|
| SENOPATI PAMUNGKAS I | |
| | |
Pengirim | Message |
---|
mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 2:47 pm | |
| Tapi ia sendiri tak mau ikut terkubur hidup-hidup. Bukan hal yang gampang. Karena itu ia harus bisa memainkan perannya dengan teliti dan cermat. Halayudha berjalan mendului tanpa menimbulkan kecurigaan sedikit pun. Langsung menuju kurungan di bawah Keraton. Ia yang melangkah masuk lebih dulu. Upasara mengikuti. Begitu keduanya sampai di dalam, mendadak Halayudha mengentakkan kakinya dengan keras dan tangannya menghantam ke arah pintu dari mana ia datang. Kembali terdengar suara keras. Tanah berguguran, sebagian bagaikan lumpur. Menutup jalan masuk. Upasara menarik napas. Tertahan. Halayudha tertawa lepas. Suaranya dipantulkan oleh gema, seakan lebih ganas. “Upasara, selesailah sudah tugas kita berdua. Sekarang bunuhlah aku. Makanlah dagingku untuk memperpanjang umurmu.” Barulah Upasara mengetahui bahwa kini mereka berdua terkurung hidup-hidup. Tak mungkin membuka jalan dari arah mereka datang. “Memang sayang bagimu, Upasara. “Kamu masih muda. Umurmu belum ada 25, belum separuhku. Kamu ksatria sejati dengan ilmu yang tak tertandingi. Dicintai Permaisuri. “Tapi kamu berada dalam satu kuburan denganku, yang sangat licik, hina, dan suka menipu. “Kalau bukan karena takdir, apa lagi namanya?” Upasara mencengkeram pedangnya lebih erat. “Aku telah kalah. “Kalah dalam segala hal. Kedokku telah kamu buka. Siasatku menjerat Mpu Sora berhasil, tetapi kamu mengetahui. Tak ada tempat aman bagiku. “Barangkali cara mati begini lebih baik.” “Di mana Gendhuk Tri dan Dewa Maut?” Gema tawa Halayudha kembali bersahutan. “Dewa Maut telah lama menjadi debu. Kalau kamu jalan-jalan di sekitar tempat ini, mungkin masih bisa kamu kenali tulang-belulangnya. “Dia terkubur lebih dulu, dan lebih lama di sini. Nyai Demang pasti sudah bercerita.” “Gendhuk Tri?” “Ia kesasar ke dalam gua yang kupersiapkan. Sayang karena akhirnya Naga Nareswara ikut terkubur juga. Sayang aku belum sempat memeras semua ilmunya.” Secara ringkas Halayudha menerangkan bahwa Naga Nareswara atau Raja Segala Naga adalah pemimpin tertinggi seluruh senopati Tartar yang dikirimkan ke tanah Jawa. “Aku tak akan disebut pahlawan, walaupun musuh yang sakti mandraguna itu berhasil kulenyapkan. Aku tak akan disebut prajurit pengabdi, walau selama ini aku berhasil memperkuat kedudukan Baginda dengan menyingkirkan segala begundal dan cecunguknya. “Nasib yang busuk selalu menyertaiku. “Tapi aku ingin kamu menemaniku.” Upasara lebih sadar bahwa ia kini berada dalam tempat yang telah tertutup jalan keluarnya. Kurungan bawah Keraton yang rumit. Yang banyak lorong-lorongnya, yang setelah ia mencoba mengitari lewat lapangan terbuka, akhirnya kembali ke tempat semula. “Kalau Dewa Mahaagung memberkatimu dengan sayap, kamu bisa keluar dari persembunyian ini.” Upasara menggelengkan kepalanya. “Aku tak mengerti apa sebenarnya di balik keinginanmu yang sangat busuk ini.” Halayudha mengangkat tangannya. Seolah putus asa. “Tak ada gunanya kita saling menyimpan rahasia. Sebentar lagi kita akan mati bersama. Atau salah satu lebih dulu. “Upasara, dengarlah baik-baik. “Kamu tahu siapa yang ada di depanmu ini? Seorang senopati yang cukup sakti. Seorang prajurit yang penuh pengabdian. Seorang yang memberikan jiwa-raga kepada Keraton. Kepada Baginda. “Jauh sejak dalam pengabdian kepada Baginda Raja Sri Kertanegara, aku telah mengabdi. Tapi aku tak pernah dipedulikan. Aku selalu diperlakukan sebagai si busuk yang selalu licik. “Baginda Raja Sri Kertanegara bahkan tak pernah memperhitungkan diriku. Seolah aku bukan ksatria. Seolah aku bukan laki-laki! “Sewaktu Sanggrama Wijaya melarikan diri, akulah yang selalu menyertai. Selalu menemani. “Tetapi aku dianggap tidak ada. Sewaktu menggempur Raja Muda Jayakatwang, sewaktu mengusir pasukan Tartar, aku tak pernah mendapat tugas dalam peperangan. “Seolah aku tak pernah becus apa-apa! “Selain menjadi alas kaki Sanggrama Wijaya! “Aku selalu menjadi gedibal, menjadi pesuruh yang hina, justru ketika prajurit yang lain diangkat menjadi senopati agung. Diangkat menjadi mahapatih. Dianugerahi gelar dharmaputra. “Aku terlupakan. “Halayudha dianggap bukan ksatria. “Halayudha bukan laki-laki. “Halayudha adalah gedibal, adalah pesuruh, adalah si licik busuk. Kalau aku juga dianugerahi gelar sebagai senopati, aku tak mempunyai prajurit sebagaimana senopati yang lain. Aku tak mempunyai tlatah secuil pun. Aku tetap dianggap tak ada. “Dosa apa yang kulakukan sehingga semua orang memandang dan menilaiku begitu hina?” Halayudha seolah menatap jauh. “Aku dendam. “Aku manusia biasa yang bisa mendendam. “Di sinilah timbul keinginanku membuktikan bahwa aku lelaki sejati. Bahwa aku prajurit utama. Bahwa aku sejajar dengan para ksatria. “Aku mempelajari ilmu silat dari arah mana pun. Aku menjajal kemampuan otakku yang dikatakan sangat licik dan culas. Aku justru ingin membuktikan diri sebagai si sangat licik yang hina! “Nyatanya hampir berhasil. “Adipati Lawe bisa lewat. Senopati Anabrang tewas. Pengikut Mpu Sora terberantas. Akan kuhabisi semua dharmaputra seangkatanku. Akan kuliciki semua senopati yang selama ini memandang rendah diriku. “Termasuk kamu, Upasara.” “Kesalahan apa yang kulakukan padamu?” “Banyak sekali. “Kamu disanjung semua kawula-bahkan semua senopati, bahkan Baginda. Kamulah lelaki sejati, lelananging jagat. Sedangkan aku yang paling hina. “Kenapa Dewa yang Maha bijak membedakan nasib begini jauh berbeda? “Terakhir kamu menggagalkan niatku menyapu bersih semua senopati sebagai balas dendam! Masihkah kamu bertanya apa salahmu padaku?” Upasara termakan nada getir Halayudha. Halayudha memang ingin meyakinkan Upasara bahwa ia tengah berada dalam situasi yang sangat kritis. Seolah perlu menumpahkan segala unek-unek, segala pikiran. Karena sebentar lagi akan mati! Kalau Upasara terpengaruh hal ini, pasti tak akan begitu curiga lagi. Tak akan terlalu mengawasinya. Itu berarti ia bisa meloloskan diri! Karena ia tahu satu-satunya jalan untuk meloloskan diri. Ia menyisakan satu jalan yang lain. Selebihnya telah ditutup. Dan jika ia telah lolos, tinggal menutup mati jalan itu. Berarti Upasara akan terkubur hidup-hidup juga. Kalau tak bisa hidup bersama, kenapa tidak salah satu yang hidup? Kalau tak bisa mati bersama, Halayudha tetap tak mau mati bersama. Halayudha yakin bisa memperalat Upasara. Bisa menyesatkan jalan pikiran. Justru karena Upasara terlalu bersih dan lurus jalan pikirannya “Halayudha, maaf kalau aku belum sudi menyebut paman atau sebutan lain yang lebih menghormat, siapa sebenarnya gurumu?” “Aku belajar sendiri.” “Tak mungkin. Kamu tak bisa mendustaiku. - Ilmumu cukup tinggi. Bahkan tanpa kelicikan pun kamu bisa mengalahkan ilmu Mahapatih. Apalagi senopati yang lain. Siapa yang mengajarimu awalnya? Pasti juga bukan Naga Nareswara!” Gajah Mahakrura PANDANGAN tajam Upasara membuat Halayudha cemas. Sekelebat ia merasa sangat kuatir secara tiba-tiba. Kalau Upasara menghajarnya, ia tak bakal bisa mengimbangi. Dan ini berarti semua kesempatan dan kelicikan yang telah diatur begitu sempurna akan hancur! Tapi bukan Halayudha kalau tidak berdusta. “Kamu akan mengenal nama besarnya. Kiai Gajah Mahakrura.” Upasara mendesis seperti menelan asap tembakau yang dibakar. Dengan cepat Halayudha melanjutkan kalimatnya. “Kamu pasti telah mengenal nama besar senopati agung dari tlatah Campa yang terkenal. Kiai Gajah Mahakrura yang sejajar dengan nama besar Naga Nareswara, setingkat dengan Eyang Sepuh, ataupun Kiai Sambartaka dari tlatah Hindia, juga Kama Kangkam, ksatria perkasa dari tlatah Jepun.” Sengaja Halayudha menjajarkan nama-nama yang sebagian sudah dikenal oleh Upasara. Agar tak ketahuan bahwa nama yang disebutkan adalah asal menyebutkan saja. Akan tetapi, Halayudha bukan menyebutkan secara ngawur. Pengetahuan luas yang dimiliki, digabung dengan kelicikan, menyatu bagai jebakan halus yang menjerat. Naga Nareswara atau Raja Segala Naga, pastilah dikenal namanya oleh Upasara. Karena ia mengenal kesaktian Naga-Naga yang lain. Bahkan secara langsung pernah beradu pikiran dengan Kiai Sangga Langit, sesepuh tiga Naga utusan Raja Tartar. Sedikit-banyak pasti juga sudah mendengar kehebatan Kama Kangkam. Dengan menyebutkan nama Kiai Sambartaka, Halayudha hanya untung-untungan saja. Karena selama ini ia sendiri baru mendengar nama itu dari Naga Nareswara. Menambahkan nama Gajah Mahakrura, atau gajah yang sangat bengis dari tlatah Campa, juga bukan tanpa perhitungan. Hubungan raja-raja di Jawa dengan penguasa tlatah Campa sangat erat. Beberapa senopati dan ksatria silih berganti berdatangan. Nama para ksatria Campa cukup dikenal. Di antaranya adalah para ksatria yang berasal dari tlatah Mada, suatu wilayah di Keraton Campa. Suku Mada sangat terkenal keberaniannya dan sekaligus juga ketelengasannya. Tidak terlalu sulit bagi Halayudha untuk sekadar mencari nama Gajah Mahakrura! Meskipun dari Campa, para ksatria atau pendekar yang sudah lama berdiam di tlatah Jawa memang sering memakai nama setempat. “Saya tak begitu mengenal nama besar beliau,” suara Upasara merendah nadanya. “Akan tetapi mengingat apa yang kamu lakukan, sangat mungkin nama besar itu sesuai dengan sifat-sifat licik yang kamu perlihatkan. “Tangan kanan ini terkena getahnya.” Halayudha menghela napas yang sengaja dibikin-bikin. “Kamu bisa membalas dendammu sekarang.” Upasara mengangguk. “Itu lebih baik. Membunuh orang durjana bukanlah tindak kejahatan. Halayudha, bersiaplah!” Halayudha menggelengkan kepalanya. “Melawan atau bertahan, akan berakhir sama. Untuk apa membesarkan diri dengan harapan yang jelas sia-sia? “Seorang permaisuri masih mempunyai harapan, maka ia menitipkan cundhuk padaku, tetapi melawan kesaktianmu, siapa yang saat ini mampu menahan?” Dada Upasara terguncang. Halayudha memang tahu bagian mana yang harus diserang. “Akan saya katakan kepada Gajah Mahakrura, bahwa Upasara Wulung yang bertanggung jawab atas pembalasan kematian muridnya.” “Tak” ada gunanya. Kamu tak akan mengenali. Guru Gajah Mahakrura sudah lama tak mau mengakui.” Geraham Upasara menyatu. Apakah ada di dunia ini seorang guru tak mengakui muridnya? “Kamu tak akan mengenal duniaku, Upasara. Kamu murid yang baik. Kamu tak bisa membayangkan di dunia ini ada pertengkaran antara murid dan guru. Pertentangan antara senopati yang tersisih macam diriku. “Semua itu bukan duniamu.” Halayudha kembali menghela napas. Nadanya memelas, minta dikasihani. “Saya tak mengenal siapa Gajah Mahakrura, akan tetapi jelas cara mengerahkan tenaganya bisa saya kenali. “Halayudha, katakan terus terang, apakah Ugrawe masih saudara seperguruanmu?” Mendadak wajah Halayudha pucat. Tubuhnya menggigil. “Jangan sebut-sebut manusia terkutuk itu! “Dialah yang telah menghancurkan kami semua. Tak ada semut atau cacing mau mengaku saudara dengannya. “Kami dulu sama-sama berguru kepada Gajah Mahakrura, dan Ugrawe manusia laknat itu mencuri kitab-kitab Bapa Guru. Dan akulah yang dituduh.” Ganti Upasara yang menelan ludah. “Apakah Kiai Gajah Mahakrura juga disebut sebagai Paman Bintulu, karena memakai kain belang hitam-putih seperti yang dikenakan tokoh pewayangan Anoman atau Bima?” Halayudha mengeluarkan jeritan tertahan. “Upasara, apakah benar kamu mengenal Bapa Guru Dodot Bintulu?” “Saya pernah bertemu dengan Paman Sepuh belum lama ini.” Mendadak Halayudha merebut pedang di tangan Upasara, dan dengan cepat menebaskan pedang itu ke arah lehernya. Upasara tak menyangka Halayudha akan menjadi begitu nekat. Tangannya masih sempat menarik kembali, dan empat jari Halayudha terpotong ketika berusaha mencengkeram. “Bunuh aku! Bunuh aku!” Bagi Upasara apa yang dilakukan Halayudha benar-benar tindakan nekat. Belum pernah dilihatnya Halayudha begitu cemas, ketakutan seperti sekarang. Bahkan ketika berada di ujung pedangnya sewaktu dikalahkan pun, Halayudha tak segemetar sekarang! “Bunuh aku!” “Jadi Paman Halayudha adalah murid Paman Sepuh Dodot Bintulu yang juga guru Ugrawe?” Dugaan Upasara tak jauh meleset. Bahkan sejak tangan kanannya terhantam balik tenaga Halayudha yang kuat dan menyengat, Upasara teringat bahwa ilmu membalik tenaga dalam itu dulu hanya dimiliki tokoh yang bernama Ugrawe. Tokoh sakti mandraguna yang berdiri di belakang Raja Muda Jayakatwang dalam menaklukkan Keraton Singasari. Ugrawe-lah yang mencuri semua kitab pusaka, termasuk di antaranya Kitab Bumi atau Bantala Parwa. Dari sinilah Ugrawe menciptakan rangkaian jurus-jurus Sindhung Aliwawar, yang puncaknya dinamai jurus maut Banjir Bandang Segara Asat. Jurus Banjir Bah Laut Kering, pada zamannya adalah jurus yang tak tertandingi. Bila ilmu itu dimainkan, dan lawan terkena pukulannya, dengan serta-merta tenaga dalam akan terisap. Lawan menjadi lautan yang terisap, sementara dalam tubuh penyerang terjadi kelebihan tenaga ibarat banjir. Laut yang besar menjadi kering, airnya berpindah ke darat. Sungguh perumpamaan yang tepat menggambarkan betapa dahsyat pukulan itu. Bisa dibayangkan bahwa saat itu Ugrawe benar-benar bisa merajalela tanpa lawan, karena setiap kali tenaga dalamnya bertambah besar dan semakin kuat. Kelemahan utama jurus Banjir Bandang Segara Asat adalah bila ternyata tenaga dalam lawan lebih kuat. Bisa-bisa tenaga dalamnya sendiri yang terisap. Berbalik menjadi loyo. Salah seorang putra Raja Muda Jayakatwang pernah menjadi korbannya! Akan tetapi sesungguhnya itu disebabkan oleh penguasaan yang belum mencapai tingkat kasampurnaning ngelmu, atau tingkat sempurna. Karena, menurut Ugrawe justru kalau tingkat penguasaan sudah sempurna, dalam keadaan kalah kuat tenaga dalam pun tetap bisa mengisap. Karena, banjir di darat memang dengan cara menguras air di laut! Sayang, atau bahkan mujur, sebelum menguasai secara sempurna Ugrawe telah gugur di medan laga. Saat-saat terakhir dalam hidupnya, tokoh sakti yang dikutuk semua ksatria itu melakukan tugas yang mulia. Upasara bisa menelusuri kembali karena kini telah menemukan kunci pemahaman cara pernapasan Tumbal Bantala Parwa. Bahwa tenaga dalam bisa disimpan sebagian, untuk kemudian diubah kembali. Dan bisa dipergunakan. Dalam jurus Banjir Bandang Segara Asat, cara pengaturan mengisap tenaga tak jauh berbeda. Hanya saja, dan inilah yang menjadi biang kejahatan Ugrawe yang ganas, ia mengambil tenaga dalam orang lain. Dengan cara yang sama, mengubah tenaga dalam lawan, menyatukan dengan tenaga dalamnya sendiri, sehingga bisa dikuasai, dan dipergunakan menurut kehendak hatinya! Pencerahan yang diterima Upasara terutama ketika bisa memulihkan tenaga dalamnya. Ini secara langsung atau tidak, berkat petunjuk Paman Sepuh atau juga Paman Dodot Bintulu! Yang adalah guru Ugrawