raja kepada Raja Muda Gelang-Gelang, akan kubasmi." Ugrawe menarik suara dari hidung dengan keras. Lalu tangannya bergerak, meraup bendera kecil di tangan salah satu prajurit. Cara meraupnya tanpa meninggalkan tempat. Hanya mengandalkan tenaga mengisap. Dan prajurit yang memegang bendera seperti terperanjat, tapi tahu-tahu apa yang dipegang sudah lepas dari tangannya. Jagaddhita terkesima. Pameran tenaga dalam yang luar biasa. Penguasaan yang sempurna. kagetnya berubah ketika dari gerakan bendera ini, diikuti suara genderang dan sangkakala, gerak pasukan berubah. Kalau tadi menunggu saja, kini semua bersiap. Barisan panah yang mengepung sudah langsung memasang anak panah di busur dan siap membidik. Satu gerakan lagi dari Ugrawe, terjadilah keroyokan massal. Jagaddhita meloncat ke belakang. Mendekati Gendhuk Tri, dan sekali gerakan mendudukkan Gendhuk Tri dalam gendongan. Dua pasang selendangnya dilepaskan. Siap untuk melindungi diri dan menyerang. "Tugas lebih penting ada di Keraton. Kembali!" Terdengar teriakan menggeledek sangat keras. Ujung-ujung pohon jadi bergoyang karenanya. Sisa-sisa burung yang masih bertahan di ujung ranting bagai disentakkan. Sebagian sempat terbang, sebagian kecil yang lain jatuh ke tanah. Teriakan itu ternyata untuk memerintah keempat senopati yang masih berkutat dengan ketiga kawung. Senopati Suro-lah yang pertama menyentak kuda hitamnya dan sekali lagi menerobos maju, sepertinya mau menerjang lurus ke depan. Kuda hitamnya meringkik panjang, memutar badannya, dan kaki belakangnya menyentak dengan keras. Kawung Sen, yang paling rendah kepandaiannya dibanding kakak-kakak seperguruannya, tetapi juga paling ganas, bukannya menyingkir. Ia memasang kudakuda untuk menangkap tendangan kuda! Keras lawan keras! Senopati Suro memukul lewat udara dengan keras sambil meloncat ke atas. Pukulan dari atas lebih sulit ditangkis kalau tengah menangkis tendangan kuda. Tetapi Kawung Sen cukup sebat. Begitu menangkap dua kaki kuda sekaligus, kekuatannya dikerahkan dan serentak dengan itu tenaganya dipusatkan, dan badan kuda itu seperti berputar arahnya! Hebat tenaga Kawung Sen ini. Kalau ia menangkap ekornya-ia bisa melakukan itu kalau cukup cerdik-dan membetotnya. sehingga kuda jadi kehilangan keseimbangan, masih bisa dimengerti. Akan tetapi ini langsung main tangkap kaki dan mengayunkannya. Senopati Suro berhasil mundur. Diikuti oleh ketiga senopati yang lam. Bersama para prajurit mereka melindungi tandu. Keempat prajurit mengangkat tandu. Ketika itulah aba-aba penyerangan diberikan oleh Ugrawe. Serentak dengan itu, puluhan anak panah terbang berurutan, teriakan para prajurit, tombak, pedang, obor api, ringkik kuda terdengar bersamaan. Dan dengan satu tutulan sangat ringan, Ugrawe langsung memimpin pertempuran sendiri. Yang diserbu pertama kali adalah tandu. Upasara meloncat maju ke arah Wilanda yang masih duduk di tanah. Kainnya dilepaskan dan diputar sangat kencang untuk memayungi dirinya dan Wilanda. Pandangannya masih sempat melihat bagaimana Ugrawe menyerbu ke arah tandu. Kalau yang lainnya menggunakan ilmu meringankan tubuh, Ugrawe berbuat lain. Ia berlari di alas kepala para prajurit Gelang-Gelang. Caranya meloncat dari satu kepala ke kepala yang lain, nampak enak sekali. Padahal jaraknya tidak sama. Yang luar biasa adalah bahwa nampaknya para prajurit sendiri yang diinjak kepalanya merasa tidak dibebani apa-apa. Geraknya tidak terhalang karenanya. Sisa prajurit Keraton Singasari dengan sigap menahan dan segera terjadi pertempuran. "Mundur jauh." Senopati Suro memerintahkan dengan suara keras. Ia sendiri langsung maju memapak. Dengan dua tombak rampasan dari kiri-kanan, ia langsung menusuk ke depan. Senopati Lebur sekali lagi mengayunkan gadanya dengan menebas dari samping. Senopati Joyo yang menggunakan gada menggebuk dari arah yang berlawanan. Dua pedang pendek di tangan Senopati Pangastuti menghunjam ke arah badan lawan. Dari satu gebrakan yang dilakukan secara bersamaan, banyak sekali perbedaan dan sifat-sifat penyerangan. Walau dasar gebrakannya sama, akan tetapi tombak, gada, dan pedang pendek berbeda sifatnya. Ugrawe memperdengarkan suara ejekan di hidung, dengan tangan kosong ia menangkis dua gada yang datang bersamaan. Lalu membiarkan bagian pinggangnya ditusuk oleh tombak Senopati Suro. Terdengar suara keras, dua gada terlepas ke udara! Bahwa ilmu kebal bisa untuk menahan diri sudah banyak yang tahu. Tapi ilmu yang dipamerkan Ugrawe memang luar biasa. Dua gada yang diayunkan dua senopati tangguh ditangkis oleh tangan kosong. Satu tombak yang membentur pinggangnya dibiarkan saja. Hanya ketika Senopati Pangastuti menusuk pendek, Ugrawe menghindarkan diri-. Menggeser kedua kakinya ke belakang lalu meloncat di kepala salah satu prajurit untuk pijakan, langsung menyerbu ke arah para prajurit yang membawa lari tandu. Senopati Joyo sempat kaget karena gadanya terlepas dari tangan kanan. Namun tangan kirinya masih sempat menangkap dan mengayunkan ke belakang. Senopati Lebur juga mengayunkan dengan cara yang sama. Begitu juga Senopati Suro mempergunakan dua tombak untuk mengayunkan tubuhnya. Bagai peloncat dengan galah, tubuhnya menyerbu ke arah bayangan Ugrawe yang berkelebat. Cepat sekali Senopati Suro bergerak, akan tetapi Ugrawe bergerak lebih cepat lagi. Dua prajurit yang membawa tandu bisa direnggut bahunya dan dengan sekali gebrak, dua tubuh itu terlontar ke dalam tandu. "Kentut bau, keluar. Sambut kedatangan pencabut nyawamu..." Belum selesai kalimatnya, Senopati Suro sudah datang. Dua tombak dilemparkan dengan keras dari udara. Tombak yang tadi dipakai untuk meminjam tenaga melompat, kini dipakai untuk menyambit. Tanpa menoleh ke belakang, Ugrawe menggerakkan tangan ke belakang. Dua tombak diraup sekaligus! Lalu ditimpukkan balik. Senopati Suro tak kepalang herannya. Kalau ia mendengar Ugrawe tokoh yang disegani, tidak juga sehebat ini. Hanya kebetulan dua gada senopati yang melayang menolong dari kemungkinan luka parah. Dua gada menyampok dua tombak- Begitu hinggap di tanah, Senopati Suro harus melepaskan diri dari keroyokan para prajurit Gelang-Gelang. Meskipun mereka ini prajurit terdidik, akan tetapi tingkat kepandaiannya masih jauh di bawah para senopati. Hanya saja karena jumlahnya banyak dan seperti bertarung kesetanan, memerlukan waktu untuk menghadapi. Dan sementara itu terjadi, Ugrawe sudah membunuh dua pembawa tandu yang lain. Senopati Pangastuti menggerung pendek. Berbeda dari senopati yang lain, Pangastuti tidak meloncat maju atau menyambitkan pedang pendeknya. Ia menerjang tanpa tergesa. Dan justru anehnya, Ugrawe selalu melengos setiap kali menghadapi serangan Senopati Pangastuti. Tidak langsung menghadapi keras lawan keras. Ugrawe menyamping. Dengan mengempos kekuatannya, dua tangannya bergerak bersamaan, menjulur ke depan, lalu tiba-tiba dibalikkan lagi. Tenaga mengisap! Tandu seperti bergoyang-goyang sebelum terangkat ke atas, dan dengan kecepatan tinggi tandu terus terangkat ke atas. Ugrawe berseru keras. Satu tangan terbuka menahan. Dan seperti ada tenaga penghubung, tandu itu tertahan di angkasa. Satu tangan bergerak melontarkan pukulan. Terdengar suara "brak" keras sekali. Tandu hancur berkepingkeping. Akan tetapi tandu ternyata kosong! Ke mana Senamata Karmuka? Tipu daya apa yang dikeluarkan. keempat senopati pun berusaha melindungi? Ugrawe berteriak keras. Sekali lagi ia meloncat di antara kepala prajurit Gelang-Gelang. Kali ini arah dan sasarannya bukan menyerbu ke arah musuh akan tetapi kembali ke tempat semula. Pikiran Ugrawe cepat bekerja: pada situasi seperti ini, Senamata Karmuka pasti lebih dulu menyerang ke arah pusat. Ia berarti langsung menyerang ke arah kemah Raja Muda Gelang-Gelang. Ini merupakan salah satu cara untuk menghentikan pertempuran dengan cepat. Karena kalau pucuk pimpinan tertinggi ditawan, apa lagi yang bisa dilakukan. Maka Ugrawe langsung menuju tandu utama. Barisan prajurit pengawal utama dilewati begitu saja. Di depan tandu, Ugrawe berjongkok menghaturkan sembah. Tirai tandu terkuak sedikit. "Ada apa, Paman Guru?" Ugrawe menyembah untuk kedua kalinya. "Junjungan dalem, Senamata Karmuka untuk sementara bisa meloloskan diri. Harap Paduka tidak keluar dari tandu." Tirai tandu tertutup lagi. Ugrawe menghaturkan sembah. Berdiri lagi. Matanya mengawasi sekeliling. Ke arah pengawal utama. Mendadak saja tangan Ugrawe bergerak. Salah seorang pengawal seperti terisap ke depan. Tubuhnya bergerak maju tanpa bisa dikuasai. Ugrawe menyentak keras. Tubuh itu melayang ke arah Ugrawe dan dengan sentakan berikutnya, tubuh itu terbanting ke tanah. Pandangannya melotot, dan napasnya telah putus. Ugrawe bisa membunuh tanpa menyentuh. Pengawal utama yang lain berteriak kaget. "Kentut itu pasti menyusup kemari. Kalau ada yang sedikit mencurigakan, akan kubunuh kalian semua." Ugrawe menatap sekitar. Para prajurit utama jadi bergetar hatinya. Wajah mereka pias. Dalam masalah seperti ini, Ugrawe memang selalu langsung bertindak cepat. Masih sekarang ini mau menjelaskan alasannya. Sementara itu Pembarep mulai terjun ke arena peperangan. Begitu melihat Upasara bergerak melindungi Wilanda, Pembarep langsung meloncat maju. Ia menutup serangan, sekaligus juga serangan ke arah Padmamuka dan Dewa Maut. "Anakmas Upasara, biar aku yang tua di sini." "Sembah bekti, Paman...." "Bergabunglah bersama Jagaddhita. Paman tua ini masih bisa mengajak mereka mundur." Panengah dan Wuragil juga berbaris bersama. Ketiganya menjadi perisai utama. Wilanda digotong oleh Jaghana dan Padmamuka digotong oleh Dewa Maut. Keduanya berjalan mundur, sementara Tiga Pengelana Gunung Semeru melindungi dalam bentuk lingkaran. Upasara melejit maju ke depan, menghindari bantuan prajurit Gelang-Gelang yang terus maju merangsek. "Bibi...* "Wulung ..," sambut Jagaddhita, yang tiba-tiba akrab dengan Upasara. "Kalau kau bisa kembali ke Keraton, sangat baik sekali. Serahkan semua ini pada bibimu...." Empat ujung selendang Jagaddhita bergerak bersamaan ke arah empat penjuru, dan empat prajurit lawan langsung terjungkal dengan memegangi matanya. Sekali lagi bergerak, empat lagi memegangi matanya. Dari sana mengalir darah. "Cari jalan lain, Wulung. Jangan pedulikan yang lain." Kawung Ketip berteriak pendek sambil menerjang ke arah Jagaddhita dan mengayunkan rantainya. Sekali sebat rantainya menggulung, melipat, dan sekaligus menyentak dua ujung selendang Jagaddhita. Karena selendang itu masih dililitkan di tubuhnya, tak urung Jagaddhita tertarik ke depan. Tapi justru dengan itu, dua ujung selendang yang lain menusuk ke arah Kawung Ketip. Berubah bentuk selendang menjadi semacam tombak, Kalau lurus menusuk. Dengan tangan kiri Kawung Ketip berusaha menangkap dua ujung selendang sekaligus. Dan juga membetotnya. Karena dua tangan sudah digunakan bersama, Kawung Ketip tak mungkin menahan serangan berikut dan dua tangan. Yang serta-merta mengarah ke bagian jakun sedikit ke atas. Kawung Ketip adalah pemimpin ketiga kawung. Bahwa ia paling jago, sudah banyak yang mengetahui. Bahwa Jagaddhita berusaha menggebrak dengan jurus-jurus yang berbahaya, juga bisa dimaklumi. Melawan seorang pemberontak, tokoh-tokoh Keraton memang tak kenal kata kasihan atau ampunan. Melihat serangan begitu nekat, Kawung Ketip mengerahkan seluruh tenaga dan membetot luar biasa. Tubuh Jagaddhita terayun ke udara. Inilah yang tak diperhitungkan oleh Kawung Ketip. Kelebihan Jagaddhita justru mempermainkan antara tenaga yang keras dan tenaga yang lemah. Gerakan selalu bisa diubah dengan sekehendak hatinya. Senjata selendang warna-warni juga bukan sekadar hiasan. Dalam pertempuran, selendang itu jika terkena sinar matahari memantulkan aneka cahaya yang aneh. Yang bisa mempengaruhi konsentrasi lawan. Namun lebih dari itu semua, selendang ini juga bisa diloloskan dengan sekehendak hatinya. Ketika ditarik tadi, Kawung Ketip menduga bisa menguasai lawan. ternyata hanya selendang saja yang bisa dibetot. Selebihnya. tubuh Jagaddhita terus menerjang ke arahnya. Kawung Ketip menangkis dengan pergelangan tangan. Satu sentilan halus cukup membuat pergelangan Kawung Ketip kesemutan, dan Jagaddhita merampas kembali selendangnya. Sekali lagi keempat selendang berkibar di udara sebelum menutup wajah Kawung Ketip. Kawung Ketip mengimbangi dengan ayunan rantai ke arah pinggang. Kalau sabetan mengenai sasaran, dengan sekali sentak. Jagaddhita bakal menjadi boneka mainan yang dibanting hancur. Diam-diam Jagaddhita memuji kegesitan lawan. Dalam menghadapi serangan, ternyata Kawung Ketip tidak berusaha bertahan sepenuhnya. Justru bertahan dengan balik menyerang. Sementara keduanya masih terlibat dalam pertandingan, Gendhuk Tri jadi tak ada yang mengawasi. Gadis kecil ini masih terbengong-bengong tak bereaksi, ketika Pu'un datang kepadanya dan langsung mengepit. Belum sempurna kakinya menotol bumi, Kawung Benggol sudah datang menyapunya. Kawung Benggol dalam gebrakan pertama kena dipecundangi Senopati Suro, sehingga kedua tangannya kena pukulan gada senopati yang lain. Makanya kini melakukan serangan dengan kaki. Pu'un tak menghindar. Justru memapaki kaki dengan kaki. Dua tulang beradu keras. Lalu disusul dengan dua-tiga tendangan berikutnya. Pu'un terus merangsek maju. Ketika Kawung Benggol terdesak, Pu'un tidak melanjutkan serangan, akan tetapi melarikan diri ke arah lain. Bagi Pu'un tujuannya hanya satu. Mendapat keterangan mengenai Tamu dari Seberang. Ia tak terlibat dengan masalah pemberontakan apa segala. Maka juga tak berniat membunuh lawan. Asal bisa memperoleh Gendhuk Tri sudah lebih dari cukup. Pu'un tidak menduga justru ketika ia melompat itulah ia masuk dalam perangkap. Karena Kawung Sen sudah menebarkan Jala. "Oho, mau ke mana kau, orang hutan?" Jala itu terbuat dari tenunan sutra yang ulet. Maka begitu kena dijala, Pu'un tak bisa bergerak. Ia benar-benar seperti seekor burung besar yang terjerat. Tak bisa bergerak apa-apa. Kawung Sen menendang bagian pantat sambil tertawa-tawa. "Gadis itu bagianku. Bukan bagianmu." Pu'un tak bisa berbuat sesuatu apa. "Lihat. Aku akan mengencingimu. Biar kau mandi di sini." Kalau ini benar-benar terjadi, entah di mana lagi Pu'un bakal menatap dunia. Sebagai pendekar yang diandalkan dari asalnya, sebagai seorang ksatria, mana bisa dimandikan di tempat terbuka seperti ini dengan air kencing? Mati dalam pertempuran, bukan soal. Kalah dalam pertandingan, masih bisa diterima. Akan tetapi dihina seperti ini, sungguh sangat memalukan. Pu'un berpikir untuk menggigit putus lidahnya. Lebih baik mati sebelum dihina. Kalau bisa, ia akan mengetok kepalanya sendiri. Tetapi diringkus dalam jala, menggerakkan jari pun sulit. Dan Kawung Sen benar-benar membuka kainnya. Tapi urung. Karena telinganya mendengar desir yang keras menuju ke arah bagian tubuhnya yang sangat peka. Tangannya bergerak menangkap ke arah desiran dan dengan cepat mengembalikan ke arah sumber suara. Upasara menangkap dengan giginya. Yang dilemparkan tadi adalah kancing baju, yang dilepas dari surjan yang dikenakan. "Baik kalau kau juga ingin dimandikan." Kawung Sen mengerahkan tenaga dan mulai melancarkan pukulan. Upasara berdehem kecil. Ia sama sekali tak gentar menghadapi Kawung Sen, yang baru saja membuktikan kekuatan tenaganya membalikkan seekor kuda. Pukulan yang datang disambut dengan dua tangan yang berusaha menjepit. Kawung Sen mengganti dengan gerakan sapuan kaki, akan tetapi sekali ini Upasara tak menggeser kakinya. Dua tangan yang terjulur lurus berubah jadi menjepit ke arah kepala. "Nekat juga anak kecil ini," teriak Kawung Sen. "Yang begini masih perlu mandi sendiri." Keduanya berhadapan. Berdiri sama tegak. Di antara ketiga kawung, Kawung Sen paling suka berlagak dan memamerkan kekuatan. Sikap yang rada congkak ini sama dengan Upasara Wulung. Jenis permainan keduanya dengan cara menyerang juga sama. Pola menyerang yang sama-sama terbuka. "Ini baru hebat. Sekarang aku ketemu lawan. Sayang usiamu masih muda. Kalau kau mati sekarang, kapan lagi aku mempunyai mainan?" "Sama saja, jika kau mati dulu, aku tak bisa memandikanmu." "Boleh juga mulutmu. Siapa gurumu?" "Kawung Sen, dengarlah baik-baik agar kau tak kecewa kukalahkan. Guruku adalah majikan utama Lembu Ugrawe. Ketika Lembu Ugrawe masih ingusan dan hampir mati karena kelaparan, salah seorang pelayan guruku menolong nyawanya. Nah, kini kau sudah cukup mendengar?" "Bagus. Bagus. Aku suka lelucon seperti ini. Mari kita jajal lagi. Kau pakai jurus apa itu tadi?" "Dalam sekejap melihat, mestinya kau sudah tahu. Masakan pakai bertanya segala macam." "Wah, ini repot. Kalau menghafal nama jurus, siapa yang bisa ingat? Setiap orang bisa memberi nama sendiri-sendiri. Tapi kalau dilihat dari gerakanmu, jelas kau berasal dari Keraton Singasari. Kau mungkin tidak tahu bahwa aku sudah masuk ke Keraton." "Tentu aku ingat. Masakan kau lupa siapa yang memberi ampunan padamu ketika itu?" "Boleh juga. Makin lama lidahmu makin tajam." "Lembu Ugrawe belajar bicara dari mana kalau tidak dariku, sehingga berani membuka mulut lebih lebar? "Sebenarnya aku enggan melawan tukang jala. Tentu karena kau yang maju kemari, apa boleh buat." Upasara mencabut kerisnya. "Aku tidak suka kau main keris. Tangan kosongmu tadi aneh. Itu yang lebih menarik. Ayolah, kau jajal dengan tangan kosong yang menjotos lurus. Soal keris kita lupakan." Upasara melirik ke arah Pu'un dan Gendhuk Tri. "Baik, aku buang senjata ini." Upasara melemparkan kerisnya ke tanah. Yang dituju adalah pinggiran jala. Keris itu mengenai simpul hingga amblas ke tanah. Tapi, barangkali belum bisa memutuskan tali jala. "Tak mungkin kau bisa memutuskan jala itu. Dibakar pun tak bisa." "Tapi tak adil kalau kau tidak memakai senjata." "Kau sendiri bakal menyerang dengan tangan kosong. Justru tidak adil kalau aku memakai senjata." "Justru menjadi adil. Aku tertarik dengan gerakan jala, sedang kau tertarik tangan kosong. Makanya cukup adil kalau kau- menyerang dengan jala dan aku menghadapi dengan tangan kosong. Kita bisa mendapatkan jawaban rasa ingin tahu." "Tapi jalaku cuma satu." "Lepas saja lebih dulu. Apa susahnya untuk menangkap lagi? Bukankah dengan sekali tebar kau bisa menangkapnya?" "Masuk akal juga." Kawung Sen langsung mencabut keris Upasara dan mengembalikan. Tak memedulikan bahwa Upasara bisa menusuk dengan sekali sabet. Tapi Upasara tidak melakukan itu. Ia menunggu. Dengan sekali sentak di bagian simpul, jala itu melebar lagi. Dan sekali kebut, Pu'un serta Gendhuk Tri terbebas dan jerat. "Ayo sekarang kita mulai." "Baik. silakan mulai." Tidak adil. kau yang muda menyerang lebih dulu." "Tidak adil juga. Kalau begitu kita hitung sampai tiga. Kita sama-sama menyerang." "Boleh juga." Sementara Upasara bersiap dengan hitungan, begitu juga Kawung Sen, Pu'un berdiri tegap. Di kepalanya berputar seribu satu pikiran. Ia merasa jago, dan sesungguhnya memang jago, akan tetapi sekali kena jala, tak bisa bergerak. Bahkan hampir saja mendapat kehinaan total. Tak habis pikir bagaimana justru sekarang Upasara Wulung yang tak dikenal membebaskan ia. "...tiga" Sebat sekali Kawung Sen menebarkan jala. Upasara bukan menghindar dengan meloncat mundur, sebaliknya ia malah maju. Dengan dua pukulan lurus seperti tanduk banteng. Harus diakui bahwa dalam soal pertempuran seperti ini, Upasara jauh lebih cerdik dari Pu'un yang jalan pikirannya sederhana. Upasara boleh dikata mengenal segala macam rangkaian serangan yang banyak macam ragamnya. Serta mempunyai persiapan bagaimana menghadapi. Dengan melihat bahwa sekali gebrak, Pu'un bisa dijerat, Upasara tak akan meladeni dengan menghindar. Ruang gerak yang luas makin memungkinkan jala lawan meringkus dirinya. Maka sebagai gantinya, Upasara mendesak maju. Jalan pikirannya adalah bahwa lawan tak mungkin memainkan jala dalam jarak dekat. Kecuali kalau ingin menjala dirinya sendiri "Apa nama jurus ini?" "Menutup Langit" "Kau tidak tanya aku?" Sambil terus berbicara keduanya terlibat dalam pertempuran. "Apa?" "Banteng Ngore." Kawung Sen berteriak seperti disengat kala. Tak pernah dalam hidupnya ada nama begini aneh. Banteng Ngore? Jurus apa pula ini? Soal gerakan banteng, ia yakin. Penamaan itu tepat. Akan tetapi dengan tambahan ngore, jadi lain sekali. Kawung Sen menarik pulang jalanya, sementara tubuhnya sendiri melayang ke atas. Pegas sekali sentakannya. Sekilas saja, ia bisa berada di atas jala yang siap mengurung Upasara.
________________________________________ Episode 2
Kalau tadinya Upasara meminta lawan menggunakan jala, itu semata-mata taktik agar Kawung Sen melepaskan Gendhuk Tri dan Pu'un. Tetapi tidak mengira sama sekali bahwa Kawung Sen jam" luar biasa. Jala itu sudah menyatu dengan dirinya. Tak ubahnya Senopati Suro dengan kudanya. Upasara sempat melihat bagian ujung simpul jala, Bagian itulah yang langsung direbut lebih dulu. Jadi kalaupun kena jala, tak mungkin bisa dijerat. "Boleh juga." Kawung Sen mengedut jalanya, hingga jadi menyimpang dan bergulung bagai tambang. Upasara bisa menduga arah gerakan lawan. Sebelum jala tertebar ia lebih dulu meloncat di antara prajurit Gelang-Gelang. Ia pasti akan merepotkan Kawung Sen. Ia toh bakal repot menjala salah seorang di antara begitu banyak orang. Dengan cerdik Upasara menggunakan prajurit Gelang-Gelang untuk perisai. "Awas leher. Ini serangan banteng yang mengutamakan menyerang secara total. Dua tangan ini berfungsi sebagai tanduk. Tapi mesti diperhatikan juga bagian lambung. Serangan ini variasinya cuma sekitar lambung ke atas. Jangan dilawan, hadapi dengan kekuatan yang lebih besar. "Bagus. "Awas yang berikutnya. Punggung sebelah kanan. Bedanya dengan banteng, mereka binatang yang tak mungkin mengubah letak tanduk. Pada manusia bisa. Ouit, kenapa kaki saya yang diserang. Kaki banteng adalah kuda-kuda yang terkuat- "Bagus, tarik. Ganti yang lain. Ayo gunakan jala. Kekuatanmu di jala. Tanpa jala sama saja tidak bertempur. Seperti bohong-bohongan saja. Tebarkan." Bagi Upasara bertempur sambil berbicara bukan hal yang sulit. Ia bisa memecah perhatian dengan baik. Apalagi memang kelebihannya justru dalam berbicara. Dalam sepuluh gebrakan berikutnya, Kawung Sen tercecer. Hanya bisa menangkis sambil terus mundur. "Awas Banteng Noleh." Persis seperti banteng menengok, Upasara memutar dua tangan dengan gerakan kaku. Dalam bingungnya Kawung Sen menjajal tenaganya untuk diadu. Dalam saat yang bersamaan, lututnya kena digempur. Tanpa bisa berdiri lagi, Kawung Sen tertekuk ke depan. Usahanya terakhir ialah menjerat lawan dengan jala. Di atas angin, Upasara bisa membalikkan gerakan jala itu menutup dirinya sendiri. Kawung Sen terkurung dalam jala. "Nah, bagaimana kalau kau kumandikan?" "Bagus, aku menyerah kalah. Tetapi bagaimana mungkin ada jurus Banteng Ngore?" "Ada saja. Justru itu yang menarik. Selama ini kau pasti hanya mengenal Bango Ngore, Gagak Ngore, atau paling jauh Jaran Kore. Memang hanya sejenis burung yang bisa menisik bulu-bulunya. Tetapi banteng kan juga bisa!" "Bagaimana mungkin?" Upasara melepaskan jala. Kalau badannya gatal, banteng cukup menolehkan kepalanya. 'Bagus. Bagus. Hari ini aku tambah pelajaran lagi. "Kita akan bertemu lagi. ... , , ,. Upasara berjalan ke depan. Kawung Benggol menyerbu, menghadang di "Biarkan dia, Kakang," suara Kawung Sen terdengar berat. "Biarkan Upasara berlalu." . . . Kawung Benggol menggertakkan kakinya ke tanah, saking kesalnya. Upasara tidak memedulikan. Ia terus berjalan ke depan. Para prajurit Gelang-Gelang tak ada yang berani mengganggu. Hanya saja satu bayangan berkelebat masuk. "Hehehe... kau belum menjelaskan ilmu Kerbau Gendheng. Dan aku sudah bilang, siapa pun yang tak mau menyembah harus mati." Ugrawe mengayunkan tangan. Gerakannya lurus, lalu turun ke bawah dan ditarik masuk. Sekejap Upasara merasa berdiri di atas pasir yang ditelan laut. Tanah di bawahnya seperti bergerak. Tenaga mengisap yang sangat kuat. Upasara merasa tak bakal bisa mengeluarkan tenaga untuk melawan. Sama tak mungkinnya untuk menghindar lari. Dua-duanya akan menyebabkan ia kehilangan keseimbangan badan dan membuat ia masuk dalam pusaran lawan. Upasara meloncat sedikit. Lalu tubuhnya turun kembali dan tetap tegak di atas kedua kakinya. "Maju." Ugrawe mengulangi gerakannya. Upasara memantul kedua kalinya, kali ini dengan memutar badannya. Bagai gasing. Lalu turun kembali dengan tersenyum. Dua kali Ugrawe mengeluarkan ilmunya, tetapi Upasara bisa menjawab dengan manis. Padahal semua ini hanya dimungkinkan karena Upasara memiliki kejituan dalam menjawab gerakan menyerang Ugrawe. Ketepatan inilah yang sebenarnya tadi menolong Upasara dalam menundukkan Kawung Sen. "Upasara, kau mau membantah perintahku?"
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:09 pm | |
| "Dalam dunia ini, siapa berani membantah Pujangga Pamungkas? Bahkan Raja Muda Gelang-Gelang pun tak akan berani. Bahkan sejarah pun tak berani mengatakan yang lain. Kalau Pujangga Pamungkas mengatakan Ken Arok menurunkan raja rampok, siapa yang berani membantah? "Bahwa kini Raja Muda Gelang-Gelang ingin mengembalikan takhta kepada yang lebih berhak, kepada darah priyayi, siapa yang membantah?" "Hehehe, tak nyana lidahmu tajam sekali. Ketahuilah, anak ingusan, hari ini aku akan meratakan Keraton Singasari. "Apa susahnya? Sekarang pun sudah bakal rata. Adalah percuma kau menamakan dirimu Pujangga Pamungkas, kalau ternyata tak berani mengakui sendiri" Perhitunganmu terlalu rumit. Dengan prajurit sebanyak ini, kalian sudah bisa masuk Keraton. Dengan Raja Muda Gelang-Gelang berada di depan, pintu Keraton akan terbuka. Dan pemberontakan yang dulu bisa diulangi dengan hasil yang sempurna. "Kenapa kau terlalu kuatir? Begitu kau bisa memancing semua ksatria ke Perguruan Awan, niatmu sudah terlaksana. Kenapa berpikiran kerdil dengan membunuh kami semuanya? Perwira satu dibunuh, esoknya akan ada dua. Ksatria mati satu, esoknya bakal muncul yang lain. "Membunuh seekor burung, tidak bisa merebut hutan. Karena burung telurnya banyak, dan tetap tak berani untuk merebut hutan. Seekor harimau tua yang terbunuh, seluruh isi hutan bakal tunduk." Dengan cerdik sekali Upasara mencoba melempar umpan mengenai strategi Ugrawe yang ingin merebut takhta Keraton. Burung adalah perumpamaan untuk prajurit atau senopati. Sedang harimau adalah perumpamaan untuk Baginda Raja. Semua penduduk mengetahui bahwa Baginda Raja sering diumpamakan sebagai harimau, si raja hutan. "Harimau sudah tua dan gering. Untuk apa dirisaukan dan ditakuti? Tetapi dengan meratakan hutan, akibatnya akan lain. Semut dan anai-anai pun akan menjadi musuhnya." Ugrawe mengerutkan keningnya. Jeli sekali anak muda ini. Tidak mungkin berita rahasia dari Adipati Wiraraja kepada Jayakatwang bisa diketahui anak semuda ini, apa pun pangkat dan kedudukannya dalam Keraton Singasari. Bahkan di dalam Gelang-Gelang pun mungkin tak ada tiga yang mengetahui secara persis isi surat itu. Surat itu adalah surat yang kelewat rahasia. Ditulis dalam tembang, penuh dengan perumpamaan. Raja Muda Gelang-Gelang memang menyerahkan kepada Ugrawe untuk ikut membaca. Surat rahasia Adipati Wiraraja dari Sumenep memberi isyarat bahwa ini adalah saat yang tepat untuk berburu. Seorang pemburu ksatria, adalah seorang yang tepat memilih sangat. Sangat artinya waktu. Dan sekarang ini, tak ada yang menjaga hutan selain harimau tua. Selebihnya hewan kecil, dan tanah tandus. Dalam surat Adipati Wiraraja itu yang dianggap harimau tua adalah Mpu Raganata. Pujangga Keraton yang masih dianggap batu karang yang perlu diperhitungkan. Senopati yang lain sama sekali tak masuk perhitungan. Bahkan Senamata Karmuka pun tidak terlalu dianggap. Karena dalam banyak hal, Baginda Raja tidak begitu menyukai kesetiaan yang ditunjukkan Senamata Karmuka. Dan sesungguhnya, Baginda Raja Singasari tidak sependapat dengan siapa pun. Termasuk Mpu Raganata! Memang ada sedikit penafsiran yang keliru. Di sini, Upasara mengumpamakan Baginda Raja sebagai harimau. Sedang yang diperebutkan hutan itu sendiri. "Tahu apa kau tentang hutan?" "Sebagai orang yang dibesarkan di tengah hutan, saya tahu mengenai segala yang hidup di dalamnya. Tentang harimau atau binatang kecil lainnya." "Hehehe, kau tahu sekarang sudah saatnya berburu?" Upasara merinding melihat sorot mata Ugrawe yang seperti mau menelannya bulat-bulat tanpa mengunyah. "Setiap saat adalah saat yang baik bagi pemburu yang siap," suaranya menjadi sangat rendah. Antara terdengar dan tidak. Sebenarnya Upasara merasa sangat sedih. Karena apa yang dikatakan menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Ugrawe berpikir mendengar nada sedih. Ia tak pernah menyangka bahwa dalam hidupnya bakal bertemu seorang pemuda yang masih muda usianya akan tetapi mempunyai kecerdikan dan kepandaian yang bisa diandalkan. Caranya bisa mengalahkan Kawung Sen menunjukkan bahwa Upasara mempunyai kelebihan yang secara tepat dimanfaatkan. Ugrawe mencoba dengan melontarkan pertanyaan. "Cah bagus, bocah bagus, kau mempunyai bakat sebagai pemburu." Mata Upasara berkilat. Ia tidak menyembunyikan perasaan geramnya. Kalau ia tiba-tiba menerima tawaran kerja sama, diangkat sebagai barisan "pemburu", Ugrawe pasti mengetahui taktiknya ini. Justru karena menebak, Upasara menunjukkan wajah sengitnya. "Saya lahir dan dibesarkan di hutan ini, bagaimana mungkin saya menjadi pemburu?" Lalu disertai tarikan napas pendek. "Saya mungkin bisa membantu. Akan tetapi mengharapkan saya menjadi pemburu, lebih sulit dari membunuh." "Kuhargai keberanian dan kesetiaanmu. Cah bagus, dalam hutan kaukatakan ada harimau tua. Tinggal harimau tua. Ataukah ada binatang buas yang lain?" "Harimau tua si raja rimba hanya dijaga harimau tua yang tidak sependapat dengannya. Memang kalau harimau si raja hutan mendengar nasihat harimau tua yang empu, pemburu tak akan sempat merebut. Tetapi itulah kenyataan. Itulah takdir." "Aku menanyakan binatang buas yang lain." "Apa artinya seekor atau dua ekor binatang buas yang lain kalau ia tak berada di sarangnya?" "Setua-tuanya harimau, cakarnya masih keras juga." "Itulah kalau sempat mencakar. Kalau pemburu sudah dikenal sang harimau, apa susahnya mengelus ekor atau kumisnya?" "Bagaimana caranya mengelus?" "Aku tak percaya padamu." "Ayo, ikut." Sekali ini Ugrawe tidak memaksa. Ia berjalan lebih dulu. Meloncat ke depan. Upasara ikut meloncat, namun ia harus menutul tanah dua kali untuk bisa menjaga jarak. Sampai di depan tenda, Ugrawe menghaturkan sembah. "Mohon Baginda berkenan menerima hamba." "Masuklah, tanpa perlu basa-basi di saat seperti ini, Paman Guru." Ugrawe menghaturkan sembah lagi. Upasara menunduk, memberi hormat, tapi tidak bersila menyembah. Keduanya hampir seiring masuk ke dalam tandu. Tadinya Upasara menduga Raja Muda Gelang-Gelang berada dalam tandu—yang cukup sempit. Akan tetapi tandu itu ternyata hanya merupakan pintu saja. Karena bagian belakangnya bisa disingkapkan, dan keduanya berjalan masuk. Ke dalam suatu tenda. Diam-diam Upasara memuji tempat rahasia yang tidak pernah diduganya. Seperti antara tandu dan kemah tidak ada hubungannya. Upasara juga memuji Raja Muda Gelang-Gelang yang mampu mengirim suara berjarak. Hingga seolah suara itu muncul dari tandu. Sampai di kemah Upasara turut menghaturkan sembah. Ini bukan karena Upasara memperajakan Raja Muda Gelang-Gelang. Ini semacam adat-istiadat kepada seorang raja muda. Kalaupun Raja Muda Gelang-Gelang berada di Keraton Singasari dan ia disuruh menemui, ia akan melakukan hal yang sama. "Bagaimana, Paman Guru?" "Maafkan hamba, Baginda. Ada seorang anak muda yang tahu bagaimana cara berburu harimau. Ia ingin menghaturkan sendiri rencananya kepada Baginda." Raja Muda Gelang-Gelang menepukkan tangannya dan para pengawal utama pergi. Setelah diberi perintah untuk mendongak, barulah Upasara melihat siapa yang dihadapi. Seorang raja muda yang tampan. Badan dan wajahnya sangat terjaga. Bahkan sampai dengan mata serta alisnya. Kalau dilihat sekilas sulit membayangkan bagaimana seorang raja muda yang begini tampan, yang seluruh tubuhnya seperti tak pernah tersentuh debu dan panas matahari, mampu mengirim suara. "Ceritakan, anak muda, siapa pun namamu." "Hamba hanya berani mengatakan kepada Raja Muda." "Aha, Paman Guru ini lebih tahu dari saya." "Maafkan, Raja Muda. Kami baru saja bertemu tadi." Ugrawe menghaturkan sembah. "Biarlah hamba mengundurkan diri. Mau melihat suasana di luar." Sambil menghaturkan sembah, Ugrawe memusatkan tenaganya di tangan. Sampai tergetar. Ini berani kalau Upasara membuat gerakan mencurigakan sedikit saja, tangan itu akan terayun. Upasara merasakan getaran itu. Ia tak mau bertindak bodoh. Ia tak akan menyerang begitu saja. Meskipun Ugrawe telah pergi dari kemah, getaran udaranya masih terasa. "Katakan. anak muda." "Apa jaminan hamba setelah mengatakan rencana?" "Walau aku belum raja penuh, kata-kataku sama berharganya dengan seorang raja. Tak nanti aku menarik ucapanku. Kau akan selamat sampai akhir hayatmu." "Sembah nuwun..." Belum selesai ucapan terima kasih, tiba-tiba terdengar teriakan keras. Angin badai mengguncang tenda. Sampai menimbulkan gempa. Raja Muda Gelang-Gelang meraih tombak di belakang kursi dengan sigap. Upasara bersiap. Belum sepenuhnya bisa memasang kuda-kuda, tenda telah jebol terangkat ke atas, terbang bersama angin. Sungguh tenaga yang luar biasa. Bersamaan dengan itu terdengar deru angin keras. Teriakan prajurit yang terkena sapuan. Upasara baru melihat dengan jelas. Lembu Ugrawe sedang memutar kedua tangan bersilangan sambil tubuhnya terus berputar keras. Yang terlihat hanya gumpalan angin puting yang bergulung keras. Sementara dalam jarak dua tombak salah seorang prajurit sedang meloncat mencoba menembus pusaran angin. "Mati kau!" Teriakan Ugrawe bagai geledek dan guntur sekaligus. Upasara tak bisa melihat jelas apakah pukulan itu dua tangan ditepukkan atau apa, karena terlindung oleh getaran angin yang sangat keras. Prajurit Gelang-Gelang meloncat tinggi sekali, ke atas pohon, dan kemudian meluncur turun dengan sebat. Tujuannya menyerang ke arah Raja Muda Gelang-Gelang. Upasara berteriak dalam hati. Ia sama sekali tak menyangka yang menyamar sebagai prajurit itu orang yang sangat dikenalnya! Ngabehi Pandu! Itu satu-satunya gaya Ngabehi Pandu yang selalu diunggulkan. Hanya Wilanda yang bisa menyamainya. "Senamata busuk, tak akan lolos lagi kau!" Badai angin terus melanda. Bayangan prajurit itu menyerbu masuk. Dua tangan beradu sangat keras. Begitu saling menyentuh, Ugrawe mengganti belitan berikut jotosan dan belum lurus sudah berubah lagi. Menjotos ke arah dada lagi, ditangkis, ke arah wajah, ditangkis, ke arah selangkangan, ditangkis, ke arah dada, ditangkis, ke arah dada lagi, ditangkis, ke arah dada lagi, ditangkis. Entah berapa puluh kali dua-duanya mengadu tenaga keras. Partai keras— sangat keras. Hanya saja kenapa Ugrawe meneriakkan nama Senamata Karmuka dan bukan Ngabehi Pandu? Bukankah itu Ngabehi Pandu? Sejenak Upasara tak bisa mengerti siapa yang tengah bertempur didepannya. Ia memang mendengar bahwa Senamata Karmuka dan Ngabehi Pandu adalah dua bersaudara. Akan tetapi selama ini yang dikenal di dunia luar adalah Senamata Karmuka. Ngabehi Pandu hanya dikenal di kalangan para pesilat. Dua saudara itu sangat berbeda sifatnya. Ngabehi Pandu digelari si mayat bisu, sedang Senamata Karmuka justru sebaliknya. Sangat mungkin sekali ini adalah Senamata Karmuka. Karena setahu Upasara, Ngabehi Pandu tak perlu menyamar sebagai prajurit segala. "Angin kentut masih lebih keras dari ini. Aku maju lagi." Ugrawe menyerbu. Pukulannya yang menyerbu. Menyapu ke tanah, dan terasa betotan yang luar biasa. Tangan yang satunya mengemplang dari atas. Belum selesai sepenuhnya, gerakan diubah. Tangan yang sebelumnya menarik, lalu berbalik. Yang tadinya menghantam, jadi menyedot. Putaran pergantian begitu mendadak keras, dan terpatah-patah. Gemuruh suaranya. Tanaman pendek di sekitar tercerabut beserta akar, dan tanahnya ikut terbang, berputar di udara, dan kembali lagi. Lalu bagai disuntak mendesak ke depan. Ketika melawan Dewa Maut, Upasara merasakan betapa dahsyat ilmu Membalik Arus Sampan, yang mempunyai dasar gerakan yang kurang-lebih sama. Juga dalam mengatur tenaga. Akan tetapi yang disaksikan ini jauh lebih perkasa dari itu. Namun Upasara tak mau membuang waktu percuma. Siapa pun yang dihadapi Ugrawe—Ngabehi Pandu atau Senamata Karmuka—ada di pihaknya. Dan dengan keberanian besar berani menyerbu langsung ke dalam tenda. Sasarannya pastilah Raja Muda Gelang-Gelang. Ini saat yang baik. "Maaf..." Upasara meloncat ke arah Jayakatwang, yang langsung memutar tombak. Miring sabetan tombak yang ujungnya diberi bunga-bunga hiasan. Tangan kanan Upasara berusaha menangkis persis di bawah ujung yang runcing, sementara tangan kiri merebut bagian tangkai. Dalam gerakan pertama Upasara tidak ingin langsung menyerang, akan tetapi berusaha memperdayakan. Maka ketika Jayakatwang langsung menarik mundur tombaknya, Upasara sudah bersiap untuk mengubah tangannya, agar tak tergores. Yang membuatnya agak was was adalah desis dingin dari ujung tombak. Pertanda tombak pusaka yang linuwih, pusaka yang memperlihatkan kelebihan setiap geraknya. Dengan menggeser kaki ke depan, Upasara tetap dalam posisi merebut tombak. Kali ini yang dicengkeram adalah tangan Jayakatwang. Hebat juga Raja Muda Gelang-Gelang ini Telapak tangannya membuka dan baik menangkap tangan Upasara. Tinju Upasara seperti mau digenggam. Upasara menggunakan sikunya untuk menyentil gagang tombak dan jotosannya diubah menjadi tangan kiri. Plak. Terdengar suara keras. Gagang tombak bergoyang. Dua tangan beradu keras. Jayakatwang justru maju ke depan. Mengarah ke leher lawan. Upasara memancal tubuhnya dan kaki dan kini mulai menunjukkan bagian terakhir dan Banteng Ketaton. Leher digerakkan miring sehingga pukulan lawan akan mengenai pundak, akan tetapi serta-merta dengan itu tombak lawan dapat direbut. Tinggal membalik arahnya kepada Jayakatwang sendiri. "Maaf." Lagi Upasara mengeluarkan seruan keras. Tombak bisa digenggam erat, Hanya saja Upasara tidak memperhitungkan bahwa tombak itu ternyata bisa dipatahkan di tengah. Upasara hanya memegang bagian ujung, sementara sisanya justru untuk menusuk—ada pula bagian yang lancip. Menjadi dua buah tombak. Tombak yang dipegang Upasara bisa menangkis, akan tetapi pundaknya bakal kena sasaran. Akan tetapi Jayakatwang tidak bertindak maju, ia malah meloncat mundur. Sedetik Upasara menduga bahwa lawan merencanakan serangan berikut, makanya ia setengah menunggu. Akan tetapi ternyata Jayakatwang lebih suka tidak melibatkan diri dalam pertempuran secara langsung. Cukup dengan menggerakkan tangannya, puluhan prajurit langsung mengepung. "Tangkap hidup-hidup semuanya." Belum prajurit itu maju, desir angin panas bergulung-gulung memadati ruangan. Upasara tak habis pikir ketika merasa sedotan tenaga dalam Ugrawe sudah berhasil menindihnya. Dua kali tadi Upasara berhasil menghindari gerak-gerak sederhana Sindhung Aliwawar. Tapi sekali ini merasa darahnya digojlok habishabisan. Rasanya darahnya mengalir tak karuan, bertubrukan di dinding-dinding pembuluhnya. Belum bisa menguasai diri sepenuhnya, bayangan Ugrawe sudah meloncat ke arahnya. Bersamaan dengan bayangan Ugrawe bayangan lain masuk ke dalam lingkaran angin ribut, dan langsung menyerang. Di tengah udara kedua bayangan itu memukul, ditangkis, ditangkis, memukul, dan ketika turun lagi ke tanah, saling menjejak, dan kembali ke atas lagi. Ugrawe memang luar biasa. Justru ketika berada di atas, ia menghimpun seluruh tenaganya dan seperti mendorong gunung, kedua tangannya terdorong ke depan. Angin dahsyat mengimpit dengan keras, bagai gelombang laut yang mengempas. Upasara meloncat mundur dan terdorong angin hingga tiga tombak. Kakinya tak bisa berdiri tegak. Jatuh tergeletak. Dengan sigap ia bangun, menghadapi keributan prajurit yang mendesak. Luar biasa. Justru karena sebagian tenaga itu telah dapat ditangkis. Secara kedudukan, Ugrawe lebih lemah. Karena ia berada di tengah udara. Nyatanya ia terdorong mundur. Sambil berjumpalitan, sebelum kakinya menyentuh tanah, pukulan berikutnya sudah susul-menyusul. Kemah menjadi porak-poranda. Daerah sekitar Ugrawe seperti tanah kosong. Prajurit yang mencoba mendekat, terseret pusaran angin dan terpental. Kalau kemudian jatuh ke tanah tak bisa bangkit lagi. Ugrawe menyentak keras. Merampas bendera dan menggerakkan ke kanan, ke atas. Barisan pun berubah. Kini semua bergerak ke arah Ugrawe. Menyerbu ke satu titik. Upasara melawan arus prajurit yang menyerbu ke arahnya. Ia berusaha membuka terobosan, akan tetapi selalu saja terdesak mundur kembali. Terpaksa mengurung diri dengan kerisnya. "Anak yang tak tahu diuntung, terimalah kematianmu!" Suara Ugrawe sangat dekat di punggung Upasara. "Jangan takut." Terdengar teriakan dingin yang sama kerasnya. Pu'un berdiri menghadang. "Pu'un, hari-hati!" Teriakan Upasara tak berguna. Ugrawe telah memutar kedua tangannya di atas kepala. Angin puting beliung tercipta, dan dengan seruan keras putarannya tertumpah ke arah Pu'un. Pu'un menggeram seperti seekor harimau. Ia justru masuk ke dalam pusaran angin. Terdengar suara dingin Ugrawe, dua buah tangan yang berputar di udara, meliuk ke arah Pu'un. Yang langsung datang menyambut. Dua tangan beradu, dan dalam sekejap tubuh Pu'un seperti terpelintir, ikut berputar. Ugrawe terus memutar tubuh Pu'un di udara. Disertai gelak yang memiawak ia melemparkan tubuh ke atas. Sebelum tubuh menyentuh tanah, kaki Ugrawe menendang bagian dada, leher, dada lagi, dan leher lagi. Begitu jatuh di atas tanah, Ugrawe meloncat ke atas dan mendarat tepat di dada Pu'un. Ketika Ugrawe menyerbu tadi, prajurit jadi terbelah. Tak ada yang berani mendekat. Kesempatan ini digunakan Upasara untuk meloloskan diri. Ia menerobos dan dengan cepat meninggalkan pertempuran. Masih mendengar teriakan keras Pu'un sebelum yang terakhir ini mengembuskan napas penghabisan. "Wulung, jangan pedulikan. Lakukan tugasmu." Jagaddhita meloncat mendampingi. Bayangan Ugrawe berkelebat masuk. Jagaddhita mengangkat seorang prajurit untuk dilemparkan ke arah Ugrawe. Yang langsung ditangkap dan dibanting. Tak sempat kaget dan berpikir lagi, si prajurit telah meninggal dunia. Jagaddhita menggunakan prajurit yang bisa dipegang sebagai senjata. Akan tetapi Ugrawe tak memikirkan keselamatan prajuritnya sendiri. Setiap lemparan yang datang ditangkis dengan tangan dan tendangan. Sembilan nyawa prajurit secara berurutan jadi korban main lempar-lemparan. Dengan keras Ugrawe melempar balik setiap umpan yang datang. Pada korban yang kesembilan, Ugrawe mengubah. Ketika dilempar lagi, ia bukan menolak seperti biasanya. Melainkan menangkap dan membalikkan. Tapi yang melayang ke depan bukan tubuh prajurit, melainkan tubuhnya sendiri. Dua telunjuknya terjulur ke depan, sementara ketiga jari yang lain tertekuk ke dalam. Seperti mau mencungkil mata Jagaddhita. Jurus ini berbeda dengan jurus yang selalu diunggulkan sebelumnya. Ugrawe kini menyerbu Jagaddhita dengan totokan dua jari yang menggunakan tenaga dalam yang penguasaannya mirip dengan tenaga dalam Jagaddhita. Dua jari yang terulur ini, satu berisi tenaga yang sesungguhnya dan satu lagi berisi tenaga biasa. Kelebihan pengaturan tenaga ini. lawan menjadi bingung untuk menentukan di jari yang mana tenaga sesungguhnya tersimpan. Sebenarnya itu tidak menjadi soal benar, andai bukan Ugrawe yang memainkan. Toh perbedaan jarak antara jari yang satu dan yang kedua sangat dekat. Apalah artinya kalau tinggal menyampok saja. Namun, meskipun jaraknya dekat, daya pancarnya berbeda. Satu jari diangkat ke atas, bisa mengarah ke mata. Satu jari lain ditundukkan ke bawah, bisa menotok ke arah pinggang. Lebih menyulitkan lagi, karena Ugrawe menggunakan empat jari dua tangan yang menyerang serentak. Menghadapi pertempuran jarak pendek, Jagaddhita keteter. Lima jurus berikutnya, kakinya sudah terlalu sulit untuk mengatur pertahanan. Dan dalam sekejap saja ia sudah terkurung. Tinggal waktu saja. Berada pada titik kritis, Jagaddhita memancing dengan serangan balik. Dua jari tangan kanan dibiarkan menelusup ke depan, ia membarengi dengan sentilan ke arah jakun. Ugrawe berseru dingin. Ia terus menerjang. Kalau tipuan yang sama pernah dipraktekkan Jagaddhita kepada Pu'un, kali ini ternyata hasilnya berbeda. Justru Ugrawe tidak memedulikan sentilan ke arah jakunnya. Tangan kiri meraup ke depan, angin berdesir dari samping, langsung menghantam tangan Jagaddhita. Mengira kecolongan, Jagaddhita mencoba menarik balik tangannya. Duk! Tubuh Jagaddhita bergoyang. Tersurung mundur tiga tindak. Ugrawe meloncat maju sekali lagi. Jagaddhita meloncat ke atas sambil berbalik. Ia melancarkan pukulan dengan punggung menghadap ke arah lawan. Tanpa memedulikan serangan lawan, Ugrawe terus menjotos. Duk. Kali ini tubuh Jagaddhita terayun dan terbanting di tanah. "Ayo menyanyi lagi tentang waktu kecil temanmu adalah bidadari. Sekarang diganti, waktu mati temanmu adalah cacing busuk." Tangan kiri Ugrawe berputar satu lingkaran sementara tangan kanan terbuka telapaknya. Sekali terayun, Jagaddhita tak bakal bisa menghindar. Kemungkinan paling kecil hanya bisa menangkis dengan sisa tenaganya. Upasara sudah meloncat beberapa tombak jauhnya. Akan tetapi ia merasa tak tega melihat adegan yang mengerikan. Untuk menolong sudah tak mungkin. Bahkan kalau ingin melemparkan kerisnya pun rasanya hanya sedikit artinya. Bisa merepotkan Ugrawe tetapi tetap tak menolong Jagaddhita. Upasara menjilat bibirnya. "Jangan kuatir, Bibi, aku akan menunaikan tugas terakhir. Kematian bukanlah akhir. Kehidupan bukanlah awal. Yang muda bisa mati, yang tua lebih lama." Upasara melakukan sembah, lalu berbalik. Ugrawe menganggap bahwa Upasara adalah yang paling cerdik dari semua yang hadir. Perhatiannya sempat terpecah juga dengan kata-kata yang diduga mempunyai sayap lain. Siapa yang dimaksudkan dengan yang tua? Apakah hal ini menyinggung Eyang Sepuh? "Anak muda, soal mati-hidup bibimu ini hanya soal kapan aku membalik telapak tangan. Hiburanmu tak akan berguna." "Ugrawe, kau selalu berhitung sangat teliti dan rapi. Kau sudah menang. Untuk apa ragu lagi? Aku sekadar mengacau perhatianmu. Agar kau tak seketika membunuh Bibi. Mungkin dengan begitu akan ada pertolongan datang. Kenapa kau menduga Eyang Sepuh bisa meloloskan diri dan bakal melaporkan hal ini ke Keraton? Sampai sekarang pun kita sama-sama tidak tahu di mana Eyang. Apakah masih bersembunyi di sini, ataukah sudah berada di Keraton, ataukah sedang ditawan lawan yang entah dari mana, atau justru menemui Tamu dari Seberang. Ugrawe, kau boleh merencanakan tipu daya macam-macam. Mengundang para pendekar kelas satu kemari, dengan umpan Tamu dari Seberang. Dan kenyataannya kau berhasil mengundang semuanya. Aku mengatakan semuanya, meskipun kau sendiri hanya membawa Kawung Bersaudara dan mengandalkan prajurit-prajurit yang lain. "Satu hal kau lupakan, bahwa umpan yang kausodorkan berdasarkan perhitungan yang matang. Dan perhitungan itu, memang memungkinkan bahwa Tamu dari Seberang akan datang. Siklus datangnya persis saat-saat sekarang ini. Bahwa yang dituju adalah Perguruan Awan, itulah satu-satunya tempat yang memungkinkan. "Ugrawe, tidak sadarkah bahwa yang kauanggap jebakan, itu sebenarnya bisa terjadi? Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin Pu'un yang dari ujung barat tanah Jawa bisa datang kemari pada waktunya?" "Aku senang caramu bicara. Kau sangat cerdik. Lebih cerdik dari muridmuridku. Tapi mana mungkin aku terkecoh dengan akal bulusku sendiri? Tamu dari Seberang tak pernah ada. Ken Arok zaman dulu hanya membuat kisah itu untuk memantapkan Kehadirannya. Ia mencari persamaan dengan dewa-dewa sebagai nenek moyangnya. Ia mencari darah biru. Tapi sesungguhnya ia perampok besar, bromocorah yang bisa naik takhta. Dan semua keturunannya adalah keturunan perampok besar. Yang hanya akan menghancurkan, yang hanya akan merampok tanah Jawa. Termasuk Kertanegara." "Tugasmu mulia, Ugrawe. Kau ingin mengembalikan takhta di tanah Jawa ini kepada darah biru, darah para dewa. Hanya saja kenapa kau melakukan seperti kerja para perampok?" "Ini urusanku. Itu tanggung jawabku sendiri." Telapak tangan Ugrawe bergetar. "Jagaddhita, hari ini terimalah kematianmu. Sudah kukatakan, Upasara hanya memperpanjang waktu saja. Langit pun tak bisa membantumu. Jagaddhita bangun dengan susah. Rasa nyeri dua pukulan seperti meremukkan isi tubuhnya. "Kau salah perhitungan, Ugrawe. Gendhuk Tri bisa menolong Bibi...." Ugrawe meleletkan lidahnya. Hingga menyentuh kumisnya. "Anak ini sudah kena sirep Pu'un. Tak akan ada yang membebaskannya." "Kau cerdik, akan tetapi salah perhitungan. Pu'un telah membebaskan pengaruh sihirnya. Gendhuk Tri, kau bisa menyerang Ugrawe seketika." Teriakan Upasara mengguntur. Memang, dalam perhitungan hanya Gendhuk Tri yang bisa menyelamatkan Jagaddhita. Pertama karena ia tak diduga bakal menyerang secara tiba-tiba. Kedua, posisinya sangat dekat dengan Ugrawe dan Jagaddhita, tanpa dicurigai. Dengan memberi komando, Upasara mengharap Gendhuk Tri segera bertindak. Upasara menduga bahwa Gendhuk Tri sudah dibebaskan pengaruh sihirnya oleh Pu'un. Karena keduanya sudah diringkus bersama di dalam jala Kawung Sen. Ternyata perhitungan Upasara meleset.
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:10 pm | |
| Gendhuk Tri menoleh ke arah Upasara, akan tetapi. tak bereaksi. Sinar matanya masih kosong saja. "Gendhuk... sekarang!" Ugrawe mengelus kumisnya. Jagaddhita terhuyung ke belakang. Suasana sekeliling terasa hening mencekam. Upasara menggertakkan gerahamnya. Jagaddhita menerawang pasrah. ... kenapa harus bersedih hati.. waktu kecil tontonanmu adalah bidadari... ... Mendadak terjadi perubahan. Gendhuk Tri seperti tersadar, dan mencabut patrem dan setagennya, langsung meloncat ke arah Ugrawe. Pusat perhatian Ugrawe memang sepenuhnya tertuju kepada Jagaddhita. Ia tak mengira sama sekali bahwa Gendhuk Tri bakal meloncat langsung ke arahnya. Meloncat dan mendaki tangan Ugrawe. Begitu berada di atas, patrem Gendhuk Tri menyabet ke bawah dengan cepat sekali. Irisan tajam mengarah ke wajah! Berteriak pun Ugrawe tak sempat. Tangan kanan yang dipakai pancalan, ditarik mundur. Berikut tangan kiri berusaha menutup wajah. Tenaga terkumpul di tangan sedemikian kuat, sehingga arah patrem melenceng ke kiri. Tak urung, menyambar, daun telinga Ugrawe kena diiris. Darah muncrat membanjir, Ugrawe melontarkan tubuhnya ke belakang dan dua tangannya kini menyambar ke atas. Gendhuk Tri tidak menarik mundur serangan kedua, malah berusaha melompat maju lagi. Dengan cara berjumpalitan di angkasa. Upasara meloncat maju bersamaan dengan gerak Gendhuk Tri tadi, menyambar tubuh Gendhuk Tri dan membawa lari. Perhitungan Upasara tepat dan menentukan. Karena saat itu Ugrawe sudah melontarkan pukulan andalannya. Bumi seperti tergetar. Menggandeng Gendhuk Tri, Upasara meluncur sambil tangan kirinya menyambut uluran tangan Jagaddhita. Dalam sekejap ketiga tubuh melayang ke arah jauh. Walau dalam keadaan terluka, ilmu meringankan tubuh Jagaddhita masih bisa diandalkan. Dengan empat kali loncatan, mereka telah terbebas dari serangan Ugrawe. Sementara itu Ugrawe tidak langsung menyerbu. Ia memegangi telinganya yang telah. somplak. Darah yang mengucur segera dihentikan dengan memijit urat di dekat pelipis. Lalu tangannya merampas bendera dan memberi komando untuk serbuan total. Kini seluruh prajurit menyerbu ke arah satu jurusan. Bagi Upasara, Gendhuk Tri, dan Jagaddhita tak terlalu sulit untuk meloloskan diri. Akan tetapi di depan berdiri Kawung Benggol yang menunggu. Dengan tetap bergandengan tangan, ketiganya melabrak lawan. Menduga lawan bakal mengeroyok, Kawung Benggol yang sudah terluka tangannya tak berani adu keras lawan keras. Ia menarik pukulannya. Kesempatan ini digunakan Upasara untuk terus menerobos maju. "Gendhuk, kau tak apa-apa?" "Entahlah," jawab Gendhuk Tri. "Kadang aku seperti mengantuk." "Masih mengantuk?" Tak ada jawaban. Upasara menggeleng lembut. Ternyata pengaruh sihir Pu'un masih sangat kuat. Belum bisa dibebaskan sepenuhnya. Hanya waktu Jagaddhita mendendangkan tembang yang dikenal tadi, ingatannya pulih normal. Kini masih bengong kembali. Di arena yang lain, Kawung Ketip beserta puluhan prajuritnya menyerbu ke arah rombongan yang dilindungi oleh Tiga Pengelana Gunung Semeru. Wilanda terhuyung-huyung, sementara Dewa Maut mencoba menjaga Padmamuka yang kelihatannya makin berat. Obat bubuk yang ditaburkan dalam badannya ternyata menjadi racun yang keras. Dewa Maut tak tahan. Ia bopong Padmamuka dan mencoba mencari jalan sendiri. "Jangan keluar dari lingkaran," Panengah berteriak memberi peringatan. Ia sendiri mengubah tempatnya, mencoba mendampingi Dewa Maut. Pembarep dan Wuragil segera mengikuti gerak Panengah, agar bentuk lingkaran sebagai payung tetap kuat. Apa yang dikuatirkan Panengah memang terjadi. Begitu menerobos ke luar, Dewa Maut sudah langsung terkurung. Kawung Ketip menyabet kaki Dewa Maut, yang langsung menjadi limbung karenanya. Tubuhnya bergerak-gerak, Padmamuka sendiri lepas dari bopongannya. Tubuhnya jatuh ke tanah, dan Kawung Ketip menendang keris. Terdengar teriakan mengaduh perlahan, tubuh Padmamuka membal ke atas. "Toleee..." Dewa Maut menjerit, berusaha bangkit. Akan tetapi luka dalam membuatnya makin parah. Darah segar muntah dari bibirnya, Sebagian berwarna gelap. Belum bisa berdiri lurus, Kawung Ketip sudah melontarkan pukulan berikutnya. Dewa Maut tak berkelit, tak menghindar. Tujuannya hanya satu, mendekat ke arah Padmamuka. Kena senggol angin pukulan saja, Dewa Maut langsung terguling. Tubuhnya jatuh bagai pisang ditebang. Rubuh seketika. Tangannya mencoba menggapai ke depan, tetapi seperti memegang udara kosong. Jaghana yang melihat Kawung Ketip mencoba menerjang lagi, cepat sekali menggulung dirinya. Masuk ke dalam perkelahian. Kawung Ketip bersiap, tapi seketika ia terseret arus berputar. Tak ada jalan lain. Ia ikut berputar masuk dalam lingkaran. Kalau saja Upasara sempat mengamati dengan teliti, ia bisa mengerti bahwa kini yang dimainkan Jaghana adalah permainan sepenuhnya. Bukan seperti ketika menghadapi Upasara tadi. Pesat bagai gasing, Jaghana berputar melipat. Makin lama putarannya makin sempit, sehingga jarak keduanya makin dekat, makin dekat, makin lekat, dan akan saling menempel. Kawung Ketip bukan jagoan sembarangan. Ia dulu, bersama dua adiknya, termasuk yang menyerbu sampai ke dinding Keraton Singasari. Ilmunya tidak sembarangan. Apalagi selama menyembunyikan diri ini, Kawung Ketip makin memperdalam. Hanya saja sekarang ini yang dihadapi adalah lawan yang sekelas dengannya. Sebelum ia mengembangkan ilmunya, sudah terpancing jenis permainan lawan. ilmu berputar memang bukan ilmu yang bisa dipelajari dengan mudah. Mana lagi ia membuat kesalahan fatal, yang baru diketahui kemudian. Ketika menendang tubuh Padmamuka tadi, secara tidak langsung ia terkena racun. Kakinya yang untuk menendang mulai terasa kesemutan. Itu tentu saja menghambat kemampuan geraknya. Sebaliknya Jaghana justru sedang berusaha melipat habis. Telapak tangannya berputar, sementara tubuhnya sendiri terus berputar. Merasa bahwa lawan makin tertekan, Jaghana mengeluarkan seluruh kemampuannya. Kawung Ketip berusaha membetot lawan. Bagian yang diserang di arah selangkangan. Melihat lawan begitu licik, Jaghana menjadi lebih kuat. Tangan lawan ditangkap, sementara tubuhnya terus berputar. Kali ini Kawung Ketip benar-benar turut berputar sambil berpegangan. Satu tangan lagi mencoba menyodet lubang hidung. Jaghana menangkap pula. Lengkaplah kini. Dua tangan berpegangan, saling menggempur dengan menyalurkan tenaga dalam. Kawung Ketip berusaha, sementara terus berputar mengangkat lututnya. Lagi-lagi yang diarah adalah selangkangan. Risikonya bukan tidak ada. Kuda-kudanya menjadi agak timpang. Akan tetapi kalau sodokannya mengena, Jaghana bakal habis di sini. Paling tidak bakal ada yang pecah kena sodokan lutut. Tapi justru Jaghana melihat kelemahan lawan. Begitu kaki lawan terangkat, satu kaki langsung menyapu. Keras, cepat, dan menebas. Kena gaet satu kakinya, Kawung Ketip mengeluarkan suara tertahan. Gempuran kaki Jaghana bukan hanya sangat keras, tetapi membuat ngilu sampai ke sumsum. Tak tahan, Kawung Ketip berusaha mencengkeram lawan dengan kencang, seperti mau memencet urat nadinya. Jaghana justru merasa bagian bawah lawan tak ada perlawanan sama sekali. Gempuran kaki berubah menjadi semacam gaetan, dan ketika disentakkan, Kawung Ketip melayang di angkasa. Wuragil berseru keras sambil meloncat dan mengayunkan pedangnya. Tiga kali menebas, tiga-tiganya bisa mengenai tubuh lawan. Sebelum tubuh Kawung Ketip menyentuh tanah, sudah terpisah menjadi tiga potong. Kawung Benggol tak menduga bahwa kakak sulungnya begitu cepat bisa ditaklukkan lawan. Dalam geramnya ia mengayunkan rantai panjang, menyerang Wuragil dari belakang. Di tengah udara, Wuragil membalikkan tubuhnya, menyabet rantai lawan. Pedangnya bisa dilihat. Kawung Benggol menyentakkan. Meskipun sebenarnya dua tangan, dan terutama kakinya, terluka, akan tetapi tenaganya cukup kuat. Apalagi dibandingkan dengan Wuragil yang masih berada di angkasa. Pedang Wuragil bisa terlepas. Dalam sentakan berikutnya, Kawung Benggol melepaskan libatan, dan pedang itu berbalik meluncur ke arah pemiliknya. Pembarep meloncat ke atas, sementara Panengah langsung memasang kudakuda. Ternyata Pembarep naik ke atas pundak Panengah. Di atas bahu Panengah, Pembarep mengayunkan tangan, dan menangkap pedang. Sementara itu, Wuragil melayang turun dengan aman. Hebat gerakan Trisula ini! Karena begitu menyentuh tanah, Wuragil langsung ganti memasang kudakuda. Melihat Kawung Benggol menyerbu masuk, Panengah meloncat. Dengan Pembarep masih berada di pundaknya, ia meloncat maju dan hinggap di pundak Wuragil! Kini Tiga Pengelana Gunung Semeru berdiri tegak lurus satu sama lain. Menjulang ke atas. Inilah yang disebut Semeru Manjing Langit, atau Gunung Semeru Bersatu dengan Langit. Ini salah satu dari tiga jurus berantai andalan dari Gunung Semeru. Konon jurus ini merupakan jurus yang berintikan penyerahan diri kepada kekuasaan Yang Mahatinggi. Semeru Manjing Langit adalah sinonim dari Curiga Manjing Warangka, atau Keris Kembali ke Sarungnya. Dalam pengertian Jawa ini mengandung falsafah penyerahan diri secara total. Sering disebut-sebut sebagai bersatunya umat manusia dengan Sang Maha Pencipta. Pada Tiga Pengelana Gunung Semeru, jurus ini akan mencapai hasil maksimal jika di antara ketiga ksatria bisa menyatukan pikiran. Seolah-olah hanya satu pikiran tiga badan. Berdasarkan latihan bersama yang memakan waktu lama, kemungkinan ini bisa tercapai. Walau ketiganya memiliki perangai yang berbeda, akan tetapi ketika menghadapi lawan bisa satu kehendak. Seperti ketika Wuragil turun ke bawah tadi, ia langsung memasang kuda-kuda, dan Panengah langsung hinggap di pundak Wuragil. Sementara Pembarep tetap bertengger di atas. Kalau tidak ada saling pengertian, gerakan itu tak bisa terwujud dengan sempurna. Karena walau Wuragil sudah berdiri memasang kuda-kuda di depan, tidak selalu kedua ksatria yang lain akan melakukan jurus Semeru Manjing Langit. Tergantung pada situasi yang dihadapi. Dan Wuragil cukup tanggap. Melihat Kawung Benggol meloncat tinggi, ia langsung memasang dasar dari jurus andalan. Dan rupanya Panengah pun melihat jalan keluar yang sama, sehingga langsung meloncat ke atas pundak. Kalau saat itu Pembarep melihat kemungkinan yang tidak sama, ia bisa memilih gerakan tersendiri. Tapi agaknya justru sekarang ini melihat satu titik penyelesaian yang sama! Tak alang kepalang kagetnya Kawung Benggol! Ia sudah meloncat ke atas. Yang dihadapi adalah tiga orang yang berdiri secara lurus satu sama lain. Sempat tergetar hatinya, Kawung Benggol merasa makin tak bisa memusatkan pikiran. Mau menyerang bagian yang mana. Bagian atas atau bagian tengah. Tak ada pilihan selain harus menggempur semuanya. Dan ini dirasa tak menguntungkan. Kawung Benggol tak sempat menutup diri sepenuhnya ketika tangan Pembarep menyentuh pundaknya dan menekan ke bawah, sementara siku Panengah menyodok dada. Dua sodokan yang masuk secara telak. Kawung Benggol belum bisa sepenuhnya merasakan rasa pedih dan ngilu, ketika Wuragil menusukkan tombak yang diraup dari tanah. Bagai sate besar, tubuh Kawung Benggol tertahan pada tombak, yang oleh Wuragil disentakkan kembali ke atas. Dan Kawung Benggol melayang ke atas. Panengah bisa menambahi dengan beberapa pukulan. Akan tetapi agaknya Pembarep tidak tega. Ia lebih dulu mengulurkan tangan, merampas tubuh Kawung Benggol dan melemparkan ke tengah prajurit yang datang menyerbu. Ia sendiri langsung turun, disusul oleh Panengah) dan ketiganya membentuk barisan menahan serbuan. Bagi Wuragil semua tadi adalah kesempatan untuk memamerkan kemampuannya. Sejak datang ia kena dipecundangi, dan belum sedikit pun bisa memperlihatkan kepandaiannya. Maka begitu Kawung Ketip dan Kawung Benggol menyerbu, ia menyambut dengan gairah. Berbeda dengan Pembarep yang paling tenang. Ia tak berniat jahat. Bahkan kalau mungkin tak ingin membunuh lawan. Namun Kawung Benggol tak bisa bertahan lama, Tubuhnya terlempar dengan tombak masih menancap. Dua sodokan siku Panengah telah mengacaukan sistem pernapasannya. Maka begitu berdentam di tanah, ia hanya berkelojotan sebentar lalu terbaring untuk selamanya. Ketiga Pengelana Gunung Semeru memasang barisan rapat. Setiap serbuan bisa dihalau, meskipun dengan demikian mereka terpaksa bekerja sangat keras. Jaghana juga turut menahan dari samping kiri, agar masih mempunyai ruang tersisa. Rombongan Upasara juga mulai bergabung. Mereka terdesak dan terus mundur. Mendadak terdengar sangkakala ditiup sangat nyaring. Pasukan Gelang- Gelang yang berada di depan tak masuk menyerbu- Bertahan. Sementara lapisan ketiga di belakangnya, semua memasang anak panah yang ujungnya dibakar. Agak jauh di tengah, Ugrawe berdiri di atas papan yang diangkat tinggi-tinggi. "Panah api..." Teriakan Ugrawe disusul dengan ratusan anak panah berapi menderu bagai disiram dari langit. Beberapa bisa disampok, beberapa berbenturan sendiri. Namun tak urung semua terdorong mundur dan makin mundur. "Awas, beracun. Jaga pernapasan." Pembarep lebih dulu menutup diri. Kedudukan memang makin sulit. Ratusan anak panah yang secara terusmenerus dilepaskan adalah anak panah berapi. Bahaya sesungguhnya bukan berasal dari api itu, melainkan berasal dari api yang padam. Asapnya akan mengeluarkan sejenis bau yang menusuk hidung. Sebenarnya justru karena baunya yang sangit, seperti kain terbakar, mudah cara menghindarinya. Hanya saja karena jumlahnya kelewat banyak, asap tak bisa dihindari. Kalau panah tidak ditebas, apinya juga menyulitkan. Jagaddhita yang berjalan sempoyongan mulai merasa betapa ganasnya bau itu. "Celaka, kita bisa habis di sini." Senopati yang lain sama sekali tak masuk perhitungan. Bahkan Senamata Karmuka pun tidak terlalu dianggap. Karena dalam banyak hal, Baginda Raja tidak begitu menyukai kesetiaan yang ditunjukkan Senamata Karmuka. Dan sesungguhnya, Baginda Raja Singasari tidak sependapat dengan siapa pun. Termasuk Mpu Raganata! Memang ada sedikit penafsiran yang keliru. Di sini, Upasara mengumpamakan Baginda Raja sebagai harimau. Sedang yang diperebutkan hutan itu sendiri. "Tahu apa kau tentang hutan?" "Sebagai orang yang dibesarkan di tengah hutan, saya tahu mengenai segala yang hidup di dalamnya. Tentang harimau atau binatang kecil lainnya." "Hehehe, kau tahu sekarang sudah saatnya berburu?" Upasara merinding melihat sorot mata Ugrawe yang seperti mau menelannya bulat-bulat tanpa mengunyah. "Setiap saat adalah saat yang baik bagi pemburu yang siap," suaranya menjadi sangat rendah. Antara terdengar dan tidak. Sebenarnya Upasara merasa sangat sedih. Karena apa yang dikatakan menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Ugrawe berpikir mendengar nada sedih. Ia tak pernah menyangka bahwa dalam hidupnya bakal bertemu seorang pemuda yang masih muda usianya akan tetapi mempunyai kecerdikan dan kepandaian yang bisa diandalkan. Caranya bisa mengalahkan Kawung Sen menunjukkan bahwa Upasara mempunyai kelebihan yang secara tepat dimanfaatkan. Ugrawe mencoba dengan melontarkan pertanyaan. "Cah bagus, bocah bagus, kau mempunyai bakat sebagai pemburu." Mata Upasara berkilat. Ia tidak menyembunyikan perasaan geramnya. Kalau ia tiba-tiba menerima tawaran kerja sama, diangkat sebagai barisan "pemburu", Ugrawe pasti mengetahui taktiknya ini. Justru karena menebak, Upasara menunjukkan wajah sengitnya. "Saya lahir dan dibesarkan di hutan ini, bagaimana mungkin saya menjadi pemburu?" Lalu disertai tarikan napas pendek. "Saya mungkin bisa membantu. Akan tetapi mengharapkan saya menjadi pemburu, lebih sulit dari membunuh." "Kuhargai keberanian dan kesetiaanmu. Cah bagus, dalam hutan kaukatakan ada harimau tua. Tinggal harimau tua. Ataukah ada binatang buas yang lain?" "Harimau tua si raja rimba hanya dijaga harimau tua yang tidak sependapat dengannya. Memang kalau harimau si raja hutan mendengar nasihat harimau tua yang empu, pemburu tak akan sempat merebut. Tetapi itulah kenyataan. Itulah takdir." "Aku menanyakan binatang buas yang lain." "Apa artinya seekor atau dua ekor binatang buas yang lain kalau ia tak berada di sarangnya?" "Setua-tuanya harimau, cakarnya masih keras juga." "Itulah kalau sempat mencakar. Kalau pemburu sudah dikenal sang harimau, apa susahnya mengelus ekor atau kumisnya?" "Bagaimana caranya mengelus?" "Aku tak percaya padamu." "Ayo, ikut." Sekali ini Ugrawe tidak memaksa. Ia berjalan lebih dulu. Meloncat ke depan. Upasara ikut meloncat, namun ia harus menutul tanah dua kali untuk bisa menjaga jarak. Sampai di depan tenda, Ugrawe menghaturkan sembah. "Mohon Baginda berkenan menerima hamba." "Masuklah, tanpa perlu basa-basi di saat seperti ini, Paman Guru." Ugrawe menghaturkan sembah lagi. Upasara menunduk, memberi hormat, tapi tidak bersila menyembah. Keduanya hampir seiring masuk ke dalam tandu. Tadinya Upasara menduga Raja Muda Gelang-Gelang berada dalam tandu—yang cukup sempit. Akan tetapi tandu itu ternyata hanya merupakan pintu saja. Karena bagian belakangnya bisa disingkapkan, dan keduanya berjalan masuk. Ke dalam suatu tenda. Diam-diam Upasara memuji tempat rahasia yang tidak pernah diduganya. Seperti antara tandu dan kemah tidak ada hubungannya. Upasara juga memuji Raja Muda Gelang-Gelang yang mampu mengirim suara berjarak. Hingga seolah suara itu muncul dari tandu. Sampai di kemah Upasara turut menghaturkan sembah. Ini bukan karena Upasara memperajakan Raja Muda Gelang-Gelang. Ini semacam adat-istiadat kepada seorang raja muda. Kalaupun Raja Muda Gelang-Gelang berada di Keraton Singasari dan ia disuruh menemui, ia akan melakukan hal yang sama. "Bagaimana, Paman Guru?" "Maafkan hamba, Baginda. Ada seorang anak muda yang tahu bagaimana cara berburu harimau. Ia ingin menghaturkan sendiri rencananya kepada Baginda." Raja Muda Gelang-Gelang menepukkan tangannya dan para pengawal utama pergi. Setelah diberi perintah untuk mendongak, barulah Upasara melihat siapa yang dihadapi. Seorang raja muda yang tampan. Badan dan wajahnya sangat terjaga. Bahkan sampai dengan mata serta alisnya. Kalau dilihat sekilas sulit membayangkan bagaimana seorang raja muda yang begini tampan, yang seluruh tubuhnya seperti tak pernah tersentuh debu dan panas matahari, mampu mengirim suara. "Ceritakan, anak muda, siapa pun namamu." "Hamba hanya berani mengatakan kepada Raja Muda." "Aha, Paman Guru ini lebih tahu dari saya." "Maafkan, Raja Muda. Kami baru saja bertemu tadi." Ugrawe menghaturkan sembah. "Biarlah hamba mengundurkan diri. Mau melihat suasana di luar." Sambil menghaturkan sembah, Ugrawe memusatkan tenaganya di tangan. Sampai tergetar. Ini berani kalau Upasara membuat gerakan mencurigakan sedikit saja, tangan itu akan terayun. Upasara merasakan getaran itu. Ia tak mau bertindak bodoh. Ia tak akan menyerang begitu saja. Meskipun Ugrawe telah pergi dari kemah, getaran udaranya masih terasa. "Katakan. anak muda." "Apa jaminan hamba setelah mengatakan rencana?" "Walau aku belum raja penuh, kata-kataku sama berharganya dengan seorang raja. Tak nanti aku menarik ucapanku. Kau akan selamat sampai akhir hayatmu." "Sembah nuwun..." Belum selesai ucapan terima kasih, tiba-tiba terdengar teriakan keras. Angin badai mengguncang tenda. Sampai menimbulkan gempa. Raja Muda Gelang-Gelang meraih tombak di belakang kursi dengan sigap. Upasara bersiap. Belum sepenuhnya bisa memasang kuda-kuda, tenda telah jebol terangkat ke atas, terbang bersama angin. Sungguh tenaga yang luar biasa. Bersamaan dengan itu terdengar deru angin keras. Teriakan prajurit yang terkena sapuan. Upasara baru melihat dengan jelas. Lembu Ugrawe sedang memutar kedua tangan bersilangan sambil tubuhnya terus berputar keras. Yang terlihat hanya gumpalan angin puting yang bergulung keras. Sementara dalam jarak dua tombak salah seorang prajurit sedang meloncat mencoba menembus pusaran angin. "Mati kau!" Teriakan Ugrawe bagai geledek dan guntur sekaligus. Upasara tak bisa melihat jelas apakah pukulan itu dua tangan ditepukkan atau apa, karena terlindung oleh getaran angin yang sangat keras. Prajurit Gelang-Gelang meloncat tinggi sekali, ke atas pohon, dan kemudian meluncur turun dengan sebat. Tujuannya menyerang ke arah Raja Muda Gelang-Gelang. Upasara berteriak dalam hati. Ia sama sekali tak menyangka yang menyamar sebagai prajurit itu orang yang sangat dikenalnya! Ngabehi Pandu! Itu satu-satunya gaya Ngabehi Pandu yang selalu diunggulkan. Hanya Wilanda yang bisa menyamainya. "Senamata busuk, tak akan lolos lagi kau!" Badai angin terus melanda. Bayangan prajurit itu menyerbu masuk. Dua tangan beradu sangat keras. Begitu saling menyentuh, Ugrawe mengganti belitan berikut jotosan dan belum lurus sudah berubah lagi. Menjotos ke arah dada lagi, ditangkis, ke arah wajah, ditangkis, ke arah selangkangan, ditangkis, ke arah dada, ditangkis, ke arah dada lagi, ditangkis, ke arah dada lagi, ditangkis. Entah berapa puluh kali dua-duanya mengadu tenaga keras. Partai keras— sangat keras. Hanya saja kenapa Ugrawe meneriakkan nama Senamata Karmuka dan bukan Ngabehi Pandu? Bukankah itu Ngabehi Pandu? Sejenak Upasara tak bisa mengerti siapa yang tengah bertempur didepannya. Ia memang mendengar bahwa Senamata Karmuka dan Ngabehi Pandu adalah dua bersaudara. Akan tetapi selama ini yang dikenal di dunia luar adalah Senamata Karmuka. Ngabehi Pandu hanya dikenal di kalangan para pesilat. Dua saudara itu sangat berbeda sifatnya. Ngabehi Pandu digelari si mayat bisu, sedang Senamata Karmuka justru sebaliknya. Sangat mungkin sekali ini adalah Senamata Karmuka. Karena setahu Upasara, Ngabehi Pandu tak perlu menyamar sebagai prajurit segala. "Angin kentut masih lebih keras dari ini. Aku maju lagi." Ugrawe menyerbu. Pukulannya yang menyerbu. Menyapu ke tanah, dan terasa betotan yang luar biasa. Tangan yang satunya mengemplang dari atas. Belum selesai sepenuhnya, gerakan diubah. Tangan yang sebelumnya menarik, lalu berbalik. Yang tadinya menghantam, jadi menyedot. Putaran pergantian begitu mendadak keras, dan terpatah-patah. Gemuruh suaranya. Tanaman pendek di sekitar tercerabut beserta akar, dan tanahnya ikut terbang, berputar di udara, dan kembali lagi. Lalu bagai disuntak mendesak ke depan. Ketika melawan Dewa Maut, Upasara merasakan betapa dahsyat ilmu Membalik Arus Sampan, yang mempunyai dasar gerakan yang kurang-lebih sama. Juga dalam mengatur tenaga. Akan tetapi yang disaksikan ini jauh lebih perkasa dari itu. Namun Upasara tak mau membuang waktu percuma. Siapa pun yang dihadapi Ugrawe—Ngabehi Pandu atau Senamata Karmuka—ada di pihaknya. Dan dengan keberanian besar berani menyerbu langsung ke dalam tenda. Sasarannya pastilah Raja Muda Gelang-Gelang. Ini saat yang baik. "Maaf..." Upasara meloncat ke arah Jayakatwang, yang langsung memutar tombak. Miring sabetan tombak yang ujungnya diberi bunga-bunga hiasan. Tangan kanan Upasara berusaha menangkis persis di bawah ujung yang runcing, sementara tangan kiri merebut bagian tangkai. Dalam gerakan pertama Upasara tidak ingin langsung menyerang, akan tetapi berusaha memperdayakan. Maka ketika Jayakatwang langsung menarik mundur tombaknya, Upasara sudah bersiap untuk mengubah tangannya, agar tak tergores. Yang membuatnya agak was was adalah desis dingin dari ujung tombak. Pertanda tombak pusaka yang linuwih, pusaka yang memperlihatkan kelebihan setiap geraknya. Dengan menggeser kaki ke depan, Upasara tetap dalam posisi merebut tombak. Kali ini yang dicengkeram adalah tangan Jayakatwang. Hebat juga Raja Muda Gelang-Gelang ini Telapak tangannya membuka dan baik menangkap tangan Upasara. Tinju Upasara seperti mau digenggam. Upasara menggunakan sikunya untuk menyentil gagang tombak dan jotosannya diubah menjadi tangan kiri. Plak. Terdengar suara keras. Gagang tombak bergoyang. Dua tangan beradu keras. Jayakatwang justru maju ke depan. Mengarah ke leher lawan. Upasara memancal tubuhnya dan kaki dan kini mulai menunjukkan bagian terakhir dan Banteng Ketaton. Leher digerakkan miring sehingga pukulan lawan akan mengenai pundak, akan tetapi serta-merta dengan itu tombak lawan dapat direbut. Tinggal membalik arahnya kepada Jayakatwang sendiri. "Maaf." Lagi Upasara mengeluarkan seruan keras. Tombak bisa digenggam erat, Hanya saja Upasara tidak memperhitungkan bahwa tombak itu ternyata bisa dipatahkan di tengah. Upasara hanya memegang bagian ujung, sementara sisanya justru untuk menusuk—ada pula bagian yang lancip. Menjadi dua buah tombak. Tombak yang dipegang Upasara bisa menangkis, akan tetapi pundaknya bakal kena sasaran. Akan tetapi Jayakatwang tidak bertindak maju, ia malah meloncat mundur. Sedetik Upasara menduga bahwa lawan merencanakan serangan berikut, makanya ia setengah menunggu. Akan tetapi ternyata Jayakatwang lebih suka tidak melibatkan diri dalam pertempuran secara langsung. Cukup dengan menggerakkan tangannya, puluhan prajurit langsung mengepung. "Tangkap hidup-hidup semuanya."
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:11 pm | |
| Belum prajurit itu maju, desir angin panas bergulung-gulung memadati ruangan. Upasara tak habis pikir ketika merasa sedotan tenaga dalam Ugrawe sudah berhasil menindihnya. Dua kali tadi Upasara berhasil menghindari gerak-gerak sederhana Sindhung Aliwawar. Tapi sekali ini merasa darahnya digojlok habishabisan. Rasanya darahnya mengalir tak karuan, bertubrukan di dinding-dinding pembuluhnya. Belum bisa menguasai diri sepenuhnya, bayangan Ugrawe sudah meloncat ke arahnya. Bersamaan dengan bayangan Ugrawe bayangan lain masuk ke dalam lingkaran angin ribut, dan langsung menyerang. Di tengah udara kedua bayangan itu memukul, ditangkis, ditangkis, memukul, dan ketika turun lagi ke tanah, saling menjejak, dan kembali ke atas lagi. Ugrawe memang luar biasa. Justru ketika berada di atas, ia menghimpun seluruh tenaganya dan seperti mendorong gunung, kedua tangannya terdorong ke depan. Angin dahsyat mengimpit dengan keras, bagai gelombang laut yang mengempas. Upasara meloncat mundur dan terdorong angin hingga tiga tombak. Kakinya tak bisa berdiri tegak. Jatuh tergeletak. Dengan sigap ia bangun, menghadapi keributan prajurit yang mendesak. Luar biasa. Justru karena sebagian tenaga itu telah dapat ditangkis. Secara kedudukan, Ugrawe lebih lemah. Karena ia berada di tengah udara. Nyatanya ia terdorong mundur. Sambil berjumpalitan, sebelum kakinya menyentuh tanah, pukulan berikutnya sudah susul-menyusul. Kemah menjadi porak-poranda. Daerah sekitar Ugrawe seperti tanah kosong. Prajurit yang mencoba mendekat, terseret pusaran angin dan terpental. Kalau kemudian jatuh ke tanah tak bisa bangkit lagi. Ugrawe menyentak keras. Merampas bendera dan menggerakkan ke kanan, ke atas. Barisan pun berubah. Kini semua bergerak ke arah Ugrawe. Menyerbu ke satu titik. Upasara melawan arus prajurit yang menyerbu ke arahnya. Ia berusaha membuka terobosan, akan tetapi selalu saja terdesak mundur kembali. Terpaksa mengurung diri dengan kerisnya. "Anak yang tak tahu diuntung, terimalah kematianmu!" Suara Ugrawe sangat dekat di punggung Upasara. "Jangan takut." Terdengar teriakan dingin yang sama kerasnya. Pu'un berdiri menghadang. "Pu'un, hari-hati!" Teriakan Upasara tak berguna. Ugrawe telah memutar kedua tangannya di atas kepala. Angin puting beliung tercipta, dan dengan seruan keras putarannya tertumpah ke arah Pu'un. Pu'un menggeram seperti seekor harimau. Ia justru masuk ke dalam pusaran angin. Terdengar suara dingin Ugrawe, dua buah tangan yang berputar di udara, meliuk ke arah Pu'un. Yang langsung datang menyambut. Dua tangan beradu, dan dalam sekejap tubuh Pu'un seperti terpelintir, ikut berputar. Ugrawe terus memutar tubuh Pu'un di udara. Disertai gelak yang memiawak ia melemparkan tubuh ke atas. Sebelum tubuh menyentuh tanah, kaki Ugrawe menendang bagian dada, leher, dada lagi, dan leher lagi. Begitu jatuh di atas tanah, Ugrawe meloncat ke atas dan mendarat tepat di dada Pu'un. Ketika Ugrawe menyerbu tadi, prajurit jadi terbelah. Tak ada yang berani mendekat. Kesempatan ini digunakan Upasara untuk meloloskan diri. Ia menerobos dan dengan cepat meninggalkan pertempuran. Masih mendengar teriakan keras Pu'un sebelum yang terakhir ini mengembuskan napas penghabisan. "Wulung, jangan pedulikan. Lakukan tugasmu." Jagaddhita meloncat mendampingi. Bayangan Ugrawe berkelebat masuk. Jagaddhita mengangkat seorang prajurit untuk dilemparkan ke arah Ugrawe. Yang langsung ditangkap dan dibanting. Tak sempat kaget dan berpikir lagi, si prajurit telah meninggal dunia. Jagaddhita menggunakan prajurit yang bisa dipegang sebagai senjata. Akan tetapi Ugrawe tak memikirkan keselamatan prajuritnya sendiri. Setiap lemparan yang datang ditangkis dengan tangan dan tendangan. Sembilan nyawa prajurit secara berurutan jadi korban main lempar-lemparan. Dengan keras Ugrawe melempar balik setiap umpan yang datang. Pada korban yang kesembilan, Ugrawe mengubah. Ketika dilempar lagi, ia bukan menolak seperti biasanya. Melainkan menangkap dan membalikkan. Tapi yang melayang ke depan bukan tubuh prajurit, melainkan tubuhnya sendiri. Dua telunjuknya terjulur ke depan, sementara ketiga jari yang lain tertekuk ke dalam. Seperti mau mencungkil mata Jagaddhita. Jurus ini berbeda dengan jurus yang selalu diunggulkan sebelumnya. Ugrawe kini menyerbu Jagaddhita dengan totokan dua jari yang menggunakan tenaga dalam yang penguasaannya mirip dengan tenaga dalam Jagaddhita. Dua jari yang terulur ini, satu berisi tenaga yang sesungguhnya dan satu lagi berisi tenaga biasa. Kelebihan pengaturan tenaga ini. lawan menjadi bingung untuk menentukan di jari yang mana tenaga sesungguhnya tersimpan. Sebenarnya itu tidak menjadi soal benar, andai bukan Ugrawe yang memainkan. Toh perbedaan jarak antara jari yang satu dan yang kedua sangat dekat. Apalah artinya kalau tinggal menyampok saja. Namun, meskipun jaraknya dekat, daya pancarnya berbeda. Satu jari diangkat ke atas, bisa mengarah ke mata. Satu jari lain ditundukkan ke bawah, bisa menotok ke arah pinggang. Lebih menyulitkan lagi, karena Ugrawe menggunakan empat jari dua tangan yang menyerang serentak. Menghadapi pertempuran jarak pendek, Jagaddhita keteter. Lima jurus berikutnya, kakinya sudah terlalu sulit untuk mengatur pertahanan. Dan dalam sekejap saja ia sudah terkurung. Tinggal waktu saja. Berada pada titik kritis, Jagaddhita memancing dengan serangan balik. Dua jari tangan kanan dibiarkan menelusup ke depan, ia membarengi dengan sentilan ke arah jakun. Ugrawe berseru dingin. Ia terus menerjang. Kalau tipuan yang sama pernah dipraktekkan Jagaddhita kepada Pu'un, kali ini ternyata hasilnya berbeda. Justru Ugrawe tidak memedulikan sentilan ke arah jakunnya. Tangan kiri meraup ke depan, angin berdesir dari samping, langsung menghantam tangan Jagaddhita. Mengira kecolongan, Jagaddhita mencoba menarik balik tangannya. Duk! Tubuh Jagaddhita bergoyang. Tersurung mundur tiga tindak. Ugrawe meloncat maju sekali lagi. Jagaddhita meloncat ke atas sambil berbalik. Ia melancarkan pukulan dengan punggung menghadap ke arah lawan. Tanpa memedulikan serangan lawan, Ugrawe terus menjotos. Duk. Kali ini tubuh Jagaddhita terayun dan terbanting di tanah. "Ayo menyanyi lagi tentang waktu kecil temanmu adalah bidadari. Sekarang diganti, waktu mati temanmu adalah cacing busuk." Tangan kiri Ugrawe berputar satu lingkaran sementara tangan kanan terbuka telapaknya. Sekali terayun, Jagaddhita tak bakal bisa menghindar. Kemungkinan paling kecil hanya bisa menangkis dengan sisa tenaganya. Upasara sudah meloncat beberapa tombak jauhnya. Akan tetapi ia merasa tak tega melihat adegan yang mengerikan. Untuk menolong sudah tak mungkin. Bahkan kalau ingin melemparkan kerisnya pun rasanya hanya sedikit artinya. Bisa merepotkan Ugrawe tetapi tetap tak menolong Jagaddhita. Upasara menjilat bibirnya. "Jangan kuatir, Bibi, aku akan menunaikan tugas terakhir. Kematian bukanlah akhir. Kehidupan bukanlah awal. Yang muda bisa mati, yang tua lebih lama." Upasara melakukan sembah, lalu berbalik. Ugrawe menganggap bahwa Upasara adalah yang paling cerdik dari semua yang hadir. Perhatiannya sempat terpecah juga dengan kata-kata yang diduga mempunyai sayap lain. Siapa yang dimaksudkan dengan yang tua? Apakah hal ini menyinggung Eyang Sepuh? "Anak muda, soal mati-hidup bibimu ini hanya soal kapan aku membalik telapak tangan. Hiburanmu tak akan berguna." "Ugrawe, kau selalu berhitung sangat teliti dan rapi. Kau sudah menang. Untuk apa ragu lagi? Aku sekadar mengacau perhatianmu. Agar kau tak seketika membunuh Bibi. Mungkin dengan begitu akan ada pertolongan datang. Kenapa kau menduga Eyang Sepuh bisa meloloskan diri dan bakal melaporkan hal ini ke Keraton? Sampai sekarang pun kita sama-sama tidak tahu di mana Eyang. Apakah masih bersembunyi di sini, ataukah sudah berada di Keraton, ataukah sedang ditawan lawan yang entah dari mana, atau justru menemui Tamu dari Seberang. Ugrawe, kau boleh merencanakan tipu daya macam-macam. Mengundang para pendekar kelas satu kemari, dengan umpan Tamu dari Seberang. Dan kenyataannya kau berhasil mengundang semuanya. Aku mengatakan semuanya, meskipun kau sendiri hanya membawa Kawung Bersaudara dan mengandalkan prajurit-prajurit yang lain. "Satu hal kau lupakan, bahwa umpan yang kausodorkan berdasarkan perhitungan yang matang. Dan perhitungan itu, memang memungkinkan bahwa Tamu dari Seberang akan datang. Siklus datangnya persis saat-saat sekarang ini. Bahwa yang dituju adalah Perguruan Awan, itulah satu-satunya tempat yang memungkinkan. "Ugrawe, tidak sadarkah bahwa yang kauanggap jebakan, itu sebenarnya bisa terjadi? Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin Pu'un yang dari ujung barat tanah Jawa bisa datang kemari pada waktunya?" "Aku senang caramu bicara. Kau sangat cerdik. Lebih cerdik dari muridmuridku. Tapi mana mungkin aku terkecoh dengan akal bulusku sendiri? Tamu dari Seberang tak pernah ada. Ken Arok zaman dulu hanya membuat kisah itu untuk memantapkan Kehadirannya. Ia mencari persamaan dengan dewa-dewa sebagai nenek moyangnya. Ia mencari darah biru. Tapi sesungguhnya ia perampok besar, bromocorah yang bisa naik takhta. Dan semua keturunannya adalah keturunan perampok besar. Yang hanya akan menghancurkan, yang hanya akan merampok tanah Jawa. Termasuk Kertanegara." "Tugasmu mulia, Ugrawe. Kau ingin mengembalikan takhta di tanah Jawa ini kepada darah biru, darah para dewa. Hanya saja kenapa kau melakukan seperti kerja para perampok?" "Ini urusanku. Itu tanggung jawabku sendiri." Telapak tangan Ugrawe bergetar. "Jagaddhita, hari ini terimalah kematianmu. Sudah kukatakan, Upasara hanya memperpanjang waktu saja. Langit pun tak bisa membantumu. Jagaddhita bangun dengan susah. Rasa nyeri dua pukulan seperti meremukkan isi tubuhnya. "Kau salah perhitungan, Ugrawe. Gendhuk Tri bisa menolong Bibi...." Ugrawe meleletkan lidahnya. Hingga menyentuh kumisnya. "Anak ini sudah kena sirep Pu'un. Tak akan ada yang membebaskannya." "Kau cerdik, akan tetapi salah perhitungan. Pu'un telah membebaskan pengaruh sihirnya. Gendhuk Tri, kau bisa menyerang Ugrawe seketika." Teriakan Upasara mengguntur. Memang, dalam perhitungan hanya Gendhuk Tri yang bisa menyelamatkan Jagaddhita. Pertama karena ia tak diduga bakal menyerang secara tiba-tiba. Kedua, posisinya sangat dekat dengan Ugrawe dan Jagaddhita, tanpa dicurigai. Dengan memberi komando, Upasara mengharap Gendhuk Tri segera bertindak. Upasara menduga bahwa Gendhuk Tri sudah dibebaskan pengaruh sihirnya oleh Pu'un. Karena keduanya sudah diringkus bersama di dalam jala Kawung Sen. Ternyata perhitungan Upasara meleset. Gendhuk Tri menoleh ke arah Upasara, akan tetapi. tak bereaksi. Sinar matanya masih kosong saja. "Gendhuk... sekarang!" Ugrawe mengelus kumisnya. Jagaddhita terhuyung ke belakang. Suasana sekeliling terasa hening mencekam. Upasara menggertakkan gerahamnya. Jagaddhita menerawang pasrah. ... kenapa harus bersedih hati.. waktu kecil tontonanmu adalah bidadari... ... Mendadak terjadi perubahan. Gendhuk Tri seperti tersadar, dan mencabut patrem dan setagennya, langsung meloncat ke arah Ugrawe. Pusat perhatian Ugrawe memang sepenuhnya tertuju kepada Jagaddhita. Ia tak mengira sama sekali bahwa Gendhuk Tri bakal meloncat langsung ke arahnya. Meloncat dan mendaki tangan Ugrawe. Begitu berada di atas, patrem Gendhuk Tri menyabet ke bawah dengan cepat sekali. Irisan tajam mengarah ke wajah! Berteriak pun Ugrawe tak sempat. Tangan kanan yang dipakai pancalan, ditarik mundur. Berikut tangan kiri berusaha menutup wajah. Tenaga terkumpul di tangan sedemikian kuat, sehingga arah patrem melenceng ke kiri. Tak urung, menyambar, daun telinga Ugrawe kena diiris. Darah muncrat membanjir, Ugrawe melontarkan tubuhnya ke belakang dan dua tangannya kini menyambar ke atas. Gendhuk Tri tidak menarik mundur serangan kedua, malah berusaha melompat maju lagi. Dengan cara berjumpalitan di angkasa. Upasara meloncat maju bersamaan dengan gerak Gendhuk Tri tadi, menyambar tubuh Gendhuk Tri dan membawa lari. Perhitungan Upasara tepat dan menentukan. Karena saat itu Ugrawe sudah melontarkan pukulan andalannya. Bumi seperti tergetar. Menggandeng Gendhuk Tri, Upasara meluncur sambil tangan kirinya menyambut uluran tangan Jagaddhita. Dalam sekejap ketiga tubuh melayang ke arah jauh. Walau dalam keadaan terluka, ilmu meringankan tubuh Jagaddhita masih bisa diandalkan. Dengan empat kali loncatan, mereka telah terbebas dari serangan Ugrawe. Sementara itu Ugrawe tidak langsung menyerbu. Ia memegangi telinganya yang telah. somplak. Darah yang mengucur segera dihentikan dengan memijit urat di dekat pelipis. Lalu tangannya merampas bendera dan memberi komando untuk serbuan total. Kini seluruh prajurit menyerbu ke arah satu jurusan. Bagi Upasara, Gendhuk Tri, dan Jagaddhita tak terlalu sulit untuk meloloskan diri. Akan tetapi di depan berdiri Kawung Benggol yang menunggu. Dengan tetap bergandengan tangan, ketiganya melabrak lawan. Menduga lawan bakal mengeroyok, Kawung Benggol yang sudah terluka tangannya tak berani adu keras lawan keras. Ia menarik pukulannya. Kesempatan ini digunakan Upasara untuk terus menerobos maju. "Gendhuk, kau tak apa-apa?" "Entahlah," jawab Gendhuk Tri. "Kadang aku seperti mengantuk." "Masih mengantuk?" Tak ada jawaban. Upasara menggeleng lembut. Ternyata pengaruh sihir Pu'un masih sangat kuat. Belum bisa dibebaskan sepenuhnya. Hanya waktu Jagaddhita mendendangkan tembang yang dikenal tadi, ingatannya pulih normal. Kini masih bengong kembali. Di arena yang lain, Kawung Ketip beserta puluhan prajuritnya menyerbu ke arah rombongan yang dilindungi oleh Tiga Pengelana Gunung Semeru. Wilanda terhuyung-huyung, sementara Dewa Maut mencoba menjaga Padmamuka yang kelihatannya makin berat. Obat bubuk yang ditaburkan dalam badannya ternyata menjadi racun yang keras. Dewa Maut tak tahan. Ia bopong Padmamuka dan mencoba mencari jalan sendiri. "Jangan keluar dari lingkaran," Panengah berteriak memberi peringatan. Ia sendiri mengubah tempatnya, mencoba mendampingi Dewa Maut. Pembarep dan Wuragil segera mengikuti gerak Panengah, agar bentuk lingkaran sebagai payung tetap kuat. Apa yang dikuatirkan Panengah memang terjadi. Begitu menerobos ke luar, Dewa Maut sudah langsung terkurung. Kawung Ketip menyabet kaki Dewa Maut, yang langsung menjadi limbung karenanya. Tubuhnya bergerak-gerak, Padmamuka sendiri lepas dari bopongannya. Tubuhnya jatuh ke tanah, dan Kawung Ketip menendang keris. Terdengar teriakan mengaduh perlahan, tubuh Padmamuka membal ke atas. "Toleee..." Dewa Maut menjerit, berusaha bangkit. Akan tetapi luka dalam membuatnya makin parah. Darah segar muntah dari bibirnya, Sebagian berwarna gelap. Belum bisa berdiri lurus, Kawung Ketip sudah melontarkan pukulan berikutnya. Dewa Maut tak berkelit, tak menghindar. Tujuannya hanya satu, mendekat ke arah Padmamuka. Kena senggol angin pukulan saja, Dewa Maut langsung terguling. Tubuhnya jatuh bagai pisang ditebang. Rubuh seketika. Tangannya mencoba menggapai ke depan, tetapi seperti memegang udara kosong. Jaghana yang melihat Kawung Ketip mencoba menerjang lagi, cepat sekali menggulung dirinya. Masuk ke dalam perkelahian. Kawung Ketip bersiap, tapi seketika ia terseret arus berputar. Tak ada jalan lain. Ia ikut berputar masuk dalam lingkaran. Kalau saja Upasara sempat mengamati dengan teliti, ia bisa mengerti bahwa kini yang dimainkan Jaghana adalah permainan sepenuhnya. Bukan seperti ketika menghadapi Upasara tadi. Pesat bagai gasing, Jaghana berputar melipat. Makin lama putarannya makin sempit, sehingga jarak keduanya makin dekat, makin dekat, makin lekat, dan akan saling menempel. Kawung Ketip bukan jagoan sembarangan. Ia dulu, bersama dua adiknya, termasuk yang menyerbu sampai ke dinding Keraton Singasari. Ilmunya tidak sembarangan. Apalagi selama menyembunyikan diri ini, Kawung Ketip makin memperdalam. Hanya saja sekarang ini yang dihadapi adalah lawan yang sekelas dengannya. Sebelum ia mengembangkan ilmunya, sudah terpancing jenis permainan lawan. ilmu berputar memang bukan ilmu yang bisa dipelajari dengan mudah. Mana lagi ia membuat kesalahan fatal, yang baru diketahui kemudian. Ketika menendang tubuh Padmamuka tadi, secara tidak langsung ia terkena racun. Kakinya yang untuk menendang mulai terasa kesemutan. Itu tentu saja menghambat kemampuan geraknya. Sebaliknya Jaghana justru sedang berusaha melipat habis. Telapak tangannya berputar, sementara tubuhnya sendiri terus berputar. Merasa bahwa lawan makin tertekan, Jaghana mengeluarkan seluruh kemampuannya. Kawung Ketip berusaha membetot lawan. Bagian yang diserang di arah selangkangan. Melihat lawan begitu licik, Jaghana menjadi lebih kuat. Tangan lawan ditangkap, sementara tubuhnya terus berputar. Kali ini Kawung Ketip benar-benar turut berputar sambil berpegangan. Satu tangan lagi mencoba menyodet lubang hidung. Jaghana menangkap pula. Lengkaplah kini. Dua tangan berpegangan, saling menggempur dengan menyalurkan tenaga dalam. Kawung Ketip berusaha, sementara terus berputar mengangkat lututnya. Lagi-lagi yang diarah adalah selangkangan. Risikonya bukan tidak ada. Kuda-kudanya menjadi agak timpang. Akan tetapi kalau sodokannya mengena, Jaghana bakal habis di sini. Paling tidak bakal ada yang pecah kena sodokan lutut. Tapi justru Jaghana melihat kelemahan lawan. Begitu kaki lawan terangkat, satu kaki langsung menyapu. Keras, cepat, dan menebas. Kena gaet satu kakinya, Kawung Ketip mengeluarkan suara tertahan. Gempuran kaki Jaghana bukan hanya sangat keras, tetapi membuat ngilu sampai ke sumsum. Tak tahan, Kawung Ketip berusaha mencengkeram lawan dengan kencang, seperti mau memencet urat nadinya. Jaghana justru merasa bagian bawah lawan tak ada perlawanan sama sekali. Gempuran kaki berubah menjadi semacam gaetan, dan ketika disentakkan, Kawung Ketip melayang di angkasa. Wuragil berseru keras sambil meloncat dan mengayunkan pedangnya. Tiga kali menebas, tiga-tiganya bisa mengenai tubuh lawan. Sebelum tubuh Kawung Ketip menyentuh tanah, sudah terpisah menjadi tiga potong. Kawung Benggol tak menduga bahwa kakak sulungnya begitu cepat bisa ditaklukkan lawan. Dalam geramnya ia mengayunkan rantai panjang, menyerang Wuragil dari belakang. Di tengah udara, Wuragil membalikkan tubuhnya, menyabet rantai lawan. Pedangnya bisa dilihat. Kawung Benggol menyentakkan. Meskipun sebenarnya dua tangan, dan terutama kakinya, terluka, akan tetapi tenaganya cukup kuat. Apalagi dibandingkan dengan Wuragil yang masih berada di angkasa. Pedang Wuragil bisa terlepas. Dalam sentakan berikutnya, Kawung Benggol melepaskan libatan, dan pedang itu berbalik meluncur ke arah pemiliknya. Pembarep meloncat ke atas, sementara Panengah langsung memasang kudakuda. Ternyata Pembarep naik ke atas pundak Panengah. Di atas bahu Panengah, Pembarep mengayunkan tangan, dan menangkap pedang. Sementara itu, Wuragil melayang turun dengan aman. Hebat gerakan Trisula ini! Karena begitu menyentuh tanah, Wuragil langsung ganti memasang kudakuda. Melihat Kawung Benggol menyerbu masuk, Panengah meloncat. Dengan Pembarep masih berada di pundaknya, ia meloncat maju dan hinggap di pundak Wuragil! Kini Tiga Pengelana Gunung Semeru berdiri tegak lurus satu sama lain. Menjulang ke atas. Inilah yang disebut Semeru Manjing Langit, atau Gunung Semeru Bersatu dengan Langit. Ini salah satu dari tiga jurus berantai andalan dari Gunung Semeru. Konon jurus ini merupakan jurus yang berintikan penyerahan diri kepada kekuasaan Yang Mahatinggi. Semeru Manjing Langit adalah sinonim dari Curiga Manjing Warangka, atau Keris Kembali ke Sarungnya. Dalam pengertian Jawa ini mengandung falsafah penyerahan diri secara total. Sering disebut-sebut sebagai bersatunya umat manusia dengan Sang Maha Pencipta. Pada Tiga Pengelana Gunung Semeru, jurus ini akan mencapai hasil maksimal jika di antara ketiga ksatria bisa menyatukan pikiran. Seolah-olah hanya satu pikiran tiga badan. Berdasarkan latihan bersama yang memakan waktu lama, kemungkinan ini bisa tercapai. Walau ketiganya memiliki perangai yang berbeda, akan tetapi ketika menghadapi lawan bisa satu kehendak. Seperti ketika Wuragil turun ke bawah tadi, ia langsung memasang kuda-kuda, dan Panengah langsung hinggap di pundak Wuragil. Sementara Pembarep tetap bertengger di atas. Kalau tidak ada saling pengertian, gerakan itu tak bisa terwujud dengan sempurna. Karena walau Wuragil sudah berdiri memasang kuda-kuda di depan, tidak selalu kedua ksatria yang lain akan melakukan jurus Semeru Manjing Langit. Tergantung pada situasi yang dihadapi. Dan Wuragil cukup tanggap. Melihat Kawung Benggol meloncat tinggi, ia langsung memasang dasar dari jurus andalan. Dan rupanya Panengah pun melihat jalan keluar yang sama, sehingga langsung meloncat ke atas pundak. Kalau saat itu Pembarep melihat kemungkinan yang tidak sama, ia bisa memilih gerakan tersendiri. Tapi agaknya justru sekarang ini melihat satu titik penyelesaian yang sama! Tak alang kepalang kagetnya Kawung Benggol! Ia sudah meloncat ke atas. Yang dihadapi adalah tiga orang yang berdiri secara lurus satu sama lain. Sempat tergetar hatinya, Kawung Benggol merasa makin tak bisa memusatkan pikiran. Mau menyerang bagian yang mana. Bagian atas atau bagian tengah. Tak ada pilihan selain harus menggempur semuanya. Dan ini dirasa tak menguntungkan. Kawung Benggol tak sempat menutup diri sepenuhnya ketika tangan Pembarep menyentuh pundaknya dan menekan ke bawah, sementara siku Panengah menyodok dada. Dua sodokan yang masuk secara telak. Kawung Benggol belum bisa sepenuhnya merasakan rasa pedih dan ngilu, ketika Wuragil menusukkan tombak yang diraup dari tanah. Bagai sate besar, tubuh Kawung Benggol tertahan pada tombak, yang oleh Wuragil disentakkan kembali ke atas. Dan Kawung Benggol melayang ke atas. Panengah bisa menambahi dengan beberapa pukulan. Akan tetapi agaknya Pembarep tidak tega. Ia lebih dulu mengulurkan tangan, merampas tubuh Kawung Benggol dan melemparkan ke tengah prajurit yang datang menyerbu. Ia sendiri langsung turun, disusul oleh Panengah) dan ketiganya membentuk barisan menahan serbuan. Bagi Wuragil semua tadi adalah kesempatan untuk memamerkan kemampuannya. Sejak datang ia kena dipecundangi, dan belum sedikit pun bisa memperlihatkan kepandaiannya. Maka begitu Kawung Ketip dan Kawung Benggol menyerbu, ia menyambut dengan gairah. Berbeda dengan Pembarep yang paling tenang. Ia tak berniat jahat. Bahkan kalau mungkin tak ingin membunuh lawan. Namun Kawung Benggol tak bisa bertahan lama, Tubuhnya terlempar dengan tombak masih menancap. Dua sodokan siku Panengah telah mengacaukan sistem pernapasannya. Maka begitu berdentam di tanah, ia hanya berkelojotan sebentar lalu terbaring untuk selamanya. Ketiga Pengelana Gunung Semeru memasang barisan rapat. Setiap serbuan bisa dihalau, meskipun dengan demikian mereka terpaksa bekerja sangat keras. Jaghana juga turut menahan dari samping kiri, agar masih mempunyai ruang tersisa. Rombongan Upasara juga mulai bergabung. Mereka terdesak dan terus mundur. Mendadak terdengar sangkakala ditiup sangat nyaring. Pasukan Gelang- Gelang yang berada di depan tak masuk menyerbu- Bertahan. Sementara lapisan ketiga di belakangnya, semua memasang anak panah yang ujungnya dibakar. Agak jauh di tengah, Ugrawe berdiri di atas papan yang diangkat tinggi-tinggi. "Panah api..." Teriakan Ugrawe disusul dengan ratusan anak panah berapi menderu bagai disiram dari langit. Beberapa bisa disampok, beberapa berbenturan sendiri. Namun tak urung semua terdorong mundur dan makin mundur. "Awas, beracun. Jaga pernapasan." Pembarep lebih dulu menutup diri. Kedudukan memang makin sulit. Ratusan anak panah yang secara terusmenerus dilepaskan adalah anak panah berapi. Bahaya sesungguhnya bukan berasal dari api itu, melainkan berasal dari api yang padam. Asapnya akan mengeluarkan sejenis bau yang menusuk hidung. Sebenarnya justru karena baunya yang sangit, seperti kain terbakar, mudah cara menghindarinya. Hanya saja karena jumlahnya kelewat banyak, asap tak bisa dihindari. Kalau panah tidak ditebas, apinya juga menyulitkan. Jagaddhita yang berjalan sempoyongan mulai merasa betapa ganasnya bau itu. "Celaka, kita bisa habis di sini." Wilanda, yang paling lemah daya tahannya, sudah langsung terduduk. Jaghana duduk di belakangnya. Sementara itu hujan panah makin keras, dan asap mulai tercium di manamana. "Kisanak Jaghana..." Suara Jagaddhita sangat lemah. "Biar rata dengan tanah, saya akan berada di sini." "Apakah orang luar boleh melangkahi Lawang Sewu?" Jaghana menghela napas. "Kau telah mengetahui hal itu, kenapa masih perlu minta izin?" "Maafkan, Kisanak Jaghana, kalau saya terlalu lancang." "Tidak. Tidak ada lancang, tidak ada tidak lancang. Kalau dahulu dibangun untuk keselamatan negara, sekarang inilah saatnya." "Di mana?" "Satu kanan, dua kiri, bintang selatan bertiup pelan." Jagaddhita menggertakkan giginya. "Wulung..." Upasara menoleh. "Papah Bibi..."
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:11 pm | |
| Upasara maju, membopong Jagaddhita. Satu tangan lain menggandeng Gendhuk Tri. Tapi Gendhuk Tri mengibaskan tangan. Ia berjalan sendiri. Mendampingi. Mereka mundur ke bagian belakang sekali. Beberapa kali Upasara menyampok anak panah yang terus menyerbu. Sampai di deretan pohon-pohon besar bagian belakang yang rapat, Jagaddhita mendongak mengawasi langit. "Wulung... kau melihat ada gua di belakangmu?" "Tidak ada." "Bagus. Masuk ke dalam. Lima puluh tindak ke kanan, seratus tindak ke kiri. Mulai!" Upasara masih bingung akan tetapi mengikuti perintah Jagaddhita. Ugrawe di kejauhan memerintahkan pasukan panah menyerbu maju. "Jangan ada satu pun yang bisa lolos." Teriakannya disusul bayangan tubuhnya menuju ke depan. Ketiga Pengelana Gunung Semeru memapaki dan segera terjadi pertempuran. Jaghana menghadang serbuan prajurit yang lain. Korban makin banyak berjatuhan, tetapi serbuan makin gencar. Bagai air bah yang tak menghiraukan apa yang menghadang. Jagaddhita bersorak. Upasara berhenti. Mengamati sekitar. Tak ada tandatanda gua di belakangnya. Karena memang tak ada bukit kecil. "Pelan saja. Tekan bagian ujung rumput itu." Upasara mengerahkan tenaganya. Bergeming. "Pelan. Pelaaan saja." Upasara menekan ke tanah. Perlahan ia salurkan tenaganya. Karena tak ada tanda batu-batuan atau pohon, ia menekan sekenanya. Mendadak, ada bagian tanah yang hancur. Seperti menjadi pasir. Makin lama makin lebar. "Upasara, masuk." "Yang lainnya?" "Jangan pedulikan. Ayo masuk..." Jagaddhita menggerung keras. Ia turun dari bopongan, dan mendorong Upasara masuk. Satu tangan menarik Gendhuk Tri dan mendorong ke arah lubang. Ia sendiri kemudian menjatuhkan dirinya. Upasara merasa tubuhnya terbang sedetik, lalu terguling dan terbanting-banting. Disusul pekik Gendhuk Tri, dan tubuh Jagaddhita sendiri. Jagaddhita merangkak masuk lebih ke dalam gua, diikuti oleh Gendhuk Tri dan Upasara. Berjalan menelusuri terowongan tiga tindak, Jagaddhita seperti kejang. Dengan menggigit keras bibirnya, Jagaddhita berusaha terus merangkak. Rasa sakit dari pundaknya makin menyiksanya. Dengan menggertak semangatnya, Jagaddhita memaksakan diri sampai pada suatu cekungan. Tanpa bisa menahan dirinya lagi, Jagaddhita jatuh tertelungkup. Gendhuk Tri menjerit sambil menggoyang tubuh Jagaddhita. Upasara memeriksa badan Jagaddhita yang ternyata makin panas. Keringat sudah membasahi seluruh tubuh Jagaddhita, bercampur dengan darah. Rambutnya yang putih sudah berubah lengket dengan darah yang membeku. Sementara itu sayup-sayup suara pertempuran masih terdengar. Sesekali jeritan menyayat di antara beradunya senjata. Jagaddhita berusaha duduk. Punggungnya bersandar ke dinding. Gendhuk Tri yang biasanya tak begitu peduli, kini pucat pasi. "Wulung..." Suara Jagaddhita terdengar menggeram. "Teruslah menelusuri terowongan ini. Ikuti saja. Kira-kira waktu yang digunakan untuk menanak nasi, kau akan bisa keluar dari sini. Keluar dari desa ini. melewati sungai besar, kau akan segera menuju jalan utama menuju Keraton." Jagaddhita meloloskan cincin di jarinya. "Meskipun kau orang Keraton dan bisa dengan enak keluar-masuk, bawalah cincin ini. Bagaimanapun keadaannya Keraton saat ini, dengan cincin ini kau bisa masuk ke sana. "Tanda pengenal yang kau miliki bisa menjadi pembunuhmu bila saat ini Keraton dikuasai lawan. Cincin ini akan mengantarkan kau ke dalam." Upasara Wulung menerima dengan perasaan masih bingung. Dan kemudian, dengan satu gerak sangat cepat, tangan kanan Jagaddhita menampar pipinya sendiri. Plak. Keras sekali. Dari bibirnya mengalir darah segar. "Mbakyu...," teriak Gendhuk Tri kaget. Upasara Wulung membelalakkan matanya. Ia tak menyangka bahwa Jagaddhita akan menampar mulutnya sendiri hingga berdarah. Lalu tangan yang selesai untuk menampar dimasukkan ke mulut. Mencari-cari. Ketika keluar lagi, tangan itu ternyata memegang dua buah gigi. Masih basah oleh darah dan ludah. "Temui Ingkang Sinuwun, Baginda Raja. Ingkang Sinuwun akan terpaksa menemuimu jika kau perlihatkan gigi ini. Dua buah gigi berlapis emas ini, dulu beliaulah yang menyarankannya. "Wulung, apa kau jijik?" Upasara Wulung menerima dengan perasaan masih kacau. "Segeralah berangkat. Apa pun juga yang terjadi, kau harus masuk Keraton, dan sowan Ingkang Sinuwun. Katakan kejadian ini. Wulung, berangkatlah sekarang." Bibir Upasara bergetar keras. Ini benar-benar tak masuk dalam akalnya. Bagaimana mungkin seseorang mencabut giginya, dua buah, dengan paksa, sebagai tanda pengenal? Bagaimana mungkin seorang Baginda Raja yang demikian berkuasa dan besar pernah meminta seorang Jagaddhita untuk memasang gigi emas? Pengalaman Upasara dalam soal asmara memang masih terlalu polos. Ia tak paham walau sekuku hitam soal liku-liku asmara. Bahwa Baginda Raja mempunyai selir sekian puluh, ia tahu persis. Bahwa Baginda adalah lelaki terpilih di antre semua wanita yang ada di Singasari, itu tak dibantahnya. Akan tetapi bahwa seorang yang begitu terhormat pernah menjalin asmara dengan cara ganjil, itu susah masuk di dalam pikirannya. Jagaddhita menghela napas panjang. Tak mungkin dalam waktu sekejap ini menceritakan hubungan pribadinya dengan Baginda Raja. Mungkin juga ketika Jagaddhita meninggalkan Keraton, Upasara Wulung belum tahu banyak. Dan tak pernah mendengar cerita. "Berangkatlah sekarang, Wulung." "Tidak, Bibi... Saya tak mungkin meninggalkan Bibi sendirian di sini. Luka Bibi masih gawat, sementara setiap saat lawan bisa menyerbu ke dalam terowongan. Mana mungkin saya meninggalkan Bibi saat ini?" "Wulung, kau ternyata sama tololnya dengan kerbau. Bikin malu keluarga Keraton saja. "Dengar. Saat ini Keraton Singasari sedang dalam ancaman bahaya terbesar. Bahaya dari dalam. Kehinaan yang luar biasa sedang terjadi. Tuhan akan mengutuk sampai hari kiamat. "Tetapi, sebelum kutukan itu datang, mungkin kita semua tak melihat Keraton lagi. Nah, selagi masih ada kesempatan untuk bersiap-siap menghadapi bahaya, mengapa tidak kita usahakan? "Wulung, jangan pikirkan keselamatan diriku. Aku sudah terlalu tua. Kalau sisa hidupku ini bisa menjadi darma bakti kepada Baginda Raja dan Keraton..." Napas Jagaddhita tersengal-sengal. Rasa nyeri kambuh dengan hebatnya. Tetapi lebih daripada rasa nyeri di pundaknya, luka lama terobek kembali. Luka indah yang disembunyikan jauh di dalam hati sanubarinya. Ia hanyalah rakyat biasa. Ayahnya seorang abdi dalem bagian- karawitan. Pada usia enam tahun, ia belajar menari. Pada usia delapan tahun, tepat sewindu, ia diizinkan belajar di dalam Keraton. Belajar menari. Saat itu Baginda Raja Kertanegara belum naik takhta. Akan tetapi secara tidak resmi telah memegang tampuk pemerintahan. Sebagai pangeran pati, putra mahkota, Kertanegara sangat memperhatikan masalah kesenian. Sejak itulah secara resmi ia menjadi penari Keraton. Dengan nama resmi Jagaddhita. Ketika Baginda Raja berkenan mengambilnya sebagai selir kesayangan, Jagaddhita hanya mempunyai satu tujuan dalam hidupnya: berbakti sepanjang hidupnya kepada yang telah memberi harga diri. Sejak itu pula Jagaddhita hanya berpikir satu hal: membahagiakan Baginda Raja. Dengan segala kemampuan dan pengobatan tradisional, Jagaddhita selalu menjaga agar tubuh dan penampilannya selalu sempurna, selalu membahagiakan Baginda Raja. Suatu malam yang sunyi, Baginda Raja bertanya kepadanya. "Dhita, sekian lama kita berdua, aku tidak melihatmu hamil." "Mohon ampun, Sinuwun. Ampunilah tindakan hamba yang cubluk yang kelewat bodoh ini. Hamba tak berhak menerima winih, benih, dari Ingkang Sinuwun." "Kenapa, Dhita? Semua selirku ingin mendapatkan anak keturunanku. Kenapa kau tidak mau?" "Hamba yang cubluk ini hanya berpikir dan menyerahkan segalanya demi kebahagiaan Sinuwun. Apa artinya kepentingan hamba pribadi. Maafkan, Sesembahan, bukannya hamba tidak berharap. Bidadari di surga pun berharap bisa menjadi penyambung keturunan Ingkang Sinuwun. Tetapi hamba cukup puas dan bahagia dunia-akhirat bisa membuat Sinuwun bahagia." "Apa yang kau lakukan?" "Maafkan hamba, Sinuwun," Baginda Raja mendengarkan penuturan Jagaddhita bahwa ia pergi kepada tukang pijat Keraton. Bahwa ia telah diurut sedemikian rupa sehingga tubuhnya tak mungkin bisa mengandung. Ini memang berbau seks, akan tetapi itulah yang dilakukan Jagaddhita, demi kepuasan orang yang paling dihormati. "Ah! Kau tak usah berbuat seperti itu." "Hukumlah hamba yang cubluk ini." "Dhita, Dhita... kau benar-benar memberikan kebahagiaan dunia. Aku tak bakal bisa melupakanmu. Ratusan selir bergilir menanti perintahku, tetapi kau lain. Aku ingin kau menyimpan gigi emas di bagian belakang gigimu. Biarlah kita berdua saja yang tahu. "Dhita, sebenarnya kau tak perlu berkorban seperti itu." Itulah asal mulanya Jagaddhita melapisi giginya di bagian rahang dengan emas, Bisa dibayangkan betapa sakitnya ketika tadi Jagaddhita mencoba paksa mencopotnya. Namun semua ini dilakukan oleh Jagaddhita dengan segala kerelaan dan keikhlasan yang tulus. Pemujaan Jagaddhita adalah pemujaan yang tulus ikhlas. Ia tidak berambisi apa-apa. Tidak juga sebagai selir terkasih. Atau bahkan berpikir untuk diangkat sebagai prameswari, permaisuri, yang kesekian. Tak setitik pun terpikir ke arah itu. Juga tidak setitik pun berpikir bahwa dengan itu ia bisa menyimpan harta benda. Ketika terjadi malapetaka di Keraton dengan diguntingnya rambutnya, Jagaddhita meninggalkan Keraton tanpa membawa bekal apa-apa. Kecuali cincin yang melekat di jarinya dan dua buah gigi emas yang tersembunyi. Dalam manekung pada Tuhan, Jagaddhita menyerahkan dirinya. Tadinya ia berpikir untuk bunuh diri. Namun jiwa besar Baginda Raja menebas pikiran ke arah itu. Kalaupun ia bakal mati dengan telanjang dan berdiam diri, itu atas kehendak Tuhan, bukan keinginannya bunuh diri. Jagaddhita memasuki hari keempat, membiarkan dirinya telanjang di tengah hutan. Antara pingsan dan sadar. Setelah melewati masa-masa dimanjakan di Keraton. secara tiba-tiba ia menempuh perjalanan yang panjang. Tanpa makan, minum, atau istirahat. Tidak juga menghirup air hujan yang jatuh ke bibirnya. Ketika itulah ia melihat bayangan mendekat. Jagaddhita tak tahu apakah yang mendekat itu malaikat mau mengambil nyawanya, ataukah binatang buas mau memakan dagingnya, atau bayangan dalam mimpinya. "Seumur hidup aku kenyang melihat wanita telanjang, tapi di tempat seperti ini sungguh tak pernah kuperkirakan." Bayangan itu ternyata manusia yang bisa berkata. "Nah, jika kau masih ingin terus telanjang tanpa malu, aku akan menikmati sampai puas." Jagaddhita bergeming. Ia memang sudah tak bisa berbuat apa-apa. Dan tak tahu bahwa kemudian tubuhnya ambruk ke rumput. Dan dibiarkan semalaman, dan esoknya diberi makan buah-buahan. "Nah, sebelum kau mati, ceritakan siapa namamu." Jagaddhita menemukan dirinya terbaring di karang, dalam suatu gua. Tubuhnya ditutupi daun-daunan. "Saya tidak punya nama. Semua tak perlu." "Ini baru menyenangkan. Kau patah hati karena suamimu kawin lagi? Atau anakmu kawin dengan orang yang tidak kau sukai? Suamimu jadi penjudi?" Jagaddhita tak menjawab. Tak kuasa apa-apa, ketika lelaki yang berwajah tua itu memeras air jeruk dan menyuapinya. Lalu meninggalkan. Esoknya muncul lagi. "Belum mati?" "Kenapa Rama menolong saya?" "Bagus, setiap kali aku bertanya, kau juga bertanya. Aku bertanya, aku butuh bertanya karena aku suka orang yang nglalu, orang yang berniat bunuh diri seperti kamu." Lalu ditinggal pergi. Jagaddhita mulai memakai kain yang diberikan orang itu, yang selalu datang pada pagi hari. "Bagus, sekarang kau mau cerita?" "Siapa nama Rama?" Begitulah selama dua minggu, keduanya bertemu pada pagi hari untuk saling melontarkan pertanyaan. Minggu kedua, Jagaddhita melihat Rama sedang berlatih silat. "Mari kuajari kau satu gerakan yang paling mustahil. Tapi setiap kali kau harus menceritakan dirimu." "Rama, apa perlunya mempelajari gerakan itu? Tanpa dipelajari pun bisa." Rama jadi berjingkrakan. "Kalau kau bisa menirukan gerakku, kuangkat kau jadi muridku. Bagaimana? Begitu selesai bicara, Rama melihat takjub. Jagaddhita menirukan secara persis gerakan yang ditunjukkan Rama. "Rama Guru, apakah gerakan saya salah?" Rama Guru membelalak. "Dewa pun perlu belajar gerakan itu dua bulan. Bagaimana mungkin kau bisa menirukan dengan sekali lihat? Kau pasti mengakaliku! Tidak, aku tak mau dipanggil Rama Guru. "Kecuali... kecuali kalau gerakan ini kautirukan dengan persis" Rama Guru membuat gerakan, dimulai dengan dua gerakan tangan Yang satu menusuk ke depan, lalu ditarik ke belakang. Sebelum tarikan penuh, tangan sebelahnya menusuk ke depan, yang juga berbelok ke arah bawah, disusul dengan dua gerakan kaki sekaligus, seperti tangan bertepuk. Dengan meloncat hal itu bisa terjadi. Hanya saja, ketika tubuhnya turun kembali, satu tangan menyangga tubuh sebelum menyentuh tanah, dan dua kakilah yang digunakan untuk menendang. Cara menendang ke depan dengan berbalik mirip gerakan tangan. Satu maju, ditarik, dan diganti kaki kedua yang arahnya berbelok, lalu disusul, atau lebih tepat diganti dengan tusukan tangan. Belum selesai gerakan itu, Jagaddhita sudah bisa menirukan. Hanya saja ketika menjatuhkan diri dengan jungkir berbalik dan disangga dengan satu tangan, penyanganya tidak kuat. Sehingga tubuhnya terbanting ke rumput dan tangannya sakit sekali. Akan tetapi gerakan kakinya tetap sama. Gerakan susulan dengan tangan terganggu karena tangan Jagaddhita sangat sakit. "Lhadalah... siapa suruh aku berjanji mengangkat murid segala?" "Rama Guru yang berjanji, bukan saya." "Katakan dari mana kau mengintip aku latihan?" "Baru saja. Rama Guru sendiri yang mengajari." Bagi Rama Guru ini tidak masuk akal sama sekali. Bagaimana mungkin dengan sekali melihat bisa menirukan secara persis? Sebenarnya bagi Jagaddhita tak ada yang aneh. Tak ada yang mustahil. Juga ketika ditunjukkan gerakan yang makin sulit, Jagaddhita bisa menirukan secara persis. Bahkan kemudian merangkaikan gerakan ke satu dengan gerakan kedua, dengan gerakan ketiga, dan seterusnya. Lalu menyambung dengan gerakan semula. Memang tidak aneh bagi Jagaddhita. Sejak kecil ia mengenal tarian. Dan hidupnya semata-mata untuk berlatih gerakan menari. Dasar-dasar semua gerakan tangan dan kaki ia kuasai dengan baik. Berdasarkan ketajaman matanya, ia bisa menghafal dengan mudah. Kecuali gerakan-gerakan yang, menurut ukurannya, tidak terlalu tepat. Seperti gerakan mengangkang atau gerakan mengangkat tangan lebih tinggi dari bahu. Gerakan semacam ini agak tabu untuk seorang wanita. Kurang susila. Kalau seorang guru tari yang paling kenamaan mengajarkan ini pada Jagaddhita sebelum rambutnya dipotong, Jagaddhita lebih suka mati daripada berbuat tidak susila. Akan tetapi sekarang ini, pikiran susila atau tidak, mencerminkan kewanitaan atau tidak, bukan masalah lagi. Telanjang pun ia tak akan peduli lagi apakah ini memalukan atau tidak. Demikianlah berminggu-minggu Rama Guru mengajari berbagai gerakan, dan Jagaddhita menirukan dengan sempurna. "Kau bisa menirukan dengan baik, tapi tak ada gunanya. Kau tak punya tenaga sama sekali. Percuma saja.". "Kalau itu bisa dilatih, apa susahnya, Rama Guru?" Sampai enam bulan purnama, Jagaddhita melatih pernapasan dan cara menghimpun tenaga. Rama Guru selalu datang dan pergi. Kadang melatih, kadang langsung mengajak bertempur. Namun selama itu tak pernah saling mengenal. Jagaddhita tak mengenal siapa yang mengajari dan Rama Guru juga tak mengenal siapa yang diajari. Dua tahun berlalu dengan cepat. Jagaddhita makin pesat. Ia lebih mantap dan lebih lama mengimbangi Rama Guru. "Selama ini aku main panggil kau dan saya saja. Dengan apa kau kupanggil?" "Saya bisa dipanggil dengan apa saja." "Selama ini kau dipanggil apa?" "Jagaddhita." "Lhadalah... namamu terlalu bagus. Siapa yang memberi nama seperti itu?" "Ingkang Sinuwun..." Tak diduga tak dinyana, Rama Guru berteriak gusar dan langsung menghantam pohon asam. Belum puas dengan satu pukulan Rama Guru menyerang secara beruntun, dan kemudian menendangnya .hingga pohon itu rubuh mengeluarkan suara keras. "Kausebut nama itu, kubunuh kau!" "Nama itu anugerah Ingkang Sinuwun. Kalau mau bunuh silakan, Rama Guru." Jagaddhita tak menyangka bahwa Rama Guru benar-benar mengayunkan tangannya dan sebongkah batu jadi retak karenanya. "Rama Guru, saya tak bisa menjawab yang lain." "Ketahuilah bahwa raja itu tak perlu kau ucapkan. Apalagi dengan rasa hormat seperti itu. Ia..." Kim ganti Jagaddhita yang murka. Ia sama sekali tak rela sesembahannya, priyagung yang paling dihormati dan dikagumi dipanggil "ia" begitu saja. "Mulai hari ini Jagaddhita tak perlu berguru kepada Rama lagi. Kalau Rama mau mengambil semua ilmu yang ada, silakan." "Kau goblok." "Benar, Rama Guru." "Kau edan." "Benar, Rama Guru." "Ia itu..." Jagaddhita langsung menyerang. Tiga jurus cuma, ia sudah ditelikung. Tubuhnya dikempit dengan dua kaki Rama Guru yang sekaligus menginjaknya. "Dhita, kau masih penasaran?" "Panggilan itu hanya diucapkan Ingkang Sinuwun." Rama Guru tertawa lucu. Lalu mengumandangkan nama "Dhita, Dhitaaaa" berulang kali hingga jemu. "Dhita, aku mau lihat kau bisa apa. Aku bisa berteriak, bisa memanggilmu seperti ia memanggilmu. Apa hebatnya rajamu itu?" "Lalu apa hebatnya Rama Guru kalau cuma bisa menirukan?" Rama Guru meludah ke tanah. Lalu bersuara pelan, seperti kepada dirinya sendiri, "Barangkali Penguasa Tunggal sedang mengujiku. Sekian lama aku meninggalkan Keraton, sekian lama aku membenci dan bersumpah tak mau mendengar suara menyebut namanya. Tak tahunya sekarang masih tetap harus kudengar sebutan raja dengan embel-embel yang memalukan. Dan orang yang menyebut itu memanggilku sebagai Rama Guru. "Dunia tidak adil." Lalu Rama Guru pergi lama sekali: Jagaddhita berlatih sendiri. Setengah tahun ia berlatih sendiri dengan segala ketekunannya. Semua waktu yang ada dihabiskan untuk terus-menerus berlatih. Jagaddhita memang tak memikirkan hal yang lain. Makan ia bisa mengambil buahbuahan, minum dan mandi tak menjadi soal. Pakaian pun selama masih ada yang dikenakan, sudah lebih dari cukup. Satu-satunya keinginannya: bisa merubuhkan pohon asam dan menghancurkan batu seperti yang dilakukan Rama Guru. Kalau ia sudah menguasai itu... bisa membalas dendam. Rama Guru ternyata muncul lagi. Dan melihat ketekunan serta ketaatan Jagaddhita yang dahsyat. Hasratnya menyala-nyala. Sehingga ia melatih lagi, dan lebih bersungguh-sungguh. Hubungan antara guru dan murid yang sangat ganjil. Mereka berdua membicarakan banyak hal dengan akrab. Tapi kalau sudah membelok ke arah pembicaraan mengenai Baginda Raja dan atau ia, menemui jalan buntu. Duaduanya tersinggung, dan pertempuran tak-bisa dihindarkan. Makin lama Jagaddhita makin bisa mengimbangi Rama Guru. Makin tahun makin lama bertahan, dan beberapa kali pula Jagaddhita mampu balas menyerang. Sesungguhnya ini cara belajar yang efektif. Karena ketika uji coba atau latihan, semua dipraktekkan dengan sungguh-sungguh. Jagaddhita bisa melukai lengan Rama Guru. Sebaliknya ia sendiri beberapa kali mengalami patah tulang. Atau bahkan muntah darah. "Dan sekarang kau bisa membalas dendam. Berangkatlah. Siapa yang akan kau balas?" Barulah Jagaddhita menerangkan asal-usulnya. Dan ia berangkat ke Keraton. dan kemudian kembali lagi tanpa hasil. Ia tak jadi membalas dendam. "Tidak jadi?" "Rama Guru, izinkanlah saya berbakti pada Rama Guru, kepada Keraton, kepada Baginda Raja...." "Kau mau jadi prajurit?" "Berbakti pada Keraton tidak selalu harus menjadi prajurit." "Keraton? Negara? Selama rajamu itu yang memerintah, selama itu pula masih akan berantakan tak karuan." "Rama, bukankah kewajiban kita untuk berbakti pada Raja Keraton, yang berarti berbakti pada negara? Baginda Raja sangat besar, sangat jembar, sangat luas pandangan Baginda Raja...." "Aku tak mau berbicara soal itu lagi. Kau sudah gila. Tak bisa dibuat waras lagi. Pergilah. Kutunggu di sini setiap malam purnama di akhir tahun." Begitulah Jagaddhita mulai berkelana. Mulai terjun dalam dunia persilatan. Sekali setahun ia kembali ke tempat semula untuk bertemu Rama Guru. Menceritakan pengalaman, melatih, bertempur, dan berakhir dengan hal yang sama. Bertahun-tahun kejadian itu terus berulang. Jagaddhita makin matang. Bukan hanya dalam penguasaan ilmu silat akan tetapi juga pengalaman hidup. Sampai suatu ketika Rama Guru membawa seorang anak kecil, yang dipanggil Gendhuk Tri. "Ia bisa kau pakai untuk latihan. Ajari terus seperti aku mengajarimu. Dhita, dua tahun lagi pergilah ke Perguruan Awan. Di Sana akan ada Tamu dan Seberang. Kalau tamu itu benar datang, lihat apa yang terjadi. Laporkan kepadaku. Mulai hari ini aku akan sibuk sekali." Itulah asal mulanya Jagaddhita datang ke Perguruan Awan. Dan sekarang, Jagaddhita merasa tak bisa menyanggupi semua perintah Rama Gurunya. Jagaddhita menghela napas. "Wulung..." Upasara masih ragu. Sebentar lagi aku akan mati. Juga yang lainnya. Tetapi jika kau bisa memberitahukan ke Keraton bahwa Raja Gelang-Gelang akan kraman, akan mbalela, akan memberontak, dan akan berkhianat, rasanya masih ada artinya. "Makin cepat makin baik. "Kau masih tunggu apa lagi?" "Bibi..." "Kalau kau tak berangkat, aku akan mati dengan sedih sekali." "Gendhuk Tri..." Jagaddhita menggeleng. "Tidak. Kau jangan bawa dia. Perhatianku akan terpecah. Biarlah Gendhuk Tri di sini bersama aku. Kepada Rama Guru aku berjanji mengajari. Mungkin masih ada sisa beberapa saat. Sesuai dengan janjiku. "Kalau Gendhuk Tri ikut bersamamu, ia akan memperlambat perjalananmu. Padahal kau tak boleh terlambat. Kalau pasukan Gelang-Gelang mencapai Keraton, sejarah Singasari akan lain." Upasara Wulung berpikir sendiri. Cepat ia melaksanakan jalan pikirannya. Tangan kiri menarik Gendhuk Tri dan mulai merangkak ke luar. "Maafkan Bibi, Gendhuk Tri saya ajak..." Tiga rangkakan. Gendhuk Tri menggigit tangan Upasara keras sekali. Dalam kagetnya Upasara melepaskan cekalannya. "Siapa sudi ikut kamu?" Benar-benar tak tahu bahaya, pikir Upasara. Ia berusaha menangkap Gendhuk Tri yang sulit menghindar karena terowongan sangat sempit. "Aku akan buka kainku kalau kau menarikku." Gendhuk Tri bukan hanya sesumbar. Ia benar-benar mengangkat dan melepaskan kainnya. Tak ada jalan lain bagi Upasara selain memalingkan wajahnya. Begitu berpaling pantatnya ditendang Gendhuk Tri sambil tertawa mengikik. Dan Upasara tak punya pilihan selain terus merangkak maju. Gua itu panjang dan gelap. Beberapa kali Upasara terantuk. Blangkonnya jatuh entah di mana. Kadang ia terpaksa benar-benar merayap seperti ular, kadang merangkak seperti anjing, kadang setengah laku ndodok, sikap hormat kalau mau sowan di Keraton. Upasara mengerahkan tenaganya. Kalau banyak orang mau mengorbankan diri untuk memberi laporan ke Keraton, untuk berbakti pada Keraton, kenapa ia harus ayal-ayalan? Secara jelas ia masih mendengar suara teriakan di mulut gua. Rasanya beberapa prajurit sudah memasuki gua. Sebentar lagi pasti menemukan tempat Jagaddhita dan Gendhuk Tri. Dan kedua orang itu pasti akan berusaha menghambat jalan masuk. Upasara tidak mau mati percuma. Ada dendam yang bergelora dalam dadanya. Dendam pribadi dan dendam kepada Ugrawe serta pengkhianatan Jayakatwang. Desakan ini semua makin mengeras dalam diri Upasara.
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:12 pm | |
| Dan ia berjalan, merangkak, merayap makin cepat. Makin tidak memedulikan dirinya sendiri. Gua itu makin lama makin gelap. Seperti tak ada ujungnya. Upasara terus merayap, merangkak, berjalan. Tujuannya hanya satu. Ke arah depan. Barangkali akan ditemukan cahaya. Dan kemudian memacu tenaga sekuatnya untuk bisa lebih dulu sampai ke Keraton! JAGADDHITA melepas kepergian Upasara dengan rasa bahagia. Terdengar helaan napasnya yang panjang, berat dan sangat melelahkan. "Gendhuk Tri, apakah kau takut mati?" Suara Jagaddhita sangat perlahan. Rasa masih sakit muncul setiap kali ia mengerahkan sedikit tenaga. Akhirnya Jagaddhita bersandar ke dinding batu. Terasa tak tersisa lagi tenaganya. Kepalanya juga menyandar sepenuhnya. "Gendhuk Tri. apa kau takut mati?" Sinar mata polos Gendhuk Tri memantulkan cahaya. "Bagaimana aku tahu Mbakyu? Aku belum pernah mati." "Sebentar lagi akan kau rasakan. Akan kita rasakan bersama. Bagaimana rasanya sekarang ini?" "Aku sendiri tak tahu." "Inilah yang dinamakan nasib. Inilah takdir. Kita hanya tinggal menjalaninya. Aku tidak mengenalmu, Tidak mengenal asal-usulmu. Tapi apakah penting kita saling bercerita kalau sebentar lagi mati? "Sejak Rama Guru menyerahkanmu kepadaku aku merasa kau bagian dari diriku. Aku menyukaimu. Perawan seperti kaulah yang diharapkan muncul di Keraton. Baginda Raja akan sangat bangga mempunyai rakyat sepertimu. Berani, ganas dan maju ke depan. Sayang sekarang ini keadaannya tidak memungkinkan Baginda Raja bertemu denganmu." "Mbakyu kenapa selalu bercerita tentang kematian." "Sebab itulah yang akan segera terjadi. Gua ini akan diketemukan. Jika bangs*t Ugrawe itu menemukan, ia akan menyerbu masuk. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah membuat mati bersama. Setidaknya melukai seperti tadi. Tapi bangs*t itu kelewat licik. Ia bisa menyuruh menimbuni lubang dan itu berarti kita terkubur hidup-hidup di sini." "Kalau Kangmas Wulung bisa keluar dari sini, apa susahnya kita keluar? "Segera setelah Mbakyu bisa menahan rasa sakit, kita melalui jalan yang dilewati Kangmas Wulung." Dalam gelap Jagaddhita tersenyum. Ingin sekali tangannya mengelus kepala Gendhuk Tri "Gua ini dinamakan Lawang Sewu, alias Pintu Seribu. Banyak sekali jalan masuk, banyak sekali jalan keluarnya. Akan tetapi jalan keluar yang sesungguhnya hanya satu. Yaitu yang dilalui. Setelah itu tak mungkin bisa dilalui lagi. Ini adalah gua yang dibuat sedemikian rupa sehingga hanya dipakai sekali saja." "Aku belum pernah mendengar nama gua seaneh ini." "Gua Lawang Sewu dahulu dipersiapkan olah Mpu Raganata yang kesohor. Untuk menjebak lawan yang akan menyerbu ke Keraton Singasari. Perguruan Awan ini sengaja dibangun di sini, karena sesungguhnya inilah benteng yang paling ketat di luar dinding Keraton. Eyang Sepuh sengaja mendirikan Perguruan Awan di sini bukannya tanpa perhitungan. "Jika lawan akan menyerbu ke Singasari, pastilah akan melalui Perguruan Awan. Dan di sinilah akan terjadi perang habis-habisan. Ada dua kemungkinan. Perguruan Awan menang atau kalah. Jika menang, lawan bisa dihalau mundur dan tak akan menjadi persoalan. "Jika lawan menang, para ksatria akan melarikan diri lewat Gua Lawang Sewu ini dengan harapan lawan akan mengejarnya. Dan lawan itu akan terkubur di sini. Karena setiap lorong yang baru saja dilewati, tanah-tanahnya akan berguguran menutup dengan sendirinya. Dan mereka tak mungkin bisa maju lagi. Ini akan dimulai di tengah gua. Sehingga pengejarnya tak akan bisa mundur lagi. "Kalau kita tadi mengikuti Upasara Wulung, kita mungkin akan selamat. Tetapi itu percuma. Karena aku sudah tidak kuat lagi. "Itulah sebabnya tadi kutanyakan apakah kau tidak takut mati." "Lawang Sewu adalah perangkap yang dahsyat. Hebat sekali yang bernama Raganata itu." "Hush... kau tidak boleh menyebut namanya begitu saja." Kalau Jagaddhita masih cukup tenaganya, mungkin ia akan langsung menempeleng Gendhuk Tri. Atau paling tidak akan menjewer hingga Gendhuk Tri kesakitan dan menyembah Mpu Raganata. "Di dunia ini. yang mampu mengimbangi jiwa besar Baginda Raja, hanyalah Mpu Raganata. Kedua junjungan ini ibarat panglima perang dan saisnya. Akan tetapi, siapa nyana, jika sekarang bangs*t Ugrawe memorak-porandakan semua rencana besar ini?" "Mbakyu, aku belum mengerti. Kalau Lawang Sewu ini ciptaan yang terhormat Mpu Raganata, bagaimana mungkin Mbakyu bisa mengerti?" "Meskipun aku sangat dekat dengan Baginda Raja, tak bakal Baginda Raja memberitahu soal ini." "Dari mana Mbakyu mengetahui hal ini?" "Dari Rama Guru." "Rama Guru?" Suara kaget Gendhuk Tri membuat Jagaddhita juga kaget. "Kenapa kau seperti kaget?" "Siapa sebenarnya Rama Guru?" "Astaga, kau tak mengenalnya?" "Tidak." "Bagaimana kau bisa diajak Rama Guru untuk dipertemukan denganku?" Gendhuk Tri duduk bersila. Tangannya bermain dengan pasir tanah. "Aku berada di Keraton, ingin belajar menari. Akan tetapi kemudian diambil oleh Rama Guru. Dibawa berkeliling. Diajari ilmu silat, dan kemudian dipertemukan dengan Mbakyu. Lalu Mbakyu ajak berkelana, berlatih, dan menuju daerah ini." "Hmmmmmmm, aku sudah menduga bahwa Rama Guru mempunyai hubungan yang erat dengan Keraton. Sangat erat. Tapi entahlah, hubungan apa. Rama Guru sendiri tak pernah bersedia menjelaskan. Pastilah hubungan antara dendam dan pemunah yang berlebihan. Hmmmmmmm, sungguh sulit diduga. "Sampai mati pun kita tak akan mengenali "Heh, Gendhuk Tri, kau juga tidak tahu siapa Rama Guru?" Gendhuk Tri menggeleng. "Bagaimana ia mengajakmu pergi?" "Aku sudah bilang tadi. Mbakyu mendengarkan apa tidak?" Dalam situasi yang kebat-kebit begini, Gendhuk Tri ternyata masih keras kepala. "Aku sudah bilang mau belajar menari. Datang ke Keraton dan kemudian bertemu dengan Rama Guru dan ia ternyata mengajari aku ilmu silat. Lalu membawaku pergi." "Kau tak tanya kenapa?" "Rama Guru bilang, aku tak boleh jadi klangenan Baginda Raja." Darah Jagaddhita berdesir keras. Klangenan adalah istilah yang diperhalus dari gendhak, atau penghibur. Agaknya Rama Guru kuatir kalau nanti Gendhuk Tri nasibnya sama dengan Jagaddhita! "Aku bilang bahwa aku tak mau jadi klangenan. Aku mau jadi penari." "Hush, kau tak boleh bicara seperti itu. Apa pun kehendak Baginda Raja, itu harus kita junjung tinggi. Kita ini punya darah dewa mana, sehingga harus berkata tidak kalau Baginda Raja menghendaki? "Kalau..." Suara Jagaddhita terhenti. Matanya menjadi buas. Dua buah bayangan menyuruk masuk. Gendhuk Tri bersiap untuk menghadapi. Tapi bayangan tubuh itu tak bereaksi apa-apa. Jatuh begitu saja. Sekilas Jagaddhita masih bisa mengenali bahwa bayangan yang dilemparkan ke dalam adalah Padmamuka dan Pu'un yang sudah menjadi mayat! Belum hilang kaget mereka berdua, suasana berubah menjadi gelap total. Terdengar teriakan dan hamburan tanah. Gendhuk Tri merapat ke arah Jagaddhita. Jagaddhita memeluk lembut. "Mereka mulai menimbuni mulut gua." "Ya," suara Jagaddhita lembut. "Mereka mengubur kita hidup-hidup dan dua bangkai ini." Kau takut mati?" "Aku takut gelap." "Kalau begitu kau harus bunuh diri. Agar tidak mengalami ketakutan. Kalau aku masih mempunyai tenaga simpanan, aku akan membunuhmu. Agar kau tak usah ketakutan. Tapi aku sendiri..." Tubuh Jagaddhita bergoyang-goyang. Ketika akan berusaha duduk tadi rasa sakit kembali menggigit seluruh tubuhnya bagian belakang. Gendhuk Tri merangkul Jagaddhita, lalu menyeret ke depan. Dalam gelap ia menyuruk maju beberapa tindak. "Apa yang harus kita lakukan, Mbakyu?" "Suaramu gemetar. Sungguh sayang, kau harus mengalami ketakutan seperti ini sebelum mati." "Siapa bilang aku takut mati? Aku takut gelap. Aku... aku... juga takut mayat." "Hmmmmmmm, tapi bagaimana mungkin melenyapkan mayat itu? Apa kita harus memakannya? Itu satu-satunya jalan untuk menyambung hidup kita, sementara." Gendhuk Tri bergidik. Mendadak ia lepaskan rangkulannya, dan Jagaddhita terbanting di tanah. "Kau sudah gila, Mbakyu. Mana mungkin kita makan mayat?" "Habis, apa kita harus mati kelaparan dan ketakutan melihat mayat?" "Pokoknya aku tak mau makan mayat. Paling tidak di sini ada ular atau kelabang atau tikus atau hewan tanah yang lain. Itu masih lebih nikmat dari mayat ini." Gendhuk Tri merangkak maju. "Apa yang akan kau lakukan?" "Mengubur mereka." "Astaga. Benar-benar goblok. Kita sendiri sudah terkubur, untuk apa bersusah payah mengubur?" "Sebentar lagi mayat itu berbau. Aku tak mau bau itu." "Gendhuk Tri..." Gendhuk Tri terhenti. "Hati-hati. Jangan sentuh dengan tanganmu. Mayat itu mengandung racun keras. Padmamuka adalah biangnya racun. Semua darah dan kulit pori-porinya beracun. Kau bisa mati karenanya." "Mbakyu... Mbakyu...Tadi bilang kita bakal mati. Kalau mati kena racun atau kelaparan, apa bedanya?" Meskipun demikian. Gendhuk Tri mengindahkan kalimat Jagaddhita. Ia menggali tanah sekitarnya dengan patrem. Sampai berkeringat dan tersengal-sengal. Semua dilakukan dalam gelap. Hanya berdasarkan perkiraan saja. Baru kemudian menggulingkan kedua tubuh itu ke dalam satu liang, dan kemudian menimbuni dengan tanah. Waktu yang digunakan untuk menggali dan menimbun kembali cukup lama. Sehingga Gendhuk Tri tersengal-sengal dan kehabisan tenaga. "Nah, kini kalian berdua bisa beristirahat dengan tenang. Kalian pasti tak mengira aku telah menguburkan kalian dengan baik. Mudah-mudahan arwah kalian tahu cara berterima kasih dan menunjukkan pada kami jalan keluar. Setidaknya bangkai kalian tidak terlalu busuk dan mengganggu kami. Tapi tetap cukup busuk untuk mengundang ular tanah dan aku bisa menyantap." "Gendhuk Tri..." "Sudah selesai, Mbakyu..." "Kau belum mati?" "Hampir," "Tidak. Kita belum bakal mati. Lawang Sewu ini ternyata masih memungkinkan kira bernapas. Setidaknya..." "Apa, Mbakyu?" "Tidak. Dari mana kita bisa keluar?" "Kalau kita bisa bertahan di sini. Kita bakal keluar dari pintu kita masuk tadi. Gua ini kan buntu di depan, tapi arah kita datang tadi kan masih terbuka. Hanya ditutup dari luar. Kalau kita bisa mengorek sedikit demi sedikit, kita bisa keluar." "Mana mungkin Ugrawe meninggalkan begitu saja?" "Ugrawe atau neneknya atau kakeknya, apa susahnya menghadapi. Kalau ia tak ada di situ justru aku yang akan mencarinya. Kupingnya yang sebelah akan kuputuskan juga." Diam-diam Jagaddhita memuji ketabahan dan semangat tinggi Gendhuk Tri. Benar kau-katanya tadi: Baginda Raja memerlukan perawan yang seperti ini, Kalau para wanita mampu berperan seperti Gendhuk Tri—dan bukan sekadar puas menjadi selir—sejarah Keraton Singasari akan lain sekali. Tapi sayangnya, pikir Jagaddhita, mungkin saat berbakti itu sudah tak ada lagi. "Awas sebelah kiri..." Suara Jagaddhita memperingatkan Gendhuk Tri. Walau ia terluka parah, kemampuannya mendengar desisan halus binatang masih sempurna. "Ah, ular ini ternyata lebih cepat datangnya. Dagingnya bisa dimakan, darahnya bisa diminum." Jagaddhita mendengar bunyi gerak cepat dan suara cekikikan. Sepertinya bisa menangkap hidup-hidup. Akan tetapi selebihnya tak bisa apa-apa. Jagaddhita ingin mengeluarkan suara, tetapi tenaganya telah musnah. Antara sadar dan tidak, dalam gelapnya gua yang pekat ia melihat warna-warna-warni-warni, seperti suasana upacara di Keraton. "Sembah dalem..." Suara itu hanya terdengar dalam hati Jagaddhita. Ia sendiri terbaring lemah, tak bisa berbuat sesuatu. Warna-warna-warniwarni itu berubah menjadi senyuman Baginda Raja. Jagaddhita merasa aman, damai, tenteram, tenggelam.... PASAR BANYU URIP di desa Banyu Urip merupakan pasar yang terbesar di simpang jalan menuju Keraton Singasari. Setiap lima kali sehari, di hari pasaran, suasana menjadi sangat ramai. Sejak pagi-pagi, masyarakat sekitar berdatangan untuk menjadi penjual atau pembeli atau dua-duanya sekaligus. Meskipun disebut sebagai pasar dan paling ramai, keramaian itu sangat terbatas. Hanya ada dua bangunan dibuat dari bambu, beratapkan daun. Seperti juga bangunan-bangunan rumah yang ditemukan sepanjang jalan. Pada hari kedua dalam perjalanan, Upasara Wulung menyaksikan masyarakat pedesaan hidup dalam keadaan tenteram dan damai. Sawah yang luas, hutan-hutan yang masih kelewat lebat, sepenuhnya memantulkan suasana alam. Sepi tapi damai. Sungguh berbeda dengan hiruk-pikuk Keraton. Dalam dua hari melakukan perjalanan, sejak keluar dari Lawang Sewu, Upasara hanya berjumpa beberapa kali dengan penduduk yang berjalan di jalan setapak. Suasana masyarakat belum ramai. Jalan setapak yang agak lebar pun tak banyak dilalui gerobak yang ditarik sapi. Kusir gerobak menegur ramah, dan menyilakan Upasara untuk ikut menumpang. "Mari, Anakmas, beristirahatlah sebentar. Barangkali Anakmas ingin minum seteguk air tawar." Upasara menatap wajah sais gerobak. Wajah yang jujur, polos, dengan pancaran kebahagiaan dan niat berbuat baik. Upasara menjadi tidak enak dalam hati. "Biarlah, Paman, hamba berjalan. Rasanya kaki hamba masih bisa meneruskan langkah." "Ah, sungguh tak enak. Gerobak Paman memang tak pantas. Kenapa saya begini tolol menawarkan diri?" "Maaf," Upasara menjadi kikuk. Dan ia naik ke gerobak. Di bagian depan. Dalam dua hari perjalanan, Upasara berubah banyak. Penampilannya tidak lagi mirip ksatria dari Keraton. Ia bertelanjang dada, seperti umumnya orang desa. Juga tidak mengenakan ikat kepala. Satu-satunya yang agak mewah hanyalah kain yang dikenakan. Meskipun sudah kotor, sobek di sana ini tapi masih memperlihatkan bahwa dulunya bukan kain yang murah. Namun secara keseluruhan, penampilan Upasara tak jauh berbeda dengan penduduk setempat. Telapak kakinya juga mengesankan sudah pecah-pecah. "Paman bernama Toikromo...." "Maafkan hamba, Paman Toikromo. Seharusnya hamba memperkenalkan diri terlebih dulu. Maafkan hamba yang tak kenal sopan-santun. Upasara berusaha memberi hormat dengan menunjukkan ibu jari ke arah Toikromo, sambil menunduk. "Nama hamba Upa, berasal dari gunung. Hamba ingin nyuwita ke Keraton. Siapa tahu di sana membutuhkan tenaga pencari rumput...." Upasara merasa kurang enak jika harus berbohong. Menghadapi wajah yang polos, hatinya terganggu. Maka ia menyebutkan bahwa namanya Upa. Upa juga berarti sebutir nasi. Nama yang biasa dipakai rakyat desa. Ia tidak mungkin menyebutkan nama lengkapnya, kecuali kalau ingin membangkitkan pertanyaan lainnya yang lebih jauh. Dengan menyebutkan ingin nyuwita, ingin mengabdi ke Keraton, hal ini mengurangi kecurigaan. Karena di zaman itu menjadi kelaziman utama mengabdi ke Keraton. Sedikit pemuda yang tertarik untuk melanjutkan hidup sebagai petani. Kalaupun menjadi petani, itu adalah petani Keraton, dan namanya nyuwita juga. Apakah pekerjaan yang dilakukan menjadi penari, pesinden, penabuh gamelan, pencari rumput untuk kuda, itu soal lain. "Paman dulu juga ingin nyuwita tapi tak bisa diterima. Jadinya Paman bekerja sendirian, sebagai pengantar barang. Sekadar mencari sesuap nasi dan setetes air. "Kalau mau ke Keraton, kita bisa sama-sama ke Pasar Banyu Urip." "Terima kasih sekali, Paman Toikromo. Hamba telah banyak merepotkan." "Ah, jangan merasa begitu. Paman merasa gembira mempunyai teman. Tiga hari ini Paman berjalan sendirian. Hanya bercakap dengan Seta...." Upasara tak bisa menyembunyikan rasa herannya. "Ini, sapi-sapi Paman...." Upasara tersenyum. Dalam hatinya merasa heran juga. Mereka mempunyai nama sederhana untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya. tetapi untuk nama binatang peliharaannya cukup bagus. "Pasar ramai sekali, Paman?" "Ya, akhir-akhir ini. Selesai mengantarkan barang ini, Paman juga akan mengantarkan barang lainnya. Upasara melirik ke bagian belakang. Tumpukan kotak-kotak kayu. Dilihat dari gerak dua ekor sapi yang berat. bisa diduga isinya sangat berat. Dan itu hanya mungkin jika di dalam kotak itu berisi... besi. Dan itu berarti senjata! "Diantar ke Gelang-Gelang, Paman?" Tidak. Paman dari Sana." "Kemarin ini juga ada gerobak menuju ke sana." "Ah, mungkin itu saudara Paman juga. Hanya kami yang mempunyai gerobak semacam ini. Lima-limanya dipakai semua. Ramai sekali. Belum pernah seramai ini. "Kalau Anakmas gagal nyuwita, carilah Paman. Anakmas bisa bekerja pada Paman." "Terima kasih, terima kasih sekali, Paman Toikromo. Hamba akan segera sowan Paman." "Paman juga punya anak gadis. Anakmas sudah kawin?" Wajah Upasara merah. Menunduk gelisah. Perkelahian mati-hidup ia bisa menghadapi dengan tenang. Akan tetapi ditanya secara telak begini, apa yang bisa dilakukan? Ini benar-benar pembicaraan terbuka. "Paman, orang seperti hamba siapa yang bersedia mengambil menantu?" "Sama juga. Kalau sudah menjadi abdi dalem, siapa mau mempunyai mertua kusir gerobak?" Toikromo tertawa bergelak. Gerobak itu mencapai Pasar Banyu Urip menjelang tengah hari. Upasara membantu menurunkan peti-peti. Meskipun Toikromo mengatakan tak usah. Benar dugaan Upasara bahwa tumpukan peti itu berisi tombak, keris, pedang, gada, serta perisai. Suatu persiapan yang besar-besaran. Dari Pasar Banyu Urip, peralatan itu akan diangkut oleh gerobak yang lain. Sebenarnya di pasar ini Upasara berharap bisa membeli dua ekor kuda. Ia masih menyimpan gelang emas yang tadinya dipakai di kaki. Setidaknya itu bisa ditukarkan dengan dua ekor kuda yang bisa digebrak menuju Keraton. Makin cepat makin baik. Kalau mengandalkan kekuatan kaki, bisa-bisa sampai sepuluh hari belum sampai. Dulu saja ketika berangkat ke Perguruan Awan melalui jalan pintas, memakan waktu tiga hari tiga malam berkuda penuh. Namun harapan sia-sia. Tak ada bayangan seekor kuda atau kerbau atau sapi yang ditambat. . "Kenapa, Anakmas?" "Biasanya ada kuda yang dijual." "Biasanya memang ada. Sekarang belum sampai di sini sudah laku. Bahkan yang masih dalam kandungan sudah dipesan. Haha, Paman ini orang bodoh. Tapi semenjak Baginda Raja, yang menjadi sesembahan masyarakat, mengirim pasukan ke negeri seberang, masyarakat jadi makmur. Perang malahan membuat dagangan laku. Haha, Paman ini orang bodoh tidak mengerti apa-apa." Memang, pikir Upasara. Kalau mengerti persoalan sebenarnya, tidak mungkin tertawa selepas ini. Paman Toikromo mi, seperti juga yang lain, mana mungkin memedulikan siapa yang membeli? Yang diketahui cuma satu. Pihak Keraton. Tapi apakah itu Keraton Singasari atau Gelang-Gelang ataupun yang lainnya, mana mereka memedulikan? "Mungkin Anakmas akan bisa diterima menjadi prajurit." "Pangestu Paman." Toikromo bergerak lagi. Dua belas tumpukan peti bisa dipindahkan dalam waktu singkat. Biasanya memakan waktu sampai malam. Itu pun harus ditangani beberapa orang. Akan tetapi Upasara sanggup mengangkat sendirian. Kalaupun berdua dengan Toikromo, Toikromo seperti memegang papan yang enteng. Dua orang prajurit yang mengawasi, maju ke arah Toikromo. "Anakmu cukup kuat, Pak Kromo." Toikromo menghaturkan sembah. Upasara juga menghaturkan sembah. Dalam hatinya tersenyum geli. Mana mungkin ia harus menyembah prajurit biasa-biasa seperti ini? Senopati Suro pun memberi hormat lebih dulu! "Hamba hanya kuat makan, Raden...." Upasara sengaja mengucapkan sebutan raden dengan keras. Tak peduli pantas disebut raden atau tidak, prajurit itu tersenyum lebar. "Kami sedang mencari tenaga untuk mengangkut barang. Kalau kau bersedia, aku bisa mempekerjakanmu." "Anak ini memang ingin nyuwita...." "Asal tidak bertingkah." "Maafkan hamba, Raden Prajurit...." Toikromo berbisik, "Anakmas, ini peruntungan bagus. Siapa sangka kamu langsung diterima?" "Semuanya karena pangestu Paman." "Tapi jangan lupa, Paman masih ingin bermenantukanmu." Prajurit itu mengeluarkan suara di hidung, sehingga Toikromo buru-buru terdiam tak bergerak. Malah suara napasnya pun tak terdengar. "Tunggu di sini, malam nanti akan kujemput." Upasara menghaturkan sembah. Dua prajurit itu berlalu tanpa memperhatikan Upasara. Dengan lirik matanya, Upasara melihat arah berlalunya dua prajurit. Telinganya masih mendengar percakapan dua prajurit itu. "Enak kita. Kalau ada kuli seperti itu." "Lebih baik begitu. Kan tidak lucu kalau kita prajurit harus mengangkut barang seperti itu. Kalau kita cepat. kita bisa naik pangkat. Siapa tahu dapat persen dan bisa kawin lagi?" Menunggu malam hari, Toikromo-lah yang paling sibuk. Ia mengajak Upasara mandi di belik, si sebuah sendang kecil. Dan meminjami sisir, serta memberi bedak. "Wajahmu tampan, Anakmas." "Sudahlah, Paman" Sebenarnya Upasara ingin segera meninggalkan tempat itu. Namun merasa tak enak jika ia meninggalkan begitu saja. Ia kuatir jika dua prajurit itu menuduh Pak Toikromo mempermainkan mereka. Akibatnya bisa runyam semuanya. Makanya, Upasara ingin penolongnya berlalu dulu dan ia akan mencari kesempatan baik untuk meloloskan diri. Di samping itu, ia juga ingin menggunakan saat yang sebentar untuk beristirahat dan memulihkan tenaganya. Tetapi Toikromo ternyata menunggu sampai Upasara diambil dua prajurit itu baru berlalu. Setelah mengadakan perpisahan sederhana, Upasara mengikuti dua prajurit itu. Masuk ke dalam bangunan rumah yang agak megah. Dindingnya dari anyaman bambu. Demikian juga bagian lantai rumah. Jadi bukan dari tanah biasa. "Besok pagi mulai bekerja. Malam ini kau beristirahat di sini." "Sembah dalem, Raden...." Salah seorang dari prajurit itu mengeluarkan duit receh terkecil dan melemparkan ke tanah. "Ini buat beli tembakau." Dahi Upasara berkerut. Sungguh tersiksa rasa congkaknya untuk memungut duit yang dilemparkan dengan cara seperti itu, dan ini dilihat oleh prajurit-prajurit yang lain. "Maaf, Raden. Hamba tidak menisik dengan tembakau...." Upasara bergeming, tidak mengambil duit. "Pakailah untuk makan." "Maaf, hamba sudah diberi oleh Bapak...." Prajurit itu menggertakkan giginya. "Kalau kuperintah mengambil, jangan berbuat yang lain." Upasara menghaturkan sembah. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil recehan ketika prajurit itu menyungkil dengan tombaknya. Kepingan mata uang itu melayang ke atas, dan ditangkap dengan sebelah tangan. Upasara menjadi gusar. "Hah!" teriaknya kaget. Namun bersamaan dengan teriakan kaget dan mulut terbuka, Upasara mengirimkan tenaganya, sehingga kepingan logam itu jadi melenceng. Si prajurit menangkap angin. Kepingan duit logam itu jatuh kembali ke tanah. Prajurit yang lain menertawakan. Ditertawakan, seperti itu prajurit yang congkak ini jadi merah-padam. Tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Dan tak menduga ini ulah Upasara. Hanya geramnya dilampiaskan ke Upasara. "Pungut duit itu. Ikut aku. Kuajari caranya menisik tembakau." "Baik, Raden." Upasara memungut duit dan mengikuti prajurit di depannya. "Jangan sekadar memanggil Raden. Panggil aku Raden Sukra. Ini pelajaran kalau ingin menjadi calon prajurit." "Nama hamba Upa...." "Siapa yang menanyaimu? Tugasmu hanya menjawab pertanyaan dengan kalimat: 'Sendika dawuh, Raden Sukra'" "Sendika dawuh, Raden Sukra." Sambil menahan rasa dongkol yang sudah sampai di leher, Upasara mengikuti Prajurit Sukra. Ada yang menahan Upasara untuk langsung menyikat Prajurit Sukra. Pertama karena ia ingin mengetahui persiapan apa yang terjadi di tempat ini. Ini cukup beralasan karena Upasara melihat adanya panji-panji atau umbul-umbul yang sama dengan yang dikibarkan di dalam tenda Raja Muda Gelang-Gelang. Matanya sempat melihat ke dalam bangunan rumah. Di bawah penerangan obor yang dinyalakan dari ujung tangkai pohon kelapa yang diremukkan dari beberapa jurusan, beberapa prajurit utama berkumpul. Semuanya duduk di bawah. Menghadap kursi yang masih kosong. "Hei. Jangan longak-longok begitu. Jongkok." Kali ini Prajurit Sukra bukan hanya berkata, akan tetapi langsung menarik pundak Upasara dan menyeretnya ke tanah. Upasara mengikuti bantingan, hingga tubuhnya seperti dilontarkan ke depan. Ia bisa melihat lebih jelas kini. Sebelum Prajurit Sukra maju kedua kalinya. terdengar langkah kaki memasuki bangunan utama. Semua prajurit langsung tunduk dan menghaturkan sembah. Kesempatan ini digunakan oleh Upasara. Dengan mengambil batu kerikil kecil, ia menimpuk ke arah Prajurit Sukra dan badan Sukra menjadi kaku. Tentu saja di saat semua menunduk, kehadiran Prajurit Sukra jadi menarik perhatian. Begitu yang memegang pimpinan melirik ke arah Prajurit Sukra, semua menahan napas. "Prajurit mana yang tak tahu adat itu?" Bersamaan dengan itu tangan ksatria yang berada di tengah ruangan menuding. Upasara menduga bahwa sebuah tenaga lurus menghantam ke arah Prajurit Sukra. Upasara tak mau berisiko. Ia menyambitkan batu kerikil untuk membebaskan kekakuan Prajurit Sukra. Soalnya kalau orang mengetahui bahwa Prajurit Sukra berdiri kaku karena tertotok jalan darahnya, bisa buyar semua rencananya. Maka ketika tenaga dan jari telunjuk itu menyentuh Prajurit Sukra, yang terakhir ini sempat mengaduh. Matanya membeliak dan tubuhnya terjatuh ke depan. Ksatria di depan itu meraupkan tangannya, dan Prajurit Sukra seperti melayang di udara. Lalu dengan satu tolakan tangan yang itu juga. tubuh Prajurit Sukra terlempar jatuh ke belakang. Tak terdengar suara mengaduh. | |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:12 pm | |
| Upasara menahan ludah yang hampir tertelan. Satu gebrakan yang keras dan ganas. Kalau melawan prajurit biasa. seorang yang mempunyai kepandaian tertentu di atasnya bisa mempermainkan. Itu bukan hal yang aneh. Yang membuat Upasara bertanya-tanya dalam hati ialah gerakan ksatria itu. Tak ubahnya gerakan yang dipertontonkan oleh Pujangga Pamungkas, Ugrawe. Siapa ksatria ini? Dilihat dari usianya, masih sepantaran dengan Upasara. Tapi dilihat dan pangkat dan jabatan, jelas ia pemimpin dalam pasukan ini. Dilihat dari kemampuan dan tenaga yang dipergunakan, jelas susah ditentukan di mana tingkatnya. "Sembah dalem, Gusti Rawikara...." Rawikara melambaikan tangan. Para prajurit yang menghaturkan sembah tetap menunggu. Akan tetapi agaknya yang ditunggu tidak segera duduk di kursi yang telah disediakan. Rawikara berarti sinar matahari. Kini, pertanyaan Upasara agak terjawab sedikit dengan gerakan yang didemonstrasikan tadi. Pantas saja gerakannya seperti Ugrawe. Ataukah ksatria ini murid Ugrawe? Kalau benar begitu, jelas banyak tokoh yang tangguh bergabung dengan pasukan Gelang-Gelang. "Bagaimana dengan penjagaan?" "Sembah dalem, Gusti...." Seseorang menghaturkan sembah. "Sampai hari ini belum ada yang melalui jalan di depan." "Meskipun demikian, jangan sampai lengah. Kita mendapat tugas untuk mengamati jalan di Banyu Urip. Karena ini satu-satunya jalan utama menuju ke Keraton Singasari dari Perguruan Awan. "Siapa pun yang lolos dari sana, akan melalui jalan ini." Diam-diam Upasara bersyukur. Di luar perhitungannya sendiri, ia bisa lolos dari pengawasan. Kalau saja ia muncul sendirian di pasar, pasti ia sudah ditanyai dengan berbagai pertanyaan dan akan sangat repot. Untung saja ia muncul bersama Toikromo yang sudah dikenal baik para prajurit di sini. Sehingga tidak menimbulkan kecurigaan sedikit pun. Bukan tidak mungkin selama ini Toikromo ditemani oleh keponakan atau anaknya. Hanya saja karena banyaknya gerobak yang dimiliki semua dipakai untuk mengangkut, jadi hari ini Toikromo terpaksa mengangkut sendirian. "Meskipun tugas utama kita menghimpun kekuatan, akan tetapi baru saja ada berita dari Perguruan Awan, bahwa Senamata Karmuka sempat lolos. Tetapi ia tak akan pernah mencapai Keraton Singasari. "Tidak, selama kita masih di sini. "Aku menginginkan semua menjalankan tugas dengan baik. Jangan mencoba menyepelekan tata tertib yang berlaku." Secara serentak para prajurit menghaturkan sembah. "Semua yang diundang ke Perguruan Awan bisa diselesaikan. Sebagian ditawan, sebagian dibunuh, dan sebagian dikubur hidup-hidup." Upasara menggertakkan gerahamnya. Ia teringat akan nasib Jagaddhita dan Gendhuk Tri. "Hanya mayat Senamata Karmuka yang belum ditemukan. Boleh dikatakan tugas pertama berhasil sempurna. Tinggal melaksanakan dua tugas berikutnya. Kalau ini sudah terlaksana, kita akan melihat tanah Jawa kembali diperintah oleh yang berhak. Kembali diperintah titisan dewa dan bukan turunan para perampok." "Sembah dalem, Gusti...." Rawikara mengeluarkan suara mendesis. "Tetapi tetap ada yang membuat ganjalan. Maharesi Ugrawe dilukai sedikit, tapi tak menjadi soal. Akan tetapi yang menjadi soal ternyata di antara kita sendiri ada yang berkhianat." Sejak meninggalkan Perguruan Awan, Upasara tak tahu apa yang terjadi. Baru sekarang ini semua keterangan bisa diperoleh. Akan tetapi yang jauh lebih menarik perhatiannya ialah ternyata Maharesi Ugrawe—begitulah Rawikara menyebutnya— yang menjadi pucuk pimpinan prajurit Gelang-Gelang, mempunyai tiga rencana sekaligus. Pertempuran hancur-hancuran dan habis-habisan di Perguruan Awan hanyalah salah satu dari tiga rencananya. Betapa dahsyat tipu muslihatnya! Tiga rencana dilaksanakan secara serentak. Tidak percuma semua gelar yang diangkat dan dianugerahkan untuk dirinya sendiri. Ugrawe memang luar biasa. Jago silat kelas utama, sekaligus ahli siasat perang yang memegang komando sendiri. Dalam hati Upasara menduga bahwa dua rencana yang lain pasti tak akan dikatakan di pertemuan ini. Pertemuan ini terlalu terbuka untuk menjelaskan tugas rahasia. Inilah tugas Upasara untuk bisa mengetahui. Pasti juga bukan hal mudah. Akan tetapi jika ia berhasil mengendusnya, bukan mustahil semua rencana bisa digagalkan. Dan ini berani keselamatan Keraton bisa dipertahankan. Hanya saja kalimat terakhir Rawikara membuatnya sedikit bergidik. Kalau dikatakan ada yang berkhianat, apakah Rawikara mengetahui kehadiran dirinya? "Tak perlu kuatir. Aku sendiri telah menangkap pengkhianat itu." Tangannya melambai. Persis gerakan Ugrawe. Upasara menghimpun tenaganya. Namun ternyata ucapan itu tidak ditujukan kepada dirinya. Ucapan itu ditujukan kepada sekelompok prajurit yang menyeret maju seseorang yang telah diikat erat sekujur tubuhnya. Upasara bisa segera mengenali bahwa yang diikat erat itu adalah... Kawung Sen! Apakah karena dalam pertempuran lalu Kawung Sen membebaskan dirinya, maka sekarang dianggap pengkhianat? Upasara menahan getaran di tangannya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak berbuat sembrono. "Inilah pengkhianat itu. Dan kalian semua akan melihat bagaimana aku menghukumnya, karena Maharesi Ugrawe telah menyerahkan hal ini padaku. "Hoho, sejak kemarin dulu aku selalu dikatakan pengkhianat. Tetapi apa sebenarnya dosaku?" "Kawung Sen, kau masih bertanya? Kan tahu siapa aku? Kau tahu kenapa Maharesi Ugrawe menyerahkan persoalan ini padaku? Karena aku bisa menyiksa manusia dan setan untuk mengaku." "Itu aku sudah tahu. Semua juga tahu. Bahkan kalau disuruh menyiksa ayahmu sendiri, kau akan menjalankan perintah gurumu." Kini lebih jelas. Maharesi Ugrawe memang benar guru Rawikara. Tapi siapa yang disebut sebagai ayah? Mungkin Jayakatwang sendiri? "Aku tak pernah berkata lain. Aku selalu memegang janjiku. Nah, Kawung Sen, mengingat jasa baikmu dahulu ketika menyerbu Keraton Singasari, mengingat pengorbanan saudara-saudaramu, katakan di mana kau sembunyikan Kartika Parwa dan Bantala Parwa" "Hoho, jadi itu dosaku?" Kawung Sen bergelak. Hanya itu yang bisa dilakukan dengan bebas, karena menggerakkan ujung jari pun agaknya tak mungkin. Kedua tangan dan kakinya diikat, dan itu pun saling dikaitkan. Tubuhnya terbaring di lantai yang dialasi anyaman bambu. "Semua orang juga tahu, untuk apa aku mencuri kitab bulukan itu. Pasti untuk mempelajari, untuk kubaca pelan-pelan, kuhafalkan. Agar aku bisa mengalahkan Ugrawe yang merasa menguasai segala macam soal matahari, rembulan, bintang dan langit, serta bumi. Untuk apa dipersoalkan lagi. Ayolah paksa aku. Siksa aku. Biar aku mengaku." Dari jawaban Kawung Sen yang tetap berani, Upasara tak bisa menebak arahnya ke mana. Karena jawaban itu sudah jelas. Kalau seorang dituduh mencuri suatu kitab, jelas untuk dipelajari, Apa lagi selain itu. Rangkaian jawabannya juga benar. Ugrawe dikenal menguasai ilmu angin puyuh yang dahsyat karena berhasil menggabungkan berbagai unsur kitab-kitab yang ada. Seperti yang dinamakan sebagai kitab mengenai bintang, Kartika Parwa, dan kitab mengenai bumi, Bantala Parwa. Bahwa dua kitab itu penting, mudah dimaklumi. Sama mudahnya memaklumi bahwa Ugrawe memang menyimpan berbagai kitab pusaka. Akan tetapi bahwa Kawung Sen dituduh mencuri, agak janggal. Terutama sekali dari jawaban Kawung Sen. "Ayo lakukan. Tak bakal ada yang menyalahkanmu. Kau putra Raja Muda Gelang-Gelang. Gurumu adalah Maharesi Ugrawe. Apa susahnya? "Tapi ketahuilah, Rawikara. Kau sama bodohnya dengan aku atau Ugrawe. Kenapa untuk soal sekecil ini saja aku harus diseret kemari dari Perguruan Awan? Kenapa Ugrawe sendiri tak bisa menyelesaikannya? Kenapa aku harus dituduh? Semua orang juga tahu bahwa Kawung Sen adalah orang yang paling bodoh di antara kawung yang lain. Karena Kawung Sen tak mengerti baca dan tulis, "Lalu untuk apa kalian semua menjerat aku seperti ini?" Upasara baru mengerti sekarang ini bahwa Kawung Sen tidak mengerti baca dan tulis. Agak mengherankan, akan tetapi hal itu memang bisa saja terjadi. "Sayang benar. Ayahmu bercita-cita jadi Baginda raja. Gurumu jadi paman negara. Tapi kau putranya, muridnya yang terkasih diberi pekerjaan yang tak ada artinya. Tidak sadarkah bahwa kau diperolok-olok?" Rawikara mengedipkan matanya. "Dalam tugas besar ini aku memang cuma menjadi penjaga jalan dan menyiapkan alat-alat perang. Aku tak kebagian tugas penting. Tetapi apa pun tugas yang diberikan oleh Maharesi akan kulakukan dengan baik. "Aku tahu kaulah yang mengambil kitab itu. Pertanyaanku: Kepada siapa kau serahkan kitab itu?" "Mudah sekali jawabannya. Kepada orang yang bisa membaca dan mau mengajariku." Belum pernah Upasara melihat peristiwa yang tak masuk akal ini. Bagaimana bisa seorang seperti Kawung Sen yang pernah dianggap berjasa dan dianggap senopati kemudian dituduh mencuri kitab? Bagaimana mungkin ia diseret begitu jauh untuk dipertemukan dengan Rawikara? Tetapi memang Ugrawe tokoh yang serba aneh dan serba ganjil. Segala apa yang dilakukan serba tak menentu. Di satu pihak bisa memerinci suatu gebrakan besar dan bukan hanya satu. Akan tetapi di lain pihak, perincian itu termasuk yang tak perlu dilakukan. Upasara, walau baru sekali bertukar kalimat, menyadari bahwa Ugrawe mudah kacau pikirannya. Seperti ketika diingatkan bahwa ia malah mencari musuh baru dengan mengadakan pertempuran habis-habisan dengan niat membunuh semua yang ada di Perguruan Awan. Atau seperti yang dilihat sendiri oleh Upasara. Semua lawan bisa dihadapi dengan mudah dan bisa dikalahkan, akan tetapi rasanya Ugrawe tak berani bentrok dengan Senopati Pangastuti. Penglihatan Upasara yang tajam bisa seketika menemukan titik kosong dalam masalah ini. Anehnya hal seperti ini ternyata tertular kepada Rawikara, muridnya. Mengancam Kawung Sen di depan para prajurit dalam suatu ruang terbuka lebar. "Bagus. Berikan kepadaku dan nanti aku ajari kamu." "Mana boleh begitu. Itu sama saja menyuruh aku mengakui. Dan bagiku, pantangan besar mengakui apa yang tak kulakukan." "Atau begini saja. Kau ambil dulu kitab itu, kauberikan padaku, lalu kukembalikan, dan kau mengajariku, begini?" Kawung Sen bergelak. Dan masih bergelak, ketika Rawikara mengangkat tubuhnya lalu melemparkannya ke atas. Sebat sekali gerakannya, dengan melemparkan bagian ujung talinya sehingga terikat di salah satu tiang. Tubuh Kawung Sen jadi terayun-ayun di udara. "Begitulah cara mati yang paling hina. Tubuhnya tak menyentuh tanah. Rawikara tertawa. Tangannya mengambil salah satu cawan tanah dan diguyurkan ke tubuh Kawung Sen. "Dengan air gula aren ini, semua semut akan menggigitmu. Itulah cara mati yang lebih sengsara lagi." Tiga cawan air gula aren, ditambah dengan botol yang lain. Sehingga air gula aren itu meleleh ke tanah. Sebagian ditumpahkan ke bagian wajah. Sebagian lagi dioleskan lewat tiang rumah. Memberi jalan semut-semut yang akan menyerbu wajah Kawung Sen. "Mati karena digigit semut. Aha." Kali ini Kawung Sen tidak berani membuka mulut. Wajahnya menjadi pucat. "Sekarang kalaupun kau mengaku, aku takkan membebaskanmu." Dengan gerakan kilat, Rawikara meloncat ke tengah ruangan. "Kalau sampai besok tak ada seekor semut datang padamu, kau akan kubebaskan. Rakyatku, dengar apa kata gustimu ini, yang tak pernah menelan ludah yang sudah disemburkan." "Sembah dalem, Gusti...." "Sekarang kalian semua bubar dari sini. Meneruskan pekerjaan jaga." "Sembah dalem, Gusti...." Rawikara nampak puas. Ia berjalan ke bagian belakang dan menghilang. Para prajurit yang tadinya duduk bersila tak berani bergerak kini berdiri. Melihat Kawung Sen yang terayun di udara. "Kalau ada yang berani menertawakanku, akan kucabut nyawanya begitu aku dibebaskan. Kalau aku mati, akan kucekik lehernya. Sebagai hantu aku bisa melakukan itu." Beberapa prajurit undur ketakutan. Upasara bergerak lebih dulu. Ia masuk ke kemah bagian dapur. Koki yang sedang tidur ditepuk urat di pundaknya. Ia mencari garam. Diremukkan dalam genggaman tangan sehingga menjadi debu yang halus. Kemudian dengan cepat ia kembali ke tempat Kawung Sen digantung, Melihat seorang prajurit ada yang berani mendekat, Kawung Sen siap untuk mengancam lagi. "Kutandai kau dan akan kubunuh... eh... kau..." "Sssst terus memakiku." Suara Upasara lemah sekali agar tak terdengar yang lain. "Aku menaburkan garam di sekitar tiang. Sehingga tak mungkin ada semut datang. Jangan takut, sampai besok pagi semut tak akan datang. Dan kau bebas." "Bagus...." "Sssttt, terus memakiku." "Mana mungkin-..." "Ayo...." Upasara menaburkan untuk kedua kalinya. Warna garam yang sudah menjadi bubuk itu tak terlihat di antara cairan air gula aren. "Maaf aku tak bisa menunggu lama. Aku harus pergi." Tanpa menunggu jawaban, Upasara berlalu dalam gelap. Ia menuju salah satu penjagaan. Dua penjaga tak menaruh curiga sedikit pun. Sebelum keduanya bereaksi, Upasara telah membungkam mulut mereka. Lalu menyeret, menaikkan ke punggung kuda. Kuda itu dituntun agak jauh. Di tempat yang agak sepi, dua prajurit itu diletakkan di tanah. "Dua jam lagi kalian akan bebas. Kalian bisa kembali ke rumah besar itu. Kalau kalian cerita ada dua ekor kuda hilang, kalian bisa dipenggal. Maka lebih baik purapura diam saja. Tidak perlu memberi laporan." Upasara mencemplak kudanya, dan segera bergegas. Sengaja ia tidak mengambil jalan di perempatan dekat pasar. Ia berputar lewat jalan berbukit di dekat sungai. Dari sana kedua kudanya dipacu sekencang mungkin. Satu kuda dinaiki, satu lagi untuk pengganti. Dengan demikian Upasara berharap bisa lebih cepat sampai di Keraton. Meskipun kuda yang dipilih bukan kuda seperti yang dibawa dari Keraton atau seperti yang dinaiki Senopati Suro. namun cukup kuat juga. Karena memang dipersiapkan untuk berperang. Toh begitu Upasara mempersiapkan dua>duanya. Setiap waktu yang digunakan untuk menanak nasi, Upasara pindah dari punggung satu ke punggung lainnya. Tanpa istirahat, tanpa berhenti lebih dulu. Gelap malam diterjang terus. Upasara mengandalkan ketajaman kuda untuk menerobos jalan malam. Jalan setapak yang kadang menikung sangat tajam, masuk ke dalam celah-celah pepohonan, muncul di antara semak-semak. Hanya bintang di langit yang menjadi pedoman. Bagi Upasara makin jauh jalan yang ditempuh, berani makin dekat ke Keraton. Ia akan berusaha menghabiskan separuh malam untuk terus berkuda. Makanya dua kuda terus dipaksa hingga meringkik-ringkik. "Esok jika matahari mulai terbit, aku tak bisa mengendarai secepat ini. Karena pasti akan menarik perhatian penduduk. Kalau mereka barisan dari Gelang-Gelang, sia-sialah usahaku selama ini. Besok aku mulai berjalan biasa, kecuali kalau melewati hutan. Makanya, kudaku, ayo sekarang saatnya. Kalian dijuluki binatang yang tidak mempunyai pusar, berani tak kenal lelah. Ayo tunjukkan kelebihan kalian." Upasara terus memacu, hingga kuda-kuda itu benar-benar kelelahan. Saat itu langit mulai sedikit terang. Upasara menghentikan kudanya, meloncat turun, dan membiarkan kudanya melepaskan lelah sambil merumput. Ia sendiri memilih tempat yang agak terlindung untuk beristirahat, sekaligus semadi untuk mengatur tenaganya. Udara pagi yang dingin makin berkurang. Samar-samar mulai terlihat keadaan sekeliling. Dan ketika Upasara memperhatikan keadaan sekitar, ia tak percaya apa yang dilihat. Tak masuk akal sama sekali! Karena di kejauhan ia melihat gerobak sapi milik Toikromo! Tak masuk akal. Pun andai Toikromo tokoh silat kelewat sakti, ia tak mungkin bisa membawa gerobaknya melayang di angkasa. Akan tetapi yang dilihat adalah benar-benar gerobak sapi milik Toikromo. Bukan dalam mimpi. Dan jaraknya dari tempatnya berlindung tak lebih dari lima ratus meter. Begitu Upasara melihat suasana sekitar, ia tahu bahwa dirinya telah masuk perangkap dan melakukan pekerjaan sia-sia selama setengah malam suntuk. Berapa tidak, kalau nyatanya ia masih berada di sekitar Pasar Banyu Urip! Jagat Dewa Batara! Jadi selama setengah malam ini aku cuma berputar-putar tidak karuan di sekitar tempat ini. Sungguh luar biasa. Benar-benar iblis Sakti Ugrawe. "Upasara, kenapa kau begitu tolol?" Upasara menepuk jidatnya sendiri. Suara hatinya berkecamuk dan bertanya-jawab sendiri. "Ugrawe telah mengatur segalanya. Dengan menyerbu habis ke Perguruan Awan, ia menutup jalan di Banyu Urip ini. Bahkan jalan di sekitar tempat ini pun telah dibuat sedemikian rupa, sehingga bakal menyesatkan. Kalau seseorang seperti aku, yang tak begitu mengenal daerah ini, mencoba menerobos, pasti hasilnya sia-sia. Akan bermuara kembali ke Pasar Banyu Urip. "Pastilah Ugrawe telah memerintahkan Rawikara untuk mengatur desa ini. Jalan lama dihilangkan, jalan baru dibuat. Dan itu hanya melingkar-lingkar saja. Setengah malam aku berkuda, tapi hasilnya kembali ke tempat semula. "Inilah serangan yang sempurna dan dahsyat. Ah, mudah-mudahan Senamata Karmuka dan Ngabehi Pandu bisa meloloskan diri dari jalan siluman ini. Kalau tidak, percuma juga. Mereka akan tertangkap di sini juga. "Ugrawe begitu yakin akan bisa menyapu bersih sampai rata semua yang hadir di Perguruan Awan. Ternyata rencananya sangat rapi sekali. Dan betapa dahsyatnya, kalau ini salah satu dari tiga rencana yang dilakukan. "Ilmu silatnya sudah setinggi langit. Kecerdikannya juga luar biasa. Ditambah penguasaan strategi peperangan seperti ini, Ugrawe benar-benar ancaman luar biasa bagi Keraton. "Aku bukan tandingannya dalam peperangan. Apalagi dalam mengatur strategi seperti ini. Entah bagaimana aku bisa meloloskan diri dari sini dan bisa menuju ke Keraton. Agaknya keinginan Bibi Jagaddhita tak akan terkabul." Berpikir begitu Upasara jadi lesu. Semangatnya hilang separuh. Ia menghela napas. "Satu kesempatan meloloskan diri telah buntu. Aku harus mencari tahu lebih banyak dulu, sebelum bisa lolos dari sini." Upasara berjalan biasa, menuju ke arah Toikromo, yang sangat gembira melihatnya. Langsung menyambut dengan wajah yang sangat riang. "Bagaimana, Anakmas, bisa diterima?" "Mudah-mudahan...." "Semalam penuh Paman menunggu di sini. Kalau saja diizinkan masuk ke rumah itu pasti Paman sudah masuk. Tapi prajurit galak-galak. Paman menunggu di sini." "Apakah pagi ini Paman akan berangkat lagi?" "Ya, mengambil kiriman berikutnya." "Dari Gelang-Gelang?" "Ya." "Paman bisa ke sana sendiri?" "Bisa. Paman selalu lewat jalan yang sama." "Tahukah Paman bahwa di tempat ini banyak jalan yang diubah?" Toikromo mendehem dan berdecak-decak. Perasaan bangga terpancar dari wajahnya "Paman tahu para prajurit itu membuat jalan palsu. Dan menutup jalan aslinya dengan pohon-pohon serta belukar palsu. Tapi mana mungkin bisa mengelabui Paman?" "Kalau begitu Paman tahu jalan ke Keraton Singasari?" Toikromo terdiam sejurus. Lalu menggeleng. "Jalan utamanya telah ditutup sama sekali. Dipersiapkan lama. Tak mungkin bisa dilalui gerobak atau kuda. Semua jalan telah ditutup." Dada Upasara menjadi panas, Hatinya juga panas. "Hanya Gusti yang tahu. Kecuali kalau kembali ke Gelang-Gelang lebih dulu. Baru dari sana masih bisa ditemukan jalan lain. Tetapi harus berputar sangat jauh. Heh, Anakmas, kalau pasuwitan-mu diterima di sini untuk apa harus ke Keraton? Bukankah di sini sama saja?" Belum Upasara menjawab, dari bangunan rumah terdengar teriakan dan suarasuara manusia sangat banyak. Upasara mengikuti Toikromo mendekat, hingga batas yang diizinkan. Ternyata asal suara itu dari diturunkannya tubuh Kawung Sen. Rawikara berdiri tegak. "Seperti setiap kalimat yang keluar dari bibirku pasti terjadi. hari ini kamu bebas." Rawikara memberi tanda. Beberapa prajurit membebaskan tali pengikat di tubuh kawung Sen. "Terima kasih. Aku suka sikap ksatria." Suara Kawung Sen tetap keras. Tidak tercermin tanda-tanda keloyoan darinya. Rawikara mengangguk. "Mulai hari ini, Kawung Sen adalah senopati kita. Kalian para prajurit harus menghormati seperti menghormati senopati." Rawikara membimbing tangan Kawung Sen. Para prajurit menunduk, sebagian bersila menghaturkan sembah. Juga yang di luar dinding bersila. Kawung Sen mengangguk-angguk puas "Hari ini aku ingin makan enak, mandi dengan enak, dan minum madu sepuasnya." Tubuhnya langsung melesat ke depan. Meluncur ke arah tanah, kakinya menutul, dan balik kembali berjumpalitan dengan gagah. Ia menuju ke bagian Samping, mengambil jala, dan berjalan menuju sungai di bagian belakang bangunan rumah. Dua prajurit mengiringinya. Disusul seorang prajurit yang membawakan pakaian. "Kau tidak becus membawakan," bentak Kawung Sen di luar. "Biarlah hamba yang membawakan," kata Upasara sambil menghaturkan sembah. Kawung Sen menoleh ke arah Upasara dan matanya membelalak. "Kau..." "Hamba memang belum resmi diterima sebagai prajurit. Hamba ingin mengabdi kepada Paduka." Upasara mengedipkan sebelah matanya. Ia masih sangsi Kawung Sen bisa diajak bersandiwara. "Baik. Mulai sekarang kau menjadi prajurit. Ayo bawakan pakaianku." Upasara menghaturkan sembah. Menerima pakaian dari prajurit Gelang- Gelang dan mengikuti langkah Kawung Sen. Yang langsung menuju ke tengah sendang. Membuka semua pakaiannya dan langsung berendam. Menyibakkan air sepuasnya. Dua prajurit yang mengiringi diusir jauh-jauh. Diancam akan dipecat jika berani mendekat. Tinggal Upasara sendiri. "Ayo mandi di sini." Tanpa pikir panjang, Upasara menanggalkan pakaiannya. Ia menyimpan cincin, gigi emas Jagaddhita, dan gelang kaki yang terbuat dari emas di bawah tumpukan pakaiannya. Lalu dengan telanjang bulat masuk ke dalam air. "Hebat. Hebat. Akal sehat. Garam itu betul-betul menolak semut. Kau telah menyelamatkan nyawaku. Kau hebat, Upa...." "Ya, panggil saja aku Upa. Ingat, kita harus tetap bersandiwara sebagai prajurit dan senopati" "Bagus. Boleh juga. Aku senang sandiwara begini. Tetapi kenapa kau menolongku sekali lagi? Bukankah aku pantas mati karena aku memang mencuri kitab-kitab itu? Tapi sampai mampus mereka tak akan tahu di mana aku menyimpannya." Aku tahu. Kau menyimpan dalam jalamu. Jala itu terdiri atas dua lapis. Dan kau menyimpan di tengahnya." Kawung Sen membelalak untuk waktu yang lama. "Jadi kau melihatnya waktu aku mencurinya? Aku kesal! Sebal! Mereka selalu meremehkanku. Hanya karena aku tidak bisa membaca dan menulis. Sumpah, siapa pun yang menghina seperti itu, akan kubunuh. Setidaknya kucelakai Juga Ugrawe. "Makanya ketika ia tak tahu, peti bukunya kubuka dan kuambil dua buah bukunya. Baru tahu dia sekarang. "Hoho, baru tahu bahwa Kawung Sen tak bisa direndahkan oleh siapa saja. Tidak akan pernah." "Kenapa kitab itu dicuri?" "Sudah kubilang aku kesal, Upa." "Pastilah kitab itu sangat berarti sehingga Ugrawe sampai tega membunuhmu bila perlu." "Ya, bagi yang mengerti." Suara Kawung Sen jadi menyesali dirinya sendiri. "Bagiku lebih berarti air sungai ini. Aku memang bodoh. Kenapa kakak-kakakku bisa membaca, sedang aku tidak? Uh, aku sungguh sangat bodoh sekali. Paling bodoh. Otakku bebal. Sangat bebal" Kawung Sen meninju air hingga tersibak. "Itulah sebabnya kepandaianku tak bisa maju. Selama ini hanya Kakang Ketip yang memberitahu secara lisan. Tanpa bantuan itu, aku tak bisa maju. Sayang Kakang Ketip telah tiada. Kakang Benggol juga telah tiada. Uh, kenapa aku tidak mati digigiti semut saja?" "Selama ada aku, kenapa harus mati digigit semut? Aku bisa membacakan isi kitab itu padamu." Kawung Sen bersila di dasar sungai hingga air sampai di dagunya. Ia menghaturkan sembah. "Dewa di langit, hari ini Kawung Sen menghaturkan sembah buat Kakang Upa...." Upasara hampir tertawa lepas. Ia berusaha menahan diri sekuatnya. "Adik, aku bersedia menerimamu. Asal hanya kita berdua dan dewa di langit yang tahu hal ini." "Aku, Kawung Sen yang hina ini, bersumpah, kalau membocorkan rahasia ini, biarlah mati digigit seribu semut!* "Baik, baik." "Ayolah kita pelajari sekarang juga." "Mana mungkin?" "Kenapa tidak? Dari dulu aku sudah senopati. Senopati itu tak punya pekerjaan kalau tidak perang. Dan tak bakal diganggu orang lain. Hanya Rawikara yang berhak memanggilku Ayolah, Kakang. sekarang kita mulai. Kawung Sen meloncat naik, meraih jala. Meneliti, dan mengeluarkan lempengan klika, atau kulit kayu yang sangat tipis. "Bacakan." Tidak enak di sini. Kita cari tempat yang lebih aman di tengah hutan. Adik tahu jalan yang dipalsukan?" Tanpa mengelap tubuh, Kawung Sen memakai celananya. Demikian juga Upasara. Lalu keduanya bergerak dengan cepat ke tengah hutan. Menuruni dua lembah, melewati bukit kecil berputar, mereka berdua sampai ke tanah lapang. "Ini jalan yang ditutup itu." Upasara melihat, bahkan di siang hari pun jalan itu tak mungkin bisa dikenali. Tanpa bantuan Kawung Sen, Upasara tak akan bisa menemukan jalan yang sebenarnya. "Adik, sebenarnya kakangmu ini ada tugas istimewa di Keraton Singasari. Jadi Kakang akan bacakan sekali, lalu ingat-ingat dengan baik." "Mana mungkin?" "Harus mungkin. Karena Kakang harus segera ke Keraton." "Apa susahnya kita ke Keraton sama-sama? Selama dalam perjalanan, Kakang bisa membacakan kitab itu." Upasara berpikir sebentar. Bersama dengan Kawung Sen akan banyak manfaatnya. Setidaknya kalau di tengah jalan ada bahaya dari senopati Gelang-Gelang yang lain, Kawung Sen bisa menyelesaikan. "Baik, mari kita segera berangkat. Tapi ingat, kepergian Kakang dan hubungan kita tak boleh ada yang tahu."
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:13 pm | |
| Kawung Sen menghaturkan sembah dengan kaku. Kawung Sen memang tidak terbiasa dengan adat-istiadat. Upasara menepuk pundak Kawung Sen, dan keduanya mulai berjalan. Upasara berjalan sambil membuka lempengan klika pertama. "Ini Kartika Parwa, atau Buku Bintang, disebut juga Dwidasa Nujum Kartika atau Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Jurus-jurus ini diciptakan berdasarkan gerak dan pengaruh serta nama-nama bintang. "Jurus pertama, disebut Lintang Sapi Gumarang. Pusat tenaga yang dikerahkan adalah tenaga yang disebut tenaga Kasa- Tenaga berasal dari arah utara dan selatan, serangan ke arah kanan dan ke arah kiri. Pengaruhnya membuat samar, seperti berada dalam bayang-bayang amun-amun, atau fatamorgana." "Tunggu, Kakang. Mana aku mengerti tentang Kasa segala macam?" "Kasa adalah perhitungan bulan pertama. Jadi tenaga yang dikerahkan, tenaga dalam yang digunakan, harus mengandung keadaan bintang saat musim yang pertama. Tenaga itu seperti yang dimiliki oleh hujan yang jatuh pertama kali. Hujan pertama menyebabkan benih tumbuhan jadi, belalang dan hewan terbang dari sarangnya, embun putih keluar, langit mulai terang, tanah mulai terlihat, batu bersih. Makanya kalau merasa sombong dan pongah, jurus ini akan luput, jurus ini tidak mencapai sasaran. "Ingat baik-baik, Adi. "Jurus kedua, disebut Lintang Tagih. Pusat tenaga yang dikerahkan tenaga Karo. Tenaga yang diambil adalah tenaga dari- utara, di mana pun adik berdiri. Gerak tenaga besar bagai lumbung padi. Pengaruhnya memberi 140 ketenangan si penyerang, tapi membuat kacau yang diserang Tenaga yang dikerahkan adalah tenaga Karo, yang artinya tenaga ketika tetumbuhan mulai bersemi, tenaga cacing bertelur, belalang menetas, pohon besar berkeringat mulai berbunga, serangan pelan tapi terus mengalir. Biarkan tenaga panas di luar akan tetapi tetap dingin di dalam. "Jurus ketiga, disebut Lintang Lumbung. Pusat tenaga yang dikerahkan tenaga Katiga. Pusat kekuatan berada di kaki, seperti akar yang merayap masuk ke tanah dan berangkulan di dalamnya. Serangan di Luar bagai bumi yang bersih, tapi di dalam tetap bergolak. "Jurus keempat, disebut Lintang Jaran, atau Bintang Kuda. Pusat tenaga dan arah utara, bergelombang datangnya. Gerak tenaga bagai menumpahkan hujan dan sekaligus petir. Memakai sifat tenaga Kapat. Yaitu sifat perpaduan, seperti perpaduan antara binatang jantan dan betina yang berkaki empat, seperti binatang bersayap yang mulai menggerakkan sayapnya, seperti tenaga daun berebut tempat tumbuh di atas. Perubahan tenaga kalau ke selatan membawa angin, kalau ke utara membawa hujan. Jurus ini bisa membuat kematian mendadak kalau bisa mengenai secara telak. "Jurus kelima, disebut Banyak Angrem, atau Angsa Mengeram. Pusat tenaga seperti musim Kalima. Tenaga air sama dengan tenaga angin. Pusat tenaga yang diambil dari utara dan barat. Kalau menyerang dengan tenaga air, tanpa tenaga angin. Kalau menyerang dengan tenaga angin, tanpa tenaga air. Hasilnya lebih berlipat ganda. Kekuatan utama adalah penggunaan tenaga kasar. "Jurus keenam, disebut Lintang Gotong Mayit, atau Bintang Menggotong Mayat. Satu-satunya tenaga yang dikerahkan dari arah barat. Besar, keras, dan harus cepat. Jurus ini dipengaruhi musim Kanem, atau keenam. Jurus ini akan menghasilkan manfaat seperti memetik buah-buahan. Jangan terpengaruh oleh suara dari lawan, atau gerakan lawan. Sebab apa yang nampak adalah palsu. Lawan sudah terpengaruh untuk bisa bertahan. karena seperti mengantuk. "Jurus ketujuh, disebut Lintang Bima Sekti. Pusat tenaga musim Kapitu atau musim ketujuh. Tenaga dari arah barat. Besar, cepat, dan berulang-ulang secara bergelombang. Tenaga seperti membuat pohon melengkung, tapi tidak sampai rubuh. Menyerang bagian kaki tidak untuk menjatuhkan melainkan membuat bumi yang diinjak amblas. Kunci utama adalah gelombang serangan yang terus-menerus. "Jurus kedelapan, disebut Lintang Wulanjar. Pusat tenaga dan arah perpaduan antar barat dan selatan, menghajar tapi tanpa tenaga. Ibarat bunyi petir tanpa hujan. Tenaga ditarik ke dalam. Sehingga kekuatan di atas dan di bawah sama rata. Antara akar dan daun sama warnanya. Tak ada penyerangan, kalau bisa berdiam diri. "Jurus kesembilan, disebut Lintang Wuluh. Pusat tenaga dari selatan persis. Pengerahan tenaga seperti bunyi cengkerik dan belalang, sifat serangan dingin. Merontokkan serangan berbunga dari lawan. Semakin. berbunga-bunga serangan semakin rontok. Tujuan utama serangan perut dan dada. Bagian kaki tak akan terkena telak, tetapi akan menyulitkan kuda-kuda lawan. Bagaimanapun lawan bergerak, perut dan dada yang digunakan untuk bernapas menjadi sasaran utama. "Jurus kesepuluh, disebut Lintang Waluku. Pusat tenaga diambil dari antara selatan dan timur, cepat sifat serangannya. Terutama untuk menyerap tenaga lawan, seperti sifat bumi menyerap hingga kering, seperti ibu menyerap tenaga ke dalam kandungan. Lawan akan kehilangan keseimbangan dan kehabisan tenaga. "Jurus kesebelas, juga disebut Lintang Lumbung. Sama dengan jurus ketiga. Pusat tenaga diambil dari timur-selatan, keras sifatnya. Sangat keras. Segala tenaga di atas tanah hancur, seperti tercerabutnya rumput dari tanahnya tercongkel, tenaga didasarkan pada hewan kaki empat akan terguling rubuh, tenaga meloncat seperti burung terbang akan hancur sayapnya, rasa dingin akan menyerang lawan ke bagian tulang, tenaga di tengah dari lawan akan mati terhenti dan sia-sia. "Jurus kedua belas, disebut juga Lintang Tagih. Memakai kekuatan musim Saddha. Tenaga diambil sebelah timur. Sasaran terakhir adalah membunuh tanpa meninggalkan mayat, mengambil nyawa tanpa terasa, seperti mengguncang pohon merontokkan semua daun, pohon tetap berdiri tapi sudah mati. Bumi terbelah, tapi batangnya tak runtuh. Tenaga panas dan dingin menjadi satu. Menyerang dan bertahan menjadi satu. Khusus untuk jurus terakhir ini bisa terus diulang dan diulang tanpa perubahan, tidak usah melalui jurus pertama," Kawung Sen seperti tak bernapas. Mendengarkan penuturan Upasara yang membaca sambil terus berjalan, Kawung Sen mengerahkan seluruh kemampuannya. Daya tangkapnya melalui lisan memang selama ini jauh lebih hebat dari dua kawung yang lain. Hal ini tidak terlalu istimewa, karena sebenarnya Kawung Sen memang lebih menonjol dalam hal mengingat-ingat. Soalnya ia tak bisa mengulangi dengan membaca. Namun karena Upasara membaca terus-menerus, tak urung Kawung Sen menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sulit. Sulit sekali, Kakang." "Kelihatannya justru mudah sekali." "Kau tidak main-main, Kakang?" "Tidak. Kita ini sangat senang dengan ilmu silat. Bagaimana mungkin aku main-main?" "Aku bisa menghafal apa yang kaukatakan. Setidaknya separuh bagian aku tahu. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mengerti?" "Kuncinya ialah pengetahuan kita tentang musim. Tentang letak serta kedudukan bintang. Ini termasuk ilmu pranata mangsa, mengenai-musim. Siapa pun yang telah menciptakan dan menuliskan Kartika Parwa ini, pasti seorang tokoh yang luar biasa luas ilmu pengetahuannya. "Adik, menurut pendapatku ini bukan sekadar cara penyerangan dan memberitahukan gerak-gerak saja, melainkan terutama pada pengaturan tenaga. Sedang mengenai geraknya bagaimana sama sekali tak ditulis di sini. Menurut Adik bagaimana?" "Mana aku tahu, Kakang. Aku ikut saja." Upasara menghela napas. "Untuk membuktikan mengenai cara memusatkan tenaga, kita harus berlatih. Tetapi sayang sekarang bukan waktu yang baik." Upasara berhenti, menggulung kembali klika kayu, menyembah, dan mengembalikan kepada Kawung Sen. "Simpanlah, Adik." "Percuma, Kakang. Aku tak bisa membaca. Bawa sajalah." Upasara menggeleng. "Tidak. Adik yang mendapatkannya. Adik pula yang harus menyimpannya. Aku telah berbuat kurang ajar membacanya. Mudah-mudahan empu yang menuliskan ini mau mengampuniku." Upasara duduk, bersemadi, dan menghaturkan sembah. Kawung Sen memperhatikan, dan kemudian mengikuti jejak Upasara. Tanpa terasa matahari telah menggelincir di arah barat. Kawung Sen mencari buah-buahan, mengumpulkan, dan mulai menyantapnya. Ia juga mencari sarang tawon dan memeras, serta meminum madunya. Upasara mendapat bagian yang sama. Sejenak setelah beristirahat. "Kakang, masih ada satu kitab lagi. Lebih pendek. Bantala Parwa. Kalau Kakang mau membacakan, aku akan membuatkan api." "Baiklah. Akan kubacakan semua untuk Adik. Setelah itu kita berpisah di sini. Aku akan meneruskan perjalanan, dan Adik kembali ke Rawikara agar tidak menimbulkan kecurigaan. "Rasanya aku bisa meneruskan perjalanan sendiri." Sementara Kawung Sen sibuk mengumpulkan kayu kering, Upasara beristirahat. Pikirannya bergelut antara tugas yang harus disampaikan ke Keraton dan kesempatan yang masih tersisa. Sementara Kawung Sen hanya terpusat pada apa yang baru saja dibacakan oleh Upasara. "Kakang Upasara, sungguh suatu kemurahan dewa di langit bahwa kita bisa bertemu dengan cara seperti ini. Aku tak menyangka sedikit pun bahwa kita bisa menjadi kakak-adik seperti sekarang ini. "Sayang, Kakang ada urusan penting di Keraton. Kalau tidak kita akan bisa bersama-sama terus. Ah, mungkin nanti setelah urusan Kakang selesai kita akan bisa berkumpul terus. Bukan begitu, Kakang?" Upasara berusaha tersenyum. "Untuk mengatakan terus terang, tidak tahu saat seperti itu bisa terjadi. Urusan di Keraton bukan urusan sepele yang bisa segera diselesaikan. Entah bisa terjadi atau tidak. Entah kapan. "Adik Kawung Sen, kenapa dulu Adik menyerang ke Keraton?" "Sudah tentu aku menyerang ke Keraton. Kakek moyangku, tiga turunan ke atas, adalah pengabdi setia Baginda Raja sejak masih di Tumapel. Lalu tanpa ba dan bu, kami semua tidak dianggap lagi. Ayahandaku, Kawung Kencana, tidak mempunyai jabatan apa-apa lagi. "Ayahanda Kawung Kencana meninggal karena sakit hati. Tetapi kami bertiga bersaudara memutuskan untuk mbalela. Kami mempunyai banyak teman yang juga dipecat, dipindahkan, diturunkan pangkatnya. " "Kakang Upasara, apakah kami keliru?" "Entahlah, aku tak bisa mengerti masalah seperti ini. Hanya saja cara memberontak itu mungkin tak bisa dibenarkan." "Kami semua merasa malu. Merasa hina. Sejak Baginda Raja mengampuni kami, rasanya kami tak mempunyai harga diri lagi-. Ke mana pun kami pergi, kepada siapa pun kami bertemu, pandangan mereka ini sangat merendahkan. "Dendam kami makin besar sekali. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa suatu hari aku akan membalas dendam. Sampai kemudian Maharesi Ugrawe mengajak kami bergabung." "Serba susah. Kalau Baginda Raja dulu tidak mengampuni, mungkin akan lain jalannya sejarah. Adik Kawung Sen, sekarang ini kau masih ingin membalas dendam?" "Ya, Kakang." "Jika aku prajurit Keraton, kau akan bertempur denganku?" "Tidak mungkin. Tetapi aku tetap akan menyerbu ke Keraton. Dan memaksa Baginda Raja mengumumkan bahwa kami bukan orang yang bersalah. Bahwa kami mbalela, kami memberontak, karena kami tidak dimanusiakan lagi: "Kakang Upasara, bagi kami sekeluarga pangkat tinggi atau bukan tak jadi soal benar. Tetapi kehormatan, harkat diri sebagai manusia, perlu dipulihkan. Kakang akan bisa mengerti kalau Kakang mengetahui bagaimana Ayahanda secara tiba-tiba digeser kedudukannya. Ayahanda begitu berduka sehingga membiarkan tubuhnya tersiksa oleh batinnya. Sampai meninggalnya, sejak digeser, Ayahanda tak berbicara, tak minum, tak makan, tak bergerak. "Kakang bisa mengerti?" Upasara, sekali lagi, berusaha tersenyum. Hatinya memang terpukul oleh penuturan Kawung Sen. Ini bukan pertama kali telinganya mendengar kekecewaan mendasar sejak Baginda Raja melakukan penggantian besar-besaran di lingkungan pejabat Keraton. "Adik Kawung Sen, banyak para pendekar yang bergabung dengan Ugrawe. Akan tetapi kenapa Ugrawe hanya mengajak adik bertiga ke Perguruan Awan? Bukankah terlalu riskan mengandalkan jumlah para prajurit saja?" "Soal itu aku tak tahu, Kakang." "Apakah Adik mendengar bahwa Ugrawe menyusun kekuatan yang lain, di mana para pendekar juga berkumpul?" "Ya, tapi aku tak tahu." "Begini. Ketika Adik ditawan oleh Rawikara, aku mendengar bahwa Ugrawe mempunyai tiga rencana. Penyerbuan ke Perguruan Awan adalah salah satu rencana. Masih ada dua rencana lain. Apakah Adik mengetahui?" Kawung Sen menunduk sedih. "Aku memang bodoh, Kakang." Upasara mengetahui bahwa Kawung Sen tidak berdusta mengenai hal ini. "Adik, aku tahu. Rencana Ugrawe adalah menyerbu ke Keraton. Menumbangkan Baginda Raja. Akan tetapi jebakan apa, atau tipu muslihat apa, aku sama sekali tidak mengetahui." Wajah Kawung Sen berubah gembira. "Hoho, jangan kuatir, Kakang. Begitu aku mengetahui, aku akan segera memberitahu Kakang." "Akan banyak gunanya." Lalu disambung dengan suara perlahan, "Kalau belum terlambat. Setelah usaha itu berhasil kita semua juga akan mengetahui." "Ah, dari tadi kita bicara tidak jelas. Bagaimana kalau kita pelajari lagi kitab itu?" Kawung Sen memberikan klika berikutnya. Upasara menghela napas. Pandangan matanya menatap percikan api. "Sekarang ini aku tak tahu bagaimana nasib paman dan teman-teman yang berada di Perguruan Awan...." "Hoho... kalau hal itu aku tahu. Kakang mau mendengarkan?" Kawung Sen mengisap udara kuat-kuat. Seakan ingin memenuhi seluruh isi dadanya dengan udara. Seperti mengumpulkan semua kemampuannya untuk mengingat kejadian yang lalu. Sejak Kawung Sen melepaskan Upasara, ia masih bersama dengan Kawung Benggol. Itu adalah saat Ugrawe mengajak Upasara masuk ke dalam tenda Raja Muda Gelang-Gelang. Lalu ketika terjadi keributan besar, Kawung Sen terlibat lagi di bagian lain. Bersama dengan dua kawung yang lain, ia melibatkan diri dalam pertempuran. Juga saat-saat Padmamuka meninggal dunia, dan dua kawung yang lain menyusul. "Bagaimana dengan Paman Wilanda?" "Yang mana itu? Yang gundul. Oh, ilmu hebat. Ia yang paling bisa bertahan dengan tenaga dalamnya ketika yang lain mulai dipengaruhi racun asap." "Paman Wilanda yang sedang menderita luka." "O, ia langsung ditawan. Diringkus. Begitu juga Tiga Pengelana Gunung Semeru. Setelah terpengaruhi racun asap, tak terlalu sulit menawan mereka. Ugrawe sendiri bisa membereskan mereka. Tapi lucu, Kakang, Ugrawe kehilangan telinganya. Daun telinganya hilang. Hoho, itu yang menyebabkan Ugrawe murka luar biasa. Hebat sekali Gendhuk Tri. Di jagat ini hanya ia yang bisa melukainya!" "Semuanya bisa ditawan?" "Bisa. Tiga Pengelana Gunung Semeru, Dewa Maut, Wilanda, dan akhirnya orang gundul yang hebat itu. Hebat dia, Kakang. Pukulannya juga aneh. Ia menggunakan satu tangan untuk menangkis dan melawan Maharesi Ugrawe. Pertempuran paling lama. Tapi akhirnya bisa diringkus juga." "Kalah tenaga dalamnya?" "Aku yang meringkus, Kakang. Aku jala. Tinggal menyeret saja." Kawung Sen menunjukkan wajah duka. "Tapi susah. Orang gundul itu tak mau kuajak bicara. Tak mau kuajak bertanding seperti Kakang. Ya sudah. "Namun yang membuatku jengkel, karena Maharesi Ugrawe menganggap aku paling bodoh, paling tak mengerti situasi. Ini keterlaluan sekali. Ia boleh jengkel karena daun telinganya hilang. Tapi mana mungkin menghinaku. Makanya, aku ambil kitabnya dari peti. Di sana ada beberapa bundel. Aku mengambil dua. Kusimpan dalam jala. Tapi karena orang yang berada di tempat penyimpanan itu hanya aku, akulah yang diringkus. "Dan segera dikirim ke Banyu Urip. "Aku sudah bersumpah lebih baik mati daripada harus mengakui sebagai pencuri kitab." "Kenapa Adik dikirim ke Banyu Urip?" "Karena akan diadili oleh Rawikara." "Kenapa Ugrawe sendiri tak melakukan itu?" "Sehabis pertempuran itu—sehabis mengubur Kakang Kawung Ketip dan Kakang Benggol, sehabis menjebloskan mayat Pu'un dan Padmamuka ke dalam gua..." Upasara tanpa terasa mengeluarkan seruan tertahan. "Ah!" "Kenapa, Kakang?" "Kenapa Padmamuka dan Pu'un dilemparkan ke dalam Gua Lawang Sewu?" "Aku tak tahu nama gua itu. Maharesi menyuruh melemparkan dua mayat itu, dan menimbuni dengan tanah, batu, dan meninggalkan beberapa prajurit untuk menjaga mulut gua." "Ugrawe tidak menyerbu masuk?" "Tidak. Ia bilang tak tahu rahasia gua. Ia tak mau berisiko. Makanya ditimbun saja." Upasara sadar kini. Bahwa Ugrawe tak mau mengambil risiko untuk menyerbu masuk dalam gua. Makanya ia sengaja menutup. Tapi sebelum itu, melemparkan mayat Pu'un dan Padmamuka. Perhitungan Ugrawe pastilah mayat itu akan membusuk. Pastilah ini akan merepotkan yang bersembunyi di dalam gua. Sudah jelas sangat berbahaya. Karena seluruh tubuh Padmamuka sebenarnya adalah gumpalan racun yang kelewat ampuh! Karena, tubuh Pu'un pun mengandung unsur-unsur gaib yang tak dikuasai. Unsur-unsur yang bisa membahayakan juga. Sungguh licik Ugrawe. Dan perhitungannya sangat tepat. Siapa pun yang berada dalam gua itu. Mengingat hal itu, Upasara menjadi sedih. Pertemuan dengan Jagaddhita sangat singkat. Begitu juga dengan Gendhuk Tri. Namun dalam hatinya, Upasara menghormati keduanya. Dan merasa akrab dengan Gendhuk Tri. Ia menyesali kenapa meninggalkan Gendhuk Tri di dalam gua! Mestinya ia terus memaksa agar Gendhuk Tri ikut dengannya! Upasara tak bisa menceritakan bahwa Jagaddhita, Gendhuk Tri, masih tertinggal dalam Gua Lawang Sewu. Melihat Upasara berduka, Kawung Sen jadi merasa bersalah. "Katakan, Kakang, apa yang bisa kulakukan?" "Para pendekar utama telah ditawan. Kini lapanglah jalan Ugrawe untuk mencapai maksudnya." "Kakang, kalau Kakang menginginkan para pendekar yang ditawan itu dibebaskan, aku bisa mengusahakannya." "Tak begitu mudah. Ugrawe tak akan melepaskan pengawalan." "Mereka akan dikirim ke Banyu Urip. Rawikara yang akan mengurusi." "Ugrawe, ke mana ia?" "Kembali ke Kediri." Upasara mengernyitkan dahinya. Apa yang dilakukan Ugrawe di Kediri? Kenapa tidak langsung menyerbu ke Keraton Singasari? Kenapa malah ke Kediri? Dunia kelewat luas, dan aku ini tak bisa menduga sedikit pun. Kalau Ugrawe secara buru-buru pergi ke Kediri, pasti ada sesuatu yang direncanakan. Tidak mungkin kalau sekadar berobat atau apa. Ini berani, bukan penyerbuan langsung ke Keraton yang menjadi langkah berikutnya. Berani juga, perhitungan Senamata Karmuka dan Jagaddhita meleset. Memang dengan menutup jalan di Banyu Urip, Ugrawe membuntu kemungkinan lolosnya satu orang ke Keraton. Menutup kemungkinan Keraton mengetahui kejadian di Perguruan Awan. Tapi ternyata itu tidak berani Ugrawe dan pasukannya lebih dulu menyerbu ke Keraton. "Apakah Ugrawe bersama rombongan Raja Muda Gelang-Gelang?" "Ugrawe berangkat lebih dulu. Raja Muda akan menyusul kemudian." "Adik Kawung, kau tahu apa yang akan dilakukan Ugrawe?" "Mana aku tahu, Kakang? Aku sudah diikat." Paling tidak, untuk sementara Keraton masih aman, pikir Upasara. Ugrawe ternyata tidak langsung menyerbu. Juga sangat tidak mungkin ketika Ugrawe pergi ke Kediri, pasukannya akan menyerbu sendiri. Ugrawe pasti akan terlibat dalam penyerbuan dan berada di garis paling depan. Nah, kalau bukan menyerbu langsung, rencana apa yang dipersiapkan di Kediri? Sepersepuluh rencana Ugrawe bisa kutebak, aku sudah merasa beruntung, kata hati Upasara. Makin dikenal tokoh satu ini, makin terasa kebesarannya. "Kakang, aku bisa pergi ke Kediri untuk mengetahui rencana Maharesi Ugrawe. Kalau Kakang memerintahkan, tak nanti adikmu ini membantah." Itu juga bisa, pikir Upasara. Kawung Sen bisa leluasa di sana. Namun Upasara juga memperhitungkan bahwa Kawung Sen tak akan mendapatkan banyak keterangan. Meskipun Kawung Sen termasuk salah satu senopati yang diunggulkan, tetapi dalam masalah-masalah pelik dan rahasia, ia tak pernah diikutsertakan. Pastilah Ugrawe sudah mengetahui bahwa jiwa Kawung Sen mudah goyah. Tokoh ini sangat angin-anginan. Ambisinya dalam pertempuran berbeda banyak. Bagi Kawung Sen, masalah penyerbuan ke Keraton lebih didasarkan pada masalah pribadi. Kawung Sen menunggu. Upasara melihat klika yang berisi Bantala Parwa sejenak. Lalu menggulung kembali, dan menyerahkan kepada Kawung Sen. "Tidak ada gunanya." "Masa?" "Kitab ini bukan berisi pelajaran ilmu silat. Ini mengenai uraian Tumbal Bantala Parwa. Artinya cara menjawab jurus-jurus atau ilmu mengenai bumi. Tanpa membaca Bantala Parwa, kitab ini tak ada artinya." "Aku memang goblok, Kakang. Coba aku tahu. Aku bisa mengambil duaduanya. Tapi mana mungkin aku tahu? Aku tak bisa membaca. Aku mengambil sekenanya. "Hoho, tapi bagaimana Kakang bisa langsung menentukan tak ada gunanya?' "Klika ini berjudul Tumbal Bantala Parwa, artinya Kitab Penolak Bumi. Berarti sebelum ini sudah ada Bantala Parwa, atau Kitab Bumi. Barangkali setelah menciptakan Bantala Parwa, empu yang sama ini menciptakan Tumbal Bantala Parwa. Untuk melengkapi atau mengoreksi kekurangan dalam kitab sebelumnya. "Bagi yang telah mempelajari Bantala Parwa, kitab ini sangat berguna sekali. Akan tetapi bagi yang belum mengetahui, sama sekali tidak ada gunanya." Kawung Sen sangat kecewa. "Adik, aku sama sekali tidak berdusta." "Kakang Upasara, mana mungkin aku berani mencurigai Kakang?" Kawung Sen membuang klika kedua. Dalam satu ikat hanya terdiri atas satu lembaran. "Kakang, barangkali masih ada gunanya. Kalau kita bertemu dengan Ugrawe yang memainkan jurus Bumi, bukankah kita bisa mengatasi?" "Memang. Tapi, apa itu jurus Bumi tak disebutkan di sini sama sekali." Upasara mengambil klika yang dicampakkan. Membukanya dan membaca. "Aku mulai dengan baris pertama. "Tumbal Bantala Parwa, atau Kitab Penolak Bumi. Catatan terakhir bagi Bantala Parwa. Terdiri atas tujuh catatan, sebagai berikut: "Untuk jurus Manik Maya Sirna Lala, mempergunakan telapak tangan terbuka, seperti dua paruh itik, tenaga ada di sudut. "Untuk jurus Sri Saddhana, mempergunakan tenaga isi yang dibungkus, seumpama pisang biji. Sumber tenaga dari utara-selatan. "Untuk jurus Sekar Sinom, mempergunakan tenaga yang terpancing ke luar oleh lawan, ibarat biji asam yang membuka sendiri karena sudah tua. Sumber tenaga dari selatan. "Untuk jurus Glagah Kabungan, mempergunakan tenaga panas di tengah untuk kuda-kuda. Sumber tenaga dari cara mengatur napas. "Untuk jurus Kawula Katuban Bala, mempergunakan tenaga dua kaki terbenam, seumpama buah ketela. Sumber tenaga dari arah utara-timur. "Untuk jurus Sigar Penjalin, mempergunakan tenaga dingin di tengah untuk kuda-kuda. Sumber tenaga dari cara mengatur napas. "Untuk jurus Asu Angelak, mempergunakan tenaga runcing di setiap sudut. Sumber tenaga tidak disebutkan di sini. "Untuk Singa Meta, mempergunakan tenaga diam di tengah. Sumber tenaga dari pengaturan napas terbuka tapi..." Upasara menggeleng. "Bahkan catatan ini pun tidak selesai...." Kawung Sen mengangguk-angguk. Lalu menggeleng-geleng. "Benar-benar mustahil untuk bisa mempelajari. Kalau mengenai Kartika Parwa saja sulit dicernakan, bagaimana mungkin kalau hanya mendapatkan kunci jawaban? Itu pun belum selesai. "Dengan cara bagaimana Ugrawe itu bisa mempelajarinya, sehingga ilmunya demikian tinggi?" "Satu hal yang selalu menyertai setiap lahirnya jurus-jurus ilmu silat. Jurusjurus itu tidak pernah lahir dengan sendirinya. Ada dasar pemikiran yang menyertai. Jurus-jurus Banteng Ketaton yang diwariskan Ngabehi Pandu padaku juga diilhami dari gerakan seekor banteng terluka. "Dari sifat-sifat itulah kemudian diubah, disesuaikan dengan kemampuan kita. Ngabehi Pandu pernah menuturkan hal ini. . "Ugrawe bisa mempelajari dengan baik kalau ia mengetahui mengenai sifatsifat bumi. Setidaknya sifat-sifat yang disebut dalam nama jurus-jurus tersebut. "Kakang bisa mengetahui?" "Tidak begitu pasti. Mungkin..." Upasara berdiam diri. "...mungkin sekali. Tetapi tidak. tidak. Apa hubungannya?" "Apa yang Kakang katakan?" "Manik Maya Sirna Lala ialah keadaan bumi di mana tanah di sebelah timur rendah dan tanah di sebelah barat lebih tinggi. Keadaan ini sangat tidak baik. Tidak bisa langgeng. "Sri Saddhana adalah keadaan yang terbalik. Bumi di sebelah timur lebih tinggi daripada sebelah barat. Tidak baik dipakai untuk latihan, karena ini bisa menyebabkan luka berat. "Salah-salah malah menyebabkan kehilangan kawan latihan. "Sekar Sinom, keadaan bumi di mana sumber air di sebelah selatan, dan dikepung oleh tenaga lain. Banyak keuntungan akan tetapi... akan tetapi jurus ini tak banyak berguna jika kita tidak bisa menerima kenyataan bakal kehilangan kasih. "Glagah Kabungan, keadaan bumi lebih tinggi di bagian selatan dan rendah di bagian utara. "Kawula Katuban Bala, kebalikan dari Glagah Kabungan. Jika bumi dikepung oleh gunung. "Sigar Penjalin, jika bumi dikepung air. "Asu Angelak, jika tak ada tenaga di sebelah timur, atau tenaga yang patah. Ini keadaan bumi yang siap mengamuk. "Singa Meta, jika keadaan bumi diterobos air secara terus-menerus, tetapi ia tetap kering." Seumur-umur Kawung Sen belum pernah mendengar penjelasan seperti ini. Selama ini ia berlatih silat mengikuti petunjuk kakak-kakaknya. Menirukan gerakan, mengatur pernapasan, mengulang lagi, tanpa ada penjelasan seperti yang dikatakan Upasara. "Mungkin jurus-jurus itu menggambarkan sifat-sifat bumi yang tadi. Tapi bagaimana penerapannya, tetap tak bisa dimengerti." "Tak apa, Kakang. Lupakan saja." Justru sebaliknya. Upasara merasa ditantang. Hatinya seperti dibakar. Tak mungkin sama sekali, ia tiba-tiba saja berkata seperti yang diucapkan oleh Kawung Sen. Untuk melupakan begitu saja hal-hal yang ada hubungannya dengan ilmu silat. Kawung Sen memang tak bisa membayangkan cara hidup Upasara Wulung. Bahkan kalau diceritakan masa lampaunya, mungkin sulit menerima, meskipun jelas ia mudah -percaya. Upasara melewati masa kecilnya berbeda sekali dengan anak-anak sebaya. Juga berbeda dengan sentana dalem, atau kerabat Keraton. Sejauh ingatan Upasara, ia belum bisa berjalan ketika berada dalam suatu ruangan yang biasa dipakai untuk berlatih silat. Setiap harinya yang dilihatnya adalah para prajurit, para pendekar berlatih jungkir balik, memukul, melatih senjata, berlatih napas, dan membaca buku. Sejak masih kanak-kanak sekali, Upasara sama sekali tak mengenal siapa ayah dan siapa ibunya. Ia juga tak menanyakan hal itu, karena pada pikirnya hal itu tak perlu diketahui. Sampai dengan usia enam tahun, Upasara melewati waktunya dalam ruangan luas yang sengaja dibangun untuk latihan. Bersama dengan dua puluh lima anak sebaya. Setiap harinya, baik siang ataupun malam, mereka berlatih silat, membaca buku, berlatih lagi, membaca buku, berlatih, membaca. Para guru datang silih berganti. Pada usia sewindu, untuk pertama kalinya ia diajak keluar dari dinding Keraton. Melihat sawah yang luas, gunung yang tinggi, sungai deras, dan pasar. Tetapi kemudian mengeram diri lagi | |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:14 pm | |
| Sejak itulah ia mulai dilatih khusus oleh Ngabehi Pandu. Yang memberitahukan mana kitab yang harus dibaca, perlu dibaca. Mana yang harus dilatih hingga mahir, mana yang perlu diketahui. Bagian yang ditempati Upasara adalah sebuah sudut Keraton. Suatu ruangan yang luas, tempat berlatih silat. Dan beberapa rumah yang dijadikan tempat tinggal. Dari sanalah Upasara mengenal dunia. Dari rumah yang ditinggali dan di tempat latihanlah Upasara menghabiskan masa kanak-kanaknya. Sampai usia dua belas tahun, ia diajak mengembara lagi. Ngabehi Pandu mengajaknya pergi ke hutan, dan memperkenalkan beberapa isi hutan. Tiga bulan Upasara berdiam di hutan. Berlatih di sungai, di atas tebing, di atas pohon. Mencoba hidup dari hasil hutan yang bisa ditangkap. Setelah itu masuk kembali ke dalam Keraton. Kembali berlatih. Membaca semua kitab yang ada. Mengenai cara bernapas, mengatur pemerintahan, ilmu bumi, nama raja, tata cara, adat-istiadat, dan tentu saja sejarah Keraton sendiri. Sampai usia lima belas tahun, Ksatria Pingitan—begitulah sebutan untuk mereka yang berada dalam ruangan tersebut—tinggal tiga orang. Dan sejak itu Ngabehi Pandu secara khusus melatih sendiri secara maraton. Melatih membaca, menghafal, berkelahi, ilmu negara, dan segala ilmu pengetahuan yang ada. Tapi sejak itu, Upasara mulai longgar. Ia diizinkan pergi ke luar Keraton, jika memang menghendaki Upasara mencoba, akan tetapi kemudian kembali lagi. Baginya dunia di luar dinding Keraton sangat ganjil. Bahkan suasana dalam Keraton sendiri tak membuatnya senang. . Upasara hanya mencintai ruang di mana ia sejak kecil dibesarkan. "Baginda Raja membuat dalem pingitan ini sengaja untuk melatih para ksatria. Agar kelak menjadi senopati yang linuwih," demikian ujar Ngabehi Pandu suatu ketika. "Kau terpilih di sini sampai akhir hayatmu." "Terima kasih, Paman." "Segala apa yang terjadi di luar dinding Keraton bisa kau pelajari di sini. Cara menanam padi atau mengubur mayat pun bisa kau pelajari. Kau memang disiapkan untuk menjadi senopati, yang kelak kemudian hari akan menjunjung nama Keraton. Menjelang usia delapan belas, Upasara setiap 35 hari sekali menjajal ilmunya. Dengan para senopati yang lain. Ia mengenal mereka hanya dalam latihan belaka. Termasuk di dalamnya adalah Senopati Suro, Joyo, Lebur, dan Pangastuti. Baik sendiri-sendiri maupun menghadapi keroyokan mereka. Maka boleh dikatakan Upasara sama sekali tak mengenal kehidupan dinding Keraton secara langsung. Ia mengetahui dari buku-buku. Baginya tak ada yang bisa mengalahkan kecintaannya untuk membaca buku dan menembang. Maka ketika membaca Kartika Parwa dan Bantala Parwa, dengan segera Upasara bisa melakukan. Dan untuk memecahkan isi kitab itu adalah tantangan besar. Selama ini tak ada kitab pusaka di Keraton yang tak dipahami. Kitab-kitab itu mempunyai sifat yang sama. Harus bisa dipahami dengan beberapa syarat tertentu. Tidak asal menghafal dari yang tertulis. "Adik, mari kita jajal jurus Lintang Sapi Gumarang. Tidak perlu dibuka lagi catatan itu. Aku masih bisa menghafal. "Di sini tidak diterangkan gerakan, karena hanya menyebutkan pengaturan tenaga belaka. Maka sangat boleh jadi, gerakan apa pun tak menjadi soal. Asal pengerahannya seperti yang dimaksudkan." Upasara berdiri. Di tengah malam, hanya kena pantulan api dari kayu. Ia mengambil sikap sempurna, menghormat dalam dengan menghaturkan sembah. "Hamba yang rendah ini, Upasara Wulung, minta berkah pangestu. Maafkan segala kelancangan hamba mempelajari ilmu para sepuh." Lalu dengan serta-merta mengumpulkan tenaga dari ujung-ujung hidung. Udara disedot masuk, naik ke atas ke ubun-ubun, turun lewat tulang belakang, dan dikumpulkan di pusar. Ditahan sekuatnya, sehingga arus tenaga yang bergelora itu terasa menggerakkan semua urat dan saraf, membuka semua jalan darah. Baru kemudian kedua tangannya terangkat ke atas dari samping, hingga pangkal telapak tangan menyentuh ketiak. Kuda-kuda tetap mengangkang seperti seorang menunggang kuda. Perlahan kedua tangannya bergerak sesuai dengan yang dihafal. Tenaga dikerahkan dari arah utara dan selatan. Seirama dengan penyaluran napas, tangan kanan dan kiri digerakkan ke arah kanan dan kiri. Pusat perhatian tertuju di satu titik di depan, akan tetapi yang ada dalam bayangan adalah tetesan hujan pertama, loncatan belalang, luncuran burung, tumbuhnya benih padi. Merasa konsentrasinya kuat, Upasara melemparkan tenaganya ke depan. Bupb! Kayu api di depannya terpental semuanya. Api menjadi padam seketika, keadaan menjadi gelap. Cabang kayu yang tadi dipakai untuk api, baru beberapa saat kemudian terjatuh di tanah. Saking tinggi terlemparkan! Kawung Sen berjingkrakan. "Bagus, kau berhasil, Kakang." Upasara membuyarkan tenaga dalamnya. "Tidak. Tanpa jurus itu pun aku bisa melakukan." "Lalu?" "Ada yang belum bisa kupahami. Cara mengambil sumber tenaga inti masih belum bisa kuketahui. Dalam kitab disebutkan sebagai tenaga musim Kasa. Musim pertama. Itu juga bisa disebut tenaga Kartika. Musim pertama itu mempunyai sifat belas kasih. "Aha, mungkin itu sebabnya kenapa dalam kitab itu disebutkan kalau mempunyai rasa pongah dan sombong, tidak mencapai sasaran." "Coba lagi." "Kita coba sama-sama." Kawung Sen berjingkrakan. Ia berdiri sejajar, berjarak tiga tombak. Keduanya mulai bergerak. Upasara mengulangi gerakan tadi untuk menghimpun tenaga. Sedang Kawung Sen, karena latar belakang silatnya berbeda, mengambil tenaga dengan menggerakkan kedua tangan setengah lingkaran di depan tubuh. Lalu dalam saat yang bersamaan, keduanya melemparkan tenaga ke depan. Terdengar suara keras. Dua pohon sekaligus bergoyang. Pohon di depan Upasara rontok sebagian besar daunnya. Sedang pohon di depan Kawung Sen somplak beberapa cabangnya. "Hoho... aku bisa. Aku bisa." Upasara memusatkan konsentrasi. Ia mulai dengan jurus Lintang Tagih. Tenaga mengambil dari utara. Tenaga bergulung, dan bergelombang besar, dan Upasara memusatkan seluruh daya cipta kepada dirinya, tidak memedulikan arah pukulan. Membiarkan tenaga dingin tetap berada di dalam, dan tenaga panas menyembur ke luar. Krak! Kini pohon di depan Upasara tercabut seakarnya. Pohon di depan Kawung Sen rontok semua daun dan cabangnya. "Adik, jurus kedua ini hanya mengerahkan tenaga luar, tenaga panas. Sebagian tetap disimpan." "Kenapa begitu?" "Inilah inti musim Karo. Musim kedua yang juga disebut Pusa. Jangan terlalu lama menahan tenaga di dalam. Gerakan harus dilakukan dengan cepat. Jauh lebih cepat dari jurus pertama." "Dasar ilmu silat kita berbeda. Bagaimana Kakang bisa menjelaskan itu? Apa ditulis di situ?" "Tidak. Tetapi kalau dilihat hasilnya, aku bisa menumbangkan pohon, sedang Adik tidak. Padahal tenaga dalam Adik jauh lebih besar dariku. Adik memiliki latihan dan pengendalian yang lebih berpengalaman. "Hanya cara mengaturnya yang keliru. "Kita ulangi jurus satu dan dua, dengan sasaran pohon yang lain. "Mulai!" Benar apa yang dikatakan Upasara. Pohon di depan Upasara sudah tumbang dan terlempar. Baru kemudian pohon di depan Kawung Sen bergoyang perlahan sebelum akhirnya rubuh. "Astaga. Kenapa bisa begitu?" "Waktu yang digunakan untuk pengerahan tenaga. Pada jurus pertama, karena pengaruh Kasa, waktunya lebih lama. Umur Kasa adalah 41 hari. Sedang Karo hanya 23 hari. Jadi hampir separuhnya. Waktu Karo sama juga dengan waktu Dhestha atau jurus kesebelas yang dipengaruhi Padrawana. Usianya juga 23 hari." "Bagus, bagus. Boleh juga. Bagaimana dengan musim yang lain? Aku tak pernah mengerti berapa umur bulan yang ketiga dan seterusnya." "Musim ketiga disebut Manggasri, berumur 24 hari, musim keempat disebut Sitra, berumur 25 hari. Musim kelima disebut Manggakala, berumur 27 hari. Musim keenam disebut Naya dihitung 43 hari. Demikian juga musim ketujuh disebut Palguna berusia 43 hari." "Susah, susah, Kakang. Kenapa setiap bulan, setiap musim umurnya berbedabeda?" "Entahlah, Adik, bagaimana para leluhur menemukan perhitungan ini. Tetapi musim Kasa dihitung mulai terbitnya matahari ketika mulai condong ke selatan. Musim Naya, dihitung sejak matahari terbit ke arah selatan persis. Musim Palguna, ketika matahari terbit mulai condong ke utara. Sedangkan musim kedua belas, yang terakhir disebut Asuji, dihitung dari matahari terbit persis di utara. Dan panjangpendeknya umur musim mempengaruhi jurus yang dimainkan." "Bagaimana mungkin matahari agak ke selatan atau di selatan persis, agak ke utara atau di utara persis. Seumur-umur matahari terbit dari timur." "Tidak persis begitu. Adakalanya agak ke utara dan agak ke selatan. Adik, para leluhur kita telah lama memperhitungkan ini semua dengan arah angin, hujan, ombak laut, ketika para senopati Keraton dikirim ke Melayu. Dengan dasar yang sama pula kini diciptakan dalam ilmu silat. Berbahagialah Adik menemukan ilmu ini." "Tidak, Kakang yang membuat terang." "Adik bisa berlatih sendiri. Setidaknya dari Kartika Parwa. Mungkin suatu hari kelak, kita bisa belajar bersama-sama lagi." "Kakang akan melanjutkan perjalanan?" "Tugas Keraton...." "Sudahlah, Kakang. Pertolonganmu tak akan pernah kulupakan. Mudahmudahan dewa di langit membalas semua budi baik Kakang. Kalau aku mengetahui rencana Maharesi Ugrawe, aku akan segera melaporkan padamu." "Nuwun...." Upasara mengangguk. Kawung Sen melompat memeluk Upasara. Lalu cepat melepaskan kembali. "Aku sungguh tidak sopan." "Adik Kawung Sen, selamat tinggal." "Kakang Upasara, selamat jalan." Upasara segera berlalu. Meskipun tidak menoleh ia tahu bahwa Kawung Sen masih berdiri di tempatnya, sampai ia menghilang di kegelapan malam. Dan malam itu Upasara terus melanjutkan perjalanan. Hingga dini hari. Setelah beristirahat sejenak, ia melanjutkan perjalanan kembali. Menjelang senja, sampailah ia di batas kota. Upasara mulai berhati-hati. Sekali lagi ia menyamar sebagai penduduk biasa. Malah ia memakai caping lebar sekali yang telah butut. Dengan perasaan aman, Upasara melangkah ke dalam desa. Sebuah desa perbatasan yang cukup ramai, pikir Upasara. Apalagi menjelang senja begini masih banyak orang lalu-lalang. Setahuku, di luar Keraton tak pernah ada kegiatan begitu matahari tenggelam. Ataukah ada sesuatu yang terjadi? Dugaan Upasara tidak meleset. Orang yang berlalu-lalang ini menuju satu tempat. Yang dituju adalah lapangan yang diterangi banyak obor yang mulai dinyalakan. Ada panggung luas, di belakangnya dihiasi patung besar, serta umbul-umbul. Kelihatan kegiatan baru akan dimulai. Upasara melirik sebentar. Berniat meneruskan perjalanan ketika terdengar sorak-sorai keras. Terpaksa kakinya berhenti melangkah. Pandangannya _. tertuju ke tengah panggung. Dan kecele. Karena panggung tetap kosong melompong. Dalam herannya, Upasara menegur seorang yang sebaya dengannya. "Ada apa, Kisanak?" Yang ditegur memandang heran ke arah Upasara. "Untuk apa datang kemari kalau tak tahu kegiatan apa?" "Maaf, saya benar-benar tidak tahu. Apakah akan ada pertandingan silat?" "Ini sudah malam ketujuh dari Sayembara Mantu. Bisa jadi kalau kamu ikut dan menang, bisa memboyong putri Cina. Ha... ha... ha." Dari caranya tertawa, jelas Upasara ditertawakan. "Majulah segera, siapa tahu nasibmu baik. Kami semua sudah tidak sabar menunggu siapa pemenangnya." Sayembara Mantu, adalah sayembara untuk dipilih menjadi menantu. Upasara mengetahui bahwa ada cara-cara seperti itu. Agaknya terlalu banyak calon sehingga perlu diadakan sayembara. Hanya yang mengherankan, kenapa yang dipilih adalah putri Cina? Upasara tahu bahwa dahulu pernah ada utusan dari negeri Cina yang datang ke Baginda Raja. Konon, raja dari negeri Cina terdiri atas para jagoan yang luar biasa. Namun mereka bisa diusir pergi. Malah utusannya dicoreng wajahnya dengan tulisan. Sejak itu mereka pulang balik ke negerinya minta bala bantuan. Akan tetapi Upasara juga mendengar berita bahwa tidak semua utusan pulang kandang. Beberapa jagonya yang kesohor masih tinggal di sekitar pantai. Siapa nyana sekarang berani mendirikan tempat pertemuan yang terbuka dan mengadakan Sayembara Mantu? Kalau benar ini malam ketujuh, berarti sudah lebih dari sepasar kegiatan ini diadakan setiap malam. Dan jaraknya dari Keraton tak terlalu jauh. Sehingga pastilah pihak Keraton telah mendengarnya. Pasti juga tak ada larangan dari Keraton, karena nyatanya kegiatan ini masih terus berlangsung. Bagi Upasara tidak menjadi soal benar hal semacam ini. Ia sama sekali tak tertarik mencari pasangan. Dalam otaknya belum ada masalah seperti itu. Akan tetapi bahwa kegiatan ini diadakan oleh kelompok yang pernah diusir dari Keraton, memang agak mencengangkan. Seingat Upasara, Ngabehi Pandu pernah menceritakan bahwa dalam utusan Meng-ki terdapat seorang ahli silat yang ilmunya kelewat tinggi. Yang harus diperhitungkan benar-benar. Upasara tidak bertanya lebih jauh saat itu. Akan tetapi mengingat bahwa gurunya memuji, ia jadi penasaran. Setahunya, gurunya hanya menyebut-nyebut beberapa nama yang termasuk luar biasa. Yang pertama adalah Eyang Sepuh dari Perguruan Awan. Ia menduduki tempat teratas. Hanya saja sudah sejak lama Eyang Sepuh ini mengasingkan diri dan membina Perguruan Awan. Sehingga tak diketahui lagi. Menurut Ngabehi Pandu, kemampuan Eyang Sepuh tak bisa diukur lagi. "Bagaimana bisa diukur kemampuannya kalau selama ini Eyang Sepuh belum ada yang bisa mengalahkan? Bahkan murid-muridnya masih termasuk kelas tinggi. Di dunia ini, hanya Eyang Sepuh yang tak terkalahkan selama pertandingan." Yang kedua adalah Mpu Raganata. Mahapatih Keraton yang dianggap mampu menandingi siapa saja, dalam soal apa saja. Baik dalam pertempuran satu lawan satu, baik dalam mengatur siasat perang, maupun dalam strategi, serta membaca maksud lawan. Salah satu ilmu andalannya disebut sebagai Weruh Sadurunging Winarah, atau Tahu Sebelum Terjadi. Rangkaian jurus-jurus ini oleh Ngabehi Pandu disebut sebagai penangkis segala jurus. Karena Mpu Raganata mampu membaca apa yang dipikirkan lawan. Tahu ke mana gerakan dan serangan lawan. Sehingga dengan mudah bisa mengalahkan lawan-lawannya. "Eyang Sepuh belum pernah terkalahkan. Paman Ngabehi, dibandingkan dengan Mpu Raganata yang menguasai Weruh Sadurunging Winarah, siapa yang lebih unggul?" "Susah dibuktikan. Tapi Mpu Raganata selalu menolak bertanding dengan Eyang Sepuh. Beliau mengatakan bukan tandingan Eyang Sepuh. Mungkin justru dengan ilmunya itu Mpu Raganata mengetahui bahwa ia tak bisa mengungguli Eyang Sepuh." Yang ketiga disebut-sebut adalah Ugrawe. Terutama karena ilmunya Sindhung Aliwawar yang beraneka ragam, dan sulit dipelajari oleh lawan. Sejak Eyang Sepuh tak lagi terjun ke dunia, dan Mpu Raganata tergeser dari pusat kekuasaan, hanya Ugrawe yang bisa malang-melintang. Baru kemudian, Ngabehi Pandu bercerita tentang tokoh keempat. Yaitu panglima utama dari negeri Cina, yang dikenal dengan Mojin, atau Bok Mojin. "Mojin mewarisi ilmu gulat yang luar biasa yang dikembangkan dari negeri asalnya, negeri padang pasir Mongolia. Dipadu dengan kecepatan gerak bangsa Cina yang ditaklukkan, Mojin benar-benar luar biasa." Saat itu Ngabehi Pandu tidak menyebut-nyebut Mahisa Anengah Panji Angragani yang menggantikan kedudukan Mpu Raganata. "Jauh di bawah itu, jumlahnya banyak sekali." "Termasuk Paman?" "Aku bukan apa-apa." "Pakde Senamata Karmuka?" "Pakdemu itu juga bukan apa-apa." Saat itu Upasara seperti tak bisa menerima apa yang dikatakan gurunya. Bagaimana bisa terjadi, Ngabehi Pandu tetap dikatakan bukan apa-apa? Selama ini Upasara mengetahui bahwa Ngabehi Pandu tak pernah bisa dikalahkan dalam Keraton! Kalau benar begitu, pastilah empat tokoh yang telah disebutkan tadi sangat luar biasa. Upasara sendiri belum pernah menyaksikan jurus-jurus dan ilmu Eyang Sepuh. Ngabehi Pandu hanya memberikan dasar-dasar sumber gerak sebagai tambahan pengetahuan. Mengenai Mpu Raganata, Upasara pernah bertemu. Walau tidak sedang memperlihatkan ilmunya, Upasara bisa merasakan perbawa dan kehebatan sorot mata Mpu Raganata. Hanya dalam hatinya Upasara kurang hormat karena ketika itu Mpu Raganata seperti meremehkan kehadiran Upasara. Saat itu ia sedang berlatih keras bersama Ngabehi Pandu, tiba-tiba sebuah bayangan menyeruak masuk. Upasara tidak mendengar desiran angin, tidak mendengar suara kaki, akan tetapi tiba-tiba melihat seorang tua dengan pakaian putih berdiri di depannya. Ngabehi Pandu langsung memberi sembah dengan hormat sekali. Upasara mengikuti. "Ngabehi..." "Sembah dalem, Begawan...." "Hmmmmmmm, ini hasilmu melatih Ksatria Pingitan?" "Nun inggih. Hamba sama sekali tak berbakat. Mohon petunjuk, Begawan." "Susah, susah. Keinginan Keraton adalah menciptakan seorang ksatria tulen. Sejak lahir tak tahu apa-apa selain ilmu silat. Dilatih sejak lahir ceprot. Dikurung secara istimewa. Hmmmmm, tak tahunya hasilnya hanya sebegini. Saya dengar banyak sekali yang tak bisa mewarisi ilmu Keraton." "Nun inggih, hanya tinggal satu orang. Yang lainnya menjadi prajurit." "Hmmmmm, susah. Susah. Tinggal satu saja seperti ini." "Hukumlah hamba yang tidak becus ini." "Bukan salahmu. Mereka memang tidak punya darah ksatria. Dipaksa seperti apa ya susah. Sekalinya cacing tak bisa dipaksa menjadi naga." Upasara yang terus menunduk sejak tadi, tak terasa mengangkat dagunya. "Tapi anak muda ini boleh juga. Matanya berani menatapku. Besok kalau sudah pantas, aku ingin sekali melihatnya." Darah Upasara mendidih. Sejak itu ia berlatih makin keras. Lebih keras dari biasanya. Namun Mpu Raganata tak pernah muncul kembali. Setiap kali Upasara menanyakan, Ngabehi Pandu menggelengkan kepalanya. "Itu bukan urusanmu. Beliau mempunyai urusan lain lebih banyak. Urusanmu mewarisi ilmu Keraton." Sejak itu Upasara tak pernah bertemu lagi. Kini, ia ingat lagi karena ia teringat kepada Mojin. "Jangan-jangan Mojin...," kata Upasara pelan. "Heh, kamu kenal juga nama itu?" "Maaf, hamba hanya mendengar bahwa yang harus dikalahkan bernama Bok Mojin...." "Semprul... kamu ini ngerti apa? Kiai Sangga Langit tak perlu turun tangan untuk mencari menantu. Cukup membiarkan kamu melawan pemenang dan itu sudah cukup untuk menjadi suami putri Cina." Bulu kuduk Upasara bergidik. Hebat benar jika Mojin yang digelari Kiai Sangga Langit benar-benar ada di sini. Jelas ini bukan sayembara sembarangan. Tapi kenapa mengadakan sayembara di tapal batas Keraton? Kenapa tidak di Keraton sekalian atau di Gelang-Gelang atau di Kediri? Ini aneh, pikir Upasara. Ia banyak membaca kitab-kitab dan segala macam peraturan, akan tetapi toh kejadian seperti ini masih sulit dimengerti. Kalau Kiai Sangga Langit berani muncul ke permukaan, pasti ada seseorang yang berdiri di belakangnya. Sayembara Mantu ini sendiri pasti bukan tak ada apaapanya. Selama ini boleh dikata, anak gadis yang memiliki sesuatu yang luar biasa, akan di-sowan-kan ke Keraton atau mendapat panggilan ke Keraton. Kalau-kalau Baginda Raja berkenan. Nah, kalau putri Cina terkenal karena keayuannya, kenapa tidak langsung di-sowan-kan ke Keraton? Mata Upasara seperti dicolok. Di pentas muncul seorang wanita yang sangat menarik. Dahinya lebar, rambutnya yang berombak dibiarkan terurai hingga mencapai pantat. Pandangannya galak sekali. Bibirnya tipis, sedikit berwarna merah. Yang lebih menarik lagi adalah bentuk dadanya yang montok besar, dengan kemben yang lekat. Kainnya terbuka sedikit di bagian kaki. "Saya Demang Wangi mengucapkan selamat datang kepada para ksatria di seluruh tanah Jawa. Ini adalah malam terakhir pemilihan menantu. Akan kita ketahui bersama siapa yang berhak mempersunting Dyah Muning Maduwani.... "Akan tetapi seperti malam kemarin, Kiai Sangga Langit tetap memberi kesempatan bagi peserta yang ingin menjajal keberuntungan...." Suaranya enak, seperti mengelus telinga. Ada nada bisik-bisik yang menggelitik. Apalagi ketika mengakhiri kalimatnya dengan menyungging senyum serta menunggu reaksi, membuat lelaki di samping Upasara berdecah-decah. Demang Wangi, setahu Upasara adalah salah seorang jago silat yang disegani juga. Sebenarnya yang bergelar Demang Wangi adalah seorang lelaki. Tetapi entah kenapa malam ini yang muncul adalah perempuan yang mengobral senyum. Entah apa pula hubungannya dengan Kiai Sangga Langit atau juga Dyah Muning Maduwani. Kalau ditilik dari namanya, Dyah Muning Maduwani adalah putri Cina yang disayembarakan. Dyah memang sebutan terhormat untuk gadis. Sedang Muning, bisa jadi kependekan atau nama yang diluweskan dari Mo dan Ing atau sejenis dengan itu. Maduwani sekadar julukan untuk menggambarkan keayuannya seperti madu. Dan wani yang juga berarti berani, mengandung pengertian tersendiri. Maduwani, bisa juga berarti sangat bermadu, atau menonjol kemaduannya. "Bagaimana?" "Bagaimana kalau saya melamar Demang Wangi saja?" Tiba-tiba terdengar suara dari arah timur. Suaranya cukup keras dan gemanya seperti lebah berdengung. "Kenapa bicara di tempat gelap, kalau di sini disediakan tempat terang? Silakan maju, biar saya bisa berkenalan." Terdengar suara tawa berkekeh, disela batuk lunak, ketika satu sosok bayangan masuk ke dalam arena. Bayangan seorang lelaki yang badannya tinggi tegap, dengan jidat sangat lebar. Di tangannya tergenggam tongkat berwarna gelap. Tongkat itu kelihatannya sangat berat sekali, mengilap di sekujur batangnya, sehingga membalikkan sinar api. Upasara tahu siapa tokoh yang memakai tongkat dari galih pepohonan. Atau dibuat dari tengah batang pohon. Galih Kaliki! Mengilatnya tongkat itu konon karena selalu dilap dengan darah korban yang kena kemplangannya. "O, kiranya Kakang Galih Kaliki yang menginginkan saya." "Jauh sebelum kau menjanda, aku sudah menginginkan dirimu. Dan kau tahu itu, Nyai Demang. Hari ini aku datang untuk melamarmu." Nyai Demang Wangi tersenyum menggoda. "Aha, saya sudah tua. Janda yang tak laku. Kenapa pula Kakang menginginkan saya? Kalau Kakang bisa memperoleh Dyah Muning Maduwani, dengan sendirinya saya akan menjadi pelayan Kakang. "Baiklah kalau Kakang juga akan mengikuti sayembara ini." Galih Kaliki menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku cuma ingin dirimu. Bukan yang lain. Apakah ia bidadari atau ular naga apa peduliku. Bicaralah terus terang, Nyai Demang. Kau bersedia atau tidak. Kalau bersedia, aku akan mengemplang siapa pun yang menghalangi. Kalau tidak, aku akan menunggu lagi. "Perkara lain kita bicarakan nanti. Biarlah para ksatria yang hadir di sini menjadi saksi. Bahwa aku Galih Kaliki melamarmu." Suaranya keras, nadanya tegas. Upasara mengenal dari penuturan bahwa Galih Kaliki termasuk tokoh yang aneh. Bahwa semua tokoh persilatan mempunyai sifat aneh, itu sudah dengan sendirinya. Akan tetapi Galih Kaliki termasuk yang paling aneh, karena ia tak bisa dengan begitu saja dimasukkan ke dalam golongan hitam atau putih. Apakah ia memusuhi atau setia kepada Keraton, tidak bisa begitu saja dipastikan. Bahkan asalusul perguruannya juga aneh. Selama ini tak diketahui. Lebih aneh lagi sifatnya seperti yang ditunjukkan sekarang ini. Secara demonstratif ia melamar Nyai Demang, justru di saat bukan Nyai yang disayembarakan. "Saya kira tukang kayu ini salah alamat. Untuk apa ia tampil ke panggung ini?" "Bayi mana berani bersuara dalam gelap seperti ini?" "Aku, Bagus Respati dari Keraton Singasari." Terdengar jawaban ringan dan sesosok tubuh melayang dengan indah. Wajah yang tampan, bersih, dengan pakaian mewah—kedua kakinya dihiasi dengan gelang emas— melemparkan senyum tinggi. Titik-titik berlian di hulu kerisnya memantulkan sinar balik dengan terang sekali. Titik-titik berlian yang sebesar biji kacang. Upasara kenal baik dengan Bagus Respati. Dulu, Bagus Respati adalah Ksatria Pingitan juga. Seperti dirinya ini. Hanya kemudian memilih jalan sendiri karena secara khusus diundangkan beberapa guru kepadanya. Sejak berpisah lima tahun yang lalu, Upasara tak pernah bertemu lagi. Baru kali ini sempat melihat dari jarak jauh. "Apa hubunganmu dengan Keraton, cah bagus?" "Aku adalah putra Yang Mulia Mahisa Anengah Panji Angragani, mahapatih Keraton Singasari, tangan kanan Baginda Raja Kertanegara." "Jadi kau ingin berebut denganku soal Nyai Demang? Mari kujajal dulu. Apakah masih tercium bau pupuk bawangmu atau tidak." Galih Kaliki langsung mengambil posisi. Bagus Respati menggelengkan kepalanya. "Kalau kau menjadi peserta sayembara, aku akan melayani. Karena malam ini aku adalah pemenang terakhir. "Kalau kau menginginkan Nyai Demang, aku tak mau meladenimu. Malam ini juga akan kuboyong Dyah Muning Maduwani." Bagus Respati berbalik ke arah penonton. "Karena aku tidak mau main curang, aku akan memberi kesempatan terakhir. Siapa yang masih mengikuti sayembara, silakan maju. "Aku tidak mau menakuti. Akan tetapi sayembara ini hanya ditentukan pemenangnya setelah lawannya tak bisa bangkit lagi. Jangan salahkan aku kalau terlalu keras. Silakan kalau ada yang mau mencoba." Suasana menjadi hening. Upasara berniat meninggalkan lapangan. Tapi kakinya terasa berat melihat senyum Nyai Demang. "Ternyata peserta yang lain lebih suka mengundurkan diri. Kalau memang tidak ada..." suaranya tertahan, seperti menunggu ada yang mengusulkan sesuatu, "...kalau memang tak ada... memang tak ada?" Mendadak perhatian terserap ke panggung sebelah kiri. Serombongan orang berjalan masuk sambil memanggul tandu. Upasara melihat bahwa bentuk tandu yang sekarang ini agak istimewa. Penuh dengan hiasan warna-warni. Warnanya juga beraneka ragam. Tandu itu diletakkan di pinggir sebelah kiri. Bagian depan yang tertutup kain tiba-tiba menyibak. Serentak dengan itu terdengar decak kagum, dan para penonton berdesakan. Dari dalam tandu terlihatlah bayangan seorang gadis. Rambutnya panjang, hitam, disanggul sempurna. Seluruh tubuhnya ditutupi dengan kain sutra putih yang ujungnya diberi hiasan bunga merah muda. Kulitnya putih—sangat putih sekali. Terutama di bagian wajah, dan lehernya yang jenjang. Yang membuat Upasara kagum adalah tenaga dalam untuk membuka tirai penutup. Tirai yang dibuat dari sutra itu membuka, dan ujungnya tetap menunjuk ke atas. Tertahan di tengah udara. Mata yang sipit menatap ke arah panggung. "Karena telah berada di atas panggung, mengapa tidak turut serta?" Untuk pertama kalinya Upasara merinding. Suaranya sangat halus, merdu, dan menyentuh. Walaupun bibirnya bergerak sangat pelan sekali. Galih Kaliki mendengus keras. | |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:15 pm | |
| "Aku datang tidak untuk melamarmu. Aku tak suka kamu." Galih Kaliki membuang muka. Bagus Respati menjejak panggung dan tubuhnya melayang. "Orang dusun tak tahu tata krama, bagaimana kau bisa menghina begitu busuk? Jangan panggil aku Bagus Respati kalau tak bisa menyingkirkanmu." Meskipun dalam keadaan murka, Bagus Respati masih memperingatkan lebih dulu. Kedua tangannya menarik dua keris—satu dari belakang yang diketahui oleh penonton, satu lagi entah dari mana. Dua keris itu tergetar mengeluarkan bau amis. Galih Kaliki menyambar tongkatnya, dan langsung menerjang. Tongkat hati kayu mengemplang dari atas. Yang diarah langsung batok kepala lawan. Dengan memiringkan kepalanya, Bagus Respati menarik tubuhnya ke samping. Gerakan kakinya sangat lincah dan bagus—Upasara diam-diam memuji kagum. Karena dengan gerakan kaki itu Bagus Respati bisa memiringkan tubuhnya, menghindar, dan dalam langkah berikutnya yang bersambungan sudah berada dalam jarak dekat. Kedua kerisnya bagai sepasang gunting: Sekali tusuk bakal membuat dua luka. Dengan variasi gerakan yang ada: Dua bisa menjadi empat, empat bisa menjadi delapan. Dalam sekejap seperti ada 32 ujung keris yang datang dan pergi, dengan tusukan tempat yang berbahaya. Galih Kaliki seperti menyapu semuanya. Ia maju terus, menggempur dengan tongkat hati kayu. Gebrakan sapuan tongkatnya hanya satu: Batok kepala lawan. Kalaupun menyabet ke bawah, akhirnya langsung ke atas lagi. Mencongkel dari bawah. Menggebuk dari samping pun arahnya tetap jidat. Dengan cara menyerbu seperti ini, Bagus Respati tak bisa mempraktekkan kelebihannya. Ia tak bisa memamerkan kelebihannya bermain dengan indah. Karena sebelum satu jurus selesai separuh, sudah harus diubah dari awal, atau ditarik mundur. Galih Kaliki terlalu merangsek maju. "Ayo pamerkan ilmu menggelitik ini." Namun meskipun Galih Kaliki kelihatan sesumbar, ayunan tongkatnya selalu menemui tempat kosong. Cara bergerak Bagus Respati memang rapi dan tangguh. Perubahan gerak kakinya sangat luar biasa. Sebentar merandek maju, ditarik mundur ke samping, dan tahu-tahu sudah berada dalam jarak yang jauh lagi. Dalam sepuluh jurus pertama, Galih Kaliki jadi repot. Beberapa kali tongkatnya ditarik mundur—tertarik dengan sendirinya, karena serbuan kaki lawan yang merepotkan. Sementara Bagus Respati juga tak bisa maju sepenuhnya. Setiap kali memperoleh peluang, ia tak bisa menggunakan dengan baik. Karena angin dari tongkat Galih Kaliki sudah terasa di ubun-ubunnya. Lima jurus lagi telah berlalu, tanpa ada yang berani memastikan pihak mana yang lebih unggul. Sebenarnya kalau pertempuran diteruskan hingga jurus kelima puluh, Bagus Respati bisa berada di atas angin. Bagaimanapun juga gerakan kakinya makin terarah dan tetap rapi. Sementara Galih Kaliki harus terus mengeluarkan tenaga ekstra keras. Jenis pukulan dan serangannya menuntut tenaga besar. Jadi biar bagaimanapun kuatnya, makin lama akan makin keteter. Makin terkuras. Tapi Bagus Respati tak sabar menunggu. Selama mengikuti sayembara ini, ia telah mengalahkan empat lawan. Semuanya di bawah sepuluh jurus—dan semuanya tewas dengan enam belas tusukan di satu tempat. Korban pertama, tertusuk di bagian leher. Korban kedua, sama juga. Korban ketiga di bagian dada kiri. Dan korban keempat... semuanya di bagian wajah. Semua dikalahkan dengan cara yang sama. Posisi kuda-kudanya makin lama makin kedodoran. Dan ketika suasana menjadi kritis, yang dibenahi lebih dulu adalah bagian penjagaan. Saat itulah Bagus Respati melancarkan serangan kilatnya. Dua keris bergerak bersamaan! Memang Galih Kaliki yang dihadapi sekali ini jauh berbeda. Namun dengan cara yang sama, Bagus Respati bisa mendesak. Hanya saja setelah lewat dua puluh jurus, masih bisa bertahan dengan kuat dan tetap berbahaya, Bagus Respati tidak sabaran. Ia mempercepat serangan kaki, setiap kali Galih Kaliki beringsut, tempat yang barusan diinjak ganti diinjak. Tak peduli Galih Kaliki mundur ke samping kiri atau kanan. Bahkan kalau mencoba maju, Bagus Respati berusaha mengambil posisi yang ditinggalkan. Dengan cepat kedua tubuh yang tengah bertempur jadi berputar-putar. Dari ujung kiri panggung ke kanan, pindah lagi ke tengah, minggir lagi. Bagus Respati bisa makin keras mendesak, karena ayunan tongkat Galih Kaliki bisa dikenali. Keraslembut tenaga serta sasarannya terlalu monoton. Upasara yang menonton di pinggir panggung hanya bisa kuatir dalam hati. Dalam perhitungannya, Bagus Respati memang sangat pesat kemajuannya. Sebagai sama-sama Ksatria Pingitan—dulunya—Upasara melihat kepesatan Bagus Respati bukan hanya dalam soal ilmu silat, tetapi juga dalam membaca kemampuan lawan. Sementara itu justru sebaliknya dengan Galih Kaliki. Tokoh aneh yang tak dimengerti asal-usulnya ini, dalam sepuluh jurus pertama sungguh mengagumkan. Ayunan tongkatnya betul-betul berhasil menekan lawan dengan berat. Sehingga lawan tak sempat berkembang permainannya. Didikte dengan keras. Arah dan sasarannya juga maut. Ubun-ubun. Tenaganya yang tidak kecil. Sehingga untuk ditangkis hampir tidak mungkin. Hanya bisa dihindari. Akan tetapi terasa juga tekanan itu tidak makin berat, tetapi malah melonggar di sana-sini. Terutama karena gerakan pengulangannya Maka perlahan, Galih Kaliki menjadi jatuh di bawah angin. Bagus Respati memperhitungkan bahwa peluang untuk mengeluarkan pukulan— atau lebih tepat tusukan—terakhir yang menentukan. Agaknya Bagus Respati melihat kesempatan itu ketika ayunan tongkat Galih Kaliki berputar sedikit. Dengan sebat ia menyepak ke arah paha lawan untuk meminjam tenaga, dan pada saat yang bersamaan tubuhnya melayang ke atas. Dengan kedua keris seperti mencari kutu. Bergerak cepat, bergantian arahnya, seperti menyerang leher, dagu, telinga, mata, dari arah bawah. Upasara mengeluarkan seruan tertahan! "Tahan...." Terlambat. Tubuh Bagus Respati telah melayang ke atas dan dari ujung kerisnya terlihat warna merah. Tapi Galih Kaliki tidak sekadar memukul angin. Putaran tongkatnya dari menyerang kepala menjadi sodokan keras. Tak urung dada Bagus Respati kena disodok. Tubuh Bagus Respati melayang ke bawah. Jatuh di panggung. Tetapi dengan bergulingan, Bagus Respati mampu berdiri kembali. Dadanya masih terasa sakit sehingga jalannya terhuyung-huyung. Sementara Galih Kaliki masih berdiri tegak. Tapi ada goresan dari dada ke atas. Goresan yang mengalirkan darah segar. "Ayo maju lagi!" teriak Galih Kaliki keras sambil menyerbu tanpa memedulikan bahwa darah yang mengalir makin banyak. Ayunan tongkat ditangkis dengan dua buah keris. Saking kerasnya satu keris terlempar ke tengah udara. Galih Kaliki mengulang kembali serangannya. Kalau tadi gerakan monoton yang berulang agak merugikan dirinya, sekarang justru berarti sekali. Sebelum Bagus Respati bisa mengerahkan tenaganya secara sempurna, lawan sudah mengemplang lagi! Upasara yang berdiri di bagian pinggir hanya melihat satu kemungkinan: Bagus Respati bakal melemparkan kerisnya, dan Galih Kaliki tak akan memedulikan tapi terus mengemplang. Akibatnya jelas. Galih Kaliki akan mati seketika dan ubunubun Bagus Respati akan hancur luluh berantakan. Upasara bisa menebak gerakan Bagus Respati karena dasar gerakan dalam memainkan keris sama dengan yang dipelajari. Yang berbeda hanya variasi kecilnya. Maka Upasara melayang maju ke depan. Ia memegang dua pundak orang di kanan-kirinya. Sebelum mereka ini tahu apa yang terjadi, tenaga mereka telah dipinjam Upasara. Di tengah udara, Upasara melemparkan capingnya dengan sepenuh tenaga. Perhitungan tak banyak berbeda. Caping itu berputar keras sekali. Menyelip di antara Bagus Respati dan Galih Kaliki. Sekaligus "menelan" keris Bagus Respati. Tenaga luncuran keris itu meluncur terbawa pusaran caping. Dan dalam melayang ke atas caping itu mengenai pergelangan tangan Galih Kaliki. Sehingga tongkatnya tak bisa dikuasai lagi arahnya. Malah terlepas dari tangannya. Upasara menyambar tongkat itu sambil melayang turun. Lalu dengan berjongkok, menghaturkan sembah ke arah dua orang yang saling menjauh. Galih Kaliki baru menyadari bahwa caping itu telah menolong nyawanya dari luncuran keris. Sebaliknya Bagus Respati juga menyadari bahwa ubun-ubunnya telah dibebaskan dari bentuk yang mengerikan. "Maafkan, Paman Galih, maafkan, Kakang Respati...." Upasara menghormat sekali lagi. Lalu mengembalikan kedua pusaka ke pemiliknya masing-masing. "Siapa kau?" Nyai Demang bergerak maju. "Kenapa kau berani kurang ajar? Tidak tahu bahwa dalam sayembara ini pemenangnya harus bisa mengalahkan lawanlawannya? Kalau kau mempunyai sifat ksatria, bukan begitu caranya. "Sebutkan namamu sebelum terlambat." "Nama saya Upa, putra Bapak Toikromo. Saya memang kurang ksatria. Akan tetapi kelancangan saya terutama karena dalam Sayembara Mantu ini harus ada pemenangnya. Kalau keduanya tewas, Dyah Muning bakal menjadi janda sebelum mempunyai suami. "Lagi pula, dalam hal ini sudah ada pemenangnya. Bagus Respati. Sedang Paman Galih menghendaki Mbakyu Demang." Hebat kata-kata Upasara. Nyai Demang sedetik berubah parasnya. Warna merah meronai wajahnya. Baru sekarang ini ada yang memanggilnya mbakyu, alias kakak perempuan. Dan bukan nyai. Dalam sedetik itu Nyai Demang merasa sepuluh tahun lebih muda. Tapi Nyai Demang dalam detik berikutnya malah berubah geram. "Anak desa yang sombong. Apa kau kira kau begitu jago sehingga bisa berbuat sesukamu?" "Maafkan saya, Mbakyu Demang. Usia kita mungkin tak jauh berbeda, akan tetapi saya tidak mengerti tata krama. Saya memang anak desa." Lagi Upasara melemparkan umpan yang berbisa. Siapa saja juga bisa melihat dengan mudah, bahwa usia Nyai Demang jauh di atas Upasara yang nampak masih segar. Tapi Upasara sengaja melemparkan kalimat itu. Nyai Demang tergetar hatinya. Akan tetapi penampilannya justru lebih galak. "Huh. Siapa sudi mempunyai adik seperti kamu? Anak desa, ketahuilah bahwa dalam Sayembara Mantu, siapa pun yang masuk ke dalam gelanggang adalah peserta sayembara. Maka bereskanlah lawan yang lain dan kau akan memperoleh Dyah Muning Maduwani." Upasara melengak. Ia tak menyangka bakal disebut sebagai calon. "Tidak bisa. Saya telah mempunyai istri...." Nyai Demang tertawa cekikikan. Juga para penonton. Cara Upasara mengucapkan kata istri, sangat janggal sekali. Apalagi Upasara sendiri lalu terlihat salah tingkah. "Anak dusun, kalaupun kau telah mempunyai istri tidak menjadi penghalang. "Maka kalau kau bisa mengalahkan lawan-lawan yang masih ada di panggung sekarang, kamu akan menjadi pemenang." Upasara menunduk. Memberi hormat kepada Bagus Respati. "Kakang Respati, silakan menjemput calon mempelai putri." Lalu berbalik ke arah Galih Kaliki. "Paman, silakan mengambil Mbakyu Demang." "Anak dusun Upa, siapa suruh kau jadi makcomblang seperti ini? Saya bilang lawanlah mereka, kalau kau ingin menjadi pemenangnya?" "Jelas tidak ksatria, Mbakyu. Dan bukankah sifat itu yang Mbakyu kutuk barusan?" Bagus Respati menahan rasa sakit di dadanya. Terasa ulu hatinya seperti ditindih beban yang berat sekali. Ia bisa mengenali bahwa Upasara adalah teman dekat di Pingitan. Akan tetapi karena Upasara sendiri tidak mau memperkenalkan diri, Bagus Respati tidak memperlihatkan bahwa ia mengenali. Galih Kaliki merasa sangat perih. Luka yang menyayat mulai menimbulkan gatal-gatal. Upasara mendekati Bagus Respati, dan membimbingnya ke tengah. Diam-diam ia berusaha menyalurkan tenaga, sambil memencet nadi dibagian punggung. Bagus Respati merasa sedikit lebih enak. Makanya tanpa diminta pun ia menyerahkan bubuk pemunah gatal. Upasara sendiri lalu mendekati ke arah Nyai Demang, sambil menyerahkan bubuk dalam bungkus daun pisang. "Mbakyu bisa membantu Paman Galih. Kalau saya bisa salah menaburkan." Galih Kaliki tersipu-sipu. "Terimalah hormatku, Upa...." "Paman terlalu merendahkan diri." "Pertolongan dan kebaikanmu tak akan kulupakan." "Saya tak berani menerima, Paman." Galih Kaliki nampak merasa gembira ketika Nyai Demang menuntunnya. Namun baru tiga tindak langkahnya terhenti. Tirai sutra terbuka, dan kembali terdengar suara halus. "Siapa pemenangnya?" Upasara tergetar mendengar suara yang begitu merdu di telinganya. "Aku pemenangnya," jawab Bagus Respati tegas. "Bawa saya pergi." Tirai tertutup lagi. Dari samping panggung, tanpa terdengar suara apa pun, bergerak satu bayangan. Tanpa memperdengarkan suara berisik. Bahkan, sepertinya, obor di pinggir lapangan pun tak bergerak karena angin. Nyai Demang yang lebih dulu memberi hormat. Upasara menjilat bibirnya. Sebagian ludahnya tersendat. Jago mengentengkan tubuh yang selama ini dikenal adalah Wilanda. Yang bisa bergerak dan meloncat bagai capung. Namun dibandingkan dengan tokoh yang baru muncul ini, kelihatannya Wilanda masih dua kelas di bawahnya. Upasara memperhatikan dengan cermat. Seorang lelaki yang badannya tegap. Sangat tegap. Daging di lengannya menonjol seperti paha. Otot-ototnya terlihat jelas. Di bawah topi bulu binatang yang aneh, sepasang mata sipit mengawasi panggung. Dadanya licin, dengan otot-otot keras. Licin, sehingga seperti diminyaki. Mengenakan celana yang komprang sebatas lutut. Kakinya juga memperlihatkan kekukuhan yang luar biasa. Sedikit di atas mata kaki dibalut dengan bulu binatang—yang agaknya berasal dari bulu binatang yang dikenakan sebagai topi. Kalau melihat bentuk tubuh yang kokoh bagai tukang gulat, sungguh luar biasa ilmu mengentengkan badannya. Lelaki bertopi itu mengeluarkan suara aneh. Nyai Demang berbalik ke arah Upasara. "Kiai Sangga Langit belum menganggap Sayembara Mantu selesai. Masih ada satu pertandingan lagi. Siapa yang keluar dari tempat ini sebagai pemenang pertama, baru boleh membawa pergi putrinya." Upasara mengertakkan giginya. Ini ternyata yang disebut-sebut sebagai Kiai Sangga Langit! Pantas saja Ngabehi Pandu memuji dan meletakkan dalam kedudukan yang terhormat. Kalau benar Kiai Sangga Langit turun tangan sendiri, siapa yang bisa melawannya? "Paman, tanyakan kepada siapa Kiai menantang? Karena ia tak bisa bicara langsung dengan kita—dan melalui perantaraan Mbakyu Demang— kita pun melalui perantaraan Paman." "Aku senang sekali. Itu peran bagus untukku," teriak Galih Kaliki. Nyai Demang menerjemahkan ke arah Kiai Sangga Langit. Kiai Sangga Langit menyeringai, berbicara, dan Nyai Demang kembali menerjemahkan. "Kepada orang asing yang berada di atas panggung." "Aneh. Dua tokoh utama sedang dalam keadaan terluka. Saya sendiri tidak berminat, untuk apa melayani Kiai Sangga Langit?" "Kalau tidak mau melayani, akan dipaksa. Kalian bertiga boleh mengeroyok." "Paman Galih, tolong katakan padanya bahwa kita yang biasa hidup di tanah subur, lain dengan mereka yang dibesarkan di padang pasir. Kita ksatria yang merasa tidak gagah kalau main keroyok. "Kalau modalnya cuma ilmu mengentengkan tubuh, katakan bahwa di sini seekor nyamuk bisa melakukan itu—tanpa perlu dipamerkan." Nyai Demang terbata-bata menerjemahkan. Agaknya merasa kurang enak harus mengatakan secara persis apa yang diucapkan Upasara. "Anak dusun Upa, Kiai Sangga Langit tidak mengada-ada. Sayembara Mantu ini terdiri atas dua bagian. Bagian yang pertama ialah siapa yang berdiri terakhir di panggung dianggap sebagai pemenang. Dalam sayembara ini, kalau ada yang terluka, atau meninggal, tidak akan menjadi masalah di belakang hari. Sejak awal itu sudah dijelaskan. "Bagian yang kedua, ialah Kiai Sangga Langit sendiri yang akan menguji dengan suatu permainan. Kalau bisa lulus, pemenang terakhir berhak atas Dyah Maduwani. "Kalau segalanya telah menjadi jelas, kau tidak akan menuduh bahwa ini hanya akal-akalan saja." Meskipun bercekat, Upasara tak mau kalah bicara. "Kalau keinginannya hanya main-main, cukup aku anak dusun yang menghadapi. Tak perlu seorang putra mahapatih yang terhormat, tak perlu seorang pendekar sejati." Kata-kata Upasara ada benarnya. Karena kini Bagus Respati tengah bersila di panggung. Berusaha memusatkan seluruh tenaga dalamnya untuk mengusir rasa sakit. Kalau pencetan Upasara tadi berhasil mengurangi, bukan berarti ia telah tersembuhkan. Beberapa aliran jalan darahnya masih macet. Juga Galih Kaliki. Meskipun ia mendapat bubuk pemunah yang dibuat dari ilalang, tidak berarti racun dalam tubuhnya telah bebas. Bagian luar memang tak akan dirembeti. Akan tetapi yang sudah terbawa aliran darah sulit ditahan. Terpaksa Galih Kaliki pun duduk bersila untuk memusatkan konsentrasi. Tinggal Upasara sendirian. "Bagi Kiai Sangga Langit tak menjadi masalah siapa pun yang akan menghadapi. Sendirian atau keroyokan. Permainan ini hanya dimainkan seorang saja. Pikiran boleh meminta bantuan siapa saja. "Hanya saja, kalau gagal mengatasi permainan ini, tergantung Kiai Sangga Langit, apakah ia akan memberi ampunan atau tidak." "Mbakyu Demang, kau bisa mengerti suara aneh. Kau bisa menerjemahkan dengan bagus. Terimalah rasa kagum saya yang bahasanya sendiri masih belepotan tidak keruan. "Mbakyu sudah tahu, kira-kira jenis permainan apa? Biarlah saya yang tak berharga ini menjajalnya." Nyai Demang tersenyum manja. Upasara melengos. Ia tak berani menatap secara langsung. "Anak dusun, kau akan segera mengetahui." "Tunggu dulu, Mbakyu Demang. Dalam sayembara ini ada yang tidak adil. Dalam perang tanding, pemenangnya ditentukan dengan mengalahkan lawan secara mutlak. Saya baru tahu ternyata malam-malam kemarin sudah ada korban berjatuhan. Kini masih ada jenis permainan. Kalau gagal, apakah hanya sekadar menggantungkan nasib pada kebaikan hati Kiai Sangga Langit? Sedangkan hadiah bagi pemenangnya tak seberapa." "Anak dusun, kau benar-benar keras kepala. Bagaimana mungkin Dyah Muning Maduwani kaubilang hadiah tak seberapa?" "Tidak. Katakan bahwa saya sama sekali tak menghendaki Dyah Muning Maduwani. Paman Galih juga tidak. Bagus Respati jelas telah mendapatkannya. "Permainan akhir ini hanya berlaku untuk saya. Kalau saya bisa memecahkan, saya berhak atas satu permintaan. Kalau saya gagal, itu urusan saya dengan Kiai Sangga Langit. Tak ada hubungannya dengan Bagus Respati dan Paman Galih Kaliki. Kalau syarat ini tidak diterima, saya akan turun panggung. Kalau Kiai Sangga Langit akan menahan saya, biarlah kita selesaikan berdua saja." Nyai Demang memoncongkan bibirnya. Kagumnya bangkit seketika. Anak dusun yang mengaku tak kenal tata krama ini jelas cerdik luar biasa. Tapi lebih dari semua itu sifat ksatrianya sangat utama. Ia menghadapi sendirian risiko yang bakal diterima. Ia tak mau melibatkan Bagus Respati atau Galih Kaliki. Bahkan menganggap persoalan Bagus Respati dan Galih Kaliki sudah selesai. Sudah mendapatkan haknya! Padahal bukankah dalam saat seperti ini, kemungkinan untuk mendapatkan semuanya itu ada padanya? Bukankah kalau nanti bisa memecahkan persoalan, ia bisa mempersunting Dyah Muning Maduwani—impian sekian banyak lelaki? Agak janggal sifat anak dusun ini, pikir Nyai Demang. Kalau Galih Kaliki tidak menghendaki Maduwani, itu bisa dimengerti. Sejak Nyai Demang masih kecil, masih jadi istri orang, Galih Kaliki memang selalu mengejarnya. Sejak awal tak tergiur oleh Maduwani. Kenapa anak dusun ini menolak kesempatan emas? Ataukah, ataukah... Nyai Demang gemas. Ataukah anak dusun ini sudah mempunyai "Nyai Demang" yang lain—seperti Galih Kaliki. Itu satu-satunya alasan terkuat. Hmmmmm, bahagialah wanita yang mempunyai kekasih seperti anak dusun ini. Wajahnya jatmika, tenang, dan bersih berwibawa; penampilannya jujur serta polos. Ah, siapa wanita yang begitu bahagia hidupnya? Kiai Sangga Langit bersuara pelan, sehingga lamunan Nyai Demang buyar. Nyai Demang mengatakan persyaratan apa yang diminta oleh Upasara. Kiai Sangga Langit bertanya apa yang bakal diminta Upasara. "Tak nanti saya minta Kiai Sangga Langit bunuh diri atau pulang ke negaranya atau mengajari ilmu silat. Saat ini saya tidak berpikir untuk menghinanya. Kalau ia cemas apa yang saya minta, apakah ia juga sudah bersiap bahwa saya bisa memecahkan permainannya?" Selesai Nyai Demang menerjemahkan, Kiai Sangga Langit melompat ke atas arena. Mengangkat kedua tangan dengan cara sedikit menghormat. Lalu berteriak nyaring. Bagian tengah panggung itu masih terdiri atas tanah berbatu-batu yang diratakan. Di beberapa tempat yang agak pinggir ditambahi dengan papan. Tanah berbatu-batu cukup keras juga, dan justru tempat itulah yang dipilih Kiai Sangga Langit. Sehabis berteriak menghimpun tenaganya, kakinya melangkah dengan tumit untuk berpijak. Sehabis satu langkah tubuhnya berputar. Dan tanah di bawahnya menjadi berlubang besar. Menganga. Upasara menyedot udara keras-keras. Ini baru namanya demonstrasi tenaga dalam yang dahsyat. Membuat tanah berlekuk hanya dengan menginjaknya. Dalam sekejap terlihat sembilan pasang lekukan yang dalam. Rapi berpasangan. Di masing-masing ujung ada lubang yang sangat besar, lebih besar dari sembilan lekukan yang berpasangan. Belum hilang kagetnya, Upasara melihat Kiai Sangga Langit meloncat dengan cara berjumpalitan, berlingkaran menuju pinggir panggung. Dari sisi paling tepi tubuhnya meloncat ke atas, menuju pohon asam. Ringan sekali tubuhnya melayang, bagai kupu-kupu raksasa. Hanya saja ketika menyentuh pohon, kakinya menendang kuat. Seketika pohon asam tergetar dan daunnya rontok. Berikut buahnya! Sehabis menendang, tubuhnya melayang lagi, meraup buah asam yang berjatuhan, lalu kembali menendang pohon dengan keras, dan menangkap kembali guguran buah asam. Beberapa penonton malahan bubar. Terasa ada yang mengerikan. Upasara merasa lehernya tegang. Ini benar-benar pameran pengendalian yang luar biasa. Tenaga keras ketika membuat lekukan di tanah, tenaga keras ketika menendang pohon, tapi juga sekaligus pameran kelembutan dengan tubuh melayang menyambut buah asam. Pantas dan tepat Ngabehi Pandu memujinya! Kiai Sangga Langit melompat kembali ke tengah arena. Bibirnya seperti tersenyum penuh kemenangan. Tangannya bergerak meskipun tetap terkepal. Tangannya bergerak-gerak dalam diam. Seperti memeras buah asam. Memang itulah yang dilakukan. Dalam sekejap kulit buah asam berikut buahnya berhamburan ke tanah bagai bubuk. Sedang biji asam yang hitam dilemparkan ke dalam lubang. Setiap lemparan, sembilan biji masuk ke dalam lubang. Begitu terus-menerus diulangi. Hingga delapan belas lubang itu masing-masing berisi sembilan biji asam! Upasara tahu bahwa dalam dunia ini ada ilmu Bokor Sewu. Yaitu cara latihan setiap malam harus bisa menghancurkan seribu buah bokor— sejenis buah-buahan yang kulitnya sangat keras. Hanya dengan memencet saja hingga hancur. Tapi yang diperlihatkan Kiai Sangga Langit lebih dari itu. Biji asam yang biasa disebut klungsu itu masih utuh. "Anak dusun, inilah permainan itu. "Kau sudah siap?" "Yang begini anak-anak juga bisa melakukan. Permainan lakon semacam ini apa susahnya?" Lakon atau congklak memang biasa menjadi mainan dalam Keraton. Upasara merasa lega, karena paling tidak mengenal cara permainan itu. Namun ia juga sadar, bahwa dalam permainan itu ada sesuatu yang harus dilakukan. "Kiai Sangga Langit di negaranya tadinya adalah imam negara yang sangat dihormati. Beliau datang ke tanah Jawa bersama Meng-ki, yang telah diusir. Karena secara keprajuritan beliau bukan anggota resmi, beliau bisa tinggal di sini. Merasa sayang meninggalkan tanah Jawa begitu saja, padahal di sini banyak jago silat dan permainan. "Salah satu permainan yang dikenal adalah permainan lakon. Menurut Kiai Sangga Langit, permainan ini datang ke tanah Cina lewat permainan yang dibawakan oleh Tat Mo Tosu. Imam Besar Tat Mo adalah pendiri Shao Lin yang sangat terkenal hingga sekarang ini. Imam Besar atau Imam Agung Tat Mo menjalankan ajaran Budha. "Salah satu ajaran yang diketahui oleh Kiai Sangga Langit adalah Sembilan Jalan Budha. Sembilan jalan itu ditunjukkan oleh sembilan lubang dalam lakon. Bagian yang menghadap ke arah kamu, adalah bagian yang kau jalankan. Sedang bagian yang dihadapi Kiai Sangga Langit adalah miliknya. "Kau mengerti, anak dusun?" "Cukup jelas, Mbakyu. Saya siap bertanding." "Tidak. Kiai Sangga Langit tidak menghendaki bertanding. Kiai Sangga Langit hanya menghendaki kau memainkan lakon itu. Dalam satu langkah tanpa henti. Kalau kau bisa memasukkan separuh biji yang kau miliki ke dalam lumbung, kau dianggap berhasil memecahkan. "Modal yang menjadi milikmu adalah sembilan biji kali sembilan. Atau 81 biji. Nah, kalau kau sekali jalan bisa memperoleh 41 biji, kau sudah dianggap menang. Karena itu berarti kau sudah bisa menempuh separuh dari Sembilan Jalan Budha. Perjalanan berikutnya tak terlalu menentukan. "Kalau kau sekali jalan hanya bisa mendapatkan empat puluh biji, kau gagal. Kau tak disinari oleh sifat Budha. Berarti kau kalah. "Seperti dalam semua permainan lakon, kau harus memulai dari bagianmu sendiri. Mulai dari lubang sepuluh hingga delapan belas. Setiap kali biji asam yang kaumainkan masuk lumbung, kau harus mulai dari bagianmu sendiri. "Apa bisa mulai sekarang?" Upasara menatap ke langit. Untuk memainkan lakon tidak terlalu Sulit. Anak kecil pun bisa. Akan tetapi untuk mendapatkan biji paling sedikit 41, bukan hal yang mudah. Kalau saja ada Ngabehi Pandu, mungkin bukan hal yang sulit. Tidak, Ngabehi Pandu pun belum tentu bisa memecahkan rahasia dalam waktu cepat. Hanya Mpu Raganata yang mampu! Ya, Mpu Raganata memiliki Weruh Sadurunging Winarah, yang bisa untuk menguasai segala jenis permainan atau jurus-jurus baru. Hanya Mpu Raganata! Tapi sejauh ini Upasara baru bertemu sekali saja. Upasara hanya mengenal dari penuturan Ngabehi Pandu. Ia pernah sangat penasaran dan menanyakan apa sebenarnya ilmu Weruh Sadurunging Winarah itu, dan kenapa gurunya selalu membanggakan itu? "Ilmu itu sendiri tak diberi nama apa-apa. Hanya disebut sebagai Weruh Sadurunging Winarah. Saya pernah berguru mengenai hal itu, akan tetapi sulit memahaminya. Mpu Raganata hanya memakai perbandingan: Bahwa bila kau menjadi katak, kaulah yang seharusnya menutupi liang. Bukan liang itu yang menyelimuti dirimu. Tapi kau tak bisa mengatakan ini ilmu Kodok Ngemuli Leng, Katak Menyelimuti Liang, meskipun itu yang dikenal. Dalam dunia silat selalu dikenal nama yang seram-seram untuk memperhebat. Tapi kita terjebak lagi. Terjebak dalam nama jurus, yang padahal itu adalah bungkus. Padahal itu adalah leng, liang, bukan kodok, katak. "Ngabehi, kita sekarang ini duduk berhadapan. Kalau kutanya kita di mana, kau bisa menjawab di ruang pendopo. Itu betul secara wadag, secara fisik. Tapi salah, sebab bukan itu yang wigati, yang penting. Yang benar ialah ruang pendopo ini berada dalam diri kita. "Setiap kali kita harus tanggap ing sasmita, peka kepada isyarat. Dengan mengembalikan ke ilmu katak tadi. Katak tidak berada dalam liangnya. Liang itu berada dalam katak. "Ketika kau menciptakan jurus-jurus Banteng Ketaton, aku bisa menebak bentuk kasarnya. Kalau kaupamerkan satu jurus saja, pembukaan, aku bisa menebak ke arah mana serangan. "Ngabehi, ketika Baginda Raja banyak mengirimkan para senopati ke tanah seberang, saya sama sekali bukan tidak menyetujui. Saya ini apalah dibandingkan Baginda Raja yang menerima wahyu. "Tapi marilah kita lihat. Kau bisa melihat bahwa Raja Muda Gelang-Gelang sedang menghimpun kekuatan. Ketika ini terdengar oleh Baginda Raja, malahan saya dituduh mencari perkara dengan menebarkan bibit pertengkaran. Baginda Raja sama sekali tak percaya bahwa Raja Muda Gelang-Gelang berniat kraman. Selama ini makanan, pakaian, rumah, kehormatan diberikan padanya atas kebaikan Baginda Raja. | |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:15 pm | |
| Episode 3
"Kedurhakaan yang paling keji pun tak akan seperti itu. "Nah, inilah yang kumaksudkan dengan ilmu katak itu. Kalau Baginda Raja melihat dari pandangannya saja, mengukur dari pribadi Baginda Raja, memang tidak mungkin. Akan tetapi akan berbeda hasil akhirnya, jika saja Baginda Raja menempatkan dirinya sebagai Raja Muda Gelang-Gelang. "Susah, susah, tapi juga mudah. "Tak ada yang luar biasa. Aku bukan nujum, bukan ahli ramal. Dengan perasaan pun bisa. Semua manusia menerima kodrat bisa memainkan Weruh Sadurunging Winarah asal mau melatihnya, "Dasarnya cuma satu. Kekosongan pikiran diri sendiri, dan menjadi apa yang dipikirkan. Kalau kau ingin tahu apa yang dilakukan Raja Muda Gelang-Gelang, kau harus membebaskan dirimu sendiri. Kau harus mengosongkan dirimu, sehingga bisa menyelimuti Raja Muda Gelang-Gelang. Menguasai Raja Muda Gelang-Gelang dan tahu apa yang akan dilakukan. Pada saat yang bersamaan kau menjadi dirimu dan mengalahkannya. "Kita berdua bisa berlatih mengosongkan pikiran. Tetapi kamu terlalu sungkan denganku, Ngabehi. Kau tak akan pernah bisa mengalahkanku. Dalam pertandingan satu lawan satu, semua langkahmu mudah kutebak. Karena kau terlalu menghormat padaku, pun andai aku telah berbuat jahat—amat jahat padamu. "Di seluruh dunia ini hanya Eyang Sepuh yang sama sekali tak berani kulawan. Membayangkan bertanding pun tak pernah terpikirkan. Karena aku tak berani. Aku kalah dalam mengosongkan pikiran lawan Eyang Sepuh. "Ngabehi, apakah kita akan berlatih?" Saat itu Upasara merasa kelewat penasaran. Begitu seringnya Mpu Raganata disebut-sebut dengan sangat hormat. Dan Mpu Raganata sendiri menyebut-nyebut Eyang Sepuh. Upasara ingin sekali menjajalnya sendiri! Tapi justru karena rasa gusarnya dulu, ia jadi terus teringat. Beberapa kali Ngabehi Pandu membicarakan apa yang dibicarakan dan kadang berusaha memecahkan bersama. Kini Upasara berniat menghadapi beberapa petunjuk tidak langsung itu. "Mpu Raganata, maafkan hamba...." Upasara menghaturkan sembah dengan khidmat. Menarik napas dalam-dalam. Memulai. Pertama, mengangkat biji asam di lubang sepuluh. Itulah memang permainan awal. Sehingga dengan demikian akan berakhir di lumbung, dan ia bisa memulai lagi sesukanya. Lalu memulai lagi mengangkat biji asam di lubang delapan belas. Yang sekarang berisi sepuluh biji. Yang pertama masuk lumbung, lalu masuk lubang satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, dan berakhir di lubang sembilan—yang kini isinya menjadi sepuluh. Diangkat lagi, dimasukkan lubang sepuluh, sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas, enam belas, tujuh belas, delapan belas, satu demi satu, dan kembali berakhir di lumbung. Langkah ketiga tak terlalu sulit. Dari lubang delapan belas, tinggal memasukkan ke lumbung. Kini berarti lumbungnya sudah berisi empat. Baru empat, dari paling tidak harus bisa mencapai 41 biji. Kiai Sangga Langit berdehem kecil. Langkah kelima memang mulai mengandung komplikasi. Kalau tadi bisa dengan mudah dihitung, ia harus sangat cermat. Keliru satu biji saja, bisa-bisa hancur berantakan. Nyai Demang menahan napas. Ia mengenal permainan lakon ini dengan baik. Kalau Upasara mulai dari lubang sepuluh, seperti permulaan tadi— memang secara berhitung kasar bisa begitu, sebelum langkah kesembilan belas ia harus mati. Ini berarti lumbungnya baru terisi sepuluh. Tambah yang ada di depannya, karena ditembak, isinya belum mencapai 25. Ternyata Upasara mulai dari lubang kesebelas sebagai langkah kelima. Lubang kesebelas isinya sebelas, berakhir di lubang tiga yang isinya menjadi sebelas juga, dan berakhir di lubang ketiga belas yang isinya tiga belas, dan ini akan berakhir di lubang ketujuh yang isinya dua belas. Dari sini berakhir di lumbung lagi. Selamat! Berarti kini Upasara menyimpan enam biji di lumbung! Sampai di sini, Nyai Demang masih bisa memainkan. Karena perkembangan biji asam di setiap lubang masih bisa diperhitungkan. Akan tetapi mulai langkah kesembilan, variasi makin banyak. Kini hampir semua isi dalam lubang sudah tak ada yang sembilan biji lagi! Perubahan ini tak boleh dihitung lebih dulu. Hanya berdasarkan ingatan saja. Nyai Demang dikenal sangat cerdas dalam menganalisa dan belajar soal seperti ini. Dan ia membanggakan dirinya, karena ia bisa berbicara dengan Kiai Sangga Langit. Banyak kesalahan dalam menangkap arti bisa terjadi, akan tetapi secara keseluruhan ia bisa mengetahui artinya! Tapi untuk memulai langkah kesembilan dari lubang mana, bukan hal mudah. Kalau Upasara mulai dari lubang sebelas, dalam tiga langkah berikutnya ia akan mati. Tapi bukan Upasara kalau ia memilih lubang sebelas untuk dimainkan. Dalam banyak hal yang berhubungan dengan angka serta cara hitung-menghitung, Upasara seperti menemukan hafalan lama. Selama dua puluh tahun ia dikurung untuk hal-hal seperti ini. Menghafal, berhitung luar kepala, mempraktekkan. Sehingga dibandingkan orang lain, Upasara sudah belajar mengenai hal ini selama dua puluh tahun. Dan tak pernah tersentuh oleh kegiatan lain. Upasara mulai langkah kesembilan dari lubang tujuh belas. Dan di langkah kesembilan belas, ia masuk lumbung lagi. Langkah dua puluh tinggal menaikkan dari lubang tujuh belas. Di langkah kedua puluh, Upasara telah mengumpulkan dua belas biji. Langkah ke-21, Upasara mulai lubang enam belas. Pikirannya sederhana, karena dari lubang enam belas berisi dua puluh biji, dan dengan demikian akan menutup seluruh putaran, dan ia tak akan mati langkah. Demikianlah dengan kecerdikan dan perhitungan matang, Upasara terus memainkan biji asam. Kiai Sangga Langit berdecak pelan, mengawasi dengan cermat. Sampai dengan langkah ke-34, Upasara sudah memasukkan ke dalam lumbung sebanyak 22. Bagi Nyai Demang itu sudah suatu prestasi yang hebat. Tapi untuk angka yang ditentukan Kiai Sangga Langit, itu masih separuh. Sampai di sini Kiai Sangga Langit berjalan mendekat. Siapa pun tahu bahwa kini langkah yang paling menentukan. Upasara mendongak ke arah langit. Bibirnya berkumat-kamit menghafalkan angka di dalam lubang. "Lubang kesepuluh berisi 25, lubang kesebelas berisi enam, lubang kedua belas berisi dua belas, lubang ketiga belas berisi lima belas, lubang keempat belas berisi enam, lubang kelima belas berisi lima, lubang keenam belas berisi empat, lubang ketujuh belas tidak ada isinya alias kosong, lubang kedelapan belas berisi enam. "Aha, dari mana aku harus mulai? "Di depan lubang kesatu berisi tiga, lubang kedua berisi delapan, lubang ketiga berisi sembilan, lubang keempat berisi satu, lubang kelima berisi tiga, lubang keenam berisi 25, lubang ketujuh berisi sepuluh, lubang kedelapan berisi dua, lubang kesembilan tidak ada isinya alias kosong. "Yang menjadi petaka yang mematikan bukan hanya lubang kesembilan dan lubang ketujuh belas. Tapi adalah perubahannya. Mulai dengan lubang kelima belas, keenam belas, ketujuh belas sama dengan bunuh diri dalam langkah pertama. Mulai dari lubang kedelapan belas, menguntungkan karena panjang. Akan tetapi itu berakhir di lubang keenam dan mengambil isinya sebanyak 25. Akan tetapi berarti itu dibagi rata. Susah untuk nembaknya. "Langkah lainnya penuh risiko. "Susah sekali." Upasara merenggangkan tangannya. Menggeliat. Lalu memandang ke atas lagi. "Ini kesempatan saya mengambil yang terakhir. Entah bisa panjang atau tidak. Tak mungkin bisa berakhir di lumbung lagi. Tak apa. "Kalau bisa nembak yang terbesar, itu sudah cukup." Upasara menggerakkan lubang kesepuluh yang berisi 25 biji. Langkahnya berakhir di langkah ke-41, akan tetapi ia berhasil menyikat biji di depan lubang ketiga belas. Berhasil menyikat lubang di depannya. Isinya paling banyak, yaitu 28 biji. Dengan lumbungnya yang sudah berisi 26, semuanya berjumlah 54 biji! Upasara meloncat ke atas, dan tertawa bergelak. Nyai Demang berusaha menghitung, akan tetapi Upasara mendiktekan jumlah yang ada. "Katakan kepada Kiai Sangga Langit. Kalau ia ingin meneruskan permainan, jumlah akhir nanti tak akan pernah bisa dimenangkannya. Kalau tidak percaya, silakan jajal." Nyai Demang jadi ragu. Kiai Sangga Langit memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangannya. Tubuhnya tetap tegak. Lalu mengganti dengan menyembah. "Anak muda, sungguh luar biasa. Imam Tat Mo akan sangat bahagia di nirwana sana. Tak sangka, hari ini ada yang bisa memecahkan permainan yang usianya ratusan tahun dengan sekali gebrak. Luar biasa, luar biasa. Selamat, selamat...," Nyai Demang menerjemahkan per kata. "Kini kau sudah menang mutlak. Nah, katakan apa permintaanmu." Upasara menggeleng. "Jangan terlalu memuji. Sebenarnya saya yang rendah ini kebetulan bisa menghitung di luar kepala. Itu saja. "Mengenai permintaan saya, sampai saat ini saya belum mempunyai permintaan apa-apa. Lupakan saja. Sembah hormat kembali untuk Kiai Sangga Langit." "Karena anak muda tak meminta apa-apa, apakah Kiai Sangga Langit boleh meminta sesuatu?" "Asal saya bisa memenuhi, akan saya lakukan." "Kiai Sangga Langit hanya minta anak dusun menyebutkan asal-usul, nama perguruan, agar di belakang hari bisa mengundang." Upasara menghela napas. Berat. Kegirangan yang melonjak tinggi ketika merampungkan permainan tadi jadi sirna. "Saya telah mengatakan sesungguhnya. Saya biasa dipanggil Upa. Nama perguruan saya tidak perlu disebutkan karena sudah lama bubar—sudah sejak lama. Mengenai asal-usul, saya sendiri tidak tahu. Saya menyebut Bapak Toikromo, karena beliau pernah menolong saya." "Istri, saudara..." "Istri saya belum berani memiliki, karena saya masih luntang-lantung seperti ini. Saudara... saya tak pernah tahu. O, tidak, saya mempunyai saudara angkat. Ia seorang senopati dari Gelang-Gelang. Kami baru saja saling mengangkat saudara. Agak susah saya menyebutkan, karena kami saling berjanji untuk tidak membuka kepada orang lain. "Kiai Sangga Langit, masih adakah yang Kiai minta?" Selesai Nyai Demang menerjemahkan, sekali lagi Kiai Sangga Langit memberi hormat dengan dua cara. Ketika itu Bagus Respati mulai membuka matanya. Bersamaan dengan Galih Kaliki. Keduanya berdiri dan melihat Kiai Sangga Langit sedang memberi hormat kepada Upasara. Upasara membalas dengan menundukkan badannya. "Kiai Sangga Langit mempunyai beberapa hadiah, kalau kau mau menerimanya. Sebuah kitab mengenai ajaran Budha yang bisa digunakan untuk mempertajam keluhuran budi, apakah kau mau menerima?" "Terima kasih, Nyai Demang, apa gunanya kitab itu kalau saya tidak bisa membaca?" "Aku akan membacakan untukmu." Kembali sinar mata yang genit mencubit perasaan Upasara. "Kalau begitu biarlah Nyai Demang yang menerima. Dan mempelajari. Saya masih ada urusan di dusun, mohon pamit." Upasara berbalik ke arah Galih Kaliki. "Paman Galih, maafkan semua kelancangan saya. Saya mohon pamit. Jangan lupa mengundang saya ke perkawinan nanti." Galih Kaliki tertawa bergelak. "Kau masih muda, gagah, dan sedikit congkak. Aku, Galih Kaliki, suka padamu. Selamat, anak muda." Upasara berbalik ke arah Bagus Respati. "Kakang Raden Mas..." "Terima kasih, Upa... Tak akan pernah kulupakan kebaikanmu. Datanglah ke dalem kepatihan." Upasara menghaturkan sembah. Lalu perlahan berjalan turun dari panggung. Nyai Demang meloncat maju. "Apakah kamu juga akan berlalu kalau saya mengharap tinggal barang sebentar?" Upasara menunduk. Tak berani menatap mata Nyai Demang. "Buku silat yang dihadiahkan Kiai Sangga Langit adalah buku pilihan. Juga di negerinya sendiri. Sungguh kurang enak kalau kamu menolak begitu saja." Upasara mengangguk. "Kita mengadakan makan malam bersama, dan setelah itu kamu bisa pergi ke mana saja. Menjumpai kekasihmu...." "Saya akan tinggal sebentar, Mbakyu...." Malam itu juga diadakan perjamuan sederhana. Bagus Respati hanya menikmati sebentar, lalu berpamitan untuk pergi keesokan harinya. Ia akan segera berangkat bersama Dyah Muning dan mempersiapkan upacara. Galih Kaliki menepuk-nepuk pundak Upasara. "Pergilah bersama Nyai Demang. Ia akan membacakan isi kitab itu padamu." Upasara merasa kikuk. "Di dunia ini semua lelaki pasti tertarik kepada Nyai Demang. Baik diam-diam atau terang-terangan. Akulah yang paling tergila-gila. Aku menyadari ini ketololan yang luar biasa. Tapi aku suka terseret arus perasaan seperti ini. Indah sekali. Anak muda, kamu beruntung malam ini." "Paman Galih, karena Paman menganggap saya sebagai keluarga sendiri, kenapa kita tidak bersama-sama mendengarkan apa yang dikatakan Nyai Demang?" Dalam suatu tenda, malam itu Kiai Sangga Langit menjelaskan beberapa bagian yang diterjemahkan oleh Nyai Demang. Upasara berusaha mendengarkan dengan segenap perhatian. Hanya saja beberapa kali perhatian tertuju pada gerak bibir Nyai Demang. Benar juga kalau semua lelaki tertarik kepada Nyai Demang. Cukup beralasan kalau Galih Kaliki, meskipun sudah menyadari ketololannya, masih tetap tergoda. Nyai Demang memang mempunyai daya tarik, dan bisa memanfaatkan kelebihan ini. "Buku ini mengandung ajaran cara melatih pernapasan. Intinya lebih berguna untuk menjaga agar badan tetap sehat, panjang umur, dan memperoleh kebahagiaan. Kiai Sangga Langit mendapatkan dari orang-orang Cina. Agak bertentangan dengan ilmu Mongol yang mengandalkan kekerasan. Namun cara melatih pernapasan ini ternyata mempunyai manfaat besar. Terbukti dari jago-jago di daratan Cina yang makin tua justru makin perkasa." Setelah larut, Upasara meminta diri. Sekaligus pamitan besok pagi akan menemui ayahnya, Pak Toikromo. Ia kembali ke tenda. Bagi Upasara yang penting bisa istirahat dan besok pagi melanjutkan perjalanan. Maka setelah bersemadi, Upasara mulai berbaring. Galih Kaliki yang berada di sampingnya sudah langsung mendengkur. Mungkin karena capek, mungkin karena tadi minum tuak secara berlebihan. Baru memejamkan mata sekejap, Upasara mendengar satu gerakan. Desir angin yang lain. Sebagai seorang yang terlatih, Upasara melihat ada sesuatu yang tidak beres. Gerakan mengentengkan tubuh dengan perlahan, mencurigakan di larut seperti ini. Apalagi bukan gerakan satu orang. Upasara bangkit. Lalu berjalan perlahan keluar dari tenda. Sesaat masih melihat dua bayangan berkejaran. Cepat sekali Upasara meloncat ke arah dua bayangan. Belum lama mengejar, dua bayangan itu sudah terlibat dalam pertempuran. Upasara tahu bahwa bayangan yang dikejar adalah Nyai Demang. "Kalau berani kurang ajar padaku, ayo kita jajal di sini." "Perempuan murahan, untuk apa kamu menolakku? Jangan paksa aku melakukan itu dengan kekasaran. Kita nikmati malam yang indah ini." Suara yang satunya seperti dikenal oleh Upasara. Hanya saja tidak begitu jelas, karena memakai kain yang dikerudungkan menutup seluruh tubuh. "Majulah kalau kamu memang ksatria." "Aku juga laki-laki yang bisa menaklukkanmu. Malam ini. Dan aku ingin menjadi orang senewen seperti Galih Kaliki. Ayo, Nyai Demang, kita bermain-main sebentar." Bayangan berkerudung itu langsung menyerang Nyai Demang. Nyai Demang menghindar. Dalam beberapa saat keduanya sudah terlibat dalam pertempuran. Meskipun Nyai Demang termasuk unggul, namun masih setingkat di bawah penyerangnya. Kelebihan Nyai Demang ternyata lebih bersifat teori. Gerak pukulannya tepat, bagus, dan mengena. Akan tetapi tenaga pendukungnya tidak cukup membantu. Sehingga dengan mudah ditangkis. Melewati sepuluh jurus, Nyai Demang sudah di bawah angin. Lima jurus berikutnya, kaki Nyai Demang kena serampang, dan tubuhnya terbanting. Dengan satu tangan menotok ke arah pinggang, penyerang berkerudung itu berhasil memeluk Nyai Demang. "Apa lagi?" Nyai Demang menggigit bibirnya. Kakinya yang lepas berusaha menendang dari belakang. Sekali lagi, dengan mudah bisa disampok. Dan ketika pegangan dilepaskan, tubuh Nyai Demang terbanting ke tanah. Upasara tidak merasa perlu turut campur, sebenarnya. Akan tetapi merasa kurang enak melihat Nyai Demang diperlakukan dengan kasar. Maka Upasara melompat ke tengah. Bayangan berkerudung melihat Upasara. "Oh, kamu, Upasara." Upasara melengak. Baru ia sadar siapa yang dihadapi. "Kang Bagus Respati... maaf, mengganggu masalah pribadi... saya kira..." Upasara segera berbalik membuang wajah. "Haha... di dunia ini masih ada lelaki sejujur kamu. Betul-betul luar biasa...." Tanpa menoleh kiri-kanan Upasara terus kembali ke tenda. Melihat Galih Kaliki masih tidur mendengkur. Ah, apakah pikirannya akan berubah jika melihat apa yang dilakukan Nyai Demang? Entahlah. Upasara tidak mau berpikir lebih jauh. Hanya ia merasa bersalah mencampuri urusan Nyai Demang dengan Bagus Respati. Mereka berdua ternyata memang lagi "bermain-main". Tokoh macam apakah Nyai Demang itu? Tak bisa masuk di benak Upasara. Hanya saja sejak melihat kejadian itu, Upasara tidak begitu tertarik lagi dengan Nyai Demang. Hanya saja Upasara juga tidak mengerti bagaimana sikap Bagus Respati sebenarnya. Setelah memperoleh putri Cina dalam sayembara, kenapa masih mengejar Nyai Demang? Upasara melanjutkan perjalanan, dengan beberapa pikiran yang masih mengganggu. Akan tetapi ia tidak memedulikan. Pikiran itu terbuang dengan sendirinya. Karena memang sejak masih bayi tak pernah terlibat dengan keusilan. Harapannya cuma satu: menyampaikan berita ke Keraton! Selewat fajar, Upasara sampai di Keraton. Ia merasa bingung karena tak tahu harus menghubungi siapa. Ngabehi Pandu tak ada di tempat. Senamata Karmuka juga tak bisa dihubungi. Maka ketika ia mengatakan akan sowan kepada Baginda Raja, prajurit penjaga hanya melengak saja. "Kami mengetahui dirimu, anak muda. Kamu dari Ksatria Pingitan. Kamu membawa tanda untuk masuk ke Keraton. Akan tetapi untuk bisa melihat bayangan Baginda Raja, apakah kamu mempunyai alasan untuk itu?" "Dengan paksa atau baik-baik saya akan sowan kepada Kanjeng Sinuwun." Mendengar jawaban itu para prajurit bersiap dan mengurungnya. Upasara mendongak. "Kalau kalian memaksa terus, akan terjadi sesuatu yang tidak kalian inginkan." Upasara bertindak maju. Dengan membawa cincin Keraton, Upasara bisa terus melangkah maju ke dalam. Para prajurit tak ada yang berani menyerang. Hanya sekadar berjaga. Sampai di balairung, tempat menghadap, Upasara duduk bersila. Upasara tetap tidak bergeser. Ia terus bersila di balairung, tertunduk, sama sekali tak beringsut. Dari pagi hingga tengah hari sampai menjelang petang. Beberapa pengawal utama tak berani menegur atau mengusik, hanya mengawasi dari kejauhan. Ketika penerangan Keraton dinyalakan, dan bayangan tubuh Upasara bergerak-gerak, ketika itulah terdengar langkah kaki memasuki balairung. Beberapa pengawal berjalan membentuk barisan di sebelah kiri dan kanan. Bersila di bawah. Beberapa saat kemudian sebuah langkah ringan menuju ke tengah. Semua yang hadir menghaturkan sembah. Upasara tetap menunduk. "Anak muda yang keras kepala, apakah kau Ksatria Pingitan?" Barulah tangan Upasara bergerak, menghaturkan sembah yang khidmat. Sorot matanya tetap menunduk. Akan tetapi sempat menangkap sosok tubuh yang gagah perkasa, yang dadanya telanjang dan berbulu. Dengan kalung panjang berbentuk segi tiga. Melingkari leher secara terbuka, dan bertemu sedikit di atas pusar. Kain yang dikenakan sangat bagus, dan ujung keris menonjol dari belakang. Ditopang dengan sepasang kaki yang bersih kukuh, ditumbuhi bulu-bulu keriting. Rambutnya digelung di atas kepala, memberi kesan sangat gagah. "Nun inggih... saya yang rendah bernama Upasara Wulung," suaranya penuh rasa hormat, "...saya menghaturkan sembah bekti, Mahapatih yang mulia." Mahisa Anengah Panji Angragani seperti berdecak bibirnya. "Apa maksudmu memaksa diri bersila di sini?" "Saya mohon izin Mahapatih yang mulia untuk sowan kepada Baginda Raja. Hanya dengan perkenan Mahapatih yang mulia, saya yang rendah bisa sowan di hadapan Baginda Raja, penguasa tunggal Keraton." Kembali terdengar decakan suara di bibir. "Sudah lama kudengar makin banyak pemuda yang berbuat kurang ajar dan ugal-ugalan. Hari ini aku menemukan sendiri. Upasara, apakah karena kau merasa bekas Ksatria Pingitan, sehingga bisa begitu mudah meminta izin untuk sowan Baginda Raja? "Ksatria Pingitan sudah lama dibubarkan, karena hanya memboroskan keuangan Keraton. Sudah tidak ada artinya lagi. Pun andai masih ada, kau tak bisa leluasa mengajukan usul seperti itu. "Apakah ada sesuatu yang luar biasa sehingga merasa perlu sowan Baginda Raja?" "Maafkan hamba, Mahapatih yang mulia. Maafkan kelancangan hamba, dan ketidaktahuan akan tata krama ini. Keberanian dan keinginan hamba hanya didasari bahwa ada sesuatu yang harus hamba sowan-kan kepada Baginda Raja. "Maafkan, Mahapatih yang mulia." "Sesuatu itu apa? Aku akan mempertimbangkan." Upasara menghaturkan sembah. "Katakan." Upasara menunduk. Pundaknya merunduk menuju satu titik di tanah. Ludahnya seperti tak bisa ditelan. Apakah ia harus memberi laporan kepada Mahapatih Panji Angragani mengenai kejadian di Perguruan Awan? Menurut pesan Jagaddhita, ia harus menyampaikan langsung kepada Baginda Raja. Akan tetapi, untuk bisa sowan, ia tak bisa menghindar dari Mahapatih. Apakah ia harus memperlihatkan dua buah gigi emas Jagaddhita? Apakah ini cukup berarti bagi Mahapatih? Tetapi jika ia tidak mengatakan... Terlambat. Mahapatih sudah berdecak lebih keras. "Upasara. Sungguh lancang! Bagaimana mungkin kau tidak menghormati dengan berdiam diri seperti itu? Bahkan Baginda Raja mempercayaiku untuk menjadi mahapatih. Untuk menjadi bahu kanan Baginda Raja. Apa yang kausembunyikan dariku, pasti akan kuketahui. "Akan kulihat apakah kau masih berusaha duduk di situ, atau menunggu aku memerintahkan untuk menendangmu." "Ampun, Mahapatih yang mulia. Sama sekali tak terpikir oleh hamba yang rendah ini untuk tak menghormati Paduka. Mahapatih yang mulia adalah sesembahan kawula, Mahapatih yang mulia adalah bahu kanan Baginda Raja yang terpercaya, akan tetapi saya ingin menyampaikan secara pribadi." Terdengar decak kecil. "Aku tak punya waktu banyak, Upasara. Kalau kau mau mengatakan, sekarang saatnya. Para pengawal ini adalah pengawal Keraton yang tak perlu diragukan lagi kesetiaannya." "Maaf, Mahapatih. Masalah ini ada sangkut-pautnya dengan peristiwa di Perguruan Awan." "Hmmmmm." "Juga mengenai rombongan Raja Muda Gelang-Gelang, serta pasukan yang dipimpin langsung oleh Maharesi Ugrawe. Mohon Mahapatih yang mulia menyampaikan kepada Baginda Raja." Terdengar tawa menggeledek. Para pengawal sempat kaget. Darah Upasara berdesir sangat cepat. "Dewa Batara... kukira tentang gempa yang dahsyat atau matahari berbalik arahnya. Tak tahunya tentang urusan begitu sepele. Kalau urusan membunuh nyamuk saja harus di-sowan-kan kepada Baginda Raja, kapan Baginda Raja ada waktu untuk memuja Penguasa Tunggal di jagat ini? "Ketahuilah, Ksatria Pingitan. Baginda Raja saat-saat ini sedang bersemadi. Tak bisa diganggu gugat, tak bisa di-sowan-i siapa saja. Dan mengenai kekuatiranmu, Baginda Raja sudah mengetahui jauh lebih dulu. Kuhargai sepenuhnya keberanianmu, tetapi itu tak ada gunanya. "Nah, sekarang kembalilah. Mulai sekarang jangan menyebut-nyebut sebagai Ksatria Pingitan lagi, karena sebutan itu sudah dibubarkan. Kembalilah ke desamu, jadilah petani yang baik. "Aku telah bermurah hati menemuimu." Mahapatih mengibaskan tangannya. "Ampunilah saya yang cubluk, bodoh, ini. Peristiwa di Perguruan Awan sangat memilukan. Saya yang rendah ini berada di sana...." "Aku adalah mahapatih. Aku menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Aku telah mengetahui dari telik sandi, dari pasukan rahasia, bahwa beberapa pendekar akan mengadakan pertemuan untuk memberontak kepada Keraton. Itu sebabnya Baginda Raja menugaskan Raja Muda Gelang-Gelang untuk menumpas sampai habis. Sampai rata dengan tanah. Aku sendiri yang memerintahkan Senopati Suro, Joyo, Lebur, Pangastuti untuk memimpin pasukan Keraton. Di samping beberapa prajurit pilihan yang lain. "Kau berada di sana dengan siapa?" "Saya diajak Ngabehi Pandu dan Pamanda Wilanda...." "Hmmmmm, sok tahu." "Beberapa dari prajurit Keraton ditawan oleh Maharesi Ugrawe. Ngabehi Pandu masih belum ditemukan, demikian juga Senamata Karmuka...." Kembali terdengar tawa menggeledek. "Lancang sekali omonganmu. "Anak lancang. Ajaib sekali. Apa yang diajarkan Ngabehi lancang itu sehingga Ksatria Pingitan begitu kurang ajar dan ngawur? "Bagaimana mungkin kaukatakan kalau Senamata Karmuka itu hilang? Selama ini Senamata Karmuka tak pernah meninggalkan Keraton! "Omongan edan apa ini?" "Seribu ampun, Mahapatih yang mulia, saya melihat sendiri...." "Cukup! Aku tak pernah bicara ngawur. Semua prajurit di Keraton bisa menilai. Bisa mengatakan apakah aku berdusta. Selama ini Senamata Karmuka berada di Keraton. Ia tak ikut ke Perguruan Awan. Aku tidak memerintahkan ke sana. Juga ia hadir dalam pasowanan agung di Keraton. Seluruh pejabat di Keraton melihatnya. Bagaimana mungkin kau edan-edanan seperti itu? "Bocah kecil, aku tak menyangka kalau kau berani berdusta di depanku. Ketika dalam Sayembara Mantu aku mendengar namamu disebut putraku, aku menyangka kau adalah ksatria yang hebat. Mewarisi keberanian Keraton. Tak tahunya cuma tukang dusta. "Tidak adil jika aku tidak menghukummu, walau kau telah menyelamatkan putraku. Prajurit, tangkap dia." Tiga prajurit memberi hormat, dan langsung menelikung Upasara. Upasara mendongak. "Saya hanya menyampaikan pesan ini. Kalau saya sengaja berdusta, saya pastilah melakukan suatu kebodohan yang tiada taranya. Saya hanya memberi laporan seperti yang saya lihat. "Sebelum Mahapatih menjatuhkan hukuman, perkenankanlah saya memohon sesuatu." Terdengar decak lidah. "Di dalam lipatan kain, ada dua buah gigi emas. Bukan senjata rahasia, bukan barang penuh bisa atau ilmu gaib. Saya mohon Mahapatih yang mulia berkenan menghaturkan kepada Baginda Raja."
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:18 pm | |
| Dengan mengeluarkan jeritan tertahan, Mo Ing rebah ke lantai. Kejadian berlangsung sangat singkat. Bersamaan dengan itu, satu bayangan melayang, dan mengangkat tubuh Mo Ing ke dalam panggulan, sekaligus melepaskan pedang dari tubuh Mo Ing, menotok jalan darah. Semua dilakukan dalam seketika. Kiai Sangga Langit berdiri gagah. Mengangguk ke arah Galih Kaliki, lalu menoleh kepada Rawikara dengan sudut mata. Lalu menjejakkan kakinya, memancal lantai, dan melayang melewati kerumunan. Kiai Sangga Langit seperti menyalahkan Rawikara. Karena Rawikara-lah yang berdiri paling dekat dengan Mo Ing. Sebenarnya kalau mau, bisa menahan tusukan pedang. Pun andai tusukan itu ditujukan ke arah Galih Kaliki. Akan tetapi Rawikara sengaja membiarkan saja. Tidak peduli siapa yang akan kena tusuk. Bagi Rawikara tidak penting benar siapa yang bakal tertusuk! Tapi yang membuat Rawikara merasa gusar adalah pandangan mata Kiai Sangga Langit. Sorot mata yang tak terucapkan itu bukan sekadar menuduh bahwa. Rawikara tak ambil peduli. Bukan sekadar membiarkan, akan tetapi justru sengaja memperlakukan dengan cara yang hina. Kiai Sangga Langit melihat, dalam sekelebatan saja, bahwa gerakan yang didemonstrasikan untuk menjebak tadi adalah gerakan yang sering diperagakan oleh Ugrawe. Bagian dari ilmu andalannya! Rawikara sendiri setengah tak percaya. Mana mungkin dari gerakan dasar Sindhung Aliwawar yang memakai tenaga putaran sebagai angin puting beliung diperagakan orang lain. Selama ini Ugrawe sendiri mempraktekkan dengan gerakan tangan. Satu tangan bergerak di atas kepala, menggebah, dan satu putaran tangan lagi menarik dengan sedotan! Dengan demikian lawan akan terhantam di bagian atas tubuhnya, dan diseret di bagian bawah tubuhnya! Galih Kaliki justru mempraktekkan dengan gerakan kaki. Yang dikombinasikan dengan tangan. Tangan menyampok ke arah luar kaki menekan ke bawah. Cara mengatur tenaga dalam seperti ini—dengan cara yang bertentangan—boleh dikatakan menjadi ciri khas ilmu andalan Ugrawe. Selama ini tak ada orang ketiga yang mempelajari. Karena cara pernapasan yang luar biasa sulit untuk mengendalikan tenaga yang berlawanan arah dan pemakaiannya. Hanya Ugrawe, melatih sendiri, dan Rawikara sebagai murid. "Bagus sekali. Satu gerakan yang luar biasa. Boleh saya mengetahui nama gerakan tadi dan dari perguruan mana? "Barangkali kita bisa berbicara lebih leluasa." "Aku tidak butuh urusan seperti itu, Pangeran. Kalau kamu berikan Nyai Demang, baru itu namanya menjawab keperluanku kemari." Rawikara mendongak ke atas langit. "Kalau hanya itu urusannya, mari kita jemput Nyai Demang." "Tunggu!" teriak Galih Kaliki gusar. "Ada apa lagi? Katanya mau ketemu Nyai Demang, tetapi sekarang pakai alotalotan segala." "Siapa suruh kamu bilang hanya itu. Soal Nyai Demang bukan soal hanya itu. Soal yang besar. Cabut kembali kata-kata itu!" Rawikara mengangguk. "Maafkan kalau ini menyinggung perasaan. Saya mengira sesuatu yang tak bisa saya lakukan. Tetapi mungkin saya bisa menolong. Selama ini Nyai Demang ada di sini. Dalam keadaan aman. Nyai Demang menjadi penerjemah Kiai Sangga Langit yang baru saja mengangkat Mo Ing. Kita bisa ke sana bersama-sama." Rawikara merenggangkan kedua tangannya. Menyilakan Galih Kaliki berjalan bersamanya. Ini adalah salah satu strategi Rawikara. Baginya Galih Kaliki seperti sengaja diciptakan untuk menjelaskan masalah yang ingin diketahui. Pertama kali tentang tulisan asmara di dinding. Kedua tentang asal-usul perguruan Galih Kaliki. Ketiga bisa menjadi kunci untuk membuka rahasia yang ada di dalam kediaman Kiai Sangga Langit. Maka Rawikara membalik penampilannya. Kalau tadi merasa perlu menghadapi keras sama keras, kini harus menghadapi dengan kelembutan. Sebagai murid langsung Ugrawe, Rawikara juga menuruni sifat-sifat Ugrawe. Malah sedikit lebih cerdik, atau licik. Dalam hati Rawikara mulai curiga kepada Ugrawe. Gurunya ini memang luar biasa saktinya. Ilmunya tak ada yang melawan. Dengan kekuasaan besar di tangannya, boleh dikatakan setiap saat bisa mengubah jalannya sejarah Keraton. Apalagi kalau ternyata telah menyiapkan bibit baru sebagai muridnya. Sebelum semua berkembang tak terkendalikan, ia bisa mengambil alih inisiatif. Agar tak bisa didikte oleh Ugrawe. Maka jalan yang diambil adalah berdamai dengan Galih Kaliki. Untuk mengorek keterangan lebih banyak. Rawikara tahu bahwa Galih Kaliki memang ugalugalan dan kasar penampilannya. Akan tetapi sifatnya jujur dan tak mempunyai prasangka yang aneh-aneh. Dari keinginannya yang mengabaikan kepentingan lain, hanya sekadar mencari tahu Nyai Demang, hal ini sudah memberikan bukti kuat. Maka rombongan pun menuju ke kediaman Kiai Sangga Langit. "Nyai Demang, ini aku, Pangeran Anom Rawikara... membawa seorang sahabat yang ingin menemuimu. Maukah kamu keluar barang sebentar?" Tak ada jawaban. "Nyai Demang, kalau Nyai tak mau keluar, biarlah aku yang masuk ke dalam. Maaf kalau kurang menghormati Kiai Sangga Langit, si pemilik rumah. Aku sudah minta izin baik-baik." Pintu terbuka. Kiai Sangga Langit berdiri di tengah pintu. Kukuh, bergeming. "Kiai Sangga Langit..." Tangan Kiai Sangga Langit mengibas. Terdengar suara nyaring dari dalam. "Hari ini Kiai Sangga Langit tak mau menerima tamu. Ia akan mengobati Mo Ing. Harap datang lain waktu." "Nyai Demang... itu suaramu. Akulah garam yang tak bisa dipisahkan dari laut birumu." Galih Kaliki meloncat, menerobos masuk. Kiai Sangga Langit mengangkat sebelah tangan. Dalam meloncat Galih Kaliki mengayunkan tongkat dengan keras sekali. "Minggir kamu, hantu sawah...." Kiai Sangga Langit tak menggeser tangannya. Sebat sekali mengangkat tongkat yang terayun ke arahnya. Dengan memusatkan tenaga, tongkat itu bisa digenggam dan dipelintir keras. Tubuh Galih Kaliki jadi ikut berputar. Ngilu menyerang seluruh saraf tangannya. Tak bisa ditahan lagi, terpaksa Galih Kaliki melepaskan pegangannya. Sebagai gantinya, kaki Galih Kaliki menyepak keras, jurus slentakan jaran yang perkasa. Kiai Sangga Langit tetap tak menggeser kakinya, hanya mengubah tangannya yang kini memegang tongkat untuk menangkis. Galih Kaliki, seperti diduga, tak menarik kakinya. Tapi mencungkil ujung tongkat. Tongkat berputar ke arah wajah Kiai Sangga Langit, yang mengeluarkan suara dingin dari bibirnya, menangkis ke luar. Tongkat terayun, dan dengan berjumpalitan Galih Kaliki bisa menangkapnya. Berdiri di tempatnya semula. Satu gebrakan yang luar biasa. Galih Kaliki tidak kehilangan muka dalam serangan ini. Meskipun ia harus jungkir-balik tidak kepalang tanggung. Kedudukan masih sama, akan tetapi jelas bahwa Galih Kaliki setidaknya berada tiga tingkat di bawah Kiai Sangga Langit. Rawikara sejenak ragu bertindak. Saat itu mendadak terdengar gong kecil dipukul ringan. Semua kegiatan terhenti mendadak. Seorang prajurit menghaturkan sembah sambil berjongkok. "Maaf. Baginda Raja berkenan memanggil Pangeran Anom." Panggilan dari Raja, tak bisa ditawar sedikit pun. Rawikara mengangguk. "Saya akan menghadap sekarang juga," katanya lembut kepada prajurit. Lalu menoleh ke arah Galih Kaliki. "Saya merasa bahagia kalau setelah menerima dawuh Raja kita masih bertemu lagi. Soal Nyai Demang..." Suara Rawikara berubah agak tinggi. "Nyai, saya meminta Nyai menemui... saya meminta dengan segala kerendahan hati. Di belakang hari utang budi ini akan selalu saya ingat." Terdengar jawaban dari dalam rumah. "Saya mau menerima saat bulan purnama, seperti yang dijanjikan." "Baik kalau begitu," teriak Galih Kaliki manggut-manggut. Lalu duduk di depan pintu. "Pangeran, kamu masuk ke dalam Keraton karena ada urusan. Aku akan menunggu di sini sampai bulan purnama. "Kalau hantu sawah itu mau bikin gara-gara, aku masih bisa menghadapi." Rawikara tak mempunyai pilihan lain. Ia mengangguk dan segera berlalu. Masuk ke dalam Keraton. Menyembah, berjongkok, dan kemudian mengambil tempat agak di sudut. Ugrawe ternyata telah duduk di situ pula. Yang agak mengherankan Rawikara ialah, bahwa ada suatu bayangan tubuh yang duduk khidmat di dekat singgasana Raja Jayakatwang. Seorang lelaki tua, yang menunduk dan tangannya tak pernah berhenti memegang biji-biji tasbih. Dia adalah Waisesa Sagara. Rawikara tidak terlalu mengenal siapa Waisesa Sagara. Yang diketahui hanyalah: Ia satu-satunya pejabat Keraton semasa pemerintahan Baginda Raja Kertanegara yang sekarang masih mempunyai posisi tinggi dan jabatan utama. Malah boleh dikatakan naik pangkat. Kalau dulu menjadi penasihat rohani dan sekaligus dukun peramal Mahapatih Panji Angragani, orang kedua di Keraton Singasari, sekarang malah penasihat rohani orang nomor satu di Keraton! Baik Rawikara maupun Ugrawe tak berani mempersoalkan atau mengungkit masalah ini kepada Raja Jayakatwang. Karena ini merupakan hak pribadi seorang raja untuk memilih pembantu terdekatnya. Bagi Rawikara, ketidaksukaan Ugrawe pernah tercetus walaupun tidak langsung. Namun kemudian, Rawikara menyadari bahwa Ugrawe mempunyai perhitungan sendiri. Bahwa pengaruh Waisesa Sagara tak akan menjadi besar, selama ia tidak diberi kekuasaan apa-apa. Selama Waisesa Sagara hanya berurusan dengan tasbihnya dan mulut yang terus-menerus berkomat-kamit. Terdengar gong dipukul pelan. Serta langkah kaki yang ringan sekali. Ugrawe, Rawikara, Waisesa Sagara segera menghaturkan sembah dengan menunduk seakan ingin mencium lantai. Sampai Raja Jayakatwang duduk di singgasana dan mengeluarkan suara perlahan. Ketiganya mendongak. Sedikit sekali. Sunyi di ruang pertemuan. Hanya ada mereka berempat. Terasa betapa ruangan menjadi sangat luas dan diisi oleh angin yang diam tak bergerak. "Hari ini aku memanggil Paman Ugrawe dan putraku, karena kalian berdualah yang menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. "Aku tak bisa menunggu sampai esok atau bahkan nanti...." Suaranya menggantung, seperti tak menemukan lanjutan. Ugrawe tetap menunduk, akan tetapi pikirannya bekerja keras. Raja Jayakatwang memanggil dirinya dan Pangeran Anom Rawikara. Sedangkan Waisesa Sagara tidak termasuk yang dipanggil. Ini berarti kehadirannya dalam pertemuan sudah otomatis. Dari cara berbicara, Ugrawe merasa bahwa Raja Jayakatwang seperti benar-benar kehabisan semangat. "...Sebentar lagi aku berada di singgasana ini selama seratus hari. Masih saja belum hilang bayangan yang mengerikan. Mayat-mayat berjatuhan, banjir darah, erangan orang-orang yang kuhormati secara lahir-batin. "Kadang aku berpikir sendiri, apakah tindakan yang kulakukan bukan suatu kekeliruan yang bakal dikutuk anak-cucuku besok? " Tidak, seharusnya tidak. "Aku mendengarkan apa yang dikatakan Paman Ugrawe, Pujangga Pamungkas, yang ahli dalam berbagai hal. Aku mendengarkan saran terbaik dari Paman Wiraraja di tanah Madura. Aku mendengarkan saran Patih Mandarang. Aku merasa di pihak yang benar. Meluruskan kembali sejarah raja-raja di tanah Jawa yang menguasai dunia. Mengembalikan ke jalan yang lurus, yang direstui dewa. Bahwa seorang raja yang menguasai jagat, menjadi panutan, menjadi contoh dalam kehidupan. Seorang raja adalah wakil Penguasa Jagat beserta isinya, seluruhnya. Dan seorang yang semacam ini tidak bisa kalau yang duduk adalah keturunan perampok, seorang pencuri, yang mengambil alih secara paksa. "Aku mendapat wangsit, mendapat petunjuk dari Penguasa Jagat untuk meluruskan kembali keturunan raja-raja." "Jalan inilah yang kutempuh. "Dan hanya jalan ini yang kutempuh. "Makanya, kepada Paman Ugrawe aku menganjurkan agar segala pertumpahan darah, segala balas dendam dihapuskan. Yang sudah ya sudah. Gelombang laut pun ada saatnya untuk surut kembali. "Pertumpahan darah dan pembunuhan, balas dendam, bukan tujuanku. Bukan tujuan kita semua. "Apakah aku bicara keliru?" "Sama sekali tidak, Sinuwun. Segalanya benar adanya, seperti yang di-wangsitkan Dewa Yang Mahatinggi," sembah Ugrawe. "Tepat sekali, Sinuwun," sembah Waisesa Sagara. Rawikara memberi hormat yang dalam. Raja Jayakatwang mengambil napas lega. "Hari ini aku akan memberikan pengampunan kepada semuanya. Untuk secara resmi, pihak Keraton tidak akan mengusut, menghukum, menindak kejadian masa lampau. Justru sebaliknya. Aku akan mengajak siapa saja yang mau bekerja, yang mau mengabdi kepada Keraton. Inilah saat membangun kembali masa kejayaan Keraton. "Adalah mustahil. Kalau almarhum Baginda Raja Sri Kertanegara yang justru keturunan perampok bisa mengibarkan panji-panji kebesaran sampai ke tepi samudra jauh, aku justru tidak bisa berbuat apa-apa. Apakah yang berdarah biru kalah dengan darah perampok? "Aku telah memutuskan ini. "Bagaimana pendapat Paman Ugrawe?" Ugrawe menghaturkan sembah. "Keputusan Sinuwun adalah keputusan yang memberikan warna yang cemerlang, pijakan yang kukuh, gambaran nyata dari suatu jiwa yang amat besar. Dalam sejarah raja-raja yang hamba pelajari belum pernah ada penggambaran sikap begitu mulia. Semua ini demi keagungan Keraton. "Dewa Maha tunggal mendengar maksud baik hati Sinuwun." "Setelah basa-basi yang menyenangkan ini, apa yang akan Paman katakan?" Ugrawe menghaturkan sembah kedua kalinya. "Baginda lebih arif dan bijak, mana hamba berani menyembunyikan kebodohan hamba. "Tanpa mengurangi kebesaran jiwa Baginda, izinkanlah hamba menghaturkan apa yang hamba rasakan. Mohon seribu maaf jika kurang berkenan." "Katakan, Paman." "Maksud luhur Baginda bisa disalahgunakan, jika melihat situasi sekarang ini. Hamba kuatir jika sekarang ini Baginda mengatakan itu, para pembangkang dan mereka yang menginginkan kembalinya takhta Keraton ke tangan yang lain, akan merasa mendapat angin. "Apakah Baginda tak ingin menunda barang satu purnama lagi?" "Bulan depan atau sekarang apa bedanya? Makin cepat kita membangun kembali, rasanya makin baik. Kalau tidak, kita hanya berkubang sekitar masalah balas dendam. Seakan urusan kita hanyalah membunuh orang lain yang kebetulan berbeda pendapat dengan kita. "Berapa kuburan lagi yang diperlukan untuk itu?" Suara Raja Jayakatwang bergelombang. Tapi diakhiri dengan suara yang lembut. "Rawikara putraku... lebih baik pada kesempatan ini kamu berdiam diri saja. Aku memanggilmu agar kamu mendengar lebih banyak. "Putraku, sesungguhnya nasibmulah yang membuat aku banyak merenung mengenai apa yang seharusnya kulakukan sekarang ini. "Kehidupan dari kematian, menjelaskan bahwa seharusnya ada kehidupan baru dalam alam pikiran. "Putraku, kamu tahu maksudku?" "Sembah dalem... Rama...." "Ketika kita menyerbu Keraton habis-habisan, ketika itulah kamu terluka parah dan kemudian dinyatakan meninggal dunia karena terkena racun Gendhuk Tri, siswi terakhir Mpu Raganata. "Tubuhmu telah terbaring, membiru seluruhnya. "Kamu sendiri tak ingat. Tak tahu. Bahwa aku menangis di sampingmu. Pada saat itu Mpu Raganata yang telah terbaring karena luka parah, karena seluruh tubuhnya penuh dengan luka, merangkak mendekatimu. Memeriksa nadimu, memeriksa pernapasanmu. Dan mengatakan bahwa untuk suatu ketika, nyawamu masih bisa diselamatkan. Tak ada yang percaya. Bahkan Paman Ugrawe yang sangat kukagumi juga menggelengkan kepalanya. Tetapi Mpu Raganata mengatakan, 'Kematian ialah sesuatu yang tak bisa diubah. Tapi sebelum mati, masih banyak kejadian yang bisa ditangani oleh manusia. Dalam diri anak muda ini, bertempur darah yang racunnya tak bisa dikuasai. Ia kalah. Tapi masih bisa diselamatkan. Seluruh darahnya dipompa ke luar, dan darahnya diganti dengan darah yang murni, darah yang diberikan secara suka rela. "'Karena hanya racunnya yang mematikan darah, belum mematikan hidupnya. "'Beberapa bagian tubuhnya yang dalam, sudah terluka, akan tetapi bisa disembuhkan dengan pengobatan biasa.' "Dan Mpu Raganata menyalurkan darah ke dalam tubuhmu, putraku. Setelah menguras habis semua darah beracun dari tubuhmu. "Betapa mulia seorang Mpu Raganata. "Pujangga Ugrawe menyatakan bahwa hal itu dilakukan karena Mpu Raganata ingin menebus dosa. Racun itu berasal dari tangan siswinya, muridnya. Secara moral, Mpu Raganata berkewajiban untuk menyembuhkan, mencuci nama baiknya. Karena Mpu Raganata selama hidupnya tak pernah mempelajari ilmu racun. "Tetapi ternyata tidak. Mpu Raganata tak tahu siapa yang dilukai, siapa yang melukai. Beliau yang sudah sangat sepuh, yang memerlukan tenaga untuk hidupnya sendiri, lebih suka menolong orang lain. "Ketika aku bertanya sambil berlutut di depannya, Mpu Raganata tersenyum, 'Kalau kamu bisa berbuat baik bagi orang lain, apakah harus kautanyakan sesuatu? Kalau kamu bisa berbuat baik, lakukanlah. Itu wajar.'" Raja Jayakatwang menutup matanya. Menahan guncangan yang menggemuruh dalam dada. "Kenapa aku selalu mengulang cerita semacam ini? "Karena aku bersyukur bahwa putraku lolos dari kematian. Namun lebih luhur dari semua itu, tindakan nyata Mpu Raganata. Kalimatnya begitu indah, begitu luhur, begitu suci: Kalau kamu bisa berbuat baik pada orang lain, lakukanlah. Itu wajar. "Adakah kata keramat yang lebih hebat dari ini? "Aku bukan seorang resi. Aku bukan orang bijak. Aku tak tahu, apakah memberi ampunan ini suatu perbuatan baik atau sesuatu yang wajar, tetapi aku ingin melakukan. Paman Waisesa Sagara, bagaimana?" Waisesa Sagara menyembah. "Hari ini hari terbaik dalam tiga bulan mendatang." Raja Jayakatwang mengangguk. "Hari ini akan kukatakan. "Paman Ugrawe bisa mulai melaksanakan. Semua tahanan, tanpa kecuali, dibebaskan. Semua kecurigaan dihilangkan. "Kita akan mulai membangun kejayaan Keraton yang sesungguhnya!" Ugrawe, Rawikara, menunduk, menghaturkan sembah. "Perintah Raja kami junjung tinggi." "Baik. Mudah-mudahan ini mencuci tangan kita yang terlalu berdarah." Lama setelah Raja Jayakatwang meninggalkan tempat pertemuan, Ugrawe masih tetap berdiam diri. Demikian juga Rawikara. Waisesa Sagara sudah pergi meninggalkan, mengikuti Raja. "Aku telah mendengar laporan dari Patih Mandarang malam tadi," suara Ugrawe terpatah-patah. "Bahwa ada utusan dari tanah Madura diterima menghadap langsung. Patih Wiraraja mengajukan usul-usul mengenai kebijaksanaan yang baru. "Pangeran Anom telah mendengar sendiri bahwa Raja berkenan menuruti nasihat Wiraraja." "Bapa Guru, tak ada alasan lain, kita melaksanakan titah Raja." "Ya, biarlah aku sendiri yang membebaskan para tahanan di Perguruan Awan!" Rawikara termenung. "Saya merasa bersalah. Andai Mpu Raganata tidak menolong saya, barangkali akan lain." "Jangan kecil hati, Pangeran Anom. Ini semua bukan kesalahan Pangeran. Ini karena jiwa besar Raja, sesembahan kita. Menangkap peristiwa itu sebagai karunia dewa. Raja kita sangat menyayangimu, Pangeran. Baik-baiklah memberi laporan kepada Sinuwun, aku akan segera berangkat ke Perguruan Awan." Rawikara menghaturkan sembah. "Ada apa lagi, Pangeran?" "Tidak ada apa-apa, Bapa Guru...." "Wajah Pangeran masih menyembunyikan sesuatu." Rawikara mengatakan bahwa ia melihat Galih Kaliki ternyata bisa menunjukkan salah satu gerakan yang intinya sama dengan Sindhung Aliwawar. Jurus utama puting beliung dengan pembagian tenaga menolak dan mengisap itu ternyata bisa dimainkan. "Galih Kaliki? Aku tak pernah mendengar nama itu. Dan aku tak yakin ada yang bisa mempelajari. Aku akan berangkat sekarang juga." "Bapa Guru benar-benar akan membebaskan semua tawanan ?" "Ya. Aku akan membebaskan, sesuai dawuh, sesuai perintah Raja. Yang tidak kujanjikan, yang tidak ada dalam perintah Raja, ialah aku membebaskan semua dalam keadaan sebagaimana adanya. Aku akan menjajal ilmuku untuk menghabiskan semua ilmu silat mereka. Jika pukulan Banjir Bandang Segara Asat berhasil, Kiai Sangga Langit akan menggigit jari. Pangeran Anom boleh mengikuti jika ingin menjajal juga." Ini adalah kesempatan terbaik. Selama ini sangat susah melatih pukulan Banjir Bandang Segara Asat, Banjir Bah Laut Kering. Ini merupakan jurus yang amat sulit untuk dilatih. Terutama sekali bukan karena sulit mempraktekkan gerak, akan tetapi sulit memilih siapa yang menjadi sasaran. Banjir Bandang Segara Asat mengisyaratkan adanya banjir besar yang menjadi bah, akan tetapi di saat yang sama laut menjadi kering. Jenis pukulan yang khas dari rangkaian Sindhung Aliwawar, yang serba bertentangan. Rangkaian yang bertentangan antara tenaga menolak dan mengisap. Yang khas dari jurus Banjir Bandang Segara Asat ialah jurus ini merupakan jurus yang paling keras dari sifat menolak dan mengisap. Dalam jurus ini, pesilat akan mengirimkan pukulan ke arah lawan dengan tenaga penuh, dan sekaligus mengisap habis! Sehingga lawan yang terkena pukulan ini kehilangan kekuatan tenaga dalamnya. Seumpama laut, ia dikeringkan, dan tenaganya diisap menjadi banjir di daratan! Pukulan Banjir Bandang Segara Asat tak menjadi masalah besar jika bisa dilatih sekenanya. Akan tetapi, pukulan ini tak bisa dipakai sembarangan. Kalau menghadapi lawan yang lebih kecil tenaga dalamnya, atau lebih lemah, bisa-bisa malah membahayakan diri. Soalnya tenaga gempuran begitu besar, sehingga hampir sepenuhnya tenaga dalam dikerahkan. Kalau yang ditarik hanya kecil sekali, tenaga sendiri bisa membalik dan melukai. Akibatnya bisa fatal. Ibarat kata bunuh diri. Itulah sebabnya, untuk melatih pukulan ini diperlukan lawan yang kira-kira setanding. Makin setakar kekuatan tenaganya, makin menguntungkan. Karena dalam sesaat tenaga dalam yang dimiliki bisa berlipat. Selama ini Ugrawe dan Rawikara telah mempelajari secara teori. Dan memainkan tanpa tenaga dalam. Namun selalu masih ada dorongan untuk mengujinya. Dalam pertempuran yang sesungguhnya, Ugrawe sendiri belum pernah mempraktekkan. Karena masih merasa gamang. Para tawanan di Perguruan Awan bisa dijadikan latihan yang menarik. Yang memenuhi syarat. Mereka adalah ksatria-ksatria yang mempunyai nama besar. Yang terlatih dengan baik. Setidaknya ada nama-nama besar seperti Jaghana, si gundul yang mewarisi ilmu Perguruan Awan sendiri. Tenaga dalamnya boleh diandalkan. Kemampuannya sudah diakui. Juga masih ada Dewa Laut yang kurang-lebih memiliki jenis pukulan yang sama. Masih ada tiga Pengelana Gunung Semeru, tiga bersaudara yang bila digabung ilmunya cukup tinggi. Menghadapi lawan seperti ini sangat membangkitkan gairah pertempuran. Karena ketika bertanding, dipaksa mengeluarkan semua simpanan yang ada. Tanpa disadari kedua pihak mengeluarkan ilmu yang sesungguhnya. Dan justru itulah yang diharapkan dari latihan semacam ini! Mengisap laut sampai kering dan membuat banjir daratan! Rawikara terkesima. Ia merasa dirinya cerdik, akan tetapi ternyata dalam masalah mempelajari ilmu silat serta menemukan cara berlatih, gurunya masih luar biasa. Dan ini semua dilakukan tanpa perlu harus melawan perintah Raja! "Benar kata Waisesa Sagara... Hari ini hari terbaik. Kita tak harus menunda waktu. Pangeran Anom, hamba menunggu pertimbangan Pangeran." "Sebaiknya saya menyertai Bapa Guru...." "Atau soal Galih Kaliki masih menjadi ganjalan?" "Untuk sementara tidak. Biarlah Keraton sepi barang sehari-dua hari." Dengan diam-diam Ugrawe menyiapkan pasukannya. Maka iringan pun berjalan dengan diam-diam. Inilah perjalanan yang aneh. Menuju ke Perguruan Awan kembali. Pusat perguruan silat, sumber yang membuat barometer ilmu yang ada sekarang ini. Sejak Eyang Sepuh mendirikan perguruan, hingga namanya menyebar ke seluruh penjuru mata angin, Perguruan Awan menjadi sumber munculnya ksatriaksatria baru, pendekar-pendekar yang mencapai tingkat yang patut diperhitungkan. Justru karena di perguruan itu tidak semua menyelesaikan hingga tamat serta menjadi penghuni di situ seumur hidup. Justru mereka yang putus di tengah jalan, karena tidak sesuai lagi, menjadi warna yang dominan dalam kehidupan masyarakat dunia silat. Perjalanan yang aneh. Kalau dulu Ugrawe dan rombongan datang untuk sekadar menghancurkan. Kini bukan hanya itu, akan tetapi untuk memindahkan tenaga dalam mereka. Kalau ini berhasil, Ugrawe benar-benar tiada tandingannya. Bahkan Eyang Sepuh pun takkan mampu mengimbangi. Barangkali hanya tokoh legendaris seperti Tamu dari Seberang yang bisa menandingi. Akan tetapi tokoh misterius itu saat ini belum pernah muncul. Belum ada yang mengaku pernah bertemu dengannya! Kiai Sangga Langit masih memeriksa nadi Mo Ing, ketika mendengar suara yang melangkah tergesa. Tangan Mo Ing tetap dipegang ketika berbicara ke arah Nyai Demang. "Nyai mendengar suara langkah tergesa?" "Tidak... ya... tidak... tidak begitu jelas." "Aku merasa ada sesuatu yang sangat penting dan mendadak. Sepertinya Ugrawe sendiri yang pergi. "Kurasa ada sesuatu yang akan dilakukan. Kalaupun ada hubungannya dengan perintah Raja, ini tetap sesuatu yang rahasia. "Nyai, aku minta pertolongan. Mo Ing harap dijaga baik-baik. Untuk sementara Galih Kaliki tak akan banyak mengganggumu. Aku akan mengikuti Ugrawe pergi. Usahakan seolah aku masih di sini." Sebelum kalimat terakhir lenyap, tubuh Kiai Sangga Langit yang tinggi besar telah meninggalkan tempat. Dalam tarikan satu napas saja, tubuh yang tinggi besar dan kelihatan berat bisa pindah tanpa menimbulkan kesiuran angin keras. Kiai Sangga Langit menunjukkan kelebihannya ketika mengikuti secara diamdiam. Perjalanan dari Keraton menuju Perguruan Awan bukan perjalanan yang gampang. Melalui jalan sepi, yang sedikit bunyi-bunyian saja terdengar. Tetapi ilmu mengentengkan tubuh dan membaca jejak Kiai Sangga Langit sangat tinggi. Sehingga dengan mudah bisa mengikuti tanpa diketahui. Perguruan Awan sendiri masih seperti pertama kali diciptakan. Sebuah hutan yang lebat, lapangan di sana-sini, semak yang tinggi, rendah, gua-gua yang tersembunyi. Dari bentuk luarnya tak ada bedanya. Hanya saja, sebagian terbesar guagua itu dijadikan tempat penahanan para ksatria. Sejak penyerbuan habis-habisan, para ksatria yang terkena racun sebagian besar bisa ditawan. Sementara dipindahkan ke berbagai tempat, sebelum akhirnya diangkut ke Perguruan Awan. Dimasukkan ke dalam gua di bawah tanah. Dikumpulkan menjadi satu. Dan setengah dibiarkan mati atau hidup. Ujung terowongan dijaga sangat kuat, sementara batu-batu bongkahan ditumpuk bersama dengan ujung tombak dan anak panah beracun yang selalu dalam keadaan siap ditembakkan. Berada di dalam gua, dalam keadaan nyaris tanpa sinar matahari, para ksatria mencoba bertahan. Yang paling menderita adalah Dewa Maut. Bukan karena luka dalam tubuhnya masih menggerogoti. Hal ini bisa dengan mudah diatasi karena cukup waktu untuk melatih tenaga dalam. Tapi jelas sekali manusia yang biasa hidup di atas air sepanjang sisa usianya, sejak mengasingkan diri, paling menderita. Karena Dewa Maut juga tak bisa melatih ilmu racunnya yang ganas. Di mana bisa mencari ikan yang beracun kalau berada dalam gua bawah tanah?
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:19 pm | |
| Tiga Pengelana Gunung Semeru, yang terdiri atas tiga bersaudara Pembarep, Panengah maupun Wuragil, meskipun biasa berdiam di atas gunung, masih bisa berlatih. Bahkan dalam bulan-bulan terakhir Barisan Trisula yang menjadi andalan mengalami kemajuan yang berarti. Seperti sudah diketahui unsur Barisan Trisula adalah menyatukan pikiran dari tiga orang. Dengan selalu berada dalam tempat yang sama. Satu-satunya yang bertahan dalam keadaan yang sama ialah Jaghana. Bukan hanya karena tubuhnya tetap gemuk, atau kepalanya tetap pelontos. Sikapnya yang rendah hati, memberikan kekuatan batin dan menular kepada rekan-rekannya. Jaghana tetap menolak memakan binatang tanah. Ia mencari akar-akar tumbuhan yang sedang tumbuh. Mempertahankan hidup seperti itu. Jaghana pula yang mulai usaha mencari makanan sendiri, ketika kiriman dari atas kadang datang kadang tidak. Jaghana membuka terowongan baru. Sering kali gagal karena kemudian tanahnya ambruk. "Gua bawah tanah ini disebut Lawang Sewu, Pintu Seribu. Sudah direncanakan sedemikian rupa sehingga tanah yang lembek tidak dibuatkan terowongan. Sehingga kalau kita mencoba menerobos mencari jalan keluar selalu akan sia-sia. Kalau melalui jalan biasa, di depan sudah ditunggu kawanan musuh. "Tetapi kita tak berhenti dengan berdiam diri. Inilah yang saya harus lakukan. Maafkan kebodohan ini, akan tetapi biarkanlah saya selalu mencoba." Jaghana pula yang merawat Wilanda. "Kakang, saya telah berkhianat pada Perguruan Awan dengan meninggalkan kebahagiaan dan ketenteraman untuk mengabdi kepada nafsu. Saya sungguh tak pantas diperhatikan dengan cara seperti ini." "Eyang Sepuh tak pernah membedakan anggota atau bukan anggota. Perguruan Awan yang dibangun Eyang Sepuh untuk menolong sesama, karena kita semua saudara dan anggota. "Dalam keadaan sakit dan terluka, Adimas telah banyak menolong orang lain. Itulah tanda bahwa keinginan Eyang Sepuh masih tersimpan dalam diri Adimas. Jangan terlalu sungkan." Begitulah, Jaghana melatih tenaga dalam Wilanda secara perlahan. Merawatnya seperti merawat bayi yang baru lahir. Kekerasan hati dan tekad Jaghana dalam mengobati Wilanda dan Dewa Maut, membuat Pembarep tergugah hatinya. Kalau tadinya mereka berhadapan sebagai musuh, dalam nasib yang sama, nyawa dan kesehatan masing-masing menjadi urusan bersama. Silih berganti Pembarep, Jaghana, Panengah, mengobati Wilanda dan Dewa Maut berganti-ganti. Begitulah waktu terus berjalan. Tak bisa dihitung berapa lama waktu sudah berlalu. Mereka tak pernah melihat sinar matahari dan bulan purnama. Tak tahu ada hujan atau banjir, atau musim kering yang panjang. Sampai suatu ketika, entah pagi entah malam, sesosok bayangan masuk sambil menggendong karung. "Makan yang banyak. Di situ ada daging, ada sayur yang segar. Ada jagung, ada tembakau. Ada bacaan yang bagus." Pembarep lebih dulu maju ke depan, memberi hormat. "Terima kasih. Akan tetapi sebelum kami bisa menerima kenikmatan ini, berilah kami kesempatan untuk mengenal Paduka yang baik hati." "O, Pembarep," terdengar suara yang nyaring tinggi. "Aku sudah tahu cacing dalam perutmu memberontak keras sekali. Mana ada makanan seperti yang kubawa ini? Tetapi kamu masih basa-basi. Takut kuberi racun? Hehe, itu masih lebih baik. Bukankah lebih enak merasakan sesuatu yang nikmat sebelum mati, daripada tak pernah merasakan sekali juga?" "Siapa kamu yang berani omong besar?" Dewa Maut berdiri gagah. "Ugrawe sendiri tak berani turun kemari. Menyuruh anak ingusan seperti ini." Bayangan yang ada di depan mereka menggerakkan kepalanya. "Dewa Maut, adatmu masih seperti anak kecil saja. Pantas saja Padmamuka suka padamu. Kamu memang masih tetap kekanak-kanakan." Disinggung mengenai hubungannya dengan Padmamuka, Dewa Maut langsung bereaksi cepat. Tubuhnya meluncur dengan kedua tangan terjulur ke depan. Gua ini terlalu sempit untuk menghindar. Tapi bayangan yang menutupi wajahnya dengan daun pisang itu tidak berkelit. Malah mengangkat kedua tangan untuk memapak, sambil meniup dengan keras. Aneh, mendadak Dewa Maut berhenti. Hidungnya kembang-kempis. Lebih aneh lagi, lalu menunduk dan menyembah. "Tole... arwahmu datang, kangen padaku?" Tole adalah sebutan Dewa Maut untuk Padmamuka, si cebol yang wajahnya seperti bayi. Teman berlatih seumur-umur dengan Dewa Maut, yang malah dikatakan hubungan mereka berdua bukan sekadar hubungan teman lagi. Tak ada yang membuktikan sendiri, akan tetapi kecurigaan semacam itu cukup beralasan, kalau mengingat dalam jarak waktu yang panjang keduanya hidup bersama di atas perahu. "Tole apa?" "Kamu Tole, kan?" "Enak saja kamu ngomong. Tole-mu itu pendek, cebol, biarpun manis. Lihat, aku cukup tinggi." "Sangat tidak mungkin kamu bukan Tole. Bau tubuhmu, bau mulutmu sama persis." "Padmamuka itu muridku. Tahu tidak? Maka kamu harus menghaturkan sembah padaku." Mata Dewa Maut membelalak. Rambutnya yang putih seluruhnya, beriapan, nampak menambah kesan lucu. Kocak sekali. Mulutnya melongo tak mengerti. Kalau tahu persis mengenai Padmamuka, tak menjadi masalah. Akan tetapi bau tubuh bisa sama, itu baru luar biasa. Mungkinkah gurunya? Bisa jadi. Tapi sama sekali tak masuk akal. Karena guru Padmamuka adalah dirinya sendiri. Dewa Mautlah yang mendidik sejak ditemukan. "Kalau kamu gurunya, siapa aku?" "Kamu juga muridku. Masa lupa. Hayo menyembah. Kalau tidak, aku tidak akan memberimu ikan sungai." Dewa Maut serbasalah. Ia sebenarnya tokoh yang mempunyai gelar tinggi. Kedudukannya dalam dunia persilatan termasuk kelas atas. Puluhan tahun merajalela di Bengawan Solo hingga Brantas, tak ada yang mengusik. Tak ada yang berani. Gelar Dewa Maut menunjukkan bahwa ia tak pernah membiarkan lawan yang bertempur dengannya pergi dalam keadaan hidup. Adalah di luar dugaan bahwa sekarang ini bisa dipecundangi dengan cara yang menggelikan. Bahkan ketika bayangan itu mengikik geli, Dewa Maut belum sadar sepenuhnya bahwa dirinyalah yang ditertawakan. Sebenarnya keadaan Dewa Maut sendiri sedang guncang. Kesadarannya sudah berubah banyak. Perpisahannya dengan Padmamuka sangat menghancurkan kekerasannya. Tak terlalu sulit dibayangkan. Padmamuka selalu bersamanya, lalu tiba-tiba meninggal di depan matanya. Tanpa bisa menolong. Justru karena ingin menyelamatkannya. Betapa menyesal, karena saat itu Dewa Maut sedang luka parah. Dalam keadaan kurang seimbang kewarasannya harus terbenam di dalam gua bawah tanah selama beberapa bulan. Segala impian, gagasan, dan pikirannya selalu ke Padmamuka. Kini tak disangka tak dinyana, ada bayangan yang mengaku guru Padmamuka. Keruan saja ia jadi blingsatan. Dalam bingungnya Dewa Maut benar-benar menunduk, dan menghaturkan sembah. "Bagus, kumaafkan segala kesalahanmu. "Nah, sekarang aku tak bisa lama-lama di sini. Aku sengaja masuk kemari untuk mengirimkan makanan, dan mungkin sedikit bacaan. Sekaligus memberitahukan bahwa ada kejadian penting. Dalam satu-dua hari ini Raja Jayakatwang akan membebaskan kalian semua. "Tidak menjadi penting, karena hal ini ada embel-embelnya. Ugrawe yang busuk itu akan datang kemari. Itu berarti ia tak sekadar membebaskan kalian. Pasti ada apa-apanya. "Sudah itu saja. Saya mau kembali lagi." Bayangan itu berbalik. Jaghana menghela napas. "Terima kasih, Gendhuk Tri... atas pemberian ini semua." Bayangan itu berhenti bergerak, dan membalik. "Paman Jaghana kenal aku?" Pembarep memandang lebih jelas. Tak salah lagi, itulah Gendhuk Tri. Jelas sekali sekarang ini. Meskipun pakaiannya awut-awutan dan rambutnya beberapa dibiarkan tergerai. "Anak yang manis, anak yang baik budi, yang bersedia memberikan nyawanya untuk memberitahukan bahaya kepada orang lain, apakah bisa dilupakan?" Dasar Gendhuk Tri, ia bukannya senang ketika dipuji secara tulus oleh tokoh seperti Jaghana, malah berteriak, "Siapa sudi mengorbankan nyawa untuk kalian?" Jaghana menghela napas. "Dewa Agung yang mengatur jagat seisinya memberimu anugerah hebat. Gendhuk Tri, hanya kamu dan Upasara yang bisa lolos dari Lawang Sewu. Tetapi ketika kamu lolos dulu, bukankah seluruh isi gua menutup, karena tanahnya longsor? "Kini kamu bisa masuk kembali. Bukankah itu pun berarti tanah yang kamu lewati longsor dan menutup jalan keluar? Bukankah itu berarti kamu mengorbankan nyawamu sendiri untuk kami? "Dewa Yang Mahaagung, begitu besar dan mulia jiwamu, Gendhuk...." Pembarep, Panengah, dan "Wuragil hampir bersamaan menghela napas kagum. Wuragil dan Panengah boleh dikatakan pernah dilecekin oleh Gendhuk Tri. Pembarep juga kena sedikit. Memang, hampir semua tokoh di dunia persilatan yang bertemu dengan Gendhuk Tri pernah dipecundangi. Sedikit-banyak mereka merasa keki. Kesal. Apalagi sikap Gendhuk Tri, anak gadis yang bau kencur ini, sleboran semacam itu. Ugal-ugalan seenaknya sendiri dalam mengolok-olok orang yang jauh lebih tua. Akan tetapi mendengar penuturan Jaghana, semua yang mendengar sangat terharu. Tak pernah terpikirkan bahwa seorang anak kecil seperti Gendhuk Tri rela masuk ke dalam gua Lawang Sewu dengan kemungkinan tak bisa keluar lagi, hanya untuk memberitahukan kemungkinan bahaya! Pembarep menekuk lututnya, diiringi Panengah dan Wuragil. Wilanda juga menekuk lututnya memberikan hormat. "Hei, jangan tolol. Kalian sudah tua bangka begini melakukan apa?" Gendhuk Tri membuang penutup wajahnya dengan kesal. "Kalian kira kalau menghormat seperti itu, aku mau ganti menghormat. Jangan berharap tinggi. Ayo kalian makan semua makanan itu." "Terimalah rasa hormatku," kata Wilanda perlahan. "Aku tak punya waktu. Aku mau pergi." Jaghana menghela napas. "Pergi ke mana, anak manis...?" "Siapa bilang aku anak manis. Kamu yang gundul itu juga tak akan manis biarpun seluruhnya diberi manisan." Gendhuk Tri masih saja berteriak-teriak dengan gusar. "Marilah duduk di sini, seadanya... kita makan bersama... sambil berbicara." Pembarep mengangsurkan tangan untuk membimbing. "Adik manis..." "Jangan panggil dengan cara itu. Aku punya nama sendiri." "Gendhuk Tri..." "Dari dulu aku nggak suka dipanggil itu. Hanya Kakang Upasara yang boleh memanggil itu. Kalian hanya boleh menyebut Jagattri. Dari dulu sudah kuumumkan begitu. Dasar kalian bandel semua. Pantas saja Ugrawe yang sudah rongsokan bisa menjebak kalian. "Begini masih mau bilang sebagai ksatria atau pendekar. Kucing pun tak mau menyebut kalian ini ksatria, meskipun dibayar dengan daging burung perkutut." "Jagattri... apa sebenarnya maksud Ugrawe datang kemari?" "Apa lagi kalau bukan mau menyiksamu? Menyiksa kalian semua?" Dewa Maut menatap Gendhuk Tri, menggelengkan kepalanya sendiri. Termenung lagi. "Kamu bukan tole-ku?" "Tole-mu sudah berada dalam tubuhku. Kalau kamu masih mencintainya, sekarang boleh mencintaiku." Ngawur saja omongan Gendhuk Tri. Tanpa memedulikan perasaan Dewa Maut yang memang sedang terombang-ambing. Gendhuk Tri secara sengaja mempermainkan hubungan antara Dewa Maut dan Padmamuka. Dalam banyak hal memang sangat beralasan sekali kalau Gendhuk Tri mengaku Padmamuka masuk ke dalam tubuhnya. Secara tidak langsung memang begitulah adanya. Racun lama yang tersimpan dalam tubuh Padmamuka telah mengental semua sari patinya, dan terisap secara tak sengaja oleh Gendhuk Tri. Tidak pula berlebihan kalau dikatakan bahwa bau tubuh dan napas Gendhuk Tri terasa seperti bau Padmamuka. Dan Dewa Maut mendadak berjingkrakan gembira sekali. Menari-nari, menggerakkan kedua tangannya. "Jagat raya, Dewa Yang Maha-Apa-Saja, ternyata kauhidupkan kembali toleku. Aku tak bersyukur, tak berterima kasih, karena memang itu sudah menjadi pekerjaanmu. "Kalau bukan Kamu, siapa yang bisa?" Saking gembiranya, Dewa Maut menubruk Pembarep, merangkul dan menciumi, juga Panengah dan Wuragil, serta Wilanda. Sampai giliran Jaghana, Dewa Maut berhenti. "Kamu lain kali saja." Pembarep menjadi sangat prihatin melihat perubahan sikap Dewa Maut. Wilanda berdehem kecil. "Gendhuk Tri... kamu mengatakan mengenai Upasara Wulung. Apakah momonganku itu baik-baik saja?" Wajah Gendhuk Tri berubah kusut. "Ia tetap selamat dari penyerbuan di Perguruan Awan ini?" Dari nada suaranya, kentara sekali bahwa Wilanda sangat memperhatikan Upasara Wulung. "Kakang Upasara mau selamat atau tidak, kenapa ditanyakan padaku? Biar saja, itu urusannya sendiri. Mau selamat atau mau sekarat, itu urusannya. Kakang Upasara itu hatinya jahat. Sangat jahat." Wilanda tersenyum bahagia. Ini berarti Upasara dalam keadaan selamat. Lolos dari penyerbuan massal. Sesuatu yang sangat menguatirkan hatinya, karena sejak berpisah, Wilanda tak mengetahui kabar beritanya, dan tak bersama-sama dalam tahanan. "Kakang Upasara sangat jahat. Waktu sama-sama terkubur di dalam gua, ia melarikan diri sendirian. Meninggalkan aku. Untung aku bisa keluar. Mengajak bersama menyerbu Keraton untuk membebaskan Baginda Raja dan Rama Guru. Kami lari bersama, berkelana bersama, lalu tiba-tiba saja Kakang pergi!" "Pergi?" "Katanya mau kawin. Jahat banget!" Gendhuk Tri menggedrukkan kakinya dengan sebal. Dewa Maut membelalak. Teriakannya nyaring, "Tole Gendhuk Tri, siapa berani kurang ajar padamu? Aku akan menghajarnya hingga habis, akan kukuliti tubuhnya hingga tinggal tulangtulangnya." Gendhuk Tri ganti membelalak. "Siapa suruh kamu yang tua bangka itu menguliti? Sebelum kamu menyenggol tubuhnya, aku sudah akan menguliti bulu-bulu tubuhmu." Memang aneh. Dalam gua bawah tanah yang tak mempunyai kemungkinan keluar, masing-masing masih ribut dengan persoalan sendiri. Dewa Maut menjadi dewa linglung dan Gendhuk Tri ternyata bukan sekadar mempermainkan, akan tetapi juga dipermainkan sendiri oleh perasaannya. Wilanda hanya terdiam karena belum sepenuhnya sembuh. Jalan pikirannya berjalan cepat: bahwa ada suatu peristiwa yang menyebabkan Upasara Wulung dan Gendhuk Tri berpisah. Kalau ditilik dari gusarnya Gendhuk Tri, ini ada hubungannya dengan soal asmara. Malah ada nada cemburu dari suaranya. Agak sulit masuk akal, akan tetapi itu bukannya tidak mungkin. Tiga Pengelana Gunung Semeru hanya memandang semua yang terjadi dengan perhitungan sendiri. Sementara yang tetap paling tenang adalah Jaghana. Duduk bersila bagai sesosok patung Budha. "Gendhuk Tri... lebih baik kamu sedikit bersembunyi. Ugrawe sebentar lagi akan datang kemari. Ia paling murka denganmu." "Justru sekarang ini aku ingin menghadapi, kenapa harus sembunyi?" "Betul, Tole, jangan sembunyi. Aku yang tua ini masih bisa membereskan siapa pun yang mengganggumu." Pembarep maju sedikit. "Apa yang dikatakan Kangmas Jaghana ada benarnya. Ugrawe bukan hanya tinggi ilmu silatnya, akan tetapi sangat licik. Kita harus mengatur siasat. Kalau Ugrawe tidak pernah menduga Gendhuk Tri ada di sini, ia bisa tetap sembunyi. Dan, setidaknya, kita bisa melawan bersama-sama. Gendhuk Tri masih bisa meloloskan diri." "Aku datang kemari dengan tekad mantap. Lebih baik aku mati daripada melihat Kakang Upasara kawin. Kenapa kalian menghalangi? "Ugrawe, pujangga busuk, ayo masuk kemari. Ini aku sudah siap untuk mencopot telingamu yang sebelah." Teriakan Gendhuk Tri keras sekali hingga gua menggelegar. Menggemakan suaranya dengan keras. Terdengar jawaban tertawa pendek dan dingin. Disusul dengan masuknya sinar matahari. Lubang yang ditutup batu dan senjata telah disingkirkan. Ugrawe sendiri melangkah masuk diiringi oleh Rawikara dan beberapa prajurit pilihan. Tegap dan lebar langkahnya. Berhenti pada jarak dua tombak, Ugrawe mengelus misainya. "Pangeran Anom, itulah gadis nakal yang telah hampir membunuh Pangeran Anom." Pandangan Rawikara bentrok dengan Gendhuk Tri. Keduanya seperti kaget. Rawikara sama sekali tak menyangka akan bertemu begitu cepat dengan Gendhuk Tri, yang telah meracuni hingga hampir mati. Gendhuk Tri mengerutkan kening tak menduga bahwa Rawikara ternyata masih segar bugar. "Hari ini Raja Jayakatwang berkenan mengampuni kalian semua di sini, kecuali satu orang itu. Gendhuk Tri. Ia tak dapat pengampunan karena tak bersalah. Hanya masih ada urusan dengan kami berdua. "Silakan keluar dari gua, dan berterimakasihlah kepada raja kita yang welas asih." Ugrawe memberikan jalan. Rawikara juga minggir. Para prajurit yang berjaga menyingkir. Sehingga terbuka jalan yang luas, lebar. Menuju ke kebebasan. Tapi justru tak ada seorang pun yang bergerak. "Jadi kalian menolak anugerah Raja? Bersiap-siap sajalah." Tiga Pengelana Gunung Semeru mengambil sikap bersiap. "Kami telah bersama-sama di dalam gua, dalam gelap dan dingin. Kalau diberikan kesempatan menghirup udara bebas, biarlah semua keluar. Atau semuanya tidak keluar." "Bagus, aku suka ketotolan semacam ini. Kalian pikir itu sikap patriot sejati. Mendasari jiwa setia kawan. Itulah ajaran terburuk dari ksatria yang tersesat. Dalam hidup ini, majulah kalau bisa maju. Jangan menunggu yang lain. Karena kalian sudah memutuskan untuk menolak perintah Raja, aku tak perlu sungkan lagi." Ugrawe mengibaskan tangannya. Tangan kanan terangkat ke udara, tangan kiri berputar di bagian dada. "Biarlah aku Jaghana yang menerima kehormatan pertama," Jaghana menggelinding maju. Benar-benar seperti menggelinding karena bentuk tubuhnya yang bulat. Jaghana menunjukkan sikap seorang ksatria sejati dalam tindakan. Tanpa banyak bicara ia langsung menghadang sendirian. Sebab, jika para ksatria main keroyok, mana ada keberanian untuk menatap matahari lagi? Bahwa Ugrawe diakui sebagai jago nomor satu, Jaghana juga menyadari. Bahwa Ugrawe setingkat di atas Jaghana, bukan alasan untuk main keroyok. Soal kalah-menang atau bahkan mati-hidup adalah urusan nomor sekian. Seorang ksatria tak boleh melakukan perbuatan hina, yang lebih berat akibatnya dibandingkan suatu kekalahan dalam pertandingan. Pembarep mengangguk hormat. "Karena kalian juga datang bersamaan dengan sama-sama mengemban titah Raja Muda Gelang-Gelang, saya pun ingin menyambut satu per satu." Pembarep tetap menyebut Raja Jayakatwang sebagai Raja Muda Gelang- Gelang. Seakan tidak mau mengakui kedudukannya yang paling terhormat saat ini. Itu cukup untuk membuat Rawikara menggebrak maju. Dengan posisi awal yang sama, Rawikara menggerakkan kedua tangan bersamaan. Satu tangan bergerak di tengah udara dan memukul, satu tangan di dada untuk menarik tubuh lawan. Pembarep menerobos maju, dengan tangan kosong. Tanpa memedulikan kesiuran angin, ia menjotos ke arah dagu lawan. Pembarep memang dalam keadaan yang lapar tanding. Selama dalam penahanan, ia hanya berdiam dan berlatih saja. Belum menemui lawan untuk benar-benar mempraktekkan. Maka serangan Rawikara langsung disambut dengan gairah besar. Ketika dua prajurit pengawal bersiaga di samping Rawikara, Panengah dan Wuragil punya alasan kuat buat bergabung. Dalam ruang yang sumpek, gerakangerakan pendek lebih tepat. Ini agak mengurangi kelebihan Tiga Pengelana, yang biasa bermain di udara terbuka. Apalagi ilmu silat mereka merupakan ciri khas ilmu pegunungan, yang lebih mengandalkan loncatan daripada serangan kaki. Meskipun demikian, Tiga Pengelana Gunung Semeru dengan mudah menekan Rawikara. Karena ilmu mereka bertiga merupakan gabungan yang mutlak diperlukan. Bukan sekadar tambahan tenaga seperti Rawikara dan prajuritnya. "Tole, kita ikut main?" "Tenang saja," jawab Gendhuk Tri tak peduli. "Aku masih ingin melihat pertempuran kampungan ini. Kalau aku turun tangan, sekali kena tanganku, mana ada yang bisa bernapas kembali?" "Itu bagus, Tole... itu bagus... Kita tonton saja." Meskipun diucapkan secara berkelakar, apa yang dikatakan Gendhuk Tri ada benarnya. Ugrawe, dan terutama Rawikara, sangat menyadari hal ini. Mereka akan dibuat repot menghadapi sumber racun ganas ini. Sekali saja kena cengkeram atau berhasil dilukai, tak ada lagi kesempatan untuk melawan. Dan dalam ruang yang begini pendek, hal itu sangat mungkin sekali terjadi. Apalagi Gendhuk Tri seperti tak memedulikan keselamatan dirinya. Satu-satunya jalan ialah melukai dari jarak jauh. Tapi juga tak bisa sembarangan. Gendhuk Tri, meskipun dalam usia yang masih belasan dan nampak ingusan, adalah murid langsung Rama Guru alias Mpu Raganata. Ditambah adatnya yang liar, ia menjadi monster yang menakutkan. Jaghana masih menunggu. Ia tak membuka serangan lebih dulu. Wilanda tetap duduk dengan sinar mata menyala. Ingin terjun dan melibatkan diri, apa daya tak mempunyai kemampuan. "Baiklah. Hari ini kalian semua dapat pengampunan. Termasuk Gendhuk Tri. Hanya saja di belakang hari, jangan salahkan saya kalau kita bertemu lagi." Ugrawe mendongak ke atas. "Hanya dalam hati masih bertanya-tanya, bagaimana Gendhuk yang pintar ini bisa masuk kemari?" "Tolol kamu ini," teriak Gendhuk Tri. "Tolol kamu ini," kata Dewa Maut mengulangi. "Aku masuk kemari dengan mudah, dan bisa keluar dengan mudah, karena akulah yang membuat Lawang Sewu ini. Masakan kamu tidak tahu." "Benar. Tole yang membuat Lawang Sewu. Aku sendiri membuatnya... eh, aku sendiri melihatnya." "Perjalananku kemari pun serba rahasia, bagaimana mungkin diketahui orang lain?" "Kamu lupa, Ugrawe yang bertelinga satu! Yang menyuruhku kemari adalah orang yang merindukanku. Yang menuliskan guritan katresnan, sajak cinta, itulah yang menyuruhku. Ia menulis guritan katresnan karena rindu padaku. Aku baru mau menemuinya jika ia sudah menuliskan di jidatmu itu." Wajah Ugrawe berubah merah sepenuhnya. Tiba-tiba tubuhnya membalik, kedua tangan mendorong ke depan. Angin puyuh, panas, menyorong ke depan, menyesakkan napas. Di saat yang hampir bersamaan, dorongan dari tangan kiri berubah menjadi putaran, dan menjadi tenaga yang mengisap. Dengan menurunkan tangan kiri ke bawah, tenaga mengisap ini menjadi daya serap yang hebat. Kalau lawan memusatkan pikiran dan tenaga untuk mengadu tenaga di atas, dengan demikian bagian bawah menjadi kosong. Inilah yang termakan. Rangkaian dasar Sindhung Aliwawar ini mempunyai variasi yang banyak sekali. Dan bisa berubah dalam seketika. Jaghana tetap mempertahankan sikap berdiri, kedua tangan terangkap seolah menyembah, di depan dada. Hanya dengan cepat badannya berputar, mengikuti tenaga dorongan dan isapan sekaligus. Gendhuk Tri tertawa mengikik, ia biarkan tubuhnya terseret maju, seolah meluncur dengan kaki lebih dulu. Kedua tangan terulur ke depan, menjambret sekenanya. Dewa Maut juga langsung bereaksi. Ia menggempur tenaga di atas dengan cara meluncur. Melawan dorongan yang ada. Tanpa diisap pun ia akan maju ke depan. Karena ilmunya memang ilmu yang dikembangkan untuk melawan arus air sungai. Yang terlontar ke belakang adalah Wilanda. Yang bertahan secara sia-sia. Gempuran hawa panas membuatnya susah bernapas. Dalam satu gebrakan, semua bereaksi dan pertempuran terjadi dalam ruang yang begitu sempit. Ugrawe mengegos tak berani menyambut sambaran Gendhuk Tri. Meloncat mundur untuk menangkis serangan Dewa Maut dan sekaligus menepiskan gulungan tubuh Jaghana. Ugrawe memang tak mau berisiko sedikit pun. Ia lebih suka mengambil jalan yang menguntungkan. Menerobos ke belakang. Sambil menarik tubuh Rawikara ke arah luar gua. Gendhuk Tri tertawa mengikik, dan meloncat ke atas dengan cara yang sama. Begitu tubuhnya keluar dari bawah tanah, dua tombak beruntun menyambar ke arahnya. Tanpa mengalami banyak kerepotan, Gendhuk Tri menangkap dua ujung tombak yang diarahkan kepadanya dan menyentakkan keras, sekaligus membalikkan arah tombak. Terdengar dua jeritan bersamaan. Gendhuk Tri turun dan berdiri di pinggir mulut lubang ke bawah tanah. "Ayo semua naik." Dewa Maut yang menyusul pertama kali. Sekali genjot, tubuhnya melayang tinggi di angkasa. Rawikara meloncat menyambut tubuh Dewa Maut. Sekali ini dengan mantap Rawikara menjajal jurus Banjir Bandang Segara Asat. Putaran tangan dan tubuhnya bagai awan panas yang keras. Dewa Maut masih tertawa ketika menyambut tangan Rawikara. Hanya saja kemudian terasa guncangan dalam ulu hatinya yang menyesakkan. Lalu seperti diaduk isi perutnya. Hanya beberapa kejap, tubuhnya lalu meluncur masuk kembali ke bawah tanah. Pada saat itu Jaghana telah mumbul ke atas, sehingga tubuh mereka bertubrukan. Jaghana membopong tubuh Dewa Maut dan tetap membawa ke atas. Jaghana sudah dua kali membawa tubuh jatuh dari atas. Dan dua-duanya membuatnya terkejut. Karena orang yang dibopong seperti tak mempunyai tenaga lagi. Bagai sebongkah daging saja. Pembarep muncul dari permukaan sambil menggendong Wilanda, disusul Panengah dan Wuragil. Yang terakhir ini kembali menjadi sasaran Rawikara yang melakukan loncatan yang sama. "Bagus," teriak Ugrawe gembira melihat Wuragil berusaha menangkis. Lekatnya dua tangan, disusul jeritan, dan tubuh Wuragil jatuh kembali ke bawah. Pembarep yang tengah melayang, melemparkan pelan tubuh Wilanda ke Panengah, dan ia sendiri meluncur turun kembali. Begitu kakinya menotol tanah di dasar gua, langsung mumbul kembali sambil membopong Wuragil. Yang terasakan hanyalah badan yang tak bereaksi, menggigil dengan gigi gemeretuk. Belum hilang kagetnya, Pembarep melihat bahwa Ugrawe sudah meneriakkan kalimat keras sambil terbang ke arah Jaghana. Jurus yang sama, Banjir Bandang Segara Asat yang bergemuruh. Dua telapak tangan Jaghana membuka ke depan, menyambut pukulan Ugrawe. Tenaga Jaghana adalah tenaga lembek, tapi akan menjadi kuat jika lawan berkeras. Sepersekian detik Ugrawe kaget juga, akan tetapi dengan mengempos seluruh tenaga di pusat, dorongan tangan kanan menjadi golakan dahsyat, sementara tangan kirinya mengisap luar biasa. Jaghana membelalak, untuk pertama kalinya. Tanpa mengeluarkan jeritan, tubuhnya meluncur turun. Jatuh tak bergerak-gerak lagi. Ugrawe mengibaskan tangannya untuk mengendalikan pergolakan dalam tubuhnya. Angin panas bergolak bagai mendidih dalam tubuhnya. Dalam waktu sekejap saja, Dewa Maut, Wuragil, dan Jaghana telah dibuat tak berdaya. Betul-betul ilmu yang luar biasa. Pembarep meletakkan bopongannya. Bersiap. Kalau biasanya memakai senjata pedang, kini menghadapi dengan tangan kosong. Gendhuk Tri baru menyadari bahwa malapetaka itu sudah datang. Terlambat menolong! Kini praktis tinggal dirinya, Pembarep, dan Panengah yang bertahan.
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:19 pm | |
| Rawikara kembali bergulung, meloncat tinggi ke angkasa, menerjang ke arah Panengah. Gendhuk Tri tak membiarkan lawan bereaksi seenaknya, cepat meloncat tinggi ke udara, membarengi dengan gempuran. Ia ingin menjajal pukulan yang ajaib. Rawikara tak mengira bahwa Gendhuk Tri yang akan menyongsongnya. Kalau tadinya takut kena racun, kini Gendhuk Tri menjawab dengan telapak membuka. Alias beradu tenaga dalam, bukan untuk melukai bagian kulit luar. Namun dalam detik yang bersamaan Ugrawe menolak tubuh Rawikara hingga terlempar jauh. Ia sendiri berjumpalitan di angkasa, turun kembali dengan gagah. "Berbahaya, Pangeran, tubuhnya penuh dengan racun." Keringat dingin mengalir dari tubuh Rawikara. Ia masih bertanya-tanya, apakah benar racun dalam tubuh si bocah kecil itu demikian ganas tak terhalangi. Panengah juga mengeluarkan keringat. Lebih dingin. Bukan karena racun yang menakutkan. Tetapi setiap kali Rawikara atau Ugrawe menggebrak, dengan satu pukulan saja lawan langsung kehilangan segala tenaga. Bahkan untuk bergerak menghindari serangan berikutnya sudah tak mungkin. Pembarep yang lebih waspada merasakan bahwa lawan menguasai ilmu iblis yang luar biasa ganasnya. Semuanya serba sia-sia. Setelah bertahan dalam gua bawah tanah sekian lama, setelah Gendhuk Tri menerobos masuk untuk memberitahukan bahaya, ternyata tetap terlambat. Ternyata Ugrawe tetap bisa melaksanakan niatnya. Melumpuhkan semuanya. Bagi Pembarep tidak ada pilihan lain untuk menghadapi. Ia bersiap. Berjaga agar tidak terjadi penyedotan tenaga dalam. Ini hanya bisa dilakukan jika kedua tangan tidak bentrok. Namun ini pun sangat sulit, untuk tidak disebutkan sebagai tidak mungkin. "Adik Panengah, hati-hati." "Siap, Kakang." "Gendhuk Tri, hari ini tugas kita bertiga untuk memberantas segala keganasan dan kelaliman." "Mereka tak akan berani maju." Belum selesai kalimat Gendhuk Tri, Ugrawe menggulung tubuhnya. Berputar dengan dahsyat dan meluncur ke arah depan. Dua tangan terentang arah kiri dan kanan. Pembarep meloncat sangat tinggi, dengan kaki menendang ke arah tengkuk lawan. Panengah tak mau kalah cepat. Dengan sigap ia meloncat sambil merampas senjata para prajurit sekenanya untuk menusuk pinggang Ugrawe. Ugrawe meraup tombak yang tertuju ke arah pinggangnya, dan dengan memakai kekuatan pelanting tubuhnya melayang ke atas. Sama tinggi, dan menggempur Pembarep. Di atas angin, Pembarep menekuk tangannya. Siku kanan dan kiri menghantam ke arah dada Ugrawe. Terdengar teriakan aduh yang keras. Bukan Ugrawe yang mengaduh, akan tetapi Pembarep yang terjengkang. Siku tangannya seperti membentur karang baja yang melentingkan tenaga panas yang menerobos masuk ke dalam saraf tangannya.- Di lain pihak, Panengah pun terbetot tenaganya sehingga seperti terbanting. Baru ketika kedua kakinya menjejak dan memasang kuda-kuda lagi, ia bisa berdiri tegak. Ugrawe meloncat maju. Kedua tangan berputar di atas kepala. Satu bergerak ke depan dengan berputar, satu lagi menarik ke belakang dengan berputar. Gendhuk Tri berteriak nyaring sambil maju bergulung. Kedua tangannya terjulur dengan jari-jari yang berkembang. Siap mencakar apa saja. Sedikit saja lawan bisa dilukai, racun dari sekujur tangannya akan merembes tak terbendung ke arah lawan. Masuk terseret darah yang mengalir. Ugrawe tentu tak membiarkan kulit atau pakaiannya tersentuh Gendhuk Tri. Tenaga mengisap dan mendorong diubah menjadi tenaga mendorong sepenuhnya. Tubuh Gendhuk Tri yang meluncur ke arahnya ditolak dengan tenaga keras, panas, dan menyentak. Untuk sementara serangan Ugrawe ke arah Pembarep dan Panengah gagal, akan tetapi Gendhuk Tri juga tak bisa mendesak maju. Malah beberapa kali arah pukulannya melenceng karena arus tenaga panas dari Ugrawe makin menyesakkan. Bertarung dalam penjagaan jarak, Gendhuk Tri tak bisa berbuat banyak. Malah menjadi keteter karenanya. Ugrawe mempunyai peluang untuk melancarkan serangan satu-dua ke arah Panengah. Pukulan kosong jarak jauh membuat Panengah meloncat menghindar, dan pada saat yang bersamaan Rawikara meloncat ke atas. Masuk ke dalam pertempuran. Pembarep yang sudah terluka dalam, masih memiliki tenaga. Ia tak membiarkan adiknya begitu saja dihajar musuh. Dengan sisa tenaga yang ada, Pembarep ikut meloncat. Darah merah mengalir dari kedua tepi bibirnya. Kedua tangannya terentang. Rawikara justru dengan gagah menyambut dua pukulan sekaligus! Akibatnya berat! Pembarep langsung ambruk, muntah darah, dan pingsan seketika. Tenaga dalamnya yang sudah terluka, menganga lebih dahsyat. Panengah justru habis tenaganya karena terisap! Rawikara berdiri dengan gagah. "Hari ini Dewa Yang Agung menakdirkan seluruh ksatria menyerahkan tenaganya secara terhormat. Bapa Guru, racun ganas macam apa yang ada di tubuh gadis ingusan ini, biar saya mencicipi." Dengan tenaga yang bergolak dahsyat, Rawikara seolah mabuk dengan gumpalan tenaga yang mendesak-desak. Maka tak bisa menahan diri untuk tidak menyalurkan dengan gempuran. Dikeroyok dua jago utama, guru dan murid, Gendhuk Tri terdesak dalam waktu singkat. Jelas bahwa ilmu silat Gendhuk Tri bukan tandingan Ugrawe. Belum ada takaran untuk bisa diperbandingkan. Meskipun gaya dan jurus Gendhuk Tri aneh dan tidak wajar, akan tetapi variasi demi variasi bisa dibaca oleh Ugrawe dengan tepat. Keunggulannya hanyalah karena Ugrawe tak bisa melukai secara langsung. Gendhuk Tri berlari, jungkir balik bagai penari yang kesetanan. Selendangnya sudah sobek di beberapa ujungnya. Rambutnya terurai lepas, kedua tangan dan kaki mencakar ke sana-kemari. Dilihat selintasan justru Gendhuk Tri seperti bola mainan yang begitu lemah. "Tak ada aturan lagi. Mengaku sebagai panglima perang terbesar, mengangkat diri sebagai pujangga pamungkas, tak tahunya hanya pengeroyok murahan. Ini baru namanya kabar yang perlu didengar oleh belalang dan angin. Guru yang nomor satu, yang lebih hebat dari sinar matahari, bersama dengan muridnya... main-main sepenuh tenaga dengan seorang anak perempuan yang bahkan belum disunat." Suara yang dikeluarkan oleh sosok tubuh yang tinggi, kurus, seperti melengkung. "Tenang saja, Pakde. Saya bisa mengencingi mereka. Ini malah bagus," jawab Gendhuk Tri dengan suara keras. Rawikara memutar tubuh, dengan satu jejakan tubuh langsung melayang ke angkasa. Kedua tangan berputar ke atas, tangan kiri turun di pusar. Banjir Bandang Segara Asat langsung dipakai dalam gebrakan pertama. Tubuh yang diserang mengeluarkan teriakan keras. Sama-sama meloncat ke atas dan memapaki serangan Rawikara. Tak ada benturan tenaga yang keras. Tak ada tepukan yang mengeluarkan suara, ketika dua tangan beradu. Hanya tubuh keduanya melayang turun ke tanah. Kaki lelaki yang dipanggil Pakde itu masih bisa terangkat, menyepak Rawikara yang berusaha menangkis. Tubuhnya terpental jauh. Tubuh Pakde menyentuh tanah dan mumbul kembali ke atas. Sebelum tubuh Rawikara jatuh mengenai tanah, bisa diungkit dengan ujung kaki, Hingga membal ke atas dan disambut dengan pukulan mencengkeram ke arah pundaknya. Rawikara mengeluarkan jeritan kesakitan. Tubuhnya terbanting ke tanah. Tak bangun lagi. Dalam sekejap saja, pertempuran yang benar-benar maut terjadi. Banjir Bandang Segara Asat memang jurus maut yang paling ganas. Kali ini juga terbukti. Tenaga dalam Rawikara yang sudah berlipat tetap kalah oleh Pakde, hingga akibatnya sangat fatal. Cengkeramannya tetap menghancurkan tulang pundak, yang bagi seorang jago silat merupakan segala pusat gerakan di tangan. "Ngabehi Pandu, jadi kamu masih hidup?" Teriakan Ugrawe, membuat Pakde yang kurus tinggi itu tak bereaksi. "Sebelum kamu bisa membunuhku, apakah aku mau mati lebih awal?" "Pakde, jangan layani omongannya...." "Gendhuk Tri ... aku segan mengeroyoknya. Biarlah kau beri aku kesempatan untuk menyerap kembali tenaga para ksatria yang dirampok olehnya." Ugrawe bercekat juga. Meski tidak tahu-menahu tentang nama jurus, Ngabehi Pandu mengetahui prinsip-prinsip dasarnya. Ngabehi Pandu memang satu-satunya tokoh yang lolos dari serangan habis-habisan di Perguruan Awan. Yang menjadi guru Upasara Wulung. "Sungguh bahagia hari ini aku bisa bertemu denganmu, Ngabehi Pandu. Tak kunyana, bahwa kini kamu bisa banyak bicara. Kiranya kamu pula yang selama ini menyaru sebagai Senamata Karmuka. Pantas kamu bisa mengelabui semuanya. "Perguruan Awan ini menjadi saksi, siapa di antara kita berdua yang lebih terang dari matahari. Di jagat ini hanya ada satu matahari, tak pernah ada matahari kembar. Bersiaplah, Pandu." Suasana sunyi. Ugrawe berhadapan dengan Ngabehi Pandu. Sementara korban yang lain tak bisa bergerak. Gendhuk Tri juga berdiri lurus, mengatur pernapasan. Ini baru pertempuran tingkat di atas tinggi. Pertempuran yang sempurna. Gendhuk Tri berharap saat ini ada Kakang Upasara. Setidaknya akan mendengar sendiri teka-teki yang masih menghantui dirinya. Seperti diketahui, tahun yang lalu Upasara Wulung bersama dengan Ngabehi Pandu dan Wilanda datang ke Perguruan awan. Karena menurut berita di situ akan datang Tamu dari Seberang, seorang tokoh misterius yang konon membawa wangsit siapa yang bakal menjadi raja di tanah Jawa. Mitos tentang Tamu dari Seberang memang sudah lama mengakar dalam masyarakat sejak Ken Arok naik takhta. Konon sebelum naik takhta, ada berita yang dikatakan oleh Tamu dari Seberang. Akan tetapi sekali ini adalah muslihat Ugrawe untuk menyikat semua ksatria Singasari yang dikuatirkan akan membantu Baginda Raja Sri Kertanegara. Saat itu kemudian berhasil disergap oleh Ugrawe dan pasukan dari Gelang- Gelang yang dipimpin langsung oleh Raja Muda, saat itu, Jayakatwang. Dalam pertempuran itu terlihat munculnya Senamata Karmuka, senopati terpercaya Keraton Singasari. Hanya saja ketika Upasara kembali ke Keraton untuk mengabarkan hal ini, omongannya dibantah keras. Malah Upasara dianggap berdusta. Karena selama ini Senamata Karmuka tak pernah meninggalkan Keraton. Tak pernah menjauh dari bayangan tubuh Baginda Raja. Upasara tentu saja tidak mengerti. Bahwa saat itu Ngabehi Pandu, yang adalah saudara kandung Senamata Karmuka, menyamar sebagai Senamata Karmuka. Sebaliknya, Ugrawe bisa mengetahui cepat. Kalau saat itu Ugrawe bisa mengetahui cepat. Kalau saat itu Ugrawe bertempur dengan Senamata Karmuka, dan merasa bahwa ilmu andalan Senamata Karmuka yaitu dalam membidik dengan anak panah tak terlalu hebat. Sekarang baru jelas bahwa itu semua dilakukan oleh Ngabehi Pandu! Gara-gara inilah Upasara Wulung hampir saja meninggal dunia. Karena dianggap mendustai Panji Angragani, mahapatih Keraton Singasari. Upasara dihukum dengan cara tubuhnya diberikan sebagai santapan harimau kesayangan Baginda Raja. Untunglah saat itu ditolong secara diam-diam oleh Mpu Raganata! "Ngabehi, aku menghormatimu sebagai ksatria sejati. Kamulah tulang punggung Keraton Singasari yang tak banyak bicara. Sebagai sesama pendekar, aku memberi kesempatan padamu meminta sesuatu padaku, kalau kamu tak bisa melihat matahari lagi." Congkak dan tinggi nadanya, akan tetapi di balik itu Ugrawe juga memperlihatkan bahwa ia seorang ksatria. Setidaknya masih merasa sebagai pendekar yang menepati janji. "Hmmmmm, aku tak berani meminta apa-apa." "Ngabehi, aku tahu tak begitu mudah mengalahkanmu. Akan tetapi kamu harus sadar bahwa yang kamu hadapi sekarang ini adalah pujangga pamungkas. Orang bijak paling akhir. Cepat atau lambat kamu pasti kalah. Maka sebelum mati, katakan apa permintaanmu. Akan kubuktikan bahwa aku bisa tetap menyandang gelar pendekar sejati seperti kamu. "Apakah kamu meminta aku membebaskan Gendhuk Tri?" "Enak saja kalau bicara. Dengar, Pendeta busuk bertelinga satu. Kalaupun aku bisa hidup dari belas kasihanmu, aku lebih suka jadi hantu penasaran seumur hidup. Tak nanti Pakde-ku yang gagah bakal mengemis sesuatu yang begitu hina. "Lebih baik kamu sendiri yang berpesan. Apakah kamu ingin dikubur telanjang atau dikubur dengan tambahan satu telinga dari seekor anjing." Ugrawe tertawa bergelak. "Di jagat ini ternyata ada lidah yang begitu tajam dan ganas, sehingga semua senjata di dunia ingin memotongnya. "Ngabehi, kalau merasa tak ada permintaan, ayolah kita mulai." "Kapan saja bisa. Tetapi kenapa kamu selalu main curang? Kenapa teman dekatmu kamu sembunyikan? "Aku jadi bertanya-tanya, apakah tanpa kebusukan kamu tidak pernah merasa menjadi manusia hina?" Ugrawe merasa dikalahkan dalam satu langkah. Pendengaran jarak jauh dan keahlian membaca dengus napas yang dimiliki Ngabehi Pandu memang luar biasa. Sedikit dengus yang berbeda pun bisa dirasakan. Selama ini memang dalam dunia persilatan lebih dikenal pamor Senamata Karmuka. Ngabehi Pandu hanya dikenal di kalangan terbatas. Akan tetapi para pendekar menyadari bahwa Ngabehi Pandu sebenarnya jauh lebih tangguh. Sekarang ini baru bisa dibuktikan. "Aha, aku memang dikenal sebagai ular busuk. Tapi dalam soal keroyokan, aku masih percaya kekuatanku sendiri. Justru tadinya kukira temanmu. Maka kubiarkan, karena aku tak gentar menghadapi keroyokan secara sembunyi-sembunyi. "Sahabat licik, keluarlah." Tangan Ugrawe menggebrak keras. Kesiuran angin panas menggetarkan dedaunan dan pepohonan yang jaraknya lima-enam tombak. Kesiuran angin itu mengenai tempat yang kosong. Ngabehi Pandu tertawa pendek. "Bukan di situ, Ugrawe."
________________________________________ Episode 4
Kali ini Ugrawe benar-benar terkesiap. Hatinya kaget. Sangat jelas pendengarannya di tempat mana orang itu bersembunyi. Akan tetapi di luar dugaannya, bahwa ia tak ada di tempat itu. Mana mungkin pendengarannya bisa salah? "Pakde maklum saja. Ugrawe cuma punya satu daun telinga." Belum pernah Ugrawe dikalahkan begitu telak. Ugrawe mengernyitkan keningnya. Mendadak tubuhnya berputar dan kedua tangannya terentang lebar. Tenaga hawa panas menyambar sekitar lapangan. Dengan cara seperti ini, siapa pun yang berada di balik pepohonan bakal kena sambar tenaganya. Beberapa batang pohon malah retak. Sebagian patah cabangnya, rontok daunnya, sebagian lagi tumbang. Tapi tetap tak ada bayangan muncul. Ugrawe lebih bercekat lagi. Jangan-jangan Ngabehi Pandu main gila. Sengaja mempermainkan karena memang tak ada orang yang bersembunyi. Lama suasana masih sepi, sampai kemudian terdengar suara yang serak dan parau, bersamaan munculnya dua bayangan berpakaian serbahitam. "Cara menyambut tetamu yang penuh sopan santun manusia belahan timur. Kami dua manusia dari ujung barat tanah Jawa bernama Pu'un Pamor dan Pu'un Wahana, khusus datang kemari untuk membalas dendam kematian saudara kami. Siapa yang merasa membunuhnya, hari ini kami akan melunaskan." Bisa dimengerti kalau bicaranya begitu tegas dan apa adanya, karena mereka datang dari daerah masyarakat di ujung barat. Gendhuk Tri bisa mengenali dari pakaiannya, dan caranya yang mirip-mirip dengan Pu'un yang telah tewas. Agaknya mereka rekan sesama perguruan, walau mengatakan saudara—karena semua dianggap bersaudara—yang datang untuk menuntut balas. "Pu'un dan Pu'un," teriak Gendhuk Tri. "Kedatangan kalian berdua sungguh tepat sekali. Dewa yang di langit memberi petunjuk. Orang yang kalian cari ada di sini. Pu'un yang kalian cari memang sudah mati dikubur hidup-hidup." Pu'un Pamor dan Pu'un Wahana menghadap ke arah Gendhuk Tri. Kedua kakinya membuka bersamaan, dengan tubuh condong ke depan. "Siapa yang melakukan itu?" "Orangnya ada di sini. Entah dia berani mengakui atau tidak." Ugrawe meringis. Gendhuk Tri memang merupakan lawan yang selalu bisa memojokkan. Kini ia dihadapkan pada pilihan yang sulit. Memang dulu Pu'un meninggal dalam penyerbuan habis-habisan di Perguruan Awan. Langsung atau tidak, dialah yang bertanggung jawab. Untuk menghadapi Ngabehi Pandu saja harus konsentrasi penuh, kini sudah muncul dua Pu'un yang mestinya ilmunya tak bisa dibilang sembarangan. Dengan satu kalimat saja, mereka berdua sudah ditarik ke dalam kelompok yang harus dihadapi! "Yang mana?" "Pu'un, di dunia ini ada lelaki, dan ada binatang. Kalau berani menjawab dialah lelaki, kalau tidak ia memang binatang." "Kamu bicara tidak jelas. Katakan atau kubunuh." Aneh adatnya, akan tetapi Pamor dan Wahana sudah langsung menubruk dengan gerakan harimau. Dua tangan terulur bersamaan, mencakar, dan tubuhnya meluncur dari enjotan kaki. Persis dua ekor harimau yang menerkam secara bersamaan. Gendhuk Tri sama sekali tak menduga bakal diserang seperti itu. Mengegos pun tak sempat. Dalam sekejap kedua tangan dan kakinya sudah terpegang oleh lawan. "Katakan lelaki mana yang membunuh saudaraku. Kalau tidak kamu yang akan menemani saudaraku." Bukan ancaman kosong kalau dilihat gaya dan sikap hidup mereka berdua selalu langsung apa adanya. "Kalian pikir bisa memaksa aku? Mau bunuh bunuhlah. Kalian sendiri yang membunuh saudara kalian untuk kedua kalinya!" Pu'un Pamor bercekat. Mengawasi Gendhuk Tri dengan terheran-heran. Secara aneh terasa bahwa aliran darah Gendhuk Tri agak ganjil. Juga bau tubuhnya, mengingatkan bau tubuh mereka sendiri. Memang. Gendhuk Tri pernah kena aji sirep Pu'un sebelumnya. Juga ilmu tenaga dalam Pu'un telah tertukar dan masuk ke dalam tubuhnya. "Jadi kamu jelmaan Pu'un Elam?" Pu'un Wahana melepaskan secara bersamaan dengan Pu'un Pamor. Berganti dengan merangkul Gendhuk Tri sambil tertawa riang. Gendhuk Tri berdiri tegak. Kalau tadi bisa mempermainkan Dewa Maut, sekarang dua Pu'un, dua jagoan yang datang dari jauh, juga kena kibul. "Pu'un Elam telah memberikan jiwanya padaku. Rohnya ada dalam diriku. Untung kalian berdua cepat menyadari tidak keliru lawan. Aku sendiri akan menuntut balas atas kematian Pu'un Elam. Akan tetapi lawan itu terlalu licik. Sekarang kalian berdua datang membantuku. Ayo tunggu apa lagi?" "Yang mana?" "Dari wajahnya sudah ketahuan. Yang normal telinganya dua. Ini cuma satu. Aku baru bisa memotes telinganya untuk membalas dendam. Membalaskan dendam Pu'un Elam. Tapi satu telinga ditukar nyawa, belum lunas. "Masih tanya mana yang telinganya cuma satu?" Pamor dan Wahana mendongak ke atas. Kedua tangannya terangkap di dada. "Dewa Langit, tenanglah arwah saudaraku. Kami berdua akan menyusul ke sana kalau gagal. Kalau berhasil, akan menyusulkan arwah si pembunuh, agar saudara kami Elam tenang adanya." Selesai bicara, tanpa mengambil napas tambahan, langsung menubruk ke arah Ugrawe. Ugrawe telah bersiap. Begitu kedua tubuh menerkam ke arahnya, Ugrawe memutar tubuhnya. Dua kakinya melayang ke depan sementara tangannya menyangga tubuh. Dengan mengerahkan tenaga tendangan, terkaman harimau dihadapi. Pamor mengeluarkan erangan tinggi. Merangkul kaki yang datang. Wahana juga melakukan hal yang sama. Dalam saat yang gawat itu, Gendhuk Tri melayang dekat. Kedua kakinya menyapu tangan Ugrawe yang menjadi penyangga tubuhnya. Ugrawe tetap berusaha bertahan. Dua kaki dibetot paksa masih ditahan. Adu kekuatan masih berimbang. Satu tangan dipakai menyangga juga masih bisa. Kini satu tangan untuk memapaki tendangan Gendhuk Tri. Gendhuk Tri tertawa mengejek. Kaki yang mau ditangkap Ugrawe ditarik ke atas, ganti kaki lain menginjak leher. Suara ejekannya seakan yakin bahwa kali ini Ugrawe akan terkecoh. Karena Gendhuk Tri mengubah gerakan yang elok dalam sekejap. Dengan dasar penari, gerakan kaki Gendhuk Tri memang hidup sekali. Posisi Ugrawe memang serbasalah. Dengan disangga satu tangan dan dua kaki dipeluk Pu'un yang nekat, kekuatannya terbatas. Tapi ia adalah jagonya jago yang menggelari dirinya dengan berbagai sebutan luar biasa. Dan ini bukan sebutan omong kosong. Ugrawe mengerahkan kekuatan lewat satu tangan yang menyangga. Seluruh tenaga dientakkan, kedua kakinya mengayunkan keras. Tubuhnya melayang secara terbalik. Dengan Pu'un Pamor dan Pu'un Wahana turut melayang ke atas, karena tak mau melepaskan pegangannya. Sementara tenaga tolakan dari tangan Ugrawe mendesak Gendhuk Tri hingga terlempar. Empat tubuh melayang di angkasa. Ngabehi Pandu berdehem kecil sambil mengeluarkan teriakan pendek. "Awas, Gendhuk." Pendek suaranya, tubuhnya melayang dan menempel rapat ke arah tubuh Ugrawe. Tangan Ngabehi Pandu menangkap Gendhuk Tri yang terlempar, akan tetapi kedua sikunya sempat menghajar Ugrawe. Telak di ulu hati. Gendhuk Tri sendiri, begitu merasa aman dalam pegangan Ngabehi Pandu, langsung mencakar wajah Ugrawe. Goresan kuku membuat tubuh Ugrawe menggigil. Begitu jatuh di tanah, Pamor dan "Wahana langsung bisa meringkusnya. "Kalau Ugrawe tak mau melepaskan siksaan para ksatria yang dilukai, biar aku bereskan sekarang juga!" teriak Gendhuk Tri. Ugrawe paling merasa ngeri dengan Gendhuk Tri, sumber dari segala sumber racun yang ganas dan sulit dikendalikan. Kini melihat Gendhuk Tri bersiap menerjang ia hanya pasrah menunggu nasib. "Tunggu. Tak baik kalau menyerang lawan yang terbelenggu. Itu bukan sifat seorang ksatria." Ngabehi Pandu menggerakkan tangannya. "Kalau ingin menyelesaikan pertempuran, biarlah aku yang akan menghadapi sendirian." Ugrawe sendiri merasa kagok. Karena di dunia ini ternyata masih ada seorang yang bersikap ksatria. Tetap ksatria walau dicurangi. Dari balik gerombolan pohon, terdengar helaan napas panjang. Dua bayangan masuk ke dalam lapangan. Satu orang bisa segera dikenali sebagai Kiai Sangga Langit yang perkasa. Satu orang lagi tak bisa diduga siapa. Karena gerak-geriknya masih asing. Hanya kalau dilihat dari segi pakaian yang dikenakan, tak berbeda dari Kiai Sangga Langit. Malah lebih lengkap dengan pakaian panglima perang. Kiai Sangga Langit mengeluarkan kalimat pendek. Ngabehi Pandu berbalik, memberi hormat kepada Kiai Sangga Langit, dan di luar dugaan bisa menjawab apa yang dikatakan Kiai Sangga Langit. "Ini bukan ksatria atau tidak ksatria. Terima kasih untuk sebutan orang gagah. Saya tak berhak gelar terhormat dari keraton kalian." "Sungguh berbudi. Bahkan bisa berbicara dalam bahasa kami." "Dengan banyak salah, karena selama ini saya hanya mempelajari dari buku. Perkenalkan, saya Ngabehi Pandu." "Nama besar itu sudah lama kami dengar. Saya Bok Mo Jin atau Sangga Langit, dan ini saudaraku, Panglima Sih Pi yang bergelar Naga Wolak-Walik." Naga Wolak-Walik membungkukkan tubuh sambil merangkapkan kedua tangannya. Ngabehi Pandu balas menghormat dengan jempolnya, dan badan ditekuk. Naga Wolak-Walik adalah gelar yang luar biasa di negeri Cina. Di mana seorang pendekar biasanya mempunyai gelar tertentu yang menggambarkan kelebihannya. Dengan sebutan Naga Wolak-Walik bisa diartikan naga yang mempunyai dua kepala. Di ekornya pun ada kepalanya. Untuk menggambarkan betapa dahsyatnya. Satu kepala saja sudah dahsyat, apalagi kembar dan bolak-balik. Apalagi diperkenalkan sebagai panglima perang. "Saya merasa dapat kehormatan besar dengan keterusterangan Naga Wolak- Walik. Akan tetapi kenapa Kiai Sangga Langit menyembunyikan kemampuan untuk bisa memahami bahasa kami? Apakah bahasa kami sedemikian rendahnya sehingga tak berhak untuk dibicarakan?" Kiai Sangga Langit menarik keningnya. Berkerut. Alisnya yang tebal seakan bersatu. "Sebagai seorang imam agung yang banyak mempelajari buku dan berpengetahuan luas, sangat muskil sekali tak bisa mempelajari. Kenapa Kiai harus selalu berlindung di balik Nyai Demang?" Kiai Sangga Langit tertawa lebar. "Sungguh cerdik sekali," suaranya menurun, lalu berganti dengan bahasa yang dimengerti seisi lapangan, kecuali Naga Wolak-Walik. "Sekali bertemu, Ngabehi Pandu bisa menelanjangiku. Sungguh di tanah Jawa ini begitu banyak orang cerdik pandai. Maka Kaisar Mulia yang menguasai atap dunia di daratan Cina sulit sekali mengalahkan. "Benar-benar luar biasa. "Aku hargai kejujuran dan keterusterangan Ngabehi Pandu. Di negeri kami, kamu pantas mendapat sebutan orang gagah." "Terima kasih atas gelar kehormatan ini. Kini para pemuka sudah muncul di Perguruan Awan. Entah apa pula maunya. Kalau memang ada yang bisa saya lakukan, akan saya lakukan." Di balik kata-kata Ngabehi Pandu tersirat suatu tantangan besar. Kiai Sangga Langit berdecak kagum. Kini boleh dikata semua kartu telah dibuka. Semua batu telah disingkirkan, hingga udangnya kelihatan. Apa yang dikatakan Ngabehi Pandu merupakan tantangan terbuka: Kalau memang masih ada urusan, itu bisa diselesaikan. Dan Ngabehi Pandu siap untuk menghadapinya! Itu bisa berarti perang tanding. Kiai Sangga Langit mendongak ke arah langit. "Aku selalu merasa diriku seorang ksatria, seorang pendekar yang berkelana ke ujung penjuru dunia untuk mengetahui luasnya langit. Puncak-puncak gunung dingin, padang kembara yang panas, telah aku jalani. Kini, di tanah yang subur aku menemukan sarang ilmu silat yang sesungguhnya. Sehingga ketika semua rombongan datang dan dihina rajamu, aku masih bertahan di sini. "Tetapi aku tetap seorang imam negara. Aku diperintah oleh kaisar kami yang menguasai jagat. Hari ini aku menjadi prajurit yang menjalankan tugas untuk membalas dendam kepada raja yang telah menghina kaisar kami. Naga Wolak-Walik dan rombongannya sudah tiba untuk membalaskan penghinaan ini." "Sudah sepantasnya saya mewakili untuk menyambutnya. Sebab yang meremehkan kaisar kamu adalah raja saya. Kita harus berbahagia, karena kita masingmasing masih mempunyai sesuatu yang harus dipertahankan, yaitu kehormatan. "Kiai Sangga Langit, saya telah siap." Ngabehi Pandu menggeser kakinya. Memilih tempat agak di tengah. Ke tempat yang lebih lapang. Berdiri dengan gagah. Kiai Sangga Langit meloncat pendek, mengambil kuda-kuda. Naga Wolak-Walik bersiap. "Karena ini pertempuran antara utusan kaisar dan prajurit raja, saya tak bisa berdiam diri," kata Naga Wolak-Walik. "Kalian yang ada di sini, bersiaplah." Ngabehi Pandu menerjemahkan kalimat Naga Wolak-Walik. Gendhuk Tri meringis. "Kaisar-kaisar macam apa yang kalian sebut itu aku tak tahu. Tetapi kalau kalian berdua mau sesumbar, boleh menjajal dulu kami. Pamor, Wahana, ayo, ini ada tugas menarik." Sementara semua bersiaga, Ugrawe berusaha mengumpulkan tenaga dalam untuk menghentikan menjalarnya racun di wajahnya. Dirasakan bahwa pelan-pelan bagian dari wajahnya yang kena cakar Gendhuk Tri mulai membeku. Mulai kehilangan rasa. Tapi ada yang lebih bercekat dalam hatinya. Belum ada setahun yang lalu, ia datang ke Perguruan Awan ini untuk membasmi semua ksatria. Tidak tahunya justru sekarang barisan kaisar Mongol datang untuk melakukan hal yang sama. Kalau panglima perangnya sudah turun ke daratan, bisa dipastikan bahwa sekitar tempat ini telah dikepung rapat. Betul-betul pahit. Sejarah berulang, dengan dirinya kini menjadi korban.
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:23 pm | |
| Perguruan Awan bakal menjadi saksi kembali. Pertumpahan darah yang tak ada habisnya. Pertumpahan darah dan pembasmian yang habis-habisan. Kekuatiran Ugrawe memang menurut perhitungan. Karena sayup-sayup terdengar suara ringkikan kuda dan pasukan yang bergerak. Tak bisa tidak inilah prajurit pilihan yang datang dari Mongolia dan daratan Cina yang dibawa Naga Wolak-Walik. Melihat kemungkinan buruk, Ugrawe mulai menggeser tubuhnya. Surut ke belakang, dan berusaha perlahan menghilang. Karena kedatangan pasukan Tartar ini akan menyulitkan kedudukannya. Kiai Sangga Langit meloncat maju dengan kedua tangan kukuh siap merangkul dan meremukkan punggung Ngabehi Pandu. Gaya serangan gulat Mongol yang paling diandalkan. Dalam satu loncatan, Sangga Langit telah menutup semua ruang gerak menghindar. Memang hebat. Dua kemungkinan yang bisa diambil oleh Ngabehi Pandu. Satu, meloncat ke belakang. Kedua, menghindar dengan meloncat ke atas. Kalau yang pertama dilakukan ia sudah kalah satu tindak dan tercecer. Kalau meloncat akibatnya bisa fatal. Sangga Langit siap untuk meraup kaki atau tubuh dan menekuk bagai melipat kain. Ngabehi Pandu bukan tokoh sembarangan. Ia justru memasang kuda-kuda. Dua tangan bergerak sekaligus memapak. Bukan memapaki jotosan, akan tetapi menekuk siku. Secara berturut-turut menyodok dada, perut, lambung, dada, ulu hati. Lima gerakan secara berurutan dengan kedua tangan. Sangga Langit menangkis kelimanya. Benturan tenaga tak terhindarkan. Duk-duk-duk-plak-plak, sementara kedua kaki masing-masing juga saling menyepak, menendang, dan menangkis. Berkutat dalam jarak pendek, keduanya tak bisa melemparkan jurus-jurus maut. Tapi benturan dan empasan tenaga dalam cukup menyita dan menguras. Satu hal yang bisa dilihat adalah kenyataan bahwa Sangga Langit sampai sekian jurus belum juga merangkul lawan untuk dilibas habis. Sementara Ngabehi Pandu juga tak bisa meloloskan pukulan dengan mulus. Selalu bisa ditangkis. Naga Wolak-Walik yang dikeroyok oleh Pu'un Wahana dan Pu'un Pamor melayani dengan tenang. Bahkan seperti setengah mengambil hati. Hanya yang membuatnya bercekat ialah serbuan mendadak dari Gendhuk Tri. Sebagai panglima perang yang berpengalaman luas, Naga Wolak-Walik merasa jeri dengan bau tubuh yang keluar dari badan Gendhuk Tri. Penciuman Naga Wolak-Walik menjadi risi karena mengendus sesuatu yang sangat berat. Sewaktu pertempuran makin meningkat, suara rombongan mendekat makin jelas. Yang tak diduga oleh Ugrawe, justru rombongan ini adalah rombongan dari Keraton. Secara resmi dipimpin oleh Sagara Winotan dan Jangkung Angilo. Dua pejabat tinggi Keraton yang membawa pengawalan lengkap. Lebih dahsyat lagi dalam rombongan ini juga dikibarkan umbul-umbul, atau bendera Keraton. Ini berarti kedua menteri ini merupakan utusan resmi Raja Jayakatwang. Jangkung Angilo, yang memang bertubuh jangkung itu, meloncat tinggi dari kudanya. Melihat sekeliling. Sebagian besar tergeletak tak berdaya, sebagian justru sedang bertempur. Melihat bahwa salah seorang korban adalah Rawikara, Jangkung Angilo segera menyiapkan pasukannya. "Orang asing, kalau kalian datang sekadar mengumbar nafsu besar, hari ini kami akan menutup mulutmu." Naga Wolak-Walik meloncat tinggi ke angkasa dengan gagah. Melepaskan kerubutan. Sangga Langit berusaha berkelit menghindar dari sergapan Ngabehi Pandu, akan tetapi setiap kali kena libatan. "Para menteri yang terhormat, kami terpaksa membereskan manusia-manusia pengacau," teriak Sangga Langit. "Raja Jayakatwang telah memberikan pengampunan. Kalau Kiai Sangga Langit mematuhi perintah Raja, harap minggir! "Bagi kami persoalannya jelas. Siapa yang membantah adalah musuh yang harus dimusnahkan." Naga Wolak-Walik, sebaliknya malah meloncat maju. Empat lapis prajurit yang berdiri di depan Jangkung Angilo dilewati dengan enteng. Sebagai panglima perang, ia bisa menghadapi barisan prajurit dengan tenang karena tahu cara-caranya. Naga Wolak-Walik hafal bagaimana mengatasi kerumunan atau barisan prajurit. Jangkung Angilo tak menduga bakal diserbu secara mendadak. Segera mencabut kerisnya. Tanpa berkelit, Naga Wolak-Walik maju merampas. Pergelangan tangan Jangkung Angilo langsung kena tekuk, tubuhnya bisa tertarik maju. Masuk ke dalam dekapan Naga Wolak-Walik yang dengan cepat membanting ke tanah. Naga Wolak- Walik sendiri kemudian melesat lagi dan menyerbu ke arah Sagara Winotan. Sagara Winotan menyambar dua tombak sekaligus dan memapaki. Dua tusukan ke arah lambung. Terdengar bunyi "trang" yang keras. Ternyata Naga Wolak-Walik mengenakan pakaian lapis yang mampu menahan tusukan benda tajam. Dua tangannya keras mencengkeram ke arah tenggorokan lawan. Tapi Sagara Winotan bukan sembarang menteri. Melihat tusukan andalannya seperti menyentuh benda keras, kedua tangan siap menangkis serangan ke arah tenggorokan. Dua tangan membuka kuat, sekaligus tubuhnya melayang ke atas. Naga Wolak-Walik seperti menangkap angin. Akan tetapi mungkin benar juga gelarnya—naga berkepala dua, bisa melihat dari bagian belakang. Naga Wolak-Walik juga segera memutar dan tubuhnya melayang di angkasa. Melewati barisan prajurit. Lagi-lagi siap untuk merangkul. Ilmu andalan Sagara Winotan bukanlah ilmu bertempur di udara. Justru julukan Sagara yang berarti laut, lebih mengandalkan pertempuran di bawah. Karena kekuatannya terletak pada gerakan kaki, yang bisa berputar bagai gelombang. Padahal justru sekarang ini terjadi duel di udara! Sagara Winotan kena dirangkul, dan tubuhnya dibawa amblas ke bawah. Saat itu tak ada prajurit yang bisa melakukan gerak menolong karena tak tahu mana kawan mana lawan. Bahkan sebagian besar seperti terpesona. Akan tetapi di saat yang begitu kritis, mendadak sebilah keris meluncur deras dari bawah. Seperti membelah dua tubuh yang lengket. Perhitungan pelempar keris cukup luar biasa. Dari desis keris terasakan hawa dingin yang menandai bukan keris sembarangan. Dari arah bidikan sangat jelas sekali bahwa pembidiknya adalah seorang yang lihai dan pintar. Karena bidikan itu tak bisa diterima dengan pakaian lapis anti senjata yang melindungi. Karena sasarannya bukan dipaser dari depan, melainkan dari bawah. Tak ada jalan bagi Naga Wolak-Walik selain melepaskan rangkulannya. Daripada dimakan keris. Dengan sendirinya Sagara Winotan lepas dari cengkeraman juga. Keris yang meluncur ke atas tiba-tiba membelok, dan meluncur turun. Bersamaan suatu bayangan meloncat untuk menangkap kembali. "Kakang Upasara..." Teriakan Gendhuk Tri yang nyaring dan tinggi sekali. Bayangan yang menahan keris tadi memang Upasara Wulung. Yang berdiri di tanah dengan gagah. Dadanya terbuka. Hanya mengenakan kain di bawah, tak ubahnya seperti prajurit yang lain. "Kakang jadi kawin atau tidak?" Itulah Gendhuk Tri! Dalam suasana yang begitu gawat, yang dipersoalkan pertama kali adalah soal apakah Upasara Wulung jadi kawin atau tidak. Bukan soal keselamatan orang lain, termasuk Sagara Winotan atau Jangkung Angilo. Bukan soal Keraton, dan kenapa Upasara ikut dalam barisan Keraton. "Tentu saja belum. Masakan ada pengantin baru keluyuran. Kemarilah, Gendhuk...." Gendhuk Tri tertawa ngikik sambil meloncat maju, bagai terbang. Selendangnya berkembang. Dan hinggap di sisi Upasara sambil memegangi tangan dengan manja. "Saya kira Kakang sudah kawin dengan anak Pak Toikromo itu." "Tidak. Sebelum kawin kan harus bekerja dulu." "Ya, tapi kenapa pilih jadi prajurit Jayakatwang? Kan dulu kita berada dalam kelompok Baginda Raja Kertanegara." Nyeplos seenak isi hatinya sendiri. Bagi yang mendengar bisa tersinggung. Masakan begitu enak bicara sembarangan tentang Jayakatwang, padahal menyebut Toikromo saja pakai Pak? Tapi mana Gendhuk Tri peduli soal itu? "Nanti akan aku ceritakan. Sekarang ini, masih ada soal lain. Gendhuk Tri, adik kecil, kamu tambah ayu...." "Ya, tapi aku bukan anak kecil lagi." "Ya, kamu tambah gede." "Kakang, Ngabehi Pandu juga ada di sini. Itu... lagi bermain-main dengan Sangga Langit yang jelek." Wajah Upasara berubah. Rona merah, riang, mewarnai. Bisa dibayangkan, bahwa selama dua puluh tahun Upasara diasuh secara telaten oleh Ngabehi Pandu. Dan dalam suatu pertempuran mereka tercerai tanpa tahu mati-hidupnya. Maka kini Upasara langsung menunduk dan menyembah. Lalu berdiri kembali dengan gagah. Naga Wolak-Walik sejak tadi berdiri kukuh memperhatikan. Kini ia berada dalam kepungan yang siaga. Satu komando dari Sagara Winotan atau Jangkung Angilo, maka para prajurit akan menjadi barisan penyerang yang ganas. "Terima kasih, anak muda," kata Sagara Winotan perlahan. "Pertolongan-mu sangat berarti sekali. Telah menyelamatkan jiwaku." "Kebetulan hamba berada di dekat Paduka Menteri." Upasara menghormat perlahan. "Siapa namamu, dan apa maumu datang-datang langsung menyerang?" Ditanya begitu Naga Wolak-Walik hanya celingukan saja. Berteriak dalam bahasa yang tak dimengerti. "Saya datang...," teriak Kiai Sangga Langit mumbul ke atas, bersamaan dengan tubuh Ngabehi Pandu. Begitu sampai jarak dekat dengan Sagara Winotan, Kiai Sangga Langit segera membungkuk. "Maaf kalau kami mengganggu perjalanan pejabat tinggi Keraton sebagai utusan resmi Baginda Raja. Kami tak bermaksud menghalangi perjalanan pejabat resmi." "Bahasamu fasih sekali, Kiai. Saya hanya mengemban tugas Baginda Raja untuk menyebarkan perdamaian. Tak ada gunanya pertumpahan darah." "Maafkan saya. Juga teman saya yang menyusul saya kemari untuk kembali ke negeri asal." Sagara Winotan menghela napas. "Atas perkenan dan kemurahan Baginda Raja, silakan mundur." Kiai Sangga Langit membungkuk hormat. Lalu memandang ke arah Upasara. "Anak muda, sejak pertemuan terakhir ilmumu maju pesat. Terimalah hormatku." Lalu balik ke arah Ngabehi Pandu. "Orang gagah nomor satu, sayang kita tak bisa melanjutkan permainan anak-anak ini. Di lain waktu, kita pasti bertemu lagi." Ngabehi Pandu berdiri teguh. Tak menjawab tak bereaksi. Hanya wajahnya sedikit berubah ketika Gendhuk Tri menyeret Upasara Wulung datang mendekat ke arahnya. "Sujud dan hormat saya...." "Sejak kapan kamu menjadi prajurit pemberontak?" "Sejak membaca tembang di dinding benteng Keraton." Ngabehi Pandu maju, mengusap rambut Upasara Wulung. Dalam percakapan pendek itu, terbukalah semuanya. Bahwa sebenarnya Ngabehi Pandu-lah yang mencoretkan tulisan di dinding benteng Keraton. Pantas bisa leluasa masuk ke dalam benteng Keraton, dan menulis terbalik. Kalau bukan tokoh yang ilmunya tinggi dan tahu seluk-beluk Keraton, memang tak mungkin. Ngabehi Pandu, biar bagaimanapun, adalah orang Keraton Singasari. Baginya kebesaran Singasari dengan Baginda Raja Sri Kertanegara adalah satu-satunya. Maka ia cukup berang melihat Upasara Wulung bergabung dengan dan sebagai prajurit Gelang-Gelang yang kini menduduki Keraton. Akan tetapi jawaban Upasara melegakan Ngabehi Pandu, karena ternyata Upasara menyadari hal ini. Dalam satu-dua patah kata, keduanya sudah mengerti posisi masing-masing. Meskipun dalam sikap jelas berbeda. Ngabehi Pandu sama sekali tak memandang sebelah mata kepada utusan resmi Raja Jayakatwang. Ia tak menunduk, tak memberi hormat, tak menyapa. Selesai mengusap rambut Upasara Wulung, langsung berlalu begitu saja. Kalau tadi membela mati-hidup soal Keraton dalam menghadapi orang luar, kini masalah ke dalam jadi berbeda sekali. Sagara Winotan tak terlalu memedulikan. Ia memerintahkan agar diberikan prioritas pengobatan bagi Rawikara dan Jangkung Angilo, sebelum rombongan melanjutkan perjalanan. Tiga Pengelana Gunung Semeru, Dewa Maut, Wilanda juga mendapat perawatan. Akan tetapi, kondisi Wilanda dan Dewa Maut sangat payah sekali. Sore hari rombongan berangkat lagi. Gendhuk Tri tak pernah lepas dari lengketnya bergayut di tubuh Upasara Wulung. "Bagaimana Kakang bisa urung kawin?" "Ya, itu memang seharusnya begitu." "Kakang menyukai anak Pak Toikromo?" "Entahlah. Aku sendiri tak terlalu memedulikan." "Kenapa dulu Kakang lari meninggalkanku?" "Aku hormat kepada orang lugu yang baik, yang pernah menyelamatkan diriku. Pak Toikromo begitu ingin bermenantukan aku. Aku sendiri tak mempunyai sanak keluarga, jauh atau dekat. Tawaran itu tak bisa kutolak. Daripada terus mengembara tak tentu, hanya akan menyengsarakanmu. "Tetapi ketika ke rumah Pak Toikromo, terjadi perubahan besar. Aku ditemui Raden Sanggrama Wijaya. Salah seorang kerabat utama Keraton Singasari, yang akan melarikan diri ke tanah Madura. Aku diminta ikut menemui Adipati Wiraraja. Maka kami pun berangkat cepat-cepat." "Siapa Raden Sanggrama Wijaya?" "Dulu juga pernah masuk latihan di Ksatria Pingitan. Nama kebesaran beliau adalah Naraya Sanggrama Wijaya. Ketika Ksatria Pingitan dibubarkan, Raden Wijaya kembali menjadi putra bangsawan. Sedang aku kembali menjadi anak asuh Ngabehi Pandu." "Urusan apa ke tanah Madura?" Upasara mendongak mengawasi langit. "Kakang tak mau cerita padaku?" "Ini persoalan yang rumit dan aneh. Adipati Wiraraja menyarankan kita semua mengakui kebesaran Raja Jayakatwang. Dengan demikian penyerbuan, pemburuan pengikut Baginda Raja Kertanegara tak akan dilanjutkan lagi. Pertumpahan darah bisa dihindarkan. "Kalau Raden Wijaya mau mengakui kebesaran Raja Jayakatwang, ia akan menjadi simbol penyerahan kita semua. Sebab Raden Wijaya-lah yang masih dekat hubungannya dengan Baginda Kertanegara. Yang paling dekat. "Untuk menghindarkan pertumpahan darah, untuk mengurangi korban, dan demi masyarakat semua, persyaratan itu diterima. Hari ini, utusan Raja Jayakatwang akan menjemput Raden Wijaya sebagai penunjuk jalan." "Kakang, aku tak mau tahu urusan negara. Keraton mana, rajanya siapa, apa peduliku? Jangan gusar dulu, Kakang. Bagiku Baginda Kertanegara memang hebat, tetapi kalau ia benar-benar hebat, bukankah tak akan ada pemberontakan? Bukankah tak akan begini jadinya? "Semua ini omong kosong belaka. Yang namanya pembesar, yang namanya pendekar, yang katanya membela Keraton, yang mendapatkan pangkat dan kehormatan, juga bertindak semaunya. "Aku cukup kenyang dengan itu. "Tak ada yang benar!" "Rama Guru juga tidak benar?" "Ya," teriak Gendhuk Tri mengejutkan. "Aku mau mengabdi ke Keraton dengan baik. Sebagaimana seorang anak desa yang dipanggil. Siapa sangka aku malah diculik, diajari ilmu silat, dan dibiarkan terombang-ambing seperti sekarang ini? "Kini seluruh tubuhku penuh dengan racun. Tak ada yang mau mendekati. Semuanya ngeri dan tak mau kusentuh. "Bukankah aku akan lebih bahagia kalau tetap tinggal di Keraton? Menjadi selir kesekian ratus Baginda Raja, dan tak tahu-menahu balas dendam semacam ini?" "Pun, seandainya Keraton diratakan Raja Jayakatwang?" "Pun andai lebih dari itu. Kakang pikir mereka akan membunuhku? Menyiksaku? Paling akan menjadikan aku selir. Aku tak punya urusan balas dendam." "Gendhuk, adik kecil... kalau semua hanya mengurusi dirinya sendiri, apa jadinya kita ini? "Kalau Baginda Raja Kertanegara hanya mengurusi dirinya sendiri, beliau tak akan mengirim utusan ke luar. Tak akan menggeser para pimpinan yang dianggap merintangi. Tak akan mencapai kebesaran sebagai manusia." "Tapi kan juga tak akan tumpah darah seperti ini. Kakang, seorang raja bisa mati sekali setelah hidup bersenang-senang lama sekali. Tetapi yang seperti aku ini, seperti Pak Toikromo itu, berkali-kali sengsara sampai ke anak-cucu tanpa mengerti." Upasara memandang lekat Gendhuk Tri. Seakan tak percaya bahwa kalimat itu bisa diucapkan seorang anak kecil. Sebagai murid langsung Mpu Raganata, memang tak mungkin Gendhuk Tri mendengar banyak hal. "Masih selalu lebih baik berbuat sesuatu untuk tanah air daripada tidak berbuat sama sekali. Aku dibesarkan dalam tradisi ini. Dan begitulah yang terbawa sampai sekarang." "Untuk apa, Kakang?" "Untuk kesempurnaan pengabdian pada Raja, pada Keraton, pada Dewa yang menciptakan kita semua. "Inilah arti hidup." "Kakang kira semua orang seperti Kakang? Lihatlah sekitar Kakang. Aku mendengar nama besar Eyang Sepuh dari Perguruan Awan yang dahsyat. Semua tokoh silat memujinya. Tetapi kenapa dalam soal begini besar, begini menentukan soal runtuh dan jayanya Keraton, beliau tetap tak muncul? "Tokoh macam apa pula itu?" Upasara terdiam. Menghela napas. "Kita tak berhak menilai dengan cara kurang ajar seperti itu. Eyang Sepuh adalah tokoh luhur yang dihormati semua orang." "Ah. Itu sudah kuno. Buktinya tidak ada. Kalau Kakang tetap mau membela dia, terserah. Tetapi aku tidak. Aku, Gendhuk Tri ini, lebih hebat dari Eyang Sepuh. Aku melawan Ugrawe yang jahat. Nah, mana lebih hebat?" Tuduhan dan pernyataan Gendhuk Tri, kalau dirasakan ada benarnya. Tetapi juga terasa sangat kasar sekali. Hanya bagi Gendhuk Tri, omongan seperti ini tak menjadi beban. Latar belakang dan kekecewaannya begitu besar. Terpisahkan dari Jagaddhita, seluruh tubuhnya terkena racun yang menyebabkan disingkiri semua orang, satusatunya yang bisa dekat dengannya hanya Upasara Wulung—itu pun memperhatikan kepentingan yang lain. Hari kedua perjalanan mereka sampai di Jung Biru. Suatu daerah di sisi timur Perguruan Awan. Gendhuk Tri sebenarnya kesal dengan upacara tetamuan yang baginya penuh basa-basi membosankan. Akan tetapi karena Upasara Wulung ada di sana, malah agak berperanan, maka ia pun mencoba mengikutinya. Hanya saja ketika pandangannya menyapu keliling, sinar matanya bentrok dengan pandangan seorang gadis yang sangat ayu sekali. Gadis itu sedang mencuri pandang ke arah Upasara. Bagi Gendhuk Tri, sepasang sorot mata ayu gadis yang berpakaian kebesaran itu jauh lebih menarik perhatian daripada omongan basa-basi yang terlalu banyak bunga kata dan tangan menyembah. Hanya saja, untuk sementara Gendhuk Tri tak bisa berkutik. Ia berada di dalam ruang pertemuan, yang begitu banyak orang tak bergerak. Semua pusat perhatian tertuju kepada tiga orang yang duduk di kursi utama. Naraya Sanggrama Wijaya, yang elok rupawan dengan rambut panjang melengkung berombak. Pandangan matanya tajam, akan tetapi nampak lembut sekaligus. Dadanya bidang, terbuka, memperlihatkan kulit yang sangat halus. Di depannya berdiri Sagara Winotan serta Jangkung Angilo. Suara Sagara Winotan terdengar keras dan lantang, ketika memegang bendera yang dibawa dari Keraton Daha. Semua hadirin duduk di lantai dan melakukan sembah. "Atas nama Baginda Raja Jayakatwang, atas kemurahan hati Raja di Keraton Daha, Naraya Sanggrama Wijaya diterima pasuwitannya.. Diterima pengabdiannya. Dan diampuni segala kesalahan, ada ataupun tidak. Dasar pertimbangan Baginda Raja adalah untuk memberi ampunan kepada mereka yang bisa berbakti kepada Keraton. "Naraya Sanggrama Wijaya diterima, karena masih mempunyai darah murni Keraton Singasari yang benar. Sanggrama Wijaya diterima karena keturunan langsung Dyah Lembu Tal, dan adalah cucu Narasingamurti. "Semoga pengampunan ini diterima...." Seluruh isi ruangan melakukan sembah. "Anugerah kedua, Nayara Sanggrama Wijaya dikabulkan permintaannya untuk membuka hutan Tarik, sebagai tempat perburuan Baginda Raja Jayakatwang. Sebagai tanda kesetiaan, tanah Tarik hanya diizinkan untuk daerah perburuan, jika Baginda Raja Jayakatwang sewaktu-waktu ingin pesiar. Untuk itu semua, pengawasan hutan Tarik diserahkan kepada Sagara Winotan, yang berhak menentukan penggunaannya atas nama Baginda Raja Jayakatwang. "Mengenai tenaga untuk membuka, Adipati Aria Wiraraja dari tanah Madura akan membantu. "Demikian sabda Baginda Raja...." "Sembah nuwun..." seru sekalian punggawa sebagai ucapan terima kasih. Gendhuk Tri makin tak tahan saja. Perlahan ia mulai meninggalkan ruang pertemuan ketika acara jamuan makan. Langsung ke bagian di mana barisan putri-putri berkumpul. Namun ia dihalangi oleh tiga prajurit yang menjaga. "Sekali kucakar kamu bakal mampus tujuh turunan," kata Gendhuk Tri. "Kenapa kamu menghalangi aku?" "Kami semua ditugaskan menjaga putri kedaton." Gendhuk Tri menarik suara di hidung. Putri kedaton adalah sebutan bunga Keraton. Dan ini artinya putri seorang raja. Kalau begitu yang melirik Upasara Wulung ini pasti putri-putri Raja. Gendhuk Tri jadi sadar. Dulu di Keraton Singasari, ia rasanya bahkan pernah menjadi pelayan keempat putri itu. Tak pelak lagi, mereka berempat adalah putri Baginda Raja Sri Kertanegara. "O, jadi mereka ini Tribhuana, Mahadewi, Jayendradewi, serta Gayatri?" "Maaf, kami tak biasa mendengar sebutan lancang seperti itu." Gendhuk Tri justru senyum meledek. Sebelum prajurit mengambil tindakan, Gayatri yang paling ayu dan sayu pandangannya datang mendekat. "Adik manis, silakan... kamu mau bertemu siapa?" Suaranya lembut, mendayu, penuh keakraban. "Aha, jadi kamu yang bernama Gayatri atau dikenal sebagai Dewi Rajapatni, putri kesayangan Baginda Raja Sri Kertanegara?" Wajah Gayatri berubah sepersekian kejap, menjadi sangat sedih. Helaan napasnya pun membuat Gendhuk Tri harus memuji bahwa Gayatri merupakan jelmaan yang sempurna dari seorang wanita. "Soal Ramanda, tidak usah kita bicarakan. Adik manis, mari kita makan bersama-sama, di bagian belakang." Gendhuk Tri menggeleng. Walau sikap mencibirnya berkurang. "Aku cuma mau tahu kenapa kau melirik Kakang Upasara." "O, jadi dia yang bernama Upasara Wulung?" Gendhuk Tri merasa menyesal mengatakan nama lelaki yang dikaguminya. "Kamu baru tahu sekarang. Aku sudah tahu sejak dulu." "Ya, aku mendengar kabar bahwa seorang lelaki, asal didikan dari Ksatria Pingitan, bernama Upasara Wulung, mempunyai adik manis. Jadi kamu yang bernama Jagattri? Yang ikut perang tanding ketika Keraton diserbu?" "Ya, akulah orangnya." Gayatri merangkul manis. Lembut. "Terima kasih, adik manis. Baru sekarang aku sempat mengucapkan rasa terima kasih kepada penolong yang terhormat. Ketika adik manis dan Kakang Upasara membela Baginda Raja, pada saat itulah kami mempunyai waktu untuk meloloskan diri. Sungguh tak nyana, hari ini bisa berjumpa. Adik manis, tolong sampaikan terima kasih kami berempat kepada kakangmu." Gendhuk Tri melengos. "Tak bakal aku menyampaikan ucapan itu." "Kenapa? Apa salahku?" "Kakang Upasara adalah kakangku sendiri. Orang lain tak boleh ikut melirik. Apalagi bicara padanya." Gayatri tersenyum. Tetap lembut. "Maafkan kalau begitu. Aku mencabut kembali ucapan itu." Gendhuk Tri merasa amblas ke dalam jurang yang dalam. Karena justru Gayatri seperti menerima seluruh sikap bengal yang dilakukan. Kalau Gayatri melawan dalam kata-kata, Gendhuk Tri siap untuk berteriak. Tak peduli dengan keadaan sekitar. Akan tetapi ternyata sikap mengalah Gayatri melembekkan semua kekerasan hatinya. "Hari ini, saya secara pribadi juga menyampaikan terima kasih kepada utusan Naraya Saggrama Wijaya, yang bernama Upasara Wulung. Karena ia telah menyelamatkan diri saya. Dan terutama menyelamatkan kebesaran nama Baginda Raja Jayakatwang," suara Jangkung Angilo terdengar ke seluruh ruangan. Upasara Wulung menghaturkan sembah. "Berbahagialah Raden mempunyai pembantu ksatria seperti dia. Saya ingin membawanya ke Keraton kalau Raden Wijaya relakan." "Apa yang Paduka Menteri katakan dan kehendaki, selama bisa kami laksanakan, akan kami laksanakan. Hanya saja Upasara masih terlalu muda untuk mengerti sopan santun Keraton." Jelas sekali dari kalimat ini, Raden Wijaya menyatakan penolakan dengan sangat halus. "Kelak kalau sudah sedikit mengerti adat-istiadat Keraton, kami akan menyowankan, membawa, ke Keraton Daha." Yang membuat Gendhuk Tri makin kesal ialah bahwa meskipun melirik sedikit, akan tetapi Gayatri ternyata mempunyai perhatian ketika nama Upasara Wulung disebut-sebut. Untuk memperlihatkan bahwa dirinya lebih dekat, Gendhuk Tri maju mendekati Upasara Wulung. Langsung duduk di sebelahnya. Tindakan Gendhuk Tri ini secara tidak langsung mendukung apa yang dikatakan Raden Wijaya. Pertemuan di Jung Biru berakhir larut malam, setelah disajikan beberapa tarian. Upasara sendiri kemudian menuju tempat peristirahatan. Menemui Wilanda yang masih terbaring, Tiga Pengelana Gunung Semeru, Jaghana, serta Dewa Maut. Dengan bantuan para tabib yang dipilih, rasa sakit memang berkurang banyak, akan tetapi tak membuat tokoh-tokoh silat ini pulih kembali. "Satu-satunya yang bisa membuka kunci tenaga dalam ini adalah Ugrawe sendiri," kata Jaghana lembut. "Anakmas tak perlu bersusah payah. Kami semua dikalahkan dalam pertempuran secara ksatria." "Pukulannya sangat jahat sekali, Paman." "Pukulan itu sendiri tak ada jahat dan tak ada baik." Dewa Maut terbatuk keras. "Apa benar jenis ilmu pukulan seperti itu tak ada duanya di jagat ini? Sehingga hanya Ugrawe sendiri yang menguasai?" "Ada, muridnya, Rawikara. Tetapi ia pun kini terluka oleh pukulan yang sama." "Aku tak percaya," teriak Dewa Maut. "Aku tak percaya di jagat ini ada ilmu yang begitu khusus dan tak dimengerti orang lain. Aku tak percaya. Ya, Tole, apa yang kukatakan benar atau tidak?" "Rasanya benar. Tetapi entahlah, aku tak mau mikir soal itu," jawab Gendhuk Tri. "Bagus, bagus sekali. Aku juga tak mau mikir soal itu." Gendhuk Tri mulai sadar bahwa Upasara Wulung mulai sibuk dengan urusan Keraton. Urusan negara! Yang lebih membuat jengkel lagi bagi Gendhuk Tri adalah bahwa itu semua membuat Upasara Wulung berada dalam Keraton, dan ini berarti bakal ketemu Gayatri! Sebagian yang dikuatirkan Gendhuk Tri ada benarnya. Dini hari Raden Wijaya sudah mulai dengan pertemuan khusus para pembantunya. Ada sekitar dua puluh prajurit yang mengelilingi. Mulai dari Dyah Pamasi, Dyah Singlar, Dyah Palasir sampai dengan yang digelari empu, yaitu Mpu Tambi, Mpu Sora, Mpu Renteng, Mpu Elam, Mpu Sasi. Bersama dengan Upasara Wulung mereka semua duduk di lantai.
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:23 pm | |
| "Ada prajurit baru, yang kalian semua sudah mengenal. Aku mempercayai karena ia dulunya di Ksatria Pingitan. Namanya Upasara Wulung. Murid langsung yang terhormat Ngabehi Pandu. "Kalian semua yang berkumpul di sini adalah diriku sendiri. Mati, jaya, dan runtuhnya semua kemungkinan yang akan datang di tangan kalian. Jika Dewa yang menguasai jagat merestui, aku tak akan melupakan kalian semua. "Tapi perjalanan kita masih panjang sekali. Selama ini Tarik telah kita buka. Akan tetapi masih ada klilip, ada kotoran di pelupuk mata. Pengawasan dari Menteri Sagara Winotan. Kita akan berusaha agar bagian-bagian dalam dari tlatah Tarik tak diketahui oleh beliau. "Masalah kedua yang sampai kini masih merupakan ganjalan terbesar adalah bahwa sekarang ini di sekitar Tuban sudah datang prajurit Tartar yang jaya. Ini bukan klilip di pelupuk mata, akan tetapi ini masalah yang besar. Sejauh keterangan yang kita peroleh, mereka membawa tiga panglima perang. Naga Wolak-Walik, Naga Kembar atau Ike Meese, dan Naga Murka atau Kau Hsing. Ilmu perang mereka sangat hebat. Ditambah dengan Kiai Sangga Langit, mereka betul-betul luar biasa. Hanya kelas Ngabehi Pandu saja yang secara perorangan bisa menghadapinya. Sementara kita ini semua masih harus belajar banyak. Kalau saja Eyang Sepuh dan Mpu Raganata masih ada, rasanya tak bakal jadi masalah utama." Suasana hening. "Sesembahan kami tinggal Paduka Raden Wijaya," sembah Mpu Ranggalawe. "Kami semua hanya bisa membaktikan diri dengan nyawa, karena itu satu-satunya milik kami yang bisa dipertahankan saat ini. Dan itulah yang akan kami berikan, Raden." Semua yang hadir menghaturkan sembah. "Aku sama sekali tak meragukan kesetiaan kalian. Justru aku mempercayai secara luar-dalam. "Tetapi pengorbanan kita terlalu besar. Bisa jadi kita akan rontok sebelum bertarung. Sebelum pertempuran yang sesungguhnya dengan prajurit sesat yang kini di Keraton Daha. Mpu Ugrawe sendiri masih merajalela dengan pukulan yang menurut kabar bernama Banjir Bandang Segara Asat. "Tanpa satu siasat, rasanya kita akan runtuh sebelum bisa berdiri. "Hmmmmm, sebagai panutan aku seharusnya tak mengatakan hal ini, tetapi kita memang memerlukan seorang seperti Mpu Raganata." "Maaf, Sesembahan, bagaimana dengan Pamanda Aria Wiraraja?" "Selama ini posisinya sulit. Sebelum perang terbuka dengan genderang, Pamanda Wiraraja harus tetap berdiam diri." Raden Wijaya menghela napas. "Upasara, kamu berjaga di Tarik. Sore nanti saya bersama Paman Ranggalawe dan Paman Sora akan mencoba melihat suasana di perkemahan Tartar. Sudah lama aku tidak menggunakan trisula." Trisula Muka adalah tombak berujung tiga yang menjadi senjata andalan Raden Wijaya. Dengan ilmu andalan Kerta Rajasa Jaya Wardhana, yang merupakan ilmu meniru pancaran sinar matahari yang dahsyat. Yang mengubah gelap menjadi terang, kekacauan menjadi kemakmuran dan ketenteraman dengan kejayaan. Ilmu yang diperdalam dengan berbagai unsur berdasarkan kepada apa yang diajarkan oleh Mpu Raganata, yaitu bagian dari Weruh Sadurunging Winarah. Ilmu yang mengandalkan kekuatan tenaga dalam, kekuatan batin yang bersih. Unsur-unsur yang muncul seperti kerta, berarti mengembalikan segala kejahatan menjadi kebaikan. Mengubah serangan lawan yang jahat menjadi tawar. Unsur rajasa, mengubah gelap menjadi terang dengan cara menggempur, seperti juga sifat matahari. Unsur jaya, mencapai kemenangan dengan tombak Trisula Muka. Sedangkan unsur wardhana adalah unsur kekuatan dalam, yang intinya disarikan dari berbagai aliran tenaga dalam dari berbagai agama dan kepercayaan. Kekuatan yang lahir adalah kekuatan seperti lahirnya butir padi dari berbagai unsur tanah. Secara langsung, Upasara Wulung belum pernah melihat kehebatan penggunaan Trisula Muka. Akan tetapi mengingat kemelut yang meruntuhkan Keraton Singasari lalu, bisa diduga bahwa Raden Wijaya cukup mempunyai ilmu tinggi. Ditambah pengawal pribadi yang begitu tegar, rasanya memang tak bisa dipandang biasa. "Upasara, tugasmu yang utama menjaga seluruh padepokan ini. Pertama dari gangguan kenakalan, kedua dari pengawasan Jangkung Angilo dan Sagara Winotan. Seluruh wewenang selama aku tinggalkan ada di tanganmu." "Saya akan mencoba sebisanya." Menjelang dini hari, rombongan Raden Wijaya berangkat. Tinggal Upasara Wulung yang mendiami gedung utama. Bersama para dyah dan empu yang menjaga di bagian luar. Bagi Upasara Wulung, soal menjaga dan berjaga adalah soal yang biasa. Meskipun terasa bahwa penunjukan wewenang yang diberikan padanya termasuk sangat istimewa. Mengingat ia seorang yang belum cukup lama dikenal langsung. Akan tetapi kepercayaan besar yang diberikan justru menumbuhkan kepercayaan dalam diri Upasara. Yang membuatnya sedikit kikuk adalah karena ia juga harus menjaga bagian kaputren. Yang lebih menggelisahkan lagi ialah karena keempat sekar kedaton mengundang untuk makan siang bersama. Bahwa hal itu biasa dilakukan oleh Naraya Sanggrama Wijaya bukan sesuatu yang mengejutkan. Bahwa para pengawal pribadi juga turut makan bersama, tidak menjadi soal. Bahwa yang menyediakan makanan adalah para dayang, juga memang keharusannya begitu. Akan tetapi Upasara Wulung jadi merasa serbasalah. Wajahnya merah seluruhnya. Ujung hidungnya seperti buah merekah. "Kakang Upasara," sapa Tribhuana, "kami menghaturkan selamat datang di dusun Tarik ini. Kami tak bisa melayani lebih dari yang bisa kami sediakan." "Ini sudah lebih dari cukup, Gusti Ayu...." "Kenapa masih memakai sebutan itu?" "Sulit bagi hamba mengubah sebutan itu. Hamba adalah rakyat biasa yang dulu bisa bernasib baik ditolong bergabung dalam Pingitan." "Ah, memang tak ada yang bisa melupakan kebesaran Kanjeng Rama Prabu. Selama ini kekuatan kita masih lemah. Para ksatria dan pendekar justru masih sakit. Apa mungkin, sebelum seribu hari nanti, Kanjeng Rama Prabu melihat Keraton yang kembali tenang?" Sejak itu, setiap siang hari merupakan siksaan tersendiri bagi Upasara Wulung. Kalau menghadapi Tribhuana, justru Upasara banyak belajar mengenai liku-liku Keraton. Dalam hati Upasara memuji bahwa putri Keraton yang satu ini jauh lebih istimewa dari semuanya. Mempunyai keinginan yang kuat sekali untuk mengetahui masalah-masalah politik. Yang benar-benar membuat Upasara mati kutu ialah kalau harus menghadapi Gayatri. Entah kenapa dadanya jadi berdebar, jantungnya berguncang, dan makannya jadi serbasalah. Rasanya menelan buah sawo pun tak bisa. Walau hampir selalu keempat putri menyertai, disertai dayang-dayang yang meladeni, tapi juga ada saat khusus Gayatri begitu dekat dalam pembicaraan. "Kakang Upasara, bagaimana kabarnya Gendhuk Tri?" "Ia selalu baik, Gusti Putri... Hanya nakal." "Gendhuk Tri sangat mengharapkan Kakang." "Rasanya begitu." "Kakang juga merasa begitu?" Guncangan darah di pembuluh tubuh seperti tak terkendalikan. Upasara membuang jauh-jauh pikirannya sendiri. "Gendhuk Tri sangat manis sekali. Ayu. Dan bisa main silat. Betul-betul wanita yang sempurna. "Saya ingin bisa seperti itu, akan tetapi tak mungkin." "Gusti Ayu bisa kalau mau." "Kakang Upasara mau melatih?" "Saya tidak berhak... tidak berani. Empu-empu yang lain lebih bisa." "Kakang Prabu Wijaya mempercayai Kakang Upasara...." "Ya, tapi bukan soal berlatih." "Maafkan saya, Kakang. Kalau Kakang sudah terikat dengan Gendhuk Tri." Upasara merasa menjadi sangat kikuk. Tak bisa berucap. Gayatri menghela napas. "Saya makin iri saja kepada Gendhuk Tri." "Maaf, Gusti Putri... hamba tak bisa melatih. Bukan soal Gendhuk Tri. Ia adik hamba... begitulah kira-kiranya." Gayatri menghela napas kedua kalinya. "Kalau ada yang harus saya sesali karena saya ini putri Baginda Raja, adalah karena dengan demikian apa yang bisa saya lakukan menjadi terbatas. Semua menganggap seolah masih selalu putri raja yang berkuasa, putri yang harus disanjung dan tak boleh membersihkan sebutir debu pun. "Tapi inilah takdir yang harus saya terima. "Dan ini tak akan berubah, kalau tak ada yang berani mengubah." Upasara menunduk. Tak berani memandang. Sejak itu lebih suka tidak makan siang. Tidak makan malam. Bahkan juga tidak melatih diri. Pikirannya hanya terganggu bayangan Gayatri. Yang dalam bayangannya terlalu sempurna sebagai dewi, sebagai bidadari. Alangkah tolol diriku ini, Upasara menyalahkan dirinya. Sejak kapan aku begini kurang ajar mengharapkan yang mustahil? Upasara merasa dirinya menjadi manusia yang tak berguna. Kenapa justru ia memikirkan Gayatri? Kenapa justru ia memikirkan kata-kata yang bersayap yang bisa diartikan memberi harapan? Upasara mulai memusatkan diri untuk bergabung dengan para pendekar yang masih menderita kesakitan. Di antara mereka hanya Jaghana yang masih kelihatan tetap tenang. Selalu berusaha memulihkan tenaga dalamnya dengan jalan bersemadi, mengatur napas. Walau di akhirnya selalu menggelengkan kepala. "Benar-benar ganas luar biasa. Ilmu Ugrawe mempunyai perkembangan yang makin menunjukkan titik-titik tanpa akhir. Makin berbahaya. Jika ini terus dikembangkan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, barangkali tak akan pernah ada lagi yang mampu mengimbanginya." "Pak Gundul, kamu ini begitu sengsara. Selama ini ia jeri kepadaku, buat apa gegetun?" teriak Gendhuk Tri lantang. "Benar, Tole, kita berdua akan mencincangnya," kata Dewa Maut tanpa peduli keadaan dirinya sendiri. "Banjir Bandang Segara Asat adalah satu tahapan akhir dari semua jurus yang dikenal Sindhung Aliwawar yang luar biasa. Akan tetapi jurus ini juga membuka tahap lain, yang bisa mencapai puncaknya lagi. "Dengan kekuasaan dan kelicikan yang dimiliki, Ugrawe akan terus melaju." "Bukankah Mpu Ugrawe sedang terluka?" Jaghana memandang Upasara. "Ya, tetapi ia bisa dengan cepat memulihkan tenaganya. Bahkan Rawikara pun bisa segera dipulihkan. Asalkan ada korban yang dipindahkan tenaga dalamnya. "Dengan mengatur seberapa tenaga dalam yang diisap, Rawikara akan bisa disembuhkan. Sekarang ini masih lemah, jadi bisa dipakai tenaga dalam pada tingkat permulaan untuk memukulnya. Dengan demikian tenaganya berpindah. Rawikara mempunyai modal. Begitu seterusnya, makin lama makin meningkat. Ini berarti akan segera pulih dan berlipat ganda. "Aku bilang dengan akal liciknya, dengan kekuasaan yang dimiliki, ia bisa melakukan itu." Mendadak Upasara menghaturkan sembah. Bersujud. "Saya yang rendah tak bisa melihat cahaya ini. Kalau Mpu Ugrawe bisa melakukan, kenapa kita tidak? "Banjir Bandang Segara Asat intinya adalah memindahkan tenaga lain ke dalam diri kita. Bisa juga memindahkan tenaga kita ke dalam diri orang lain. Seumpama kata membuat banjir di daratan dengan mengeringkan laut. "Paman Jaghana, bersiaplah...." Jaghana melengak. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Upasara akan melakukan itu. Akan mengirimkan tenaganya sendiri untuk diserap orang lain. Memberikan tenaga dalamnya sendiri. Bagi Upasara tak terlalu sulit karena bisa memperkirakan tenaga Jaghana. Sehingga pemindahan tenaga itu tak akan melukainya. "Jangan gegabah...." "Saya tahu. Paman Jaghana akan menolak. Paman Pembarep akan menolak. Akan tetapi ini satu-satunya cara untuk memulihkan tenaga Paman semua. "Paman semua adalah ksatria sejati, pembela kebenaran. Saat ini Keraton sedang dalam bahaya besar. Baik dari rencana Baginda Jayakatwang maupun dari negeri Tartar. Paman semua jauh lebih berguna dari saya. Maaf, maafkan saya... kalau memaksa...." "Anakmas...," Wilanda bersuara lemah. "Sampai mati pun saya akan menyesali tindakan ini. Sudah jelas sekarang Anakmas Upasara jauh lebih diperlukan." "Tidak ada artinya satu Upasara dibandingkan dengan Paman semua, para ksatria sejati. Seperempat tenaga dalam pulih, Paman akan bisa terus mengembangkan. Dan dalam waktu singkat kita mempunyai banyak ksatria." "Tidak bisa. Saya akan menolak." "Maaf, saya akan memaksa." Bagi Upasara bukan sesuatu yang sulit untuk memaksakan tenaga dalam. Yang ditolong sekarang ini tak mungkin bisa menolak. "Tidak bisa. Tetap tidak bisa," kata Pembarep. "Jangan lakukan itu, Upasara. Kamu sekarang dipercaya Sanggrama Wijaya. Mana mungkin orang yang dipercaya jadi loyo? "Tugas Keraton masih besar bagimu." "Paman akan segera menggantikan." Wilanda menggelengkan kepalanya. "Anakmas, sesembahan saya sejak kecil. Kalau Anakmas memaksakan itu, Anakmas akan menyesal. Karena begitu saya mempunyai tenaga, saya akan membunuh diri." "Saya juga," kata Pembarep. "Kami semua akan membunuh diri di depanmu." Sejenak Upasara menahan napas. Tak menyangka sama sekali bahwa niatnya menolong ditolak dengan cara seperti itu. Bisa-bisa malah hancur semuanya. "Saya percaya, itu tak akan pernah terjadi. Saya mempercayai sikap jiwa besar para ksatria. Tak nanti akan menyia-nyiakan nyawa begitu saja." Dengan keputusan mantap, Upasara mulai bersila. Memusatkan konsentrasi. Mendadak terdengar suara lembut. "Saya tak pernah menyangka ada manusia di dunia ini yang begitu jahat dan kejamnya." Upasara bergeming, kalau saja suara itu bukan suara yang mampu mengusik jiwanya. Benar juga! Ketika matanya terbuka dan helaan napas terdengar, ia melihat wajah Gendhuk Tri yang berubah dongkol. Siapa lagi yang mampu mencemberutkan wajah Gendhuk Tri secara seketika selain Gayatri? "Kejam apanya?" teriak Gendhuk Tri. "Di seluruh kolong langit ini, biar ayahmu yang raja atau kamu sendiri, tak ada sekuku hitam dibanding Kakang Upasara. Kakang Upasara adalah yang paling mulia. Mengorbankan tenaga dalamnya sendiri untuk orang lain. "Nah, yang begini masih kamu sebut kejam?" "Ugrawe kejam karena sifatnya seperti itu. Akan tetapi Upasara jauh lebih kejam, karena ia mengembangkan ilmu jahat itu." "Cuh. Kamu ngerti apa? Bedak-pupur kamu tahu. Tapi soal ilmu silat, menggerakkan tangan lebih tinggi dari bahu saja kamu belum pernah. Melangkah lebih besar dari kainmu saja tak mungkin." "Tetapi aku tak sekejam Kakang Upasara. Dengan memberikan tenaga dalam kepada Paman Jaghana, Paman Dewa Maut, Paman Wilanda, Paman Pembarep, dan yang lainnya, di kemudian hari paman ini semua akan terus-menerus mencari korban. "Terus-menerus mencari korban baru. "Sampai akhirnya harus bertarung di antara mereka sendiri. Apakah ini tidak kejam dan jahat? Apakah ini tidak menanamkan benih kejahatan dan kekejaman di esok hari?" Lembut nadanya, perlahan iramanya, akan tetapi terasa masuk dan mengena. Untuk sesaat Upasara tak bisa mengatakan satu patah kata pun. "Pada saat sekarang ini tak ada yang menghalangi Kakang. Tak ada yang bisa. Saya sendiri tak bisa menghentikan kemauan jahat dan kejam yang dianggap mulia ini. "Semua terserah Kakang sendiri." Jaghana memuji kepandaian Gayatri. Pembarep menghela napas. "Ilmu Banjir Bandang Segara Asat memang ilmu yang luar biasa ganasnya. Tapi bukan berarti tanpa kelemahan. Semua ilmu silat, makin kuat, makin tangguh, makin kuat makin tangguh pula kelemahannya. Banjir Bandang hanya mengembangkan salah satu bagian dari sifat-sifat ilmu silat yang sesungguhnya. Dengan demikian, ada bagian lain yang tak bisa dikembangkan. Karena terlalu menyerang, pertahanannya pasti berkurang. Udara yang dilontarkan terlalu banyak. Dalam titik itu, sebelum tenaga mengisap bekerja, kita bisa mencuri ketika itu. "Itulah salah satu kelemahan Banjir Bandang...." Mendadak Jaghana menghaturkan sembah. "Gusti Putri... saya tidak menyangka akan bertemu Gusti Putri...." Suaranya memelas, penuh rasa hormat yang tulus. Demikian juga Wilanda. Bahwa Gayatri bisa menguraikan dengan jelas mengenai jurus Banjir Bandang, bisa mengundang heran. Karena tak ada yang menyangka ia akan bisa berbicara sefasih itu. Tetapi bahwa Jaghana dan Wilanda menyembah dengan sangat hormat, lebih mengherankan lagi. "Sungguh tak nyana, hamba masih mendapat berkah untuk mendengarkan. Sungguh tak nyana...." Jaghana menyembah lagi. "Apakah ada titah lain, Gusti Putri?" Gayatri menghela napas. "Awan di langit bergerak dengan sendirinya, tak usah dipaksa-paksa. Angin dini hari akan menggerakkan sendiri." Jaghana dan Wilanda menyembah secara bersamaan. Gendhuk Tri pun menjadi terkesima. "Kami akan berusaha...." Itu saja jawabnya. Dan sejak memberi jawaban itu Jaghana lalu bersila, bersemadi bersama dengan Wilanda. Sampai Gayatri meninggalkan tempat, tetap bergeming. Sampai akhirnya Upasara pun turut meninggalkan tempat. Dengan beberapa pertanyaan dalam hati. Apa arti kata-kata Gayatri yang begitu besar pengaruhnya bagi Wilanda dan Jaghana? Apa hubungannya dengan jawaban Gayatri dan sikap mereka terus bersemadi mati raga? "Saatnya akan datang untuk saya ceritakan semuanya, Kakang. Saya berjanji untuk tidak mengatakan sesuatu." "Gusti berjanji kepada siapa?" "Kalau saya katakan, berarti saya melanggar janji." "Kakang Prabu?" "Kenapa selalu itu yang Kakang bicarakan?" "Saya tak mempunyai dugaan lain." "Semua merasa bahwa kami berempat adalah calon istri Kakang Prabu Wijaya. Tak meleset sedikit pun. Memang begitulah seharusnya menurut aturan. Akan tetapi bukankah belum terlambat? Sebelum ada janur kuning tanda peresmian, semua bisa terjadi. "Kakang Upasara...." Suara Gayatri menjadi perlahan sekali, tertutup oleh suara tarikan napas yang menggemuruh. "Apakah layak seorang wanita menawarkan kesempatan kepada seorang pria? Apakah tidak membuat wanita itu menjadi sangat rendah di mata pria tersebut?" Upasara bergeming. "Jawablah, Kakang. Bila ada wanita mengatakan seperti itu, apakah wanita itu lebih rendah dari seekor cacing?" "Hamba tak berani mengatakan... Hamba tak mengerti harus bagaimana... Semuanya begitu tiba-tiba dan tak pernah hamba bayangkan. Kehormatan besar ini, entah dengan cara bagaimana hamba bisa menyadari." "Tentang cacing yang rendah?" "Hamba yang lebih jahat dan lebih kejam dari cacing, tak bisa memberi-kan penilaian, Gusti...." Upasara menyembah hormat. "Kalau semua nanti bisa terjadi... hamba tak tahu dengan cara apa mensyukuri anugerah Dewa Yang Mahaagung...." Ketika akhirnya Raden Sanggrama Wijaya datang kembali, Upasara mendapat tepukan di pundak. "Tak sia-sia kupercayakan Tarik padamu, Upasara...." "Hamba menjalankan tugas sebisanya. Selebihnya para prajurit sendiri yang menjalankan tugas dengan baik." "Ya, akan tetapi kita tetap berada dalam bahaya. Karena kita berlomba dengan waktu. Cepat atau lambat senopati Daha, Sagara Winotan dan Jangkung Angilo, akan mengetahui apa yang kita persiapkan. Jika ini diketahui, habislah riwayat kita. "Sementara pasukan negeri Tartar sungguh luar biasa. Prajurit yang benarbenar tangguh, tersusun rapi, dan bukan nama kosong belaka bahwa mereka telah menaklukkan banyak negeri seberang. "Aku tak tahu mana yang harus kupilih. Menggempur Keraton Daha secepatnya ataukah menyingkirkan pasukan Tartar. "Dua-duanya sangat berat. "Tapi aku memilih yang kedua. Dengan bantuan prajurit Keraton Daha, prajurit Tartar akan kusingkirkan. Dengan begitu kepercayaan Baginda Jayakatwang akan membesar. Dan itulah saat terbaik untuk merebut takhta. Bagaimana pendapatmu, Upasara? Hanya kamu yang belum kudengar." Upasara menghaturkan sembah. "Hamba tak begitu tahu mengenai strategi. Gusti Putri Gayatri barangkali bisa lebih memberikan penjelasan...." Raden Sanggrama Wijaya mengerutkan alisnya. Beberapa detik cuma. "Itu aku bisa menanyai sendiri. Aku ingin mendengarkan pendapatmu." "Maafkan, Raden. Menurut saya lebih mudah menggempur Keraton Daha dibandingkan prajurit Tartar. Para senopati di Keraton Daha telah kita ketahui kekuatannya. Dan lebih banyak rakyat yang mendukung kita." Sanggrama Wijaya tersenyum. Upasara menjadi kecil. "Perhitunganmu ada benarnya. Keraton lebih lemah. Akan tetapi perhitunganku lain. Kita harus menggempur Tartar dulu. Dengan cara ini, kita membangkitkan perlawanan seluruh masyarakat. Para ksatria, para pendekar yang selama ini bersembunyi—seperti Ngabehi Pandu, akan keluar dari sarangnya. Mereka akan bangkit membela tanah airnya. "Lalu kita belokkan untuk menggempur Keraton. Aku sedang menunggu persetujuan Paman Wiraraja. Perhitunganku sederhana: kita bermusuhan dengan Keraton. Akan tetapi dibandingkan dengan Tartar, kita jelas harus lebih memusuhi Tartar. "Nah, bagaimana dengan keteranganku ini? "Cukup jelas?" Upasara menyembah. "Tadi kamu menyebut Gayatri... Kenapa kautunjuk dia untuk melihat strategi? Kurasa agak salah alamat. Bukan Gayatri yang selama ini ingin mengetahui masalah strategi. "Tetapi kenapa kau usulkan, Upasara?" "Hamba salah bicara. Maaf, Raden." "Katakan, jangan takut-takut." "Gusti Putri Gayatri ternyata diam-diam mempunyai pengetahuan yang luas. Juga dalam ilmu silat. Setidaknya Paman Jaghana dan Paman Wilanda kini sedang berusaha menawarkan pengaruh pukulan Banjir Bandang atas petunjuk Gusti Putri. "Barangkali pengetahuannya..." Raden Sanggrama Wijaya menggeleng. "Aku tidak percaya. Gayatri tidak mengetahui masalah itu. Tak mungkin. Karena aku mengenalnya. Tetapi sifatku adalah selalu memberi kesempatan. Upasara, kuangkat kamu menjadi senopati hari ini secara resmi. Kalau selesai persoalan ini, kamu bisa menagih padaku. Dan tugasmu yang pertama adalah kembali ke Keraton Daha. Melalui Kiai Sangga Langit, kamu bisa melihat kelemahan prajurit Tartar. Kudengar namamu disebut dengan hormat oleh Kiai Sangga Langit. "Kalau kamu menganggap Gayatri bisa memberimu petunjuk, kuizinkan ia ikut serta denganmu. Dan seluruh tanggung jawab ada di pundakmu." Geledek besar pun tak akan mengguncangkan Upasara seperti sekarang ini! Berangkat ke Keraton Daha dengan putri yang mengguncangkan saraf-saraf yang paling peka? Sesaat Upasara lupa untuk menghaturkan sembah. Menunduk bergeming. Raden Wijaya segera menyusun kekuatan. Para prajurit dari tlatah Madura yang mulai berdatangan, menyamar sebagai petani, menjadi nelayan di sepanjang Kali Brantas sambil memata-matai. Bagi Raden Wijaya agaknya tidak perlu memusingkan dengan pikiran kenapa kemudian Aria Wiraraja berbalik membantunya. Pada masa Baginda Raja Kertanegara, Aria Wiraraja merasa disingkirkan. Ia berpihak kepada Raja Muda Gelang-Gelang, Jayakatwang. Akan tetapi agaknya kehancuran Keraton Singasari serta cara-cara Jayakatwang menghancurkan, membuatnya sadar. Bahwa pilihannya keliru. Apalagi ketika Raden Wijaya dan rombongannya melarikan diri dari Keraton dan terlunta-lunta. Aria Wiraraja adalah ahli strategi yang ulung. Bermain di belakang layar. Seketika itu pula jatuh keputusannya untuk membela Raden Wijaya, yang dianggap akan bisa mengembalikan citra Keraton. Ia mudah dan bisa diterima oleh Raja Jayakatwang ketika mengusulkan untuk memberi pengampunan kepada Raden Wijaya, asal yang terakhir ini membuat tanda penyerahan. Dan Aria Wiraraja mengatur semua ini. Kini setelah merasa tiba saatnya, Aria Wiraraja mengirim prajuritnya untuk bergabung. Sungguh suatu liku-liku yang Ugrawe pun tak mampu mengendusnya. Raden Wijaya merasa mendapat bantuan sepenuhnya. Maka, dibuat dua rencana sekaligus. Pertama mengadakan persiapan, dan yang kedua mengirim telik sandi, atau tugas rahasia ke Keraton. Tugas inilah yang diberikan kepada Upasara Wulung. Upasara meminta pamit kepada para pendekar yang masih menderita. Sejak pertama Wilanda dan Jaghana tetap bergeming. Seakan mati raga. Kepada Pembarep, Panengah, Wuragil, Dewa Maut, kedua Pu'un, Upasara menceritakan tugasnya. Hanya ketika tiba giliran Gendhuk Tri, Upasara menjadi bingung. Karena tidak berhasil menemukan. Dalam perjalanan, Gayatri mengingatkan hal ini. "Pasti ada apa-apanya dengan adik manis yang bandel ini," kata Gayatri yang memakai pakaian lelaki. "Entahlah, Gusti...." "Selama Kakang masih memanggil dengan sebutan itu, sama juga membuka rahasia." "Maaf, Gay...." "Adik manis Gendhuk Tri kelihatannya kurang suka kita jalan bersama. Sebetulnya tak ada salahnya ia diajak." "Kita harus berangkat segera." Dalam perjalanan, mereka berdua menukar dua kuda pada tempat-tempat tertentu. Ternyata pengaturan pasukan di sepanjang Kali Brantas sangat rapi dan teliti. Boleh dikatakan mereka berdua tak menemukan kesulitan sedikit pun. Di setiap tempat yang ditentukan telah disediakan dua ekor kuda segar, berikut makanan sekadarnya. Mereka yang mengganti kuda melakukan tanpa bertanya satu patah kata pun. "Raden Wijaya memang hebat." "Dalam hal mengatur seperti ini Kakang Prabu memang luar biasa. Tapi kenapa kamu mengajakku?" Upasara merah wajahnya. "Kalau yang ada di jagat ini hanya kita berdua, akankah kamu selalu malumalu?" "Hmmmmm." Upasara menghela napas panjang. "Saya tak menyangka bahwa Raden Sanggrama Wijaya akan memberikan izin begitu cepat. Bahkan hanya kita berdua yang disuruh berangkat." "Kamu menyesal, Kakang?" "Tidak, Gus... tidak, Gay. Saya merasa bahagia sekali." "Tahukah kamu kenapa Kakang Prabu memberi izin aku berangkat bersamamu?"
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:27 pm | |
| "Karena Kakang... Karena Raden Wijaya mengetahui saya mengharapkan itu?" "Ada benarnya. Akan tetapi hanya separuh. Kakang Prabu sangat mengharapkan kembalinya takhta. Apa pun akan diberikan untuk merebut kembali Keraton Daha. Jangan kata cuma aku—bersama tiga saudariku, akan diberikan. "Kakang Upasara, itulah yang kadang membuatku bimbang. Aku sudah ditakdirkan menjadi putri seorang raja. Dan sekarang ini, lelaki yang paling pantas mendampingiku adalah Kakang Prabu. "Akan tetapi, sesungguhnya Kakang Prabu mengawiniku sebagai bagian dari kebesaran seorang calon raja. Sebagai yang paling berkuasa. Yang paling tinggi. Kakang, itulah nasib yang selalu kukatakan." "Apa ruginya mendampingi seorang seperti Raden Wijaya?" "Tak ada, Kakang. Kakang Prabu jauh lebih tampan darimu, darah birunya murni. Kekuasaan besar dengan persiapan dan masa depan yang disinari bulan kebesaran. "Akan tetapi aku merasa, aku hanya sebagian dari kebesarannya itu. Seperti juga tombak pusakanya, seperti para senopatinya, seperti kuda-kuda kesayangannya." "Juga ketiga saudarimu?" "Bahkan kalau putri-putri yang melarikan diri sepuluh, semuanya akan diambil oleh Kakang Prabu. Sebagai pertanda kebesarannya. Tidakkah kamu merasakan yang kurasakan, Kakang?" "Rasanya bisa. Tetapi apakah itu mungkin? Saya tak mempunyai darah biru. Saya hanya bagian yang kecil dari sekian banyak prajuritnya, yang merasa dendam kepada Raja Jayakatwang." "Kalau kamu berani, kamu bisa, Kakang. Aku tak pantas mengatakan ini, akan tetapi aku akan mengangguk bila Kakang menarikku. Seperti juga ajakan perjalanan ini." Upasara memandang wajah Gayatri. Ketika Gayatri balik memandang, Upasara menunduk. Bibirnya bergetar. "Setelah semua urusan ini selesai, saya akan mengatakan langsung kepada Raden Wijaya." Upasara mengempit perut kudanya dan melarikan lebih kencang. Gayatri tersenyum, lalu menyusul. Sebagai putri Keraton, soal menunggang kuda bukan hal yang istimewa. Apalagi putri Baginda Raja Kertanegara yang mempunyai keleluasaan dan pandangan jauh ke depan. Tanpa terasa, malam hari mereka masuk ke dalam Keraton. Melewati gerbang. "Yayi Gay... malam ini saya akan menyelusup masuk. Sebaiknya Yayi menunggu di luar." "Kalau aku tak boleh masuk, untuk apa aku diajak kemari?" "Saya tak mengharapkan rambut Yayi tercerabut karena bahaya yang mungkin datang. Saya mengusulkan mengajak Yayi karena saya ingin berdekatan. Karena Yayi bisa memberi nasihat kepada Paman Jaghana dan Wilanda...." "Itu soal lain, Kakang. Aku hanya mengulangi kata-kata yang diucapkan di tepi telingaku." "Siapa tokoh yang begitu sakti? Apa mungkin roh Eyang Raganata?" "Aku mengenalnya, setidaknya sebutannya. Akan tetapi aku tak boleh mengatakan kepada siapa pun." Upasara memberi salam hormat. "Maafkan saya telah lancang. Saya tidak memaksa Yayi... Sekarang Yayi menunggu di dalam rumah itu. Kakang akan menemui Kiai Sangga Langit." Belum selesai ucapannya, tubuh Upasara lenyap dari pandangan. Kadang Gayatri tak mengerti akan sikap Upasara. Ada dorongan begitu kuat dari Upasara untuk mendekatinya, akan tetapi juga ada keinginan untuk segera menghindari. Kadang bisa bicara urut, panjang, kadang berdiam diri saja. Hanya kalau dipancingpancing baru keluar ucapannya. Upasara memang merasa jengah. Ingin dekat, ingin menatap, tetapi hatinya selalu menjadi sangat gelisah. Pikirannya tak menentu. Upasara sering menyalahkan dirinya sendiri karena soal ini. Seperti ketika melewati dinding benteng bagian dalam yang terukir "di lautan asmara", Upasara merasa kata-kata itu secara khusus diciptakan untuknya. Untuk menggambarkan kerinduannya kepada Gayatri! Upasara langsung menuju ke tempat tinggal Kiai Sangga Langit. Baru mau melangkah masuk ketika terdengar suara kasar. "Aha, aku menunggumu." Upasara terkesiap. Baru terdengar helaan napasnya. Ternyata Galih Kaliki yang menyambutnya. "Dewa mempertemukan kita, saudaraku," kata Galih Kaliki, seperti sedang mabuk. "Terimalah sungkem dari keponakan atau adik atau saudara ini." "Aha, kau suka basa-basi. Ayo sini, menikmati indahnya surga." Upasara baru sadar bahwa Galih Kaliki benar-benar dalam keadaan mabuk. Mabuk berat. Memang itulah cara yang dipakai Nyai Demang. Agar Galih Kaliki tidak berbuat kurang ajar, Nyai Demang memberinya arak terus-menerus. Selama beberapa hari Galih Kaliki berada dalam keadaan mabuk, pingsan, mabuk, tertidur, mabuk lagi. Upasara mengeryitkan keningnya. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Nyai Demang yang tubuhnya montok dan suka main mata itu ternyata berhati keji. "Untung kamu datang kemari. Majulah, Upa... apa pun yang akan kita lakukan, si tua bangka ini tak akan tahu." "Mbakyu Demang..." "Aku tahu, Upa. Kamu juga mengharapkan...." "Saya..." "Aku terlalu tahu tentang lelaki. Sorot mata lelaki yang bagaimanapun, aku bisa mengetahui. Aku hidup di antara sorot mata seperti itu. Kenapa? Kamu malu? "Galih Kaliki tak akan mengetahui apa-apa." "Benar, saudaraku. Aku tak tahu apa-apa. Apa yang kuketahui tak ada. Begitu, Nyai?" "Mbakyu Demang, saya datang untuk menemui Kiai Sangga Langit." "Ada urusan apa?" "Ada sesuatu yang akan saya katakan." "Dia akan kuberitahu kalau malam ini kamu menemaniku. Kenapa kamu begitu jual mahal, Upa? Di jagat ini semua lelaki mau menyembah, mau menjadi budak untuk bisa berdekatan denganku. Kenapa kamu sok gagah?" "Bukan begitu, Mbakyu. Pada kesempatan lain, saya akan mengatakan semua. Malam ini akan menemui Kiai Sangga Langit." Wajah Nyai Demang berubah merah. "Seumur hidup, inilah pertama kalinya aku ditolak. Galih Kaliki, ambil tongkatmu. Ayam kampung ini perlu dihajar." Galih Kaliki meraih tongkat hati pohon asam, langsung dipukulkan ke arah Upasara. Dalam keadaan mabuk dan limbung, pukulannya tetap keras dengan penuh tenaga. Upasara menggeser badannya. Dua tangan secara terkepal mencoba merebut. Mengenai angin kosong, tongkat Galih Kaliki berbalik. Tegak. Menghajar secara mendatar. Upasara justru menyongsong maju. Nyai Demang tak percaya bahwa dalam satu gebrakan tongkat pusaka Galih Kaliki bisa dipegang Upasara. Walau dalam keadaan sangat mabuk, Galih Kaliki jelas bukan tokoh sembarangan! Ataukah dalam sekejap Upasara sudah meloncati tahapan yang luar biasa dalam ilmu silat? "Kena!" Justru Galih Kaliki yang berteriak. "Kena, Nyai. Ayamnya kena." "Kena gundulmu. Kamu memang lelaki tak berguna." Upasara melepaskan genggamannya. Galih Kaliki menarik kepala tongkatnya. Jalannya sempoyongan. "Pukul sendiri kepala kamu. Itu ayamnya!" Galih Kaliki menghantam kepalanya sendiri! Upasara lebih dulu meloncat maju menahan arah pukulan ke kepala Galih Kaliki. Di luar dugaan, Galih Kaliki memutar tongkatnya menghindar, kini dipakai mengemplang kepalanya sendiri dari samping. Tak ayal lagi, Upasara meluncur ke atas. Tubuhnya terbang secara terbalik, dengan kaki di atas. Dua tangan sekaligus menahan ayunan tongkat. Galih Kaliki menggeser agak turun. Kini yang diarah jakunnya sendiri. Terjadi pemandangan yang ganjil. Galih Kaliki yang bertubuh besar dengan gerakan aneh mencoba memukul kepalanya sendiri, sementara justru Upasara berusaha mencegah. Tiga gerakan aneh Galih Kaliki berhasil digagalkan oleh Upasara. Bahkan seakan dengan mudah sekali Upasara menebak gerakan tongkat Galih Kaliki. "Hah!" Sekali renggut, tongkat hati pohon asam itu berpindah ke tangan Upasara. "Tak berguna!" teriak Nyai Demang. "Tunggu," kata Upasara perlahan. "Ada sesuatu yang menarik. Coba kita ulangi lagi. Paman Galih mencoba memukul kepala seperti tadi, dan..." "Oho, enak saja. Siapa kamu, berani memerintah aku untuk membunuh diri?" "Mbakyu Demang, bagaimana kalau saya meminta Mbakyu agar Paman Galih Kaliki mengulangi perbuatannya tadi." "Dengan syarat!" "Saya akan terima, Mbakyu." Nyai Demang tersenyum. Tubuhnya bergoyang. "Galih... sekarang kemplang sendiri kepalamu seperti tadi. Pergunakan semua jurus dan ilmu yang kamu miliki. Upa, kamu sudah siap?" Upasara memusatkan perhatian setelah memberikan tongkat. Begitu Galih Kaliki mulai bergerak, ia pun bergerak mengimbangi. Kembali pemandangan aneh terlihat. Kali ini Galih Kaliki mengeluarkan semua ilmunya. Mendesak, berjumpalitan, dan Upasara terus-menerus mengimbangi. Sesekali terdengar seruan tertahan. Teriakan Nyai Demang, karena batok kepala Galih Kaliki seperti bakal menjadi bubur. Tapi toh pada saat terakhir bisa disentil kembali. Hingga arahnya melenceng. Galih Kaliki mengempos seluruh tenaganya, hingga akhirnya berjalan sempoyongan. Upasara sendiri berhenti karena keringatnya membanjir luar biasa. Diam-diam muncul keringat dinginnya. Permainan yang barusan dilakukan sungguh berbahaya. Meleset satu gerakan saja, nyawa taruhannya. Upasara termenung. Ia seperti menemukan sesuatu yang belum jelas benar di kepalanya. Sesuatu yang seperti sangat dikenal, sangat mudah diketahui. Nyatanya, tadi dengan mudah bisa menghalau gerakan-gerakan Galih Kaliki yang selama ini paling aneh. Gerakan-gerakan itu sama sekali bukan asing baginya. Akan tetapi, di mana ia mempelajari gerakan Galih Kaliki? Upasara masih termenung. Tak sadar bahwa Nyai Demang datang mendekat ke arahnya. Dan mengelap keringat Upasara dengan selendangnya. Yang tak diketahui oleh Upasara ialah justru saat itu secara diam-diam Gayatri melihatnya! Bagi Gayatri tak ada kesulitan apa-apa untuk masuk ke bagian dalam Keraton. Sebagai putri Kertanegara, bagian dari Keraton sama dikenal dengan jarinya sendiri. Adalah di luar perkiraannya bahwa ia melihat Upasara sedang dilap keringatnya oleh Nyai Demang. Dengan pandangan mata genit Nyai Demang! Sementara Upasara sendiri tertegun tak bergerak menghindar. "Upa, kamu memang luar biasa. Mbakyumu senang sekali. Nah, sebelum mbakyumu ini mengajukan permintaan sesuai dengan syarat, apakah kamu mau mengajukan sesuatu? Kamu akan meminta sesuatu? "Jangan malu, Upa, katakan saja." Nyai Demang mengelus rambut Upasara. Mengelus dada Upasara yang bidang. "Aneh, rasanya saya telah mengenal...." "Masa kamu lupa sama mbakyumu ini?" "...telapak tangan keduanya terbuka, membentuk paruh itik. Kekuatan ada di sudut..." "Aha, kalau yang begitu bisa kita lakukan, Upa. Mau sekarang? Di sini?" "...tenaga biji pisang. Terbungkus tapi ada. Tenaga utara-selatan..." "Pisang? Tenaga pisang? Boleh saja." Nyai Demang makin genit. Gayatri memalingkan wajahnya. Perlahan ia menjauh. Terdengar helaan napas yang panjang, dalam dan berat. "Kenapa aku harus mengharap dari seorang gelandangan seperti Kakang Upasara? Sekali gelandangan tetap gelandangan. Barangkali dewa di langit maha bijaksana. Sehingga di dunia ini ada yang dididik sebagai ksatria keraton dan gelandangan yang tak tahu adat sopan santun. Belum kering bibirnya mengatakan keinginan untuk mengambilku, di depan mataku sendiri melakukan tindakan yang begitu tak senonoh." Gayatri berjalan ke pinggir. Mendadak tubuhnya merapat ke dinding. Dalam waktu sekejap puluhan prajurit sudah mengepung rapat. Bersenjata lengkap. Bahkan di tengah melayang turun seakan dari langit. Tak salah lagi itulah Ugrawe. Kumisnya yang panjang melengkung, dagunya yang mendongak dengan kecongkakan, tak bisa ditebak orang lain. "Upasara, Nyai Demang, dan pemabuk Galih Kaliki, ternyata kalian menantangku untuk mengambil tenaga kalian. Bersiaplah, satu lubang cukup untuk kalian bertiga." Upasara masih berdiri tepekur. Tidak menyadari bahwa kepungan sudah rapat sekali. Dengan Ugrawe yang berdiri di tengah, dan Rawikara sebelah kanan. Di belakang sedikit Sagara Winotan serta Jangkung Angilo. Selebihnya adalah para senopati pilihan yang mengawal Keraton. "Satu lubang untuk mengubur tiga bangkai ini sudah cukup. Upasara, beberapa kali kita bertemu. Ternyata nasibmu baik, karena kau ditemani setan cilik beracun. Hari ini, tak ada yang menghalangiku untuk menarik tenaga dalammu yang masih murni." Ugrawe mendengus. "Nyai Demang, kamu sungguh tak tahu diri. Diberi tempat, makan, bukannya menunjukkan rasa hormat malah main gendak-gendakan mengumpulkan lelaki di sini. Siapa menyuruh kalian berlatih silat di sini? Mana kiai yang berkhianat menurunkan ilmunya kepada Upasara itu? "Hari ini aku, Ugrawe, Pujangga Pamungkas, pujangga terakhir yang terbesar, terpaksa menyalahi titah Raja dalam soal pengampunan." Ugrawe menggebrakkan tangannya. Sepuluh prajurit terpilih maju secara serentak. Tiga orang malah meloncat lebih dulu. Nyai Demang menangkis sambil melayang ke atas. Galih Kaliki meraup tongkat dan menangkis sambil maju. Kepalanya masih tetap dikuasai arak secara penuh, akan tetapi begitu melihat bayangan Nyai Demang bergerak, ia pun mengikuti. Rawikara menyambar dua pedang dan ikut menerjang ke tengah pertempuran. Saat itu dari dalam ruangan Mo Ing yang masih terluka karena tusukannya sendiri beberapa waktu yang lalu berjalan terhuyung-huyung. Mendengar suara ribut, ia bangun. Tubuhnya masih lemah. Cara berjalannya masih gontai. Sementara Rawikara sendiri, dengan pukulan andalan Banjir Bandang Segara Asat telah bisa mengembalikan tenaganya. Seperti yang diduga Jaghana, Rawikara memang mempergunakan tenaga-tenaga prajurit untuk diambil alih. Untuk dipindahkan ke dalam tubuhnya. Mo Ing mengeluarkan seruan tertahan melihat bayangan Rawikara menebas ke arahnya. Secara spontan tangan terangkat untuk menangkis. Ternyata Rawikara tidak menarik pedangnya. Terdengar pekikan dan darah muncrat. Saat itulah Upasara tersadar dari lamunannya. Dengan cepat, tubuhnya bergerak. Tangannya menangkis tebasan pedang Rawikara. Caranya sama seperti Mo Ing menangkis. Hanya kini tenaga yang tersalur berbeda. Dan Rawikara melepaskan pedangnya untuk menyelamatkan diri. Satu pedang lagi dilemparkan bagai tombak. Bahwa Upasara bakal menghindar, Rawikara sudah mengetahui hal itu. Karena melepaskan kedua pedang termasuk dalam rencana untuk segera melancarkan pukulan andalan. Rawikara sangat mengincar tenaga dalam Upasara. Aneh sekali. Upasara tidak berusaha menghindar dengan menjauhkan diri. Tidak juga melakukan pukulan. Ia justru seperti bergerak sendiri. Tubuhnya melenggok, dadanya menggelombang, dan kedua tangan membuka. Saat yang ditunggu oleh Rawikara untuk melancarkan serangan. Upasara tidak langsung menyerang dengan membalas, tetapi juga menunggu. Seperti bergerak sendiri, dengan berat tubuh ke arah selatan. Plak. Duk. Dua tangan bertemu. Tenaga terobosan yang menggempur dari Rawikara menerjang, mendesak. Sesaat Rawikara mengeluarkan sorot mata mengejek. Tangan kirinya menggunakan tenaga menarik. Menguras tenaga dalam Upasara. Mendadak seperti terdengar bunyi "pletak" dan Rawikara terjungkal. Mulutnya mengeluarkan darah. Tangannya teracung ke atas. Sebelum sempurna teracung tubuhnya telah terbanting. Ugrawe mengeluarkan teriakan mengguntur, kedua tangan menyapu bersamaan. Serentak dengan itu semua prajurit menerjang. Dalam sekejap keroyokan terjadi. Mo Ing menjadi korban, sementara Galih Kaliki juga terdorong oleh tenaga pukulan Ugrawe. Dengan perkasa Ugrawe melayang di angkasa. Kedua tangan dan kakinya bergerak melebar. Sekali kena tendang, Galih Kaliki terpental. Dalam gerakan yang sama, masih satu gerakan, Nyai Demang juga tersapu kedua kakinya. Sempoyongan ketika menghindar dan langsung disibukkan oleh tusukan pedang para prajurit. Dalam putaran itu Ugrawe mencakar Upasara sekaligus. Upasara masih bengong. Ketika cakaran itu mendekat dengan bau amis, baru sadar. Akan tetapi terlambat. Cakaran itu berubah menjadi pukulan dengan telapak tangan. Bek. Enteng suaranya. Tapi Upasara terpental hingga ke tiang. Tiang yang kukuh menjadi bergetar. Dahsyat sekali pukulan Ugrawe. Dalam satu gebrak, tiga lawan yang tangguh terpukul mundur. Galih Kaliki memang sedang mabuk, dan Upasara dalam keadaan kurang siap, akan tetapi ini jelas menunjukkan prestasinya. Penguasaan Sindhung Aliwawar yang luar biasa. Kalau sesaat tadi dengan gemilang Upasara bisa memukul rubuh Rawikara, kini sebaliknya. Dalam satu jurus ia telah dibuat keok. Berbeda dengan Upasara, Ugrawe tidak terhenti di situ. Ia menerjang maju. Upasara berdiri tegak. Ia maju memapak ketika serangan terarah kepada Nyai Demang yang terjatuh tanpa bisa bergerak. "Cari mati kamu!" Siku Ugrawe masuk ke dada Upasara. Dua tangan Upasara yang terkepal dan menjaga, dengan mudah diterobos. Sebelum Upasara menguasai dirinya, kaki Ugrawe menjebol pertahanannya. Sia-sia Upasara melayang, karena kali ini pinggangnya justru dicengkeram. Sekali sentak tubuh Upasara terlempar ke atas mengenai atap. Jebol sampai di atasnya. Gayatri menjerit. Tapi jeritannya tertutup teriakan para prajurit yang kini meringkus Nyai Demang serta Galih Kaliki. Gayatri menjerit karena merasa bahwa keadaan Upasara menjadi sangat buruk karena berusaha membela Nyai Demang. Ugrawe sendiri langsung menjejakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke atas, melalui jebolan yang dilewati tubuh Upasara. Dalam keadaan melayang jatuh di genteng kayu, Upasara merasa bahwa dadanya kelewat sakit dan pinggulnya sangat nyeri. Ugrawe bukan hanya sakti tetapi juga kasar sekali. Pikirannya masih kacau. Masih terpusat kepada bagaimana secara agak aneh, ia bisa menebak jurus-jurus Galih Kaliki. Demikian juga jurus Rawikara. Padahal kalau dilihat, apa yang dilakukan Ugrawe tak berbeda jauh. Tetapi kenapa justru yang terakhir ini bisa dibuat keok? Kalau hanya soal perbedaan tenaga dalam, hanya juga tak secepat ini! Tidak dalam satu-dua gebrakan! Agaknya ini pula yang membuat Ugrawe bertanya-tanya dalam hati. Makanya ia tak memulai menyerang dengan pukulan andalan, melainkan dari bagian tengah. Dan buktinya, Upasara yang dihadapi seperti Upasara yang ketika pertama ditemui. Tak begitu mengejutkan. Malah boleh dikata seperti banteng tanpa tanduk, karena kini tidak memainkan keris. Muncul dari lubang atap, Ugrawe langsung menggeliat tubuhnya. Kakinya menendang ke arah dada Upasara. Dan tubuh Upasara terpental jatuh ke tanah. Tanpa ampun lagi Upasara langsung bisa diringkus. Dengan gagah, berwibawa, dan senyum kemenangan, Ugrawe melayang turun kembali. "Sebelum kubunuh, katakan siapa yang mengajarimu jurus Sekar Sinom itu." Pikiran Upasara bagai disinari oleh kilat. "Sekar Sinom tadi?" Seketika Upasara menjadi ingat semuanya. Kini semua menjadi jelas. Apa yang dipraktekkan tadi adalah bagian yang dipelajari dari klika atau kulit kayu yang berjudul Tumbal Bantala Parwa. Atau Kitab Penolak Bumi! Itu adalah kitab yang dulu dibawa lari oleh Kawung Sen! Kitab yang dicuri dari perbendaharaan Ugrawe. Ataukah kitab yang dibacakan oleh Nyai Demang? Upasara tidak bisa mengingat jelas. Dulu kejadiannya hampir beruntun. Sekarang jelas. Begitu tadi melihat Galih Kaliki menyerang dirinya sendiri, Upasara justru teringat jurus-jurus Tumbal. Jurus yang menjadi penangkis jurus tersebut! Selama ini Upasara telah melihat permainan silat Galih Kaliki, akan tetapi tak pernah mengetahui jurus apa sebenarnya. Hanya ketika Galih Kaliki menggunakan jurus itu untuk dirinya sendiri, Upasara seperti terbuka matanya. Dan itu pula sebabnya ia begitu mudah menebak arah serangan Rawikara. Bahkan rasanya ia tak usah melawan. Sekadar mengikuti gerakan tubuh yang terjadi dengan sendiri begitu lawan menyerang! Yang pertama adalah jurus Manik Maya Sirna Lala. Yang membuka dua telapak tangan dengan kekuatan di sudut. Sedangkan yang disebut sebagai Sekar Sinom tadi adalah jurus ketiga. Pukulan dari Rawikara menghantam dirinya sendiri, karena dalam jurus Sekar Sinom, Upasara mempergunakan tenaga dalam biji asam. Biji asam akan membuka sendiri pada saat sudah tua. Kulitnya pecah, biji keluar. Tenaga itulah yang dipakai untuk melawan Rawikara, karena Rawikara-lah yang mematangkan! "Tumbal Bantala adalah buku yang mudah diperoleh. Untuk apa hal itu ditanyakan?" "Kamu tetap bermulut lebar. Bagaimana kamu bilang Tumbal Bantala Parwa buku yang mudah diperoleh? Buku itu merupakan lanjutan dari Bantala Parwa, atau buku silat berdasarkan kekuatan bumi. Seorang ksatria tak akan merendahkan diri untuk mempelajari ilmu perguruan lain. Kamu sungguh memalukan. Hina." "Siapa yang mencuri apa? Apakah Paman Ugrawe merasa lebih berhak dari Kakang Galih Kaliki dalam soal Bantala Parwa?" Ugrawe terkesiap. Ia memang tak pernah menyangka bahwa dasar-dasar gerakan tongkat yang patah itu mempunyai kemiripan dengan gerak-gerak yang dilatih dalam Sindhung Aliwawar. Ugrawe sudah menduga akan hal ini. Akan tetapi masih sedikit bimbang. Sindhung Aliwawar menitikberatkan pada kekuatan memukul, sementara Galih Kaliki justru mempergunakan tongkat. Tetapi kalau dipikir-pikir memang mirip. Maka gerakan tongkat Galih Kaliki terasa aneh. Karena kurang mempergunakan pergelangan tangan, sebagaimana biasanya mereka yang berlatih menggunakan senjata. "Pemabuk gila itu tak mengerti apa-apa mengenai Bantala Parwa." "Terserah mau mengakui atau tidak." "Dari mana kamu mempelajari kitab utama itu? Serahkan klika itu padaku." "Sayang yang menulis buku itu telah mengambilnya sendiri. Kalau berani mengambil, kenapa tidak minta kepada orang yang bersangkutan?" Ugrawe menyipitkan matanya. "Nyai Demang, di mana kiai cabul itu?" "Tanya pada anaknya." Ugrawe bergerak ke arah Mo Ing. "bangs*t tanpa kelamin. Di mana bapak atau moyangmu itu? Dari mana kalian mencuri pusaka leluhurku?" Mo Ing dalam keadaan sekarat. Bekas luka dari Rawikara beberapa waktu lalu belum hilang. Apalagi kini tangannya telah putus. Antara mati dan hidup ia dicaci seperti itu. Dengan mengeraskan hati, Mo Ing menguatkan tenaga untuk meludahi Ugrawe. Ugrawe tak menduga bakal diludahi wajahnya. Tak sempat menghindar lagi. Plak. Tangan Ugrawe bergerak cepat. Seketika tulang tengkorak Mo Ing retak. Darah menciprat ke seluruh tubuh Ugrawe. Lalu Ugrawe mengambil kain Mo Ing dan melap tubuhnya. Sekaligus melap wajahnya yang kena semburan ludah. "Upasara, masihkah kamu bertahan untuk menyimpan rahasia buku itu?" "Tak ada untungnya saya menyimpan. "Tetapi saya minta Empu tidak melakukan sesuatu kepada Nyai Demang dan Kakang Galih Kaliki. Mereka tak ada hubungannya dengan saya dan masalah ini." Ugrawe mengibaskan tangannya. "Itu soal kecil. Tetapi bahwa kamu mau menukar nyawamu untuk wanita genit ini, itu baru luar biasa." Dengan satu kibasan lagi, Nyai Demang dan Galih Kaliki dibebaskan. Di kegelapan, Gayatri tak bisa menahan jatuhnya air mata. Kini makin jelas bahwa Upasara lebih suka mengorbankan nyawanya sendiri untuk menolong Nyai Demang. Gayatri tak pernah mengerti bahwa Upasara tidak terlalu memikirkan masalah tersebut. Jalan pikirannya sederhana. Bahwa mereka berdua terlibat dalam masalah ini gara-gara kehadirannya. Dan kini Upasara mau menanggung sendiri akibat perbuatannya. "Cukup puas?" "Terima kasih." "Ada lagi yang ingin kamu bebaskan?" Gayatri menunggu Upasara mengucapkan namanya. Tetapi ternyata Upasara menggelengkan kepalanya. "Serahkan kitab itu padaku." "Sekarang ini masih dibawa oleh Kiai Sangga Langit." Ugrawe menahan gejolak dalam dadanya. Upasara bukan orang yang suka berbohong. Itu Ugrawe tahu. Apalagi Upasara mengucapkan dengan biasa-biasa. Tanpa maksud menjelekkan atau mencari kambing hitam. Sesungguhnya Upasara juga tidak merasa berbohong sepenuhnya! Apa yang dikatakan adalah mendekati kebenaran. Karena Upasara berpikir bahwa tokoh lain yang bisa dihubungkan dengan soal segala macam kitab hanyalah Kiai Sangga Langit. Imam dari negeri Tartar itu paling getol mempelajarinya. Dan memberikan ilmu kepada orang lain. Kawung Sen dulu juga mencuri. Tetapi pada dasarnya karena ingin memperolok saja. Tidak punya niatan untuk mempelajari dan mencuri. Hanya karena kesal dengan ulah Ugrawe. Kawung Sen sendiri buta huruf. Jadi kalau Ugrawe pernah merasa kehilangan, Kiai Sangga Langit-lah satusatunya orang yang mempunyai kemungkinan untuk mengambil. "Untuk sementara aku pegang omonganmu. Kalau sampai meleset, kamu tahu akibatnya." "Sekarang pun saya siap untuk menerima akibatnya." Ugrawe tersenyum. Sifat liciknya muncul. "Kenapa kamu mencari Kiai Sangga Langit?" "Karena ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. Selain Tumbal Bantala Parwa, Kiai Sangga Langit pernah menceritakan kitab silat yang berdasarkan bintang. "Yaitu Dwidasa Nujum Kartika, atau Dua Belas jurus Bintang. Saya berusaha untuk menerangkan bagian yang tak diketahui untuk berlatih bersama." Apa yang dikatakan oleh Upasara sangat tepat! Ugrawe memang kehilangan kitab itu. Yang ketika itu dicuri oleh Kawung Sen! Dengan menyebutkan judulnya saja, Ugrawe teringat koleksinya yang hilang! Ugrawe cerdik dan licik, akan tetapi tak mengira bahwa dulu Upasara-lah yang membacakan kitab itu bagi Kawung Sen. "Aku percaya semua yang kaukatakan. Nah, karena kamu telah mempelajarinya, dan aku kehilangan kitab itu, sekarang kau ajari aku." "Begitu gampang dan hina mempelajari ilmu silat orang lain?" Ugrawe memandang ke bulan. "Kitab itu justru pusaka leluhur kami yang hilang dicuri. Bagaimana mungkin dituduh mencuri ilmu orang lain?" "Bagaimana saya bisa mempercayai omongan ini?" "Baik. Mulai sekarang kamu berada di sini. Aku akan mengatakan satu jurus ilmu yang ada dalam Dua Belas jurus Bintang. Kamu menyebutkan salah satu juga. "Kalau aku bohong, pasti salah menyebutkan. "Begitu juga sebaliknya. "Saat Kiai Sangga Langit datang, aku akan mengatakan bahwa ia imam busuk yang mencuri ilmu silat perguruanku. "Bagaimana dengan tawaran ini?"
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:31 pm | |
| Ugrawe tersenyum dingin. Tawaran yang terlalu bagus. Sesaat melihat sorot mata Upasara, Ugrawe benar-benar merasa kecolongan. Mana mungkin ksatria seperti Upasara akan memberikan ilmu silat kepada dirinya? Taktiknya ini hanya sekadar untuk meloloskan Galih Kaliki dan Nyai Demang! Tak bisa lain. Ugrawe merasa tertipu. Kesal. Ia selalu keliru, karena justru mengukur sifatsifat Upasara sebagai manusia biasa. "Aku tahu tipu muslihatmu, Upasara," kata Ugrawe dengan nada tinggi. "Tapi sengaja kuberikan kesempatan kepada Galih Kaliki dan Nyai Demang busuk itu pergi. Yang kuharapkan adalah menyobek-nyobek tubuhmu. Soal mereka berdua sangat mudah dihadapi." Ugrawe langsung menggempur. Dengan penuh keyakinan diri, Upasara meloncat maju untuk menghadapi. "Aku tak berdusta. Akan kuberikan Dwidasa Nujum Kartika. Kalau bisa menghadapi semuanya, berarti masih perlu belajar. Kalau bisa menghentikan pukulan sebelum dua belas jurus ini selesai, bisa menguasai ilmu itu." Upasara langsung memapak dengan jurus Lintang Sapi Gumarang. Dengan mengisarkan kedua kaki, arah tenaga diambil dari utara-selatan. Upasara memapak maju dengan getaran tenaga musim Kasa, musim pertama. Gerakan dan dorongan tenaga yang sama dengan embun baru menetes, genjotan binatang yang meloncat dari sarangnya. Ugrawe seperti didorong habis. Tersapu dan mendadak menjadi mundur. Bagi Upasara, menghafalkan jurus-jurus yang sama sekali baru tak terlalu sulit. Modal utama yang dimiliki ialah kemampuan mengonsentrasikan pikiran. Dalam hal begini, barangkali Upasara tiada tandingannya. Memusatkan pikiran sudah dilatih sejak ia lahir. Upasara tak mau memperhitungkan Ugrawe yang mundur, ia menerjang maju, bagai tenaga buah padi yang tumbuh. Lintang Tagih, tenaga luar yang panas mengancam, akan tetapi tetap dingin di dalam. Ugrawe berseru kaget. Ia bukannya tak bisa mengimbangi. Akan tetapi sangat terpesona. Di satu pihak ingin menjajal, tetapi di lain pihak ingin mengetahui ilmu yang dimainkan Upasara. Ugrawe menangkis serangan atas, dan mendadak tubuhnya terbanting. Ini adalah jurus Lintang Lumbung, jurus ketiga. Kekuatan utama di kaki, seperti kekuatan akar yang baru tumbuh. Menusuk apa saja yang menghalangi. Terbanting ke atas tanah, Ugrawe segera menggulung dirinya. Bagai putaran angin ribut. Melonjak tinggi ke angkasa. Dua tangannya berputar berusaha menggagalkan serangan berikut. Tapi Upasara malah menarik diri. "Tiga jurus saja sudah keok. Untuk apa diteruskan?" Ugrawe melayang turun. Tangannya mengibas. Seluruh prajurit mengepung. "Upasara, aku datang," terdengar suara Kiai Sangga Langit. "Sungguh berbahagia, aku bisa menemui seorang ksatria dalam jiwa dan tindakan. Karena mereka main keroyok, aku akan membelamu." Dalam sekejap, pertempuran berubah menjadi keroyokan. Para senopati Keraton tak ragu lagi menyerang dari segala jurusan. Upasara merasa bahwa tubuhnya belum pulih akibat tendangan Ugrawe, merasa was was dengan tenaganya kalau dipakai terus-menerus. "Kiai, saya masih ada urusan...." Tubuhnya melayang ke arah luar. "Aku ikut!" Dua tubuh terbang ke angkasa bagai dua ekor burung. Kiai Sangga Langit yang bertubuh gede bisa melayang dengan enteng, bagai burung gagak. Sedangkan Upasara bagai burung garuda. Perkasa, mengagumkan, dengan dua tangan terentang. Sebuah tombak yang diarahkan kepadanya diraup dengan lembut. Bahkan ketika hinggap di benteng sisi luar, langsung mengukir tulisan. Di bawah tulisan mengenai "lautan asmara". Gay, kutunggu Di pelabuhan di saat kapal melabuhkan Kerinduan Memang termasuk luar biasa. Dalam keadaan melayang, Upasara masih bisa mencoretkan kata-kata. Ingatannya kepada Gayatri membuatnya tak bisa meninggalkan begitu saja. Harapan Upasara, Gayatri akan membaca tulisan yang sengaja dibuat besar-besar, untuk segera kembali ke Kali Brantas. Karena situasinya tidak memungkinkan bagi Upasara untuk mencari Gayatri. Kalau saja Upasara tahu bahwa Gayatri ikut masuk ke dalam Keraton dan melihat semuanya, hasilnya akan lain! Turun di tanah, Upasara segera bergegas menjauh. Di depan Kiai Sangga Langit, yang ternyata lebih unggul, sudah menunggu. "Banyak ksatria kujumpai dalam perjalanan ini, tetapi kamu tetap lain. Sejak pertemuan pertama dulu aku sudah jatuh hati padamu. Kalau ada waktu baik, aku akan memberikan seluruh ilmuku padamu." Keduanya tetap berlari kencang. Jauh meninggalkan para pengejarnya. "Aku menjelajah dunia karena mau menyebarkan ilmu yang kumiliki. Seperti ajaran yang kuperoleh selama ini. Aku bukan prajurit. Meskipun kesalahanku yang utama, aku mau diangkat menjadi imam negara. "Sekarang aku menemukan bakat besar. Bagaimana, Upasara?" "Tiada ucapan terima kasih yang bisa saya ucapkan. Akan tetapi sekarang saya masih ada tugas. Saya harus kembali ke desa Tarik. Kesempatan lain, Kiai." "Untuk apa ke sana, sebentar lagi tempat itu rata dengan tanah." Upasara kaget. Tanpa terasa tubuhnya jadi bergoyang. "Para pembesar Tartar tak mau menunggu lebih lama. Saya tak bisa menyalahkan. Mereka diutus oleh Kaisar untuk membalas dendam. Dan itu dijalankan. Kita bisa lain, Upasara. "Mari kita lepaskan segala urusan ini. Kita berlatih bersama, dan melanglang jagat. Mensyukuri hidup sebagai ksatria. Untuk apa kita meributkan diri soal takhta?" "Saya tak bisa melepaskan masalah Keraton lebih dulu. Kiai, marilah kita memilih jalan sendiri-sendiri." "Selama ini begitu banyak yang menyembah untuk berguru padaku. Tetapi kamu berani menolak." Kiai Sangga Langit berhenti. Upasara juga berhenti. "Tak ada yang bisa menolakku, Upasara." "Saya tidak menolak. Akan tetapi kalau kita hanya memperhatikan masalah pribadi, apa jadinya kita ini? "Kiai juga terpaksa berperang dengan Ngabehi Pandu, soal membela nama negara." "Itu hanya alasan agar aku bisa menjajal kemampuannya." "Kalau itu yang juga dipakai alasan untuk menjajal kemampuan saya, saya akan meladeni. Hanya bagi saya alasannya adalah karena Kiai menghalangi jalan saya pulang ke desa Tarik." Kiai Sangga Langit menggeleng. "Mari kuantar ke Tarik. Dari sana, setelah tanah itu rata, segala dendam ini tertumpahkan, kita berlatih silat." Aneh sekali perangai Kiai Sangga Langit ini, pikir Upasara. Ia untuk pertama kali mengetahui bahwa di jagat ini ada orang yang begitu kesengsem, begitu tergilagila oleh ilmu silat. Dan semata-mata demi ilmu itu sendiri. Tapi pikiran Upasara lebih terpusat mengenai rencana penghancuran tempat pertahanan di desa Tarik. Kalau pasukan Tartar menyerbu, benar seperti yang dikatakan Kiai Sangga Langit: bumi bakal rata. Maka, Upasara memusatkan tenaga untuk berlari sekencang mungkin. Ia kemudian mengambil kuda. Membalap sepenuh tenaga. Akan tetapi begitu masuk daerah Tarik, hati Upasara kecut juga. Seluruh daerah sudah dikepung rapat. Tak ada bagian yang tersisa. Naga Wolak-Walik dengan perkasa berada di tengah lapangan. Dua tombak yang ujungnya mengibarkan bendera dipegang dengan teguh. Gagah. Nyaris sempurna. Naga Murka berada di dekatnya. Sementara Naga Kembar siap dengan abaaba untuk menggempur. Di bagian depan, Raden Sanggrama Wijaya serta seluruh pengikutnya sudah pula bersiap-siap untuk mati mempertahankan tanah negerinya. Keduanya dalam keadaan siap tempur. Walau kekuatan kurang seimbang. Prajurit Tartar begitu sempurna mengepung, dengan persenjataan yang bukan alangkepalang. Sementara Raden Sanggrama Wijaya seperti mengumpulkan prajurit dan pengikutnya seadanya. Bahkan Wilanda yang nampak masih sakit ikut duduk di tanah. Dari semangat bertempur, tak bisa diukur mana yang lebih luhur. Kedua pasukan siap untuk perang habis-habisan. "Bagaimana? Kami tak mau menunggu lebih lama lagi. Siapkan pemimpin tertinggi kalian dan kami bawa sebagai tawanan kepada kaisar kami. Kalau tidak, semua yang menentang akan dikubur tanpa lubang," teriakan Naga Murka lantang sekali. "Tunggu sebentar, ini utusanku datang," teriak Raden Wijaya mengguntur. "Tak ada lagi yang perlu ditunggu." Naga Murka siap untuk memberi aba-aba. Akan tetapi pandangannya tertuju dengan masuknya Upasara serta Kiai Sangga Langit. Keduanya berjalan bersamaan, tidak menunjukkan tanda-tanda bermusuhan. Upasara maju menghaturkan sembah kepada Raden Wijaya. Mendadak telinga Upasara berdenging. "Upasara, kalau sejak tadi kamu tidak berduaan, aku sudah ingin membisikimu. Kepungan ini tak bisa dilawan. Jangan ceroboh. Wijaya berusaha melawan sepenuhnya. Kalau kalian mendengar cerita Tamu dari Seberang, inilah tamu itu. Inilah yang akan membawa berdirinya Keraton yang lebih bersih, lebih berwibawa, di kelak kemudian hari." Raden Wijaya memandang Upasara. "Bagaimana? Apakah Keraton Daha..." "Baru saja saya mendengar bisikan Eyang Sepuh. Inilah Tamu dari Seberang yang akan..." Raden Wijaya mengangguk. Bersitan satu kalimat saja sudah lebih dari cukup. Daya tangkap untuk menghubungkan berbagai persoalan hanya terjadi dalam waktu sepersekian detik. Raden Wijaya maju ke tengah. "Para Dewa Naga yang datang jauh-jauh. Kami adalah prajurit Keraton Singasari. Prajurit sejati yang lebih suka mati untuk membela kebenaran. Kalau kedatangan para Dewa Naga kemari untuk membalas dendam, sekarang kita bisa bekerja sama. "Utusanku, Upasara Wulung, baru pulang dari bertarung di Keraton Daha. Di sanalah orang-orang yang menghina kaisar para Dewa Naga. "Akan tetapi jika para Dewa Naga ingin melawan kami, kami semua siap melayani." Naga Wolak-Walik memandang ke arah Kiai Sangga Langit. Mereka berbicara sekejap. "Baik, kata-katamu bisa dipercaya. Kebetulan Bok Mo Jin, Kiai Sangga Langit, baru saja menyaksikan sendiri. "Kalau begitu, hari ini seluruh pimpinan penyerbuan Daha di bawah komando kami." Peperangan besar antara pasukan Tartar dan prajurit Wijaya berubah menjadi perundingan. Baru kemudian para prajurit Tarik menjadi lebih heran lagi. Karena memang kekuatan pasukan Tartar bukan main-main. Mereka sengaja dikirim untuk menaklukkan sebuah kerajaan. Naga Kembar langsung memberi komando. Ia membagi pasukan besar itu menjadi tiga. Ia sendiri akan memimpin gempuran dari arah timur. Naga Murka akan menggempur dari wilayah barat. Pasukan Raden Wijaya membantu dari arah belakang. "Semua tanpa kecuali di bawah komando. Kita menyerang lewat Kali Brantas," teriak Naga Kembar lantang. "Bagaimana dengan strategi jika pihak lawan juga melakukan serangan yang sama?" Naga Murka tertawa. "Itu bagianku. Selama ini akulah jenderal perang yang tak bisa ditipu lawan. Dari peta yang ada, mereka hanya mungkin unggul di bagian tenggara dan barat. Dan di situlah aku berada akan melindas habis mereka. "Siapa yang tidak mematuhi komandoku, akan kucincang sendiri." Hari itu juga semua pasukan bergerak langsung. Tanpa menyembunyikan diri. Bendera ditarik tinggi-tinggi. Sementara laporan yang diterima oleh Ugrawe sedikit terlambat. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa prajurit Tartar menggempur langsung. Tanpa memedulikan ba dan bu. Ugrawe mengerahkan perlawanan yang gagah berani. Delapan hari delapan malam, ia terus memimpin di barisan terdepan. Dalam pertempuran yang dahsyat, Ugrawe memperlihatkan dirinya sebagai panglima perang yang ulung. Hanya saja karena lawan lebih kompak, perlahan-lahan Ugrawe terdesak mundur juga. Di benteng Keraton, panglima yang gagah berani ini tak bisa menghadapi keroyokan Naga Wolak-Walik dan Naga Kembar serta Naga Murka sekaligus. Bertarung sejak dini hari, sebelum matahari sepenggalah, tubuh Ugrawe sudah berlumuran darah, terdesak mundur. Dua tangan, kaki, bagian telinga meneteskan darah. Naga Kembar berteriak mengguntur dan menyapu dengan kedua tangan. Ugrawe berusaha menahan gempuran, akan tetapi tubuhnya terbetot dan terlontar ke bagian dalam. Begitu menghantam tanah, Gendhuk Tri berjingkrakan di sebelahnya. Sebelah kakinya menginjak Ugrawe. Dewa Maut yang tertawa terbahak jadi ikutan. "Kita apakan, Tole?" "Kita bikin panggang? Dagingnya kurang enak. Ikat saja." Sebenarnya justru ulah Gendhuk Tri ini yang menyelamatkan nyawa Ugrawe. Karena kehadirannya di medan pertempuran membuat orang jeri, takut terluka dan ketularan racun. Dewa Maut sendiri sudah mulai pulih beberapa bagian tenaga dalamnya. Setelah Jaghana dan Wilanda bisa mengembalikan sebagian kekuatannya dengan wejangan yang disampaikan lewat Gayatri, mereka menemukan inti memulihkan tenaga dalam yang diambil. Kini, tanpa kecuali, mereka ikut menggempur Keraton Daha. Menurut penanggalan modern yang kita kenal sekarang ini, tanggal 20 Maret 1293, Keraton Daha jatuh. Naga Murka yang memimpin serbuan dengan serta-merta menduduki Keraton dan sekaligus menawan Raja Jayakatwang serta Rawikara. Di tengah keributan pesta kemenangan, Raden Wijaya mengumpulkan semua pengikutnya. "Upasara, kalau benar Eyang Sepuh yang membisikimu mengenai mitos Tamu dari Seberang, apa yang harus kita lakukan sekarang ini?" "Hamba tak tahu, Raden. Eyang Sepuh tak muncul lagi. Hanya pada saat kritis beliau muncul. Ketika memberitahukan mengenai pukulan Banjir Bandang kepada Gusti Gayatri, dan kedua..." "Soal Gayatri, jangan terlalu diurusi. Sekarang masalahnya justru lebih besar. Cepat atau lambat para Dewa Naga akan memaksa kita sebagai tawanan untuk dibawa ke negeri Tartar. "Soal Raja Daha, aku sendiri tak rela, apalagi kita sendiri. Tak bakal kita menyerah begitu saja. "Baginda Raja Kertanegara saja mengangkat senjata. Masa kita anak-cucunya menyerah? "Tapi untuk mulai penyerangan saat ini, kita agak sulit. Mungkin kalau pertempuran tidak di Keraton, bisa kita ambil alih. Pasukan Paman Wiraraja telah siap." Sanggrama Wijaya segera memerintahkan para pengikutnya untuk berkumpul. Ia sendiri memimpin untuk menemui Naga Wolak-Walik dan Naga Kembar. Wijaya dengan cerdik menghindar dari Naga Murka. Satu-satunya panglima perang yang begitu penuh kecurigaan—yang sebenarnya memperlihatkan strategi yang ulung. "Kami mengucapkan syukur dan rasa terima kasih yang dalam," kata Nyai Demang menerjemahkan kalimat Raden Wijaya. "Kebesaran pasukan Tartar memang pantas sekali memenangkan ini. "Rasa syukur ini akan kami wujudkan, sesuai dengan janji kami, untuk mempersembahkan tanda kehormatan kepada Baginda Raja Kaisar. Kami minta izin untuk membuat persiapan di tanah Tarik, di Majapahit." "Tidak usah terlalu sungkan," kata Naga Kembar. "Tanpa disebutkan, kami memang yang terbesar di jagat raya ini. Persiapkan persembahan tanda tunduk kepada kaisar kami." Raden Wijaya tak menunggu lama. Hari itu juga memerintahkan untuk berangkat. Upasara menjadi kagok. "Raden, saat ini Gusti Putri Gayatri masih berada dalam tawanan. Karena sejak semula Gusti Putri terjebak dalam Keraton. Apa tidak sebaiknya kita bebaskan lebih dulu?" Raden Wijaya mengentakkan kakinya. "Upasara, kamu ksatria besar. Tapi itu sebabnya kamu tidak akan pernah menjadi pemimpin. Di saat situasi begini menentukan soal mati-hidup, kamu masih memikirkan seorang gadis. Di seluruh tanah Jawa ini, yang kecantikannya melebihi Gayatri tak bisa dihitung. Nah, apakah kamu masih mempertimbangkan itu dibandingkan keselamatan kita semua?" "Hamba yang membawa dia, Raden." "Kamu yang membawa. Akan tetapi itu semua atas perintahku. Selama kamu masih menjadi prajurit, kamu harus memenuhi perintahku. Perintahku sekarang ini, kita kembali ke desa Tarik, ke Majapahit." Rombongan Raden Wijaya berangkat saat itu juga. Dengan pengawalan lebih dari dua ratus prajurit Tartar. Naga Murka menunjukkan kemarahan yang luar biasa ketika mendengar lolosnya Raden Wijaya. "Demi Kaisar yang menguasai langit. Bagaimana mungkin kalian berdua mengaku jenderal perang, kalau membiarkan musuh melarikan diri? "Apakah seorang yang mempersiapkan persembahan dan upeti perlu membawa prajuritnya? Ini sama dengan persiapan perang." Naga Wolak-Walik juga kaget. "Rasanya tak mungkin. Di dalam tawanan ini masih ada Raja Daha dan putranya. Juga ada seorang putri bernama Gayatri. Mana mungkin mereka membiarkan tawanan di tangan kita kalau mereka mengangkat senjata?" "Justru karena itu. "Tak bisa dibiarkan. Siapkan pasukan. Kalau kalian mabuk kemenangan karena bisa membalas dendam, aku sendiri yang akan turun tangan mengejar. Jangan sampai mereka menjadi kuat. "Di tanah Jawa ini semua serba aneh. Para jagoan dan ksatria begitu banyak. Kita tak menyangka bahwa seorang Ugrawe bisa menahan serbuan kita selama delapan hari! "Dan yang seperti Ugrawe mungkin banyak jumlahnya, kita sama sekali tak mengerti. "Siapkan pasukan." Kekuatiran Naga Murka tak meleset sedikit pun. Karena di tengah perjalanan, Raden Wijaya dengan mendadak menghentikan pasukannya. Dengan satu kibasan tangan, pengikutnya menyingkir ke bagian lain. "Saya, Naraya Sanggrama Wijaya, pemimpin prajurit Majapahit, dengan ini mengambil alih kepemimpinan seluruhnya. Kalian para prajurit Tartar, bisa memilih dua jalan. "Yang pertama, kembali ke negeri asal. Yang kedua, kita menentukan, siapa yang lebih berhak memerintah di tanah leluhur kami." Para pengikut Raden Wijaya memuji bahwa dalam saat terakhir, lawan masih diberi kesempatan untuk menentukan pilihan. Pertempuran itu sendiri berlangsung singkat. Raden Wijaya ikut terjun langsung ke medan pertempuran. Dengan Jaghana, sebagian dari Pengelana Gunung Semeru, serta para senopatinya, dengan mudah mengalahkan pasukan Tartar yang melawan. Apalagi rombongan para prajurit Madura sudah ikut datang bergabung. Sebelum senja tiba, seluruh prajurit Tartar bisa dikalahkan. Sebagian bisa dibekuk, ditawan, sebagian terbunuh, dan sebagian kecil lainnya melarikan diri. Raden Wijaya mengesampingkan semua perhitungan lain. Kini seluruh prajurit diperintahkan untuk langsung kembali menggempur Keraton Daha. "Kebangkitan Keraton di tangan kita semua. Para prajurit sekalian, inilah saatnya kita membaktikan diri pada tanah, pada bangsa, dan negara. Tak ada pilihan lain. "Saya bukan tidak tahu saat ini Baginda Jayakatwang, Rawikara, Gayatri, Gendhuk Tri, serta Dewa Maut, dan sejumlah ksatria yang lain masih berada dalam tawanan. Akan tetapi, kalau kita tidak mau mengorbankan diri, siapa yang akan berkorban? "Kalau saat ini saya berada di Keraton sebagai tawanan, saya tetap memerintahkan untuk menyerbu. "Sekarang, atau kesempatan itu tak pernah datang." "Maaf," kata Jaghana sambil menyembah. "Apakah Raden tidak mempertimbangkan bahwa korban yang akan jatuh lebih banyak lagi?" "Paman Jaghana. Hari ini saya bersabda untuk meneruskan pertempuran. Siapa yang takut berkorban lebih baik menyingkirkan tubuhnya dari sisiku. Saya sendiri bisa menjadi korban. Tetapi saya memilih jalan ini. Saya tak pernah ragu sedikit pun." "Barangkali kita bisa menunggu..." "Tidak, Paman Jaghana. Saya tahu bahwa barangkali Eyang Sepuh, tokoh pepunden, tokoh pujaan kita semua, akan memberikan bisikan. Tapi kalau beliau akan melakukan, pasti sudah dilakukan sekarang ini. "Ini memang bukan tindakan yang harus diambil oleh seorang yang berbudi luhur seperti Eyang Sepuh. Ini tindakan yang harus diambil Raden Wijaya. Penyerangan kita kepada prajurit Tartar yang mengawal tak akan dibenarkan oleh Eyang Sepuh. Tetapi saya yang bertanggung jawab. "Saya yang melakukan. Sebab saya tidak bisa mengasingkan diri dan memuja ilmu jati diri seperti Eyang Sepuh. "Masing-masing mempunyai tugas sendiri. "Saya tak bisa bersembunyi dan hanya berbisik saat-saat menentukan. Saya manusia biasa. "Tanpa mengurangi rasa hormat, rasa terima kasih kepada Eyang Sepuh, kita berangkat sekarang. Mudah-mudahan beliau merestui keberangkatan kita." Dengan genderang perang yang ditabuh bertalu-talu, prajurit berangkat dari tlatah Majapahit. Ribuan mengikuti dengan gagah perkasa. Kedua belas senopati utama Raden Wijaya memimpin di barisan depan. Mereka inilah yang sejak awal pertama turut berlari dari Keraton Singasari ketika digempur pasukan Jayakatwang. Mereka inilah yang mengadakan siasat penyerangan total di Canggu, tempat prajurit Naga Murka mengadakan pesta kemenangan. Bangkitnya keperkasaan, terlibatnya seluruh penduduk untuk memerangi prajurit Tartar, memberontak bagai air bah. Selama ini mereka agak segan bertempur di antara para prajurit sendiri, biar bagaimanapun Jayakatwang masih mempunyai hubungan saudara. Dengan prajurit Tartar, mereka lebih sigap dan lebih total. Naga Kembar terlambat menyadari ketika seluruh pasukan praktis bisa dikalahkan. Ia menuju Keraton Daha, dan di sanalah terjadi pertempuran berikutnya. Tak ada sebulan prajurit Tartar dengan gagah menduduki Keraton, tapi kini harus mempertahankan. Naga Murka memimpin sendiri pertempuran. Ia berdiri di tempat yang tinggi, diapit oleh Naga Wolak-Walik dan Naga Kembar. Di sampingnya, nampak Raja Jayakatwang dan Rawikara sebagai tawanan, serta Gayatri. "Kalau kalian terus menyerang, orang-orang ini akan mati lebih dulu!" Teriakan mengguntur menghentikan semua gerakan prajurit. "Tak ada yang menghentikan. Tetap serbu!" teriak Raden Wijaya mengguntur. Naga Murka kaget melihat bahwa ternyata pertempuran tak bisa dihentikan. Dua tangannya bergerak, ke arah Jayakatwang dan Rawikara. Ketika tangan mau bergerak kembali, sebuah bayangan meluncur dari tanah. Gesit, sangat cepat. Sungguh luar biasa. Bagai anak panah dilepaskan dari busurnya dengan kekuatan penuh. Langsung berdiri dengan gagah, di bagian utama benteng. Dengan dua keris di tangan kanan dan kiri, Upasara siap untuk bertempur antara mati dan hidup. Satu bayangan lain melesat tinggi. Kiai Sangga Langit muncul. "Awas, jangan bunuh bocah itu. Itu calon murid yang akan kupersembahkan kepada Kaisar. Kaisar sangat menyukai pemuda seperti ini." Belum selesai omongan Kiai Sangga Langit, bayangan lain melesat. Disusul bayangan kedua dan ketiga. Ngabehi Pandu yang lebih dulu tiba, disusul oleh Jaghana serta Ranggalawe. Di atas benteng yang sempit, berdiri para ksatria utama. "Kiai, pertempuran kita belum selesai," kata Ngabehi Pandu mulai membuka mulut. "Kita tak ada urusan dengan pertempuran ini. Meskipun kehadiran kita tak bisa dibebaskan dari pertempuran ini." Di bawah, Raden Wijaya sangat memuji Ngabehi Pandu. Yang memilih lawan tangguh. Apa pun alasan Ngabehi Pandu, dengan menyibukkan lawan tangguh, akan mengurangi pengaruh tekanan lawan. Kiai Sangga Langit berteriak mengguntur, dan langsung menyerbu. Ngabehi Pandu mengeluarkan semua ilmunya. Menghadapi dengan kekerasan pula. Pukulan dibalas dengan pukulan. Seruan tertahan terdengar setiap kali keduanya bergulung. Ranggalawe sendiri langsung menyerbu ke arah Naga Wolak-Walik yang dengan cerdik mengincar Jaghana. Meskipun kelihatan luar biasa cara mengentengkan tubuh, akan tetapi mudah dikenali bahwa Jaghana belum sembuh benar. Naga Kembar yang menyambut serangan Ranggalawe. Upasara pun terjun langsung ke arah pertempuran. Dua kerisnya bagai tanduk banteng yang terluka, menyodet ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah. Naga Murka, yang paling jagoan, hanya mengeluarkan suara meledek. "Jangan salahkan aku kalau calon putra Kaisar mati di tanganku." Dalam medan yang begitu sempit, agak susah mengembangkan permainan. Di satu pihak Kiai Sangga Langit dan Ngabehi Pandu bertarung mati-matian. Keduanya bergulung bagai satu tubuh. Tak bisa dipisahkan. Tak bisa diketahui siapa lebih menguasai siapa. Sementara Jaghana seperti mudah ditebak mulai berada di bawah angin. Ranggalawe kelihatan lebih unggul. Namun dari semua ini, Upasara yang jelas paling menguatirkan. Karena ia paling muda dan justru menghadapi lawan yang paling tangguh. Semua jurus Banteng Ketaton atau Banteng Terluka telah dikeluarkan dengan penuh tenaga, akan tetapi ujung kerisnya belum bisa menyerempet lawan. Malah dengan sapuan kaki, Naga Murka mampu membuat Upasara terlontar mundur. Dua gebrakan lagi, Upasara sudah tak bisa menginjak puncak dinding bagian atas. Tubuhnya melorot turun. "Kena!" Di tengah angkasa, Upasara merasakan tendangan kaki yang mengarah ke wajahnya. Dengan nekat Upasara menggunakan tenaga lawan untuk meloncatkan tubuhnya ke atas. Ia memang berhasil. Akan tetapi dengan demikian Naga Murka bisa menyikat habis. Karena kedudukan Naga Murka jauh lebih kuat untuk melancarkan serangan berikut. Sementara Upasara agak kedodoran karena tak mampu mengontrol tubuhnya secara utuh. Saat itulah Gayatri menjerit. Menguatirkan Upasara. Mendadak Upasara melirik. Sekelebatan melihat sinar mata, bentrok, dan merasa bahagia. Inilah saat terakhir, usaha untuk menolong putri idamannya mendapat balasan. Tapi ternyata belum berakhir. Karena mendadak Ugrawe menggerung keras dan maju ke tengah pertempuran. Sebetulnya Ugrawe dan Gendhuk Tri serta Dewa Maut termasuk yang ditawan. Hanya saja karena Gendhuk Tri menyimpan racun dahsyat, tak ada yang berani menyentuh atau mencelakai. Selama ini pula Gendhuk Tri lebih mirip seorang penawan, karena ia yang menawan Ugrawe. Yang sejak dikalahkan para Dewa Naga tak bisa berkutik. Melihat pertempuran yang sangat menguatirkan Upasara, perhatian Gendhuk Tri terpecah. Saat itulah digunakan oleh Ugrawe yang selalu bisa memanfaatkan situasi. Tubuhnya melayang, menyongsong ke arah Naga Murka. Dua tangan beradu keras. Tubuh Ugrawe terdesak mundur. Ia mengangkat tangan kanan, memutar tangan kiri. Sambil meneriakkan seruan mengguntur, maju menggempur. Banjir Bandang Segara Asat yang dahsyat dimuntahkan dengan sepenuh tenaga. Dalam kondisi yang prima, Ugrawe bisa berbuat banyak. Ia menguasai tenaga dalam secara sempurna. Tetapi dalam keadaan terluka, memang tak bisa menggunakan secara penuh. Namun bentrokan yang timbul cukup dahsyat dan menggelegar. Naga Murka terbanting ke samping benteng. Ugrawe sendiri jatuh dan muntah darah.
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:33 pm | |
|
Upasara menyerbu ke arah Ugrawe, menyangga tubuh Ugrawe. "Aku bukan pahlawan. Aku sekadar bergerak saja. Siapa pun bisa menjadi lawanku." Suaranya melemah. "Aku tahu kunci ilmu silat di dunia ini. Kuncinya ada pada Tumbal Bantala. Aku terlambat menyadari... Kamulah yang tahu kunci itu...." Ugrawe masih berusaha bertahan, akan tetapi satu muntahan lagi tak bisa menahan keinginannya. Badannya masih hangat, akan tetapi nyawanya telah melayang! Upasara menggeram. Jaghana telah dikalahkan. Bahkan kini Gendhuk Tri sedang berusaha menahan serbuan Naga Wolak-Walik. Ngabehi Pandu masih terus berkutat dengan Kiai Sangga Langit. Upasara melihat ke bawah. Seluruh pertempuran terhenti. Mereka menyaksikan para pendekar di atas benteng yang bertarung mati-matian. Naga Murka sudah berdiri kembali. Upasara melirik ke arah Gayatri, tersenyum, dan sambil menghela napas panjang menahan gejolak dalam hatinya. Apa yang bisa dilakukan? Ilmunya kalah jauh oleh Naga Murka. Maksud untuk menolong sia-sia. Malah melibatkan beberapa pendekar dan jatuh pula sebagai korban. Bersiap pun terlambat. Karena Naga Murka menyerbu ke arahnya. Dalam sepersekian detik, dalam sepersekian kejap, Upasara jadi ingat Ngabehi Pandu yang mendidiknya sejak lahir, persahabatannya dengan Kawung Sen, dengan Galih Kaliki, rasa tertariknya pada Nyai Demang, lalu begitu merindukan Gayatri, Pak Toikromo yang ingin mengambilnya menantu, Gendhuk Tri yang begitu memperhatikan dirinya, bisikan Eyang Sepuh yang tak mau turun ke gelanggang. Sementara itu pukulan Naga Murka sudah mendekat. Kesiuran angin sangat tajam membabat tubuhnya. Seperti mengiris lehernya, mematikan urat-urat tubuhnya. Melihat untuk yang terakhir kalinya pun tak sempat! Kosong. Sepersekian kejap yang tersisa adalah kekosongan. Hawa panas makin menekan, mendesak ke dalam tubuh, membuatnya beku, susah bernapas. Dewa Yang Mahakuasa, saya kembali padaMu. Teriakan batin Upasara bagai jeritan kesakitan tapi juga sekaligus rasa syukur, penyerahan total. Di bawah, Raden Wijaya dan seluruh pengikutnya mengikuti jalannya pertempuran dengan rasa was was. Kalau Ngabehi Pandu masih belum diketahui hasilnya, Jaghana jelas sudah dikalahkan. Gendhuk Tri mengambil alih. Walau kelihatan unggul, Ranggalawe belum diketahui, juga belum bisa memastikan kemenangan. Sementara, kini justru serangan maut Naga Murka sedang mengincar Upasara yang seperti tak bereaksi. "Kakang..." Yang terdengar keras adalah teriakan pahit Gendhuk Tri. Suaranya menyayat. Gayatri juga mengucapkan kata itu, akan tetapi lebih lirih. Upasara tak mendengar apa-apa. Hanya merasa getaran aneh yang membuatnya setengah sadar dan tidak. Ketika pukulan Naga Murka meremas ulu hati, Upasara justru tidak menghindar. Tubuhnya seperti melorot turun, seakan bagian pinggang ke bawah tak ada tulang penyangga. Naga Murka kecele. Pukulannya seperti mengenai karung kosong, seperti mengenai gua melompong. Tak bisa ditarik mundur, tubuh Naga Murka tersedot ke depan. Upasara menghindar. Kedua tangannya yang bebas bisa mengetok batok kepala atau leher bagian belakang. Namun, sekali lagi, justru Upasara seperti tak berusaha menghajar. Malah kakinya surut ke arah samping. Naga Murka mencelos beberapa saat. Tapi ia adalah jagoan. Punya pengalaman segudang. Jenderal perang yang paling tangguh. Melihat bahwa lawan tak melanjutkan serangan, Naga Murka memutar tubuhnya, membalik. dan tendangan kaki kirinya mengarah lambung. Saking cepatnya gerakan seketika ini tak sempat terdengar jeritan dari siapa pun. Keras lontaran hawa, mendekap panas. Upasara terkurung dalam tonjokan udara membara. Dengan wajah tetap kosong dan tatapan seperti tertuju ke titik yang maha jauh, Upasara tak menggeser tubuhnya. Hanya sikutnya tertekuk, tertarik ke bawah. Siku jelas tak akan unggul kena benturan kaki, yang ditendangkan sekuat tenaga. "Celaka..." Naga Murka merasa pahanya menjadi ngilu, kaku, tak bisa digerakkan. Kalau tadi tendangannya seperti yang pertama, mengenai ruang kosong, kini sentuhan siku Upasara tepat mengenai urat pahanya. Kaku seketika. Tenaganya tersumbat. Tak bisa digerakkan. Padahal saat itu Upasara terus bergerak, kedua tangannya terjulur. Naga Murka menyampingkan wajahnya. Dan terasa amis di bibirnya. Separuh alisnya somplak, darah mengucur. Juga dari bagian hidung. Naga Murka menjadi panas-dingin. Sungguh tak terduga. Upasara yang tadinya memperlihatkan kekuatan utama dengan memainkan sepasang keris, kini mempunyai gerak yang mengandalkan tenaga dalam yang nyaris sempurna. Upasara melangkah menjauh, tubuhnya masih menggeliat seperti seorang penari. Dalam keadaan semacam itu, satu gerakan saja sudah cukup untuk menghabisi Naga Murka. Akan tetapi Upasara Wulung berdiri kaku seperti menunggu. Mengetahui bahaya mengancam, Naga Kembar dan Naga Wolak-Walik berusaha membebaskan diri dari tekanan. Mereka berdua secara serentak melemparkan dua senjata andalan, memotong dari sisi kanan dan kiri. Kembali terjadi pemandangan yang aneh. Bagian pinggang ke bawah seperti tak bertenaga. Tubuh Upasara memendek, sangat pendek sekali. Dua senjata berbenturan, pada saat itu tubuh Upasara memanjang kembali. Kembali dengan gerakan limbung, tangan Upasara mengulurkan tinju. Gerakan pertama tidak tertuju ke arah Naga Kembar ataupun Naga Wolak- Walik. Seperti memukul udara kosong. Naga Wolak-Walik justru meloncat mundur. Berdiri di ujung benteng yang lain. Salah setengah kaki saja, tubuhnya anjlok ke bawah. Naga Murka menurunkan kakinya yang kejang. Ia tak tinggal diam, merangsek maju. Mencoba memeluk tubuh Upasara, dan siap untuk meremukkan seluruh tulangnya. Sebagai pegulat yang mampu mengerahkan tenaga dalamnya, Naga Murka yakin bisa menembus tenaga kosong yang didemonstrasikan Upasara. Upasara Wulung ternyata tidak menghindar. Tidak juga memendekkan tubuh. Kedua tangannya terentang, dan kembali ke posisi semula, dalam sikap menyembah. Tetapi justru dengan gerakan ini, tolakan tenaganya begitu keras, sehingga Naga Murka terdorong. Hanya karena tubuhnya tertahan Gayatri yang diikat dan berdiri kaku, tak sampai terguling ke bawah. "Bok Mo Jin, kamu pengkhianat! Sejak kapan kau ajari dia jurus Jalan Budha?" Teriakan Naga Murka menunjukkan kecemasan yang tinggi. Mendadak pertempuran di bagian lain terhenti. Kini seluruhnya menjadi senyap. Kiai Sangga Langit berdiri kukuh. Di sudut bibirnya mengalir darah. Ngabehi Pandu demikian juga. Malah kedua kakinya terhuyung-huyung. Naga Wolak-Walik bersiap, tapi pasti. Naga Kembar mengambil posisi bertahan. Sementara itu, Ranggalawe mengatur kuda-kuda, siap untuk melancarkan serangan. Jaghana berdiri, disangga oleh Gendhuk Tri. Upasara Wulung berdiri kukuh. Tegak. "Aku juga bisa. Aku juga bisa," teriak Galih Kaliki di bawah, sambil berputar menirukan gerak Upasara Wulung. Bahwa Upasara bisa membalik situasi secara mendadak memang sangat mengejutkan. Tak terkecuali Ngabehi-Pandu yang menjadi gurunya. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Upasara Wulung bisa memainkan secara nyaris sempurna, apa yang selama ini dikenal sebagai Tepukan Satu Tangan! Apa yang oleh Naga Murka disebut sebagai jurus Jalan Budha. Apa yang bisa ditirukan dengan baik oleh Galih Kaliki. Tuduhan Naga Murka bukannya mengada-ada. Karena yang ditunjukkan Upasara Wulung barusan adalah gerakan yang sulit dipahami. Gerakan yang selama ini hanya dipelajari oleh Kiai Sangga Langit sebagai imam negara! Juga tidak terlalu meleset kalau Ngabehi Pandu seperti mengenali. Atau bahkan Galih Kaliki bisa menirukan geraknya dengan sempurna. Apa yang sebenarnya terjadi, tak bisa diterangkan oleh Upasara sendiri. Semuanya berkecamuk menjadi satu. Bisikan Ugrawe mengenai Tumbal Bantala masih terngiang. Dan itulah gerakan yang muncul begitu saja. Gerakan ini seperti diketahui, dipelajari oleh Upasara Wulung sambil lalu, ketika Kawung Sen mencuri kitab itu dari perbendaharaan Ugrawe. Upasara tidak tertarik mempelajari, karena ketika itu sadar bahwa Kitab Penolak Bumi atau Tumbal Bantala Parwa adalah buku yang mengajarkan cara-cara menolak serangan bumi. Apa artinya kalau jurus mengenai bumi tak diketahui? Upasara bersama Kawung Sen lebih suka mempelajari Kartika Parwa atau Buku Bintang. Hanya saja, Upasara baru sadar apa yang dipelajari ketika melihat Galih Kaliki mencoba membunuh dirinya. Gerakan Galih Kaliki mengingatkan kepada sesuatu yang bisa untuk menangkis. Dan ternyata gerakan itu kena! Bahkan ketika itu Upasara Wulung menyadari bahwa gerakan-gerakan Galih Kaliki dengan tongkat galih pohon asam sama dengan pukulan tangan kosong Ugrawe. Maka dalam gebrakan awal bisa mengalahkan Ugrawe. Hanya ketika pikirannya bercabang, ketika mau memainkan gerakan Banteng Ketaton, bisa dilukai. Demikian juga ketika melawan Naga Murka. Jurus-jurus dalam Banteng Ketaton yang cukup sempurna bisa cepat dikalahkan Naga Murka. Bahwa Naga Murka menduga Kiai Sangga Langit mengajari Upasara bukannya tanpa alasan. Kiai Sangga Langit sendiri bukan tak pernah mengatakan jurus-jurus atau cara latihan napas itu. Setidaknya pernah menurunkan lewat Nyai Demang! Yang tak disadari oleh siapa pun adalah bahwa sebenarnya Kiai Sangga Langit sendiri belum melihat pemecahannya bagaimana cara memainkan jurus Jalan Budha. Ia hanya tahu teorinya! Itu bukan semata-mata hadiah. Akan tetapi siapa tahu Upasara bisa memecahkan rahasianya. Seperti diketahui, Upasara bisa memecahkan cara main congklak yang merupakan inti ilmu tersebut. Upasara, di luar dugaan, bisa menguasai itu semua. Karena memang ilmu itu pada dasarnya mengandalkan pikiran kosong. Suwung, sunya, sepi. Dalam keadaan pasrah tadilah tenaga itu muncul. "Budha maha welas-asih. Hari ini, aku melihat cahaya dan petunjukmu." Kiai Sangga Langit menunduk berusaha memberi hormat. Akan tetapi tubuhnya jatuh ke bawah. Tak bergerak. Ngabehi Pandu tertawa pendek. Akan tetapi sebelum tawanya selesai, tubuhnya jatuh ke bawah juga! Dalam duel yang berjalan sekian lama, kedua-duanya telah terluka dalam. Upasara Wulung menjadi getir hatinya melihat gurunya jatuh. Konsentrasinya buyar. "Kakang, sikat mereka semua," teriak Gendhuk Tri. Naga Murka meloncat turun sambil berteriak mengguntur, "Semua kembali ke kapal!" Naga Wolak-Walik mengikuti turun, disusul Naga Kembar. Dan semua prajurit Tartar mundur secara teratur. Pertempuran di bawah kembali bergolak. Hanya kali ini prajurit Tartar terus didepak mundur. Perlahan-lahan mereka terus terdesak. Di atas benteng, Upasara membebaskan ikatan Gayatri, lalu bersamaan dengan Gendhuk Tri, Dewa Maut, Jaghana, Ranggalawe melayang turun. Medan pertempuran telah bergeser ke utara. Prajurit Tartar makin terdesak ke arah pelabuhan. Upasara Wulung berlari kencang, mengangkat Ngabehi Pandu. Lalu membawa ke tempat sepi. Menunduk. Sendirian. Air matanya membeku. Pundaknya berguncangan menahan duka. "Sudah, Kakang...." Suara Gendhuk Tri seperti tak terdengar. "Betul, Tole, Kakang tak usah berduka. Toh Ngabehi Pandu mati dalam senyum. Sudah melihat kamu menang. Kamu memang jagoan." Itu tak menghibur Upasara Wulung. Juga pesta kemenangan yang dirayakan secara besar-besaran. Kini seluruh Keraton telah dikuasai secara mutlak. Pasukan Tartar telah dibuang ke laut. Didesak hingga ke kapal-kapalnya yang segera dilarikan ke laut. Kembali ke negeri asalnya. Sungguh suatu akhir yang tak menggembirakan. Para prajurit kelas satu yang berhasil menaklukkan separuh belahan bumi, yang tak terhalangi lajunya selama ini, justru bisa dipecundangi oleh prajurit-prajurit yang tadinya tidak diperhitungkan sama sekali. Utusan pertama untuk menaklukkan dibuat tak bermuka oleh Baginda Raja Sri Kertanegara. Kemudian tiga jenderal perang yang paling tangguh, dengan armada yang paling tangguh, kembali pulang dengan tangan hampa dan kekalahan. Walaupun kepulangan kali ini dengan harta karun dari Keraton yang bisa dirampas, akan tetapi tetap tak menghapus aib yang begitu besar. Untuk pertama kalinya Kaisar Langit dan Dewa-Dewa Naga dibuat tak berdaya. Luapan kegembiraan tak membuat Upasara tersenyum sedikit pun. Kembali wajah duka membebani. Seakan kematian Ngabehi Pandu membuatnya putus harapan. Upasara mulai mengenal kasih sayang, mulai mengenal dunia dari Ngabehi Pandu. Akan tetapi kini, ia kehilangan. Satu demi satu orang yang dihormati, yang menjadi bagian dari keluarga, gugur di medan pertempuran. Sejak Kawung Sen, Jagaddhita, Mpu Raganata, dan Ngabehi Pandu. Penghargaan resmi dari Sanggrama Wijaya berupa gelar resmi sebagai senopati pamungkas—tidak berarti senopati terakhir, melainkan senopati yang bisa menyelesaikan tugas dengan tuntas, tak menggoyahkan hatinya. Juga hadiah berupa tanah luas. Pada suatu malam Raden Wijaya memanggilnya sendirian. Ketika itu Keraton Majapahit mulai dibangun kembali. Sebagian besar pusakapusaka Keraton Daha yang dipindahkan telah diberi tempat tersendiri. Di tempat seperti itulah Upasara Wulung dipanggil menghadap. "Senopati Wulung, jasamu sangat besar. Terutama di hari-hari terakhir. Di ruang ini ada segala pusaka yang bisa kamu ambil, kamu pilih. Apakah semua ini masih kurang?" "Terima kasih, Raden. Hamba merasa senjata pusaka ini akan lebih berarti di tempat ini." "Aku bukannya tidak tahu apa yang kauharapkan. Gayatri, putri Baginda Raja Sri Kertanegara. Aku bukannya tidak mau memberikan, Senopati Wulung. "Namun kamu tak bisa melawan kodrat. Menurut perhitungan para resi, para pendeta, Gayatri dan diriku ditakdirkan seperti Dewa Uma dengan Syiwa. "Dari Gayatri-lah kelak akan diturunkan raja-raja besar, yang tak ada bandingannya selama beberapa keturunan. "Begitulah perhitungan para pendeta yang bijak. "Jika menjadi jodohmu, itu menghalangi kodrat. Mengubah sejarah kegemilangan masa yang akan datang. "Senopati Wulung, pilihlah putri yang lain. Gayatri tidak seorang diri. Ia mempunyai tiga saudari. Kamu bisa memilih salah satu." Upasara menunduk, tidak menjawab. "Aku mendengar laporan, bahwa utusan dari Pamalayu sebentar lagi akan tiba. Mereka membawa putri ayu, berkulit putih, memancarkan cahaya surga. "Kamu bisa memilih salah satu, senopatiku, pahlawan perangku." Upasara menghaturkan sembah. "Hamba tak cukup berharga untuk itu semua, Raden...." "Hari ini kamu masih bisa memanggilku Raden. Sebentar lagi kamu akan memanggilku Baginda Raja. Namun, Senopati, dengarlah. Apa yang kukatakan tak pernah kutarik pulang. Siapa pun yang kamu minta, akan kuberikan. Asal bukan Gayatri, karena kita semua akan menyalahi kodrat!" Apakah banyak artinya janji itu? Upasara Wulung tak tahu. Bahkan Kiai Sangga Langit pun dulu masih mempunyai satu janji dengan dirinya. Tapi belum sempat dipenuhi, Kiai Sangga Langit sudah meninggal dunia. Dalam kehampaan hati, Upasara Wulung secara diam-diam meninggalkan Keraton Majapahit. Menelusuri hutan, melalui rawa dan sungai, hingga akhirnya kembali ke Perguruan Awan. Melihat semua bekas yang masih bisa menggetarkan hatinya—walaupun secara nyata seolah tak ada yang berubah. "Eyang Sepuh yang menuntunmu ke tempat ini," kata Jaghana perlahan sambil menyembah. Demikian juga Wilanda. Upasara Wulung menjadi jengah. "Eyang Sepuh yang membisiki Anakmas agar berada di tempat ini. Untuk membangun kembali perguruan ini. Di sini tinggal kami berdua." "Paman Jaghana dan Paman Wilanda, saya memang ingin beristirahat di sini. Akan tetapi soal membangun perguruan..." Wilanda menghaturkan sembah. "Anakmas, kalau bukan Anakmas yang secara langsung mendapat bisikan Eyang Sepuh, siapa lagi yang pantas memimpin Perguruan Awan ini?" "Jangan menyembah seperti itu, Paman." Mendadak Jaghana dan Wilanda berdiri dan tertawa terbahak-bahak. Keras membahana. Lalu keduanya bersujud. "Eyang Sepuh, sungkem pangabekti. Eyang masih selalu bersama kami." Upasara baru sadar. Bahwa dengan meminta tidak saling menyembah berarti dirinya masuk ke dalam peraturan Perguruan Awan. Di mana di sini memang tidak ada aturan untuk saling menghormati secara formal. Upasara tak bisa menerangkan lebih jauh. Tetapi juga tak bisa menolak. Karena memang hanya di tempat inilah hatinya merasa tenteram. Tak timbul keinginan melihat Keraton Majapahit dan mendatangi upacara besar-besaran, tak ingin melihat keraton lama di mana di dindingnya pernah dipahatkan kalimat janji dengan Gayatri. Sejak saat itu Upasara Wulung berdiam di Perguruan Awan. Mulai menghabiskan waktu dengan Jaghana dan Wilanda. Hidup dari buah-buahan, dari menanam dan merawat tumbuhan yang ada. Kadang kala melatih pernapasan secara bersama-sama. Selama ini yang sering datang adalah Gendhuk Tri serta Dewa Maut— malah kadang berdiam lama. Juga Galih Kaliki dan Nyai Demang. Biasanya mereka berkumpul bersama, berbicara lama sekali. Dari sore hingga sore hari lagi. Berlatih bersama. Namun dari luar, hutan itu seperti tak tersentuh manusia. Mereka terlalu kecil dibandingkan dengan alam yang gagah perkasa. Di mana ujung dedaunan mencapai langit, dan akarnya terhunjam dalam ke tanah. Satu-satunya tanda bahwa hutan itu berpenghuni manusia ialah bila suatu ketika ada angin lirih, seperti terdengar tembang, senandung tanpa kata-kata, memberi gambaran ombak yang bergulung ke pantai berlumut.... Utusan Asmara LANGIT di Keraton Majapahit membersitkan campuran warna merah kekuningkuningan. Saat menjelang terbenamnya matahari, suasana sangat sepi. Mereka yang bekerja sepenuh hari beristirahat. Tak ada anak-anak yang bermain, baik di perumahan penduduk maupun di dalam Keraton. Sore hari saat candikala, saat matahari membiaskan sinar merah-kuning, adalah saat untuk hening. Saat pergantian siang dengan malam yang ditandai dengan firasat alam. Berbeda dengan pergantian hari yang biasa, candikala dianggap mempunyai makna bisa mendatangkan bahaya. Karena, menurut kepercayaan itu adalah saat Batara Kala, dewa yang bertubuh raksasa, sedang mencari mangsa. Siapa saja yang masih berada di luar rumah akan ditelan. Tapi suasana yang tengah dirasakan Baginda Raja Sanggrama Wijaya bukan hanya karena cahaya surya yang sebenarnya sangat indah itu. Yang membuat Baginda Raja gundah adalah masih adanya batu-batu yang terasa mengganggu kesempurnaan kekuasaannya. Batu kecil, karena batu-batu besar telah berhasil disingkirkan. Dengan prajuritnya yang setia, Baginda Raja berhasil membebaskan kekuasaan dari Baginda Jayakatwang. Batu besar yang lebih perkasa, yaitu pasukan Tartar yang pernah dan masih menguasai seluruh jagat raya, berhasil disingkirkan. Bersama dengan para senopati yang pilihan, pendekar-pendekar Tartar bisa dibubarkan, didesak ke pinggir laut dan pulang ke kandangnya. Sejak itu, desa Tarik diubah menjadi pusat kegiatan. Keraton Majapahit mulai didirikan. Benteng yang kuat, gapura yang indah dan kokoh bisa didirikan. Pembagian kekuasaan untuk para pembantu utama sudah dipersiapkan. Sebagai raja yang baru, Baginda Raja sudah menyusun sejumlah pangkat dan kebesaran yang siap untuk dianugerahkan. Sampai di sini tak ada masalah yang berarti. Kecuali tentang satu orang. Yaitu Upasara Wulung, ksatria Pingitan didikan zaman Baginda Raja Kertanegara, yang diangkat menjadi senopati. Diangkat sebagai salah satu panglimanya ketika mengusir lawan dalam pertempuran antara mati dan hidup. Itulah sebabnya Baginda Raja memberi sebutan sebagai senopati pamungkas, senopati terakhir. Tetapi bisa juga berarti senopati yang menyelesaikan tugas. Sebagai seorang yang berdarah ksatria dan berasal dari lapisan tengah sebelum naik takhta, Baginda Raja Sanggrama Wijaya mengenal balas budi. Semua senopati, prajurit yang berjasa, diberi ganjaran atau hadiah yang sesuai dengan jasa pengabdiannya. Bahkan prajurit dalam pangkat yang paling rendah pun menerima. Kecuali satu orang. Yaitu Upasara Wulung. Yang setelah pertempuran besar-besaran lebih suka kembali ke Perguruan Awan. Dan sejak masuk kembali ke daerah hutan itu, tak pernah muncul lagi. Dua kali Baginda Raja mengirimkan utusan resmi. Akan tetapi jangan kata mendengar jawaban, bertemu dengan orangnya atau bayangannya saja tak bisa. "Tak mungkin bocah itu tak tahu datangnya utusan resmi," kata Baginda Raja pelan kepada Gayatri, salah seorang permaisurinya. "Ia tahu, dan ia menunjukkan sikap menolak kepada utusanku. Bocah Pingitan itu lupa bahwa yang ditentang sekarang ini adalah perintah seorang raja yang bisa membalik dunia seperti membalik telapak tangan. "Aku memanggilmu karena kamu tahu bocah itu." Gayatri menunduk, memandang lantai Keraton. Hatinya masih berdesir. Masih tersisa kenangan ketika bersama dengan Upasara Wulung menyelinap ke dalam Keraton Daha. Dan saat Upasara Wulung bertarung antara mati dan hidup untuk membebaskannya. Lebih dari itu, diketahuinya bahwa ksatria itu menaruh hati padanya. Hanya karena menurut perhitungan para pendeta dirinya adalah pasangan Baginda Raja, seperti pasangan Dewa Wisnu dan Dewi Sri, Upasara Wulung mengundurkan diri. Sebagai permaisuri seorang raja, Gayatri sudah sejak semula menutup semua kenangan dan ingatan pada diri Upasara Wulung. Tak ada keinginan sedikit pun untuk membuka hari lampau, karena setiap kali tanpa sengaja nama itu disebut, darahnya masih tetap mengalir lebih kencang. "Bocah Pingitan itu," suara Baginda Raja sedikit meninggi ketika menyebut sebagai bocah, dan bukan ksatria, "masih menyimpan dendam kekanak-kanakan karena kamu. "Aku sudah berjanji memberikan apa saja padanya, kecuali kamu. Akan tetapi ia tetap bocah yang tak tahu bagaimana menikmati hasil perjuangannya sendiri. Ia memilih berada di hutan seolah mau menjadi dewa. "Ia boleh mengaku berjasa. Nyatanya memang demikian. Akan tetapi sekali ini aku tak bisa membiarkan ia menolak panggilanku. Itu berarti menentang panggilan seorang raja. Tak ada ampunan bagi seorang yang berani menentang raja." Gayatri tetap menunduk. Lurus pandangannya ke bawah. Desir darahnya masih menggetar. "Aku memanggilmu karena aku ingin kamu datang ke Perguruan Awan dan mengatakan bahwa aku memanggilnya, memerintahkan ia sowan, menghadap padaku. Bahwa aku akan memberikan pangkat tertinggi padanya sebagai mahapatih. "Bersiaplah. "Besok pagi-pagi sekali kamu berangkat." Gayatri menghaturkan sembah dengan menunduk hormat. "Aku telah mengangkat para mantri, para bupati, para senopati. Akan tetapi tetap terbuka kemungkinan untuk menjadi mahapatih, menjadi tangan kananku. "Akan kulihat apakah kepalanya masih keras menerima tawaranku, menerima kedatanganmu. "Sebelum matahari terbit besok, kamu sudah berada dalam perjalanan." "Sendika dawuh, Gusti." Gayatri menghaturkan sembah. Walau ia termasuk permaisuri, akan tetapi seorang raja tetap seorang raja yang harus dihormati sebagai raja, bukan hanya sebagai suami. Gayatri tetap menghaturkan sembah, dan menyebut sebagai Gusti, kependekan dari Gusti Prabu. Gayatri menunggu sampai Baginda Raja meninggalkan tempat. Baru kemudian bergerak perlahan. Menyadari bahwa sesuatu yang besar akan terjadi dalam beberapa hari ini. Sesuatu yang lebih menggetarkan hatinya dibandingkan ketika pertama kali menyusup ke dalam Keraton Daha bersama Upasara Wulung. Padahal waktu itu jelas memang menguatirkan, karena soal mati dan hidup. Sekarang ini seharusnya ia merasa sedikit terhibur. Bukankah ia akan bertemu dengan seorang lelaki, benar-benar seorang lelaki yang pernah mengguncangkan jiwanya? Upasara Wulung seorang lelaki biasa, bukan seorang raja. Bukan seorang pangeran. Bukan juga seorang bupati. Gelar kehormatan yang disandang hanyalah senopati. Suatu gelar kehormatan yang bisa diperoleh setiap prajurit. Akan tetapi Upasara Wulung memang sepenuhnya seorang lelaki. Gagah, mempunyai jiwa ksatria, seorang prajurit sejati yang hanya tahu satu hal: berbakti kepada Baginda Raja, yang berarti mencintai Keraton, yang juga berarti mencintai tanah tumpah darahnya. Upasara begitu lugu, begitu jujur mengabdi, begitu tulus menjalankan darma baktinya. Ini semua yang membuatnya makin gelisah ketika akhirnya selepas tengah malam Gayatri masuk ke dalam tandu, dipanggil para prajurit yang telah siap. Saat itulah Gayatri mendengar sendiri dari Mpu Renteng dan Mpu Sora yang mengawal. Bagi Gayatri, Mpu Sora dan Mpu Renteng mempunyai hubungan yang lebih erat. Bukan karena kebetulan kedua tokoh itu adalah dua di antara sekian orang kepercayaan Baginda Raja, akan tetapi karena Mpu Renteng dan Mpu Sora sering mengatakan sesuatu secara berterus terang. "Paman, katakan padaku, apa sebenarnya maksud Baginda Raja memanggil Kangmas Upasara?" Mpu Renteng dan Mpu Sora menyembah dengan hormat. Keduanya naik kuda di sebelah kanan dan kiri tandu. "Seperti yang diperintahkan Baginda." "Apakah itu yang sesungguhnya, Paman?" "Itulah yang sesungguhnya, Permaisuri. "Baginda Raja saat ini kesulitan memilih siapa sesungguhnya yang berhak menjadi mahapatih. Hamba melihat kelebihan Baginda melihat ke depan. Sekarang ini kalau di antara kami yang diangkat, bisa menjadi bobot pertengkaran. Hamba, Tambi, Renteng, Sasi, Nambi, tumbuh secara bersama. Agak sulit menerima tiba-tiba salah seorang dari kami menjadi mahapatih. Kami terlalu tahu kurang dan juga lebihnya." "Apakah Paman akan menerima jika Kangmas Upasara yang diangkat Baginda?" "Kami akan menerima, karena itulah titah Baginda Raja. Akan tetapi lebih dari itu, Upasara pantas menyandang kehormatan itu. Walau masih muda, jasanya besar sekali. Kami semua mengakui, dan menerima." Terdengar helaan napas dari dalam tandu. "Kalau Baginda berkehendak memberi anugerah pangkat yang begitu tinggi, mengapa disertai ancaman? Mengapa Baginda bisa menjadi murka?" Kali ini ganti Mpu Sora dan Mpu Renteng menghela napas bersamaan. Kekuatiran Baginda Raja HELAAN napas yang bersamaan menunjukkan kecemasan yang sama. Mpu Renteng juga berusaha menenteramkan kegelisahan batinnya. Apa yang diutarakan Mpu Sora sepenuhnya benar. Masalah pengangkatan mahapatih Majapahit sekarang ini masalah yang paling pelik. Upasara Wulung bisa menjadi jalan tengah yang menyelamatkan. Akan tetapi kekuatiran yang diutarakan Permaisuri Gayatri juga ada benarnya. Mpu Renteng dan Mpu Sora dalam hati was was karena tak bisa sepenuhnya memperkirakan cara bertindak Baginda Raja. Pengalaman masa lampau bersama-sama sejak melarikan diri dari Keraton Singasari ketika Raja Muda Jayakatwang menyerbu, membuat mereka sepenuhnya hormat dan menyatu. Dalam keadaan terlunta-lunta, berjalan sampai ke tlatah Madura, selalu bisa seperasaan. Begitu juga ketika mulai menggempur Raja Jayakatwang di Daha. Akan tetapi sedikit timbul keraguan ketika dalam saat-saat yang menentukan Baginda Raja tega membiarkan beberapa prajurit yang masih menjadi tawanan. Baginda Raja tetap memerintahkan penyerbuan. Juga ketika prajurit Tartar kemudian digempurnya. Mpu Renteng menganggap ada sesuatu yang tak bisa diduga dalam tindakan Baginda Raja. Biar bagaimanapun, jiwa ksatria Mpu Renteng dan Mpu Sora tak bisa menerima begitu saja cara menyingkirkan pasukan Tartar. "Mereka musuh kita. Harus kita musnahkan. Dengan siasat. Ini bukan kelicikan atau sifat ksatria. Kita harus memenangkan pertempuran yang paling menentukan ini. Kalian adalah prajurit, dan aku yang memikirkan strategi. Aku yang bertanggung jawab kepada Dewa yang Menguasai Langit dan Bumi.
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 1:34 pm | |
| "Busuk atau tidak kulakukan, aku yang bertanggung jawab. Kalian tidak akan pernah mengerti. Ini urusan pemerintahan. Ini urusan seorang raja!" Itulah yang dulu didengar langsung dari Baginda Raja. Penjelasan yang diterima saat itu. Akan tetapi setelah beberapa saat dipertimbangkan, setelah Keraton Majapahit mulai dibangun, dan segala hasil dinikmati, kecemasan baru mulai merambat. Kalau hal ini dihubungkan dengan pemanggilan Upasara Wulung, Mpu Renteng juga melihat sesuatu yang selama ini agaknya disembunyikan oleh Baginda Raja. Atau paling tidak, tidak diungkapkan oleh Baginda. Yaitu tersiarnya berita di luaran bahwa selama ini Upasara Wulung dilupakan oleh Baginda Raja. Bahwa berita pembicaraan di masyarakat itu tidak benar, Mpu Renteng dan Mpu Sora tahu secara pasti. Bukan Baginda Raja yang melupakan, akan tetapi Upasara sendiri yang menolak. Namun ada juga yang dirasakan, bisa benar dan bisa tidak. Yaitu bahwa di belakang hari Upasara Wulung bisa menjadi ganjalan yang berbahaya. Sejak pertempuran penghabisan dulu, Upasara mengasingkan diri di Perguruan Awan. Sepenuh waktunya dipakai untuk merenung, untuk bersemadi. Inilah yang berbahaya. Saat ini Upasara telah mulai memperdalam ilmu yang sangat luar biasa, yaitu Tepukan Satu Tangan. Ilmu yang masih tetap dianggap gaib, karena selama ini tidak ada yang mengetahui secara persis. Bahkan ilmu itu yang oleh para pendeta Tartar, para pendekar Mongolia, dianggap sebagai Jalan Budha. Ilmu yang baru sebagian saja dilihat oleh Mpu Renteng dan Mpu Sora sewaktu Upasara Wulung melabrak habis Naga dari Tartar yang saat itu tak tertandingi. Ilmu yang luar biasa, karena mereka semua para jago silat seperti mengenali, akan tetapi juga seperti tidak. Dan kalau benar saat ini Upasara Wulung sedang memperdalam ilmunya Tepukan Satu Tangan yang bisa terdengar lebih nyaring dan lebih bertenaga dari dua tangan, bisa dibayangkan bagaimana jika Upasara benarbenar telah menguasai ilmu tersebut. Upasara akan menjadi tokoh yang tak bisa diramalkan, dan sulit dicari tandingannya. Di zaman dahulu masih ada Mpu Raganata yang perkasa, masih ada Eyang Sepuh yang kini tak diketahui tempat dan bayangannya, akan tetapi sekarang ini Upasara betul-betul tak menemukan lawan yang setanding. Dalam perkiraan Mpu Renteng, kalau Baginda kuatir, itu cukup beralasan. Karena memang sejak mendiang Baginda Raja Kertanegara, kedigdayaan adalah sesuatu yang mempunyai makna mendalam. Baginda Raja Sri Kertanegara-lah yang secara resmi menentukan bahwa nilai-nilai kedigdayaan, kesaktian, adalah nilai seorang lelaki yang sesungguhnya. Hanya yang kuat dan sakti yang akan memerintah seluruh jagat dan isinya. Kehadiran Upasara Wulung bisa menjadi ganjalan di belakang hari. Maka, menurut perkiraan Mpu Renteng dan Mpu Sora serta beberapa senopati, Baginda Raja berusaha menarik Upasara Wulung ke pihak Keraton. Dengan anugerah pangkat mahapatih, Upasara tak akan melawan di kemudian hari. Upasara Wulung, sebaliknya, akan berbakti sepenuhnya. Kalau ternyata Upasara Wulung menolak, bukan tidak mungkin Baginda akan mengangkat tangan untuk melenyapkan. Sekarang adalah saat yang tepat, sebelum Upasara Wulung tumbuh menjadi besar dan berakar. Pastilah Baginda Raja mempunyai telik sandi atau pasukan rahasia yang mengetahui apa yang tengah terjadi sekarang ini. Dugaan Mpu Renteng ialah prajurit telik sandi di bawah pimpinan Mpu Nambi yang mampu menyusupkan anak buahnya ke Perguruan Awan. Mpu Renteng bisa mengetahui sedikit-sedikit dan mendengar bahwa sesungguhnya Upasara Wulung saat ini tengah berada dalam situasi yang menentukan. Upasara berada dalam situasi yang sangat menentukan dalam mempelajari Tepukan Satu Tangan. Bagian yang menentukan apakah ia bakal berhasil menguasai ilmu tersebut atau gagal sama sekali. Mpu Nambi mendapat laporan dari prajuritnya yang menurut cerita mendapat kabar tersebut dari Dewa Maut. Salah seorang tokoh yang semasa jayanya jago dalam bidang racun yang tiada tandingannya. Hanya saja kemudian seluruh tenaga dalamnya musnah serta terganggu jiwanya. Dewa Maut termasuk yang bisa keluar-masuk ke dalam Perguruan Awan bersama dengan Gendhuk Tri—gadis remaja yang seluruh tubuhnya dipenuhi dengan racun. Mereka inilah, di samping beberapa murid Perguruan Awan, yang masih tetap mengadakan pertemuan secara tertentu. Sesungguhnya, ini yang dikuatirkan Baginda. Kalau sampai Upasara berhasil menghimpun para ksatria pilihan dan kemudian mbalela, atau memberontak kepada Baginda. Upasara bagai harimau yang tumbuh sayap. Bahwa Upasara akan sangat membahayakan seluruh ketenteraman Keraton, Mpu Renteng bisa mengerti dan bisa menerima. Akan tetapi nalarnya mengatakan bahwa sangat tidak masuk akal bahwa Upasara Wulung akan mbalela. Akan tetapi Mpu Renteng dan Mpu Sora tak bisa mengutarakan pendapatnya, karena Baginda tak pernah menanyai. Sungguh tak masuk akal kalau tiba-tiba saja mereka mengutarakan pendapatnya. Ini suatu sikap kurang ajar yang tak bisa dimaafkan, tak ada ampunan sama sekali. Yang mencemaskan adalah bahwa Baginda lebih mempercayai Mpu Nambi untuk memecahkan masalah di Perguruan Awan. Dan kemudian menjatuhkan putusannya. Seperti sekarang ini. Mengirim utusan untuk menjemput Upasara. Mpu Renteng bisa mengerti kalau misalnya saja Baginda memerintahkan para senopati pilihan untuk memaksa Upasara. Lepas dari pertimbangan benar atau tidak— akan tetapi bukankah yang diperintahkan Baginda Raja selalu benar?—ini menunjukkan sifat ksatria. Akan tetapi Baginda justru mengutus Permaisuri Gayatri. Seorang wanita yang sama sekali tidak terlibat dalam percaturan Keraton. Bahkan mungkin sama sekali tidak tahu, seperti pertanyaan yang baru saja didengar. Hanya karena Permaisuri Gayatri dulu pernah mempunyai perasaan tertentu terhadap Upasara, maka kini hal itu yang dipakai sebagai senjata untuk memaksa Upasara Wulung. Mpu Renteng sempat bertanya-tanya dalam hati ketika menerima titah dari Baginda. "Kawal Permaisuri." "Sendika dawuh," jawabnya sambil menyembah bersamaan dengan Mpu Sora. "Kupercayakan ini kepada kalian berdua. Bertindak atas namaku untuk berbuat apa saja demi perintahku." "Sendika dawuh, Gusti." "Ingat. Apa pun yang terjadi, kalian berdua hanya memberikan laporan kepadaku." Baginda juga memerintahkan untuk membawa prajurit-prajurit pilihan. Bahkan Dyah Palasir dan Dyah Singlar yang selama ini diandalkan untuk menjadi pemimpin prajurit pribadi diikutsertakan. Dyah Palasir termasuk senopati muda yang mendapat kepercayaan langsung dari Baginda. Dari angkatan muda, Dyah Palasir-lah satu-satunya yang mendapat pangkat sejajar dengan bupati. Mpu Sora pun yakin bahwa tugas yang dijalankan kali ini bukan tugas sembarangan. Ada cara halus dengan membawa Permaisuri Gayatri. Tetapi juga ada cara tertentu yang bisa serta-merta diambil jika ada sesuatu yang dianggap perlu. Dyah Palasir pasti telah memilih prajurit-prajurit pilihan yang paling tangguh dan paling setia kepadanya. Ini berarti perjalanan ke Perguruan Awan bisa mengubah sejarah Keraton. Prajurit Telik Sandi PERGURUAN AWAN masih seperti ketika diciptakan. Awan dan angin masih terasa purba. Bahkan tanahnya masih selalu terkesan basah. Tak ada yang berubah. Perguruan Awan, atau juga disebut Nirada Manggala, sebenarnya tak jauh berbeda dari hutan-hutan yang lain. Gerombolan pepohonan yang membentuk pagar alam. Tak terlalu istimewa, karena di sini juga tak ada tanda-tanda yang menjadi batas wilayahnya. Satu-satunya pertanda memasuki daerah Perguruan Awan hanyalah sebuah alun-alun yang luas. Sebuah lapangan yang tak ditumbuhi pohon-pohon besar. Tanah kosong itu dianggap masyarakat sekitar sebagai batas wilayah yang dikeramatkan. Yang membuat penduduk sekitar enggan untuk memasuki, apalagi mengusik tanaman yang ada. Sepotong daun yang mengering akan dibiarkan membusuk dan menjadi pupuk. Irama alam sepenuhnya terjaga sempurna. Rombongan yang dipimpin Mpu Sora dan Mpu Renteng sampai di pinggir alun-alun. Dyah Palasir segera memerintahkan membuat pondokan sederhana yang dibangun dari kayu-kayu yang sudah disiapkan, dengan atap ilalang yang dibawa dari Keraton. Tak ada pepohonan yang diusik. Tak ada tetumbuhan dan Cengkerik yang diubah letaknya. Bahkan bentuk bangunan pondokan itu dibuat sedemikian rupa sehingga menyatu dengan alam sekitar. Seakan bagian dari belukar menjalar. Di pondok itu Permaisuri Gayatri bertempat tinggal. Pada jarak sepuluh tombak, para prajurit berjaga-jaga. Ada yang khusus memasak, memasak air untuk Permaisuri. Selebihnya menunggu. Hanya Mpu Sora dan Mpu Renteng yang berada di sekitar pondok, dan tetap berdiam diri. Hanya mengeluarkan jawaban kalau ditanya secara langsung. Permaisuri tak bisa menahan diri ketika malam tiba, dan suara binatang hutan mulai terdengar. "Paman Sora dan Paman Renteng." "Sembah dalem, Gusti." "Sampai kapan kita menunggu?" "Sampai hamba mendengar titah Permaisuri. Kalau Permaisuri menitahkan untuk masuk ke dalam, kita semua akan masuk ke dalam hutan." "Kalau saya meminta kita kembali ke Keraton?" Mpu Sora dan Mpu Renteng menyembah hormat. "Hamba menerima titah Baginda Raja untuk mengantarkan Permaisuri menemui Senopati Pamungkas." Jawaban yang tetap menghormat. Menempatkan diri sebagai orang bawahan. Akan tetapi juga sekaligus suatu ketegasan bahwa mereka harus bisa menjalankan tugas. Menemui Senopati Pamungkas. Ini berarti berpantang pulang sebelum tugas dijalankan. "Saya mengerti, Paman. "Hanya saya tidak mengerti apakah Kangmas Upasara mengetahui saya berada di sini." "Mestinya begitu, Permaisuri." "Kalau begitu, kenapa Kangmas tak mau menemui?" Mpu Renteng tak bisa menjawab. Juga Mpu Sora. Bahkan kalaupun mempunyai jawaban, barangkali sulit sekali diutarakan. Karena tugas ke Perguruan Awan ini masih mengandung misteri yang belum terungkapkan. Adalah sangat mungkin sekali Upasara Wulung tak mau menemui. Bukan tidak mungkin menolak muncul, justru karena Baginda Raja mengutus Permaisuri Gayatri untuk menemui. Baik Mpu Sora maupun Mpu Renteng sedikit-banyak mengenal Upasara Wulung. Senopati muda yang diangkat sebagai senopati perang dalam saat yang menentukan. Yang kemudian memilih kembali ke tengah hutan di saat kemenangan dirayakan. Hanya yang mempunyai hati batu alam mampu menyatukan keinginan, mampu mendengarkan suara hatinya sendiri. Mpu Sora tidak melihat bahwa tindakan Upasara suatu tindakan yang benar, namun jelas menunjukkan suatu keyakinan yang utuh. "Bagaimana kalau Kangmas Upasara tidak mau menemui saya?" "Pasti menemui, Permaisuri. Begitulah perkiraan Baginda." "Perkiraan Baginda," Permaisuri Gayatri meninggikan suaranya. "Apa perkiraan Paman berdua?" "Apa yang diperkirakan Baginda adalah perkiraan hambanya juga." "Ya, selalu begitu jawaban Paman. "Akan tetapi, apakah Paman yakin Kangmas Upasara berada di hutan ini? Bagaimana kalau ia sedang pergi? Bagaimana kalau sedang sakit?" "Kalau sedang pergi, hamba tak tahu harus mencari ke mana. Kalau sedang sakit, hamba juga tak tahu harus mencari obat ke mana. Hamba hanya menjalankan perintah." "Paman, saya pun hanya menjalankan perintah. Titah Baginda Raja, penguasa tunggal atas mati dan hidup kita sekalian. Tetapi saya ini orang bodoh, Paman. "Bodoh sekali dan tak mengerti sedikit pun masalah Keraton. Mbakyu Tribhuana, yang digelari mahalalila karena keunggulannya bisa mengetahui maksud Baginda, jauh sebelum diperintah sudah mengetahui maksudnya. Mbakyu Mahadewi yang paling dikasihi Baginda, juga bisa mengetahui. Mbakyu Jayendradewi yang paling setia, bisa mengerti. Tetapi saya ini sama sekali tidak mengetahui apa-apa. "Paman, katakanlah sejujurnya. Apakah maksud Baginda memanggil Kangmas Upasara?" "Sejauh hamba yang bodoh ini mengetahui, tak lain dan tak bukan seperti yang disabdakan. Ingin mengangkat Senopati Pamungkas menjadi mahapatih Majapahit. Menjadi tangan kanan Baginda. "Semua pengikut Baginda telah mendapatkan kehormatan dan anugerah, akan tetapi..." "Apakah tidak ada maksud lain?" "Tidak, Permaisuri." "Mengapa mendadak sekali?" Mpu Sora menggeleng lemah. Namun hatinya sempat oleng. Hanya karena penguasaan perasaannya sudah sampai tingkat tinggi, perubahan perasaan itu bisa disembunyikan. Mpu Sora dan juga Mpu Renteng bukan tidak mendengar kabar dari prajurit telik sandi, atau prajurit rahasia yang pekerjaannya menyusup dan mencari kabar dari wilayah yang tak terduga. Mpu Sora mendengar bahwa Upasara Wulung saat ini sedang mempelajari bagian yang paling menentukan dari ilmu Tepukan Satu Tangan. Bagian yang konon akan menentukan apakah si pelatih bisa menguasai ilmu tersebut, atau justru sebaliknya. Ia bakal dihancurkan oleh ilmu tersebut, dan akan menjadi cacat seumur hidup. Prajurit telik sandi yang dipimpin Senopati Nambi mendapat kabar ini dari salah seorang penghuni Perguruan Awan yang bernama Dewa Maut. Tokoh tua yang seluruh rambutnya putih ini yang paling bisa dihubungi. Menurut cerita, dulunya Dewa Maut adalah tokoh sakti dengan penguasaan atas semua racun Kali Brantas. Hanya saja kemudian kehilangan ingatan, sehingga kelakuannya seperti anak kecil. Dari Dewa Maut inilah tercium bahwa Upasara Wulung kini sampai ke tingkat yang menentukan. Dan justru pada saat seperti inilah, Baginda Raja memerintahkan untuk menemui Upasara. Dengan perhitungan bahwa dalam keadaan yang genting ini, Upasara akan terdesak. Kalau ia memilih untuk meneruskan latihannya dan tak ingin terganggu, ia akan menerima jabatan tersebut. Kalaupun menolak, berarti Upasara telah ditawari. Ini berarti ia akan turut menjaga Keraton. Dan janji seorang ksatria, akan dibela sampai mati. Kalau dihubungkan dengan titah Baginda Raja untuk mengambil tindakan yang diperlukan, hal ini sangat masuk akal. Mpu Sora dan Mpu Renteng diberi wewenang penuh untuk mengambil tindakan apa pun. Hal ini juga diperkuat dengan kehadiran Dyah Palasir. Berarti pula Upasara akan digempur saat itu juga. Sebelum kekuatan menggalang persatuan dan ilmunya makin sulit ditandingi. Baginda tak ingin melihat ganjalan menjadi besar. Sekarang ini memang saat yang paling menentukan. "Paman..." "Sembah dalem." "Apakah benar saat ini tidak ada yang pantas mendapat anugerah pangkat menjadi mahapatih?" "Senopati Pamungkas yang paling pantas menerima kebesaran ini, Tuanku Permaisuri." Jawaban Mpu Renteng mempunyai dua arti. Pertama, seperti yang diutarakan bahwa Upasara Wulung memang pantas menerima jabatan agung ini. Meskipun masih sangat muda, akan tetapi telah membuktikan diri sebagai pengabdi yang kesetiaannya tak perlu diragukan. Di samping itu juga yang ilmu silatnya paling tinggi. Setidaknya dengan satu atau dua jurus Tepukan Satu Tangan bisa membuyarkan lawan. Kedua, karena sesungguhnya Upasara merupakan jalan keluar yang terbaik. Pengangkatan Upasara akan diterima oleh berbagai pihak. Oleh semua senopati, semua patih yang ada. Mpu Renteng sadar bahwa Baginda Raja sekarang ini menghadapi situasi yang barangkali lebih sulit dari ketika merebut Singasari, dari ketika mengusir pasukan Tartar, lebih sulit dari ketika memutuskan untuk mengawini keempat putri Sri Baginda Raja Kertanegara. Justru karena kini menghadapi tangan dan kakinya sendiri. Serangan Tengah Malam BAGINDA RAJA harus memilih yang terkuat untuk menduduki kursi sebagai mahapatih, menjadi amangkubumi. Yang berarti jabatan yang lebih tinggi dari semua patih atau senopati terkemuka. Yang berarti juga bahwa salah seorang dari senopatinya akan berada di atas yang lainnya. Padahal justru ketika berjuang dulu, semuanya sama pangkat dan kedudukannya. Untuk jabatan patih, atau juga adipati amancanegara, hal ini tidak menjadi masalah. Keraton Majapahit dibagi atas lima wilayah, yaitu sebelah barat, timur, selatan, utara, serta tengah. Masing-masing akan dipimpin oleh seorang patih atau adipati amancanegara. Seperti juga wilayah utara yang kini diserahkan kepada Ranggalawe, putra Aria Wiraraja yang gagah berani. Bahkan setelah menjadi adipati pun tetap memakai nama Ranggalawe, nama yang disandang ketika masih berpangkat rangga dalam keprajuritan. Memang setelah semua mendapat jabatan dan pangkat, timbul pertanyaan yang tak terucapkan. Siapa yang bakal diangkat Baginda sebagai mahapatih? Yang berarti membawahkan semua adipati dan atau para patih ini? Mpu Renteng sadar diri dan sama sekali tidak bermimpi akan menduduki jabatan sebagai pelaksana Keraton. Ada tiga nama yang bisa dipilih Baginda Raja. Ini menurut perhitungannya sendiri, yang barangkali tak berbeda jauh dengan senopati atau adipati yang lain. Pertama, pastilah Ranggalawe, yang sekarang sebetulnya lebih tepat disebut Adipati Lawe. Senopati yang gagah berani dan mempunyai ilmu yang cukup tinggi. Perlawanan merebut Singasari dibuktikan dengan luka dan pengorbanan yang tinggi. Dan lagi Adipati Lawe adalah putra Aria Wiraraja dari Madura. Yang sejak lama menunjukkan kesetiaan tanpa tanding. Yang sejak semula berpihak kepada Baginda Raja. Bahkan prajurit dari Madura yang dikirim Aria Wiraraja-lah yang pertama kali membuka hutan, membakar belukar. Para prajurit itulah yang pertama kali membuat rumah dan membangun sawah. Adalah wajar jika Baginda mengangkat Adipati Lawe sebagai mahapatih. Kelemahan Adipati Lawe hanyalah kurang bisa mengekang perasaan. Apa yang ingin dikemukakan langsung dikatakan. Adipati Lawe seolah masih hidup di saat perjuangan merebut Singasari dahulu. Seakan masih hidup di medan perang, yang menuntut penyelesaian seperti hukum-hukum perang. Namun halangan yang terutama adalah karena adanya Mpu Sora. Pilihan kedua, Mpu Sora. Tokoh yang bijak, mampu mengekang perasaan, dan secara sempurna menguasai ilmu Bramara Bramana, atau ilmu Sengatan Lebah Seorang Pendeta. Gabungan antara tenaga keras dan kearifan seorang pendeta. Ilmu dari tlatah Madura ini hanya Mpu Sora yang mumpuni, menguasai luar dalam. Dan Mpu Sora masih terhitung paman Adipati Lawe. Sehingga kalau mengikuti tata cara, Mpu Sora-lah yang lebih pantas dibandingkan keponakannya. Pilihan ketiga, Mpu Nambi. Dalam banyak hal sama seperti juga Mpu Sora. Akan tetapi jabatan utama Mpu Nambi adalah pemimpin utama para prajurit telik sandi. Prajurit rahasia yang mendapat tugas utama dari Baginda Raja. Sebagai pemimpin telik sandi, tentu Mpu Nambi paling mengetahui segala rahasia Keraton, dan paling sering serta dekat berhubungan dengan Baginda. Senopati telik sandi, yang karena tugasnya bisa mengetahui segala hal yang terjadi di dalam dan di luar Keraton. Bahkan diikutsertakannya Dyah Palasir menunjukkan kekuasaan ini. Dyah Palasir dari prajurit pengawal pribadi yang garis komandonya di bawah pimpinan telik sandi. Mpu Renteng bisa mengerti kalau untuk permasalahan ini, Permaisuri Gayatri tak merasakan perlunya menemui Upasara Wulung. Yang bagi Baginda Raja hanya ada dua kemungkinannya. Bergabung ke Keraton atau ditumpas. "Paman Sora, mengapa Kangmas Upasara memilih berdiam di hutan ini?" "Maafkan hamba, Permaisuri. Maafkan kalau hamba yang bodoh ini mencoba lancang bercerita." "Paman Sora, janganlah terlalu sungkan." "Maaf, Permaisuri, bukan hamba sungkan. Akan tetapi sesungguhnya hamba hanya tahu sedikit. "Hutan di depan ini dinamakan Perguruan Awan. Dahulunya tempat bertemunya para ksatria dari seluruh penjuru jagat. Di sini pada waktu tertentu yang telah ditetapkan, para ksatria datang untuk saling menguji kesaktiannya. Menentukan siapa yang paling sakti mandraguna, siapa yang ilmunya paling unggul." "Kalau tidak salah, Perguruan Awan ini sendiri juga mempunyai guru dan murid, Paman." "Sesungguhnya, Permaisuri lebih mengetahui dari hamba. "Perguruan Awan ini memang sebuah nama perguruan silat. Hanya saja berbeda dari perguruan silat yang lain, di sini tak ada sebutan guru atau siswa, semua belajar bersama. Bagi mereka yang masuk perguruan ini, hidup sebagaimana tetumbuhan dan hewan yang ada. Hanya mengambil yang dibutuhkan." Permaisuri Gayatri mengeluarkan seruan tertahan. Sekelebatan pikirannya melayang ke arah Upasara. Apakah pemuda tampan dan lugu itu juga hidup dengan cara seperti itu? "Kalau hanya tempat berkumpul para ksatria untuk berperang tanding, kenapa Baginda sangat memperhatikan?" "Permaisuri lebih mengetahui dari hamba yang bodoh. "Dulu kala ada dongengan, raja-raja baru akan didengar kabarnya dari Nirada Manggala. Mulai zaman Ken Arok, leluhur Keraton Singasari yang mulia. Ketika itu menurut cerita nenek moyang, ada seorang pendeta muncul dan mengatakan bahwa akan lahir raja. Ini berarti, garis keturunan penguasa yang sekarang akan terputus oleh penguasa yang baru. Seperti kemudian terbukti, Tuanku Permaisuri, pakuwon yang diperintah oleh Tunggul Ametung diganti oleh keturunan Ken Arok. "Pada saat Baginda Raja Sri Kertanegara yang bijaksana-luhur-gagah-perwira berkuasa, ada kabar akan datang lagi Tamu dari Seberang yang akan mewartakan lahirnya penguasa baru. Dan kenyataannya memang Raja Muda Jayakatwang memutuskan garis keturunan Baginda Raja Sri Kertanegara yang mulia." "Paman, bukankah Baginda Raja sekarang ini juga keturunan yang sama? Bukankah saya ini putri Sri Baginda Kertanegara?" "Dewa dari segala Dewa berkenan mengembalikan takhta kepada yang berhak, Tuanku Permaisuri. Hanya selingan Raja Muda Jayakatwang menjadi pertanda bukti apa yang dikatakan Tamu dari Seberang." "Ah, Paman sungguh luas pengalamannya." "Hamba tak pantas menerima sanjungan." "Paman, guru dari Perguruan Awan yang dijuluki Eyang Sepuh tak pernah kelihatan. Saya pernah dibisiki oleh Eyang Sepuh mengenai Tamu dari Seberang itu adalah pasukan Tartar. Sehingga kemudian pasukan inilah yang dipakai menyerang Keraton Singasari. "Tapi saya sendiri tak pernah melihat beliau." "Rasanya sampai sekarang ini belum ada yang berani mengaku bertemu Eyang Sepuh." "Paman, apakah kalau Kangmas Upasara menjadi guru di Perguruan Awan ini, akhirnya juga seperti Eyang Sepuh? Kita hanya mengenai namanya? Apakah itu termasuk ilmu sakti yang Paman katakan?" Jawabannya adalah gerakan seketika secara bersamaan. Mpu Sora meloncat ke belakang, melindungi Permaisuri Gayatri, sementara Mpu Renteng meloncat ke depan. Ujung kainnya, yang disampirkan di pundak, berubah menjadi seekor ular yang mendesis. Kelebatan warna putih di tengah kelamnya malam. Sungguh suatu gerakan yang indah memesona, dan sekaligus juga berbahaya. Dalam satu tarikan napas, Mpu Renteng mengeluarkan jurus andalan dari ilmu Bujangga Andrawina, atau Ular Naga Berpesta Pora. Dari keadaan bersila, menunduk, tiba-tiba berubah menjadi loncatan, dan juga menyerang. Hal yang sama dilakukan Mpu Sora yang menyadari keadaan cukup gawat. Gawat karena tiba-tiba saja kedua empu sakti ini menyadari tekanan angin yang berada dalam jarak sepuluh tombak. Dan dalam seketika sudah ada dua bayangan yang menyerang langsung. Ini luar biasa. Pondok mereka agak terpencil di antara para prajurit yang mengawal, akan tetapi boleh dikatakan di tengah lapangan. Dan tanpa tanda-tanda yang mencurigakan, ada serangan mendadak. Ini berarti para prajurit di bawah Dyah Palasir bisa ditaklukkan, tanpa menimbulkan kecurigaan. Berarti penyerangnya yang kini muncul dalam dua bayangan betul-betul menguasai ilmu yang tidak sembarangan. Mpu Sora nggragap, atau terkesiap. Apalagi ketika mendengar Mpu Renteng mengaduh. Nggragap-nya. Mpu Sora bukan karena Mpu Renteng bisa dikalahkan. Meskipun termasuk senopati pilihan, akan tetapi dalam dunia persilatan, selalu ada ilmu yang lebih sakti. Yang membuat Mpu Sora nggragap adalah karena dalam gebrakan pertama Mpu Renteng sudah bisa ditaklukkan. Bujangga Andrawina bukan ilmu sembarang ilmu. Tingkat Dyah Palasir pun tak akan bisa memahami andai diajari selama satu tahun. Mpu Renteng mampu menguasai dengan baik. Sabetan ujung kain yang disampirkan di pundak adalah gerakan menyapu semua serangan lawan. Mementahkan gempuran. Sementara serangan yang sesungguhnya adalah jari-jari tangan yang memagut, menggigit kuat. Sepuluh jari Mpu Renteng akan berubah seakan menjadi lima kepala ular yang memagut secara bersamaan. Tapi ternyata bisa dirubuhkan dalam satu gebrakan. Belum satu jurus. Penghuni Perguruan Awan MPU SORA makin menyadari bahwa dua penyerang yang menutupi wajahnya dengan klika, atau kulit kayu, bergerak sangat cepat. Tanpa menunggu tarikan napas berikutnya, Mpu Sora menarik kaki sedikit ke belakang, dengan dua tangan bersilang di depan dada. Tubuhnya berputar. Kedua penyerang seperti menunggu serangan. Akan tetapi justru Mpu Sora tidak langsung menyerang. Karena menyadari bahwa tugas utamanya ialah menjaga Permaisuri Gayatri. Bagi seorang yang menjunjung tinggi pengabdian, tugas adalah nomor pertama dan sekaligus nomor terakhir. Rasa gusar bisa diatasi dengan tetap mencoba bertahan, bukan menggempur. Memang ini agak bertentangan dengan ilmu yang dikembangkan dari tlatah Madura, yang mengandalkan gebrakan pertama sebagai gempuran. Apalagi Mpu Sora mengeluarkan jurus Bramara Bramantya atau Lebah Marah. Sekumpulan lebah yang marah selalu berusaha mengejar lawannya sampai ke sudut yang tak memungkinkan lagi. Akan tetapi kali ini, Mpu Sora berputar di tempat. Dua penyerang bergerak bersamaan. Dari sisi kiri dan sisi kanan. Mpu Sora membuka kedua tangannya dengan sangat cepat, dan dengan sangat cepat pula menarik kembali, menutup di depan dada. Terdengar dua benturan keras. Mpu Sora bisa membandingkan bahwa penyerang di sebelah kiri tak sekuat di sebelah kanan. Sengatan lima kanan dan lima kiri bisa dimentalkan, akan tetapi dengan demikian bisa mengukur tenaga lawan. Sesuatu yang sangat penting untuk membuat serangan berikutnya. "Hmm. Percuma saja kita hanya disuguhi Bramara Bramantya." Mpu Sora berusaha menahan darah yang mendidih sampai ke ubun-ubunnya. Pada usia yang bukan muda lagi, Mpu Sora masih tetap memperlihatkan asal-usulnya. Lahir dan dibesarkan di daerah yang keras adat- istiadatnya. Daerah di mana sapi biasa dipacu, bukan digerakkan perlahan untuk menyeret gerobak. Hinaan itu sangat kena, kalau maksudnya membuat gusar. Jurus Lebah Marah diganti seenaknya menjadi Lebah Bingung. Meskipun dalam ucapan hampir mirip, antara bramantya dengan Bramantya, akan tetapi artinya berbeda. Bingung lebih bisa diartikan sebagai tak bisa menguasai diri. Akan tetapi Mpu Sora justru merasa makin berhati-hati. Lawan yang dihadapi bukan hanya serba tak terduga, akan tetapi juga sekaligus menunjukkan pengetahuan yang luas. Bisa langsung menduga asal-usul ilmu silatnya. Bahkan bisa mengetahui sampai ke nama jurusnya. Mpu Sora menunggu kesempatan. Begitu penyerang di kanan menarik napas ketika mengucapkan kata-kata hinaan, seketika itu Mpu Sora membuka kedua tangannya. Cepat. Bayangan di samping kanan menghindar dengan gerakan ke arah samping, seperti bergoyang. Akan tetapi sasaran utama Mpu Sora justru kepada penyerang dari kiri. Yang meskipun kelihatannya lebih lemah, akan tetapi posisinya lebih berbahaya. Lebih dekat meraih ke arah Permaisuri! Tubuh condong ke kanan, akan tetapi kaki menggaet yang kiri. Dan begitu mengenai sasaran, Mpu Sora menarik sekerasnya. Tenaganya dipakai untuk memantulkan tubuhnya ke atas. Sambil mengeluarkan desis nada tinggi.
| |
| | | Sponsored content
| Subyek: Re: SENOPATI PAMUNGKAS I | |
| |
| | | | SENOPATI PAMUNGKAS I | |
|
| Permissions in this forum: | Anda tidak dapat menjawab topik
| |
| |
| |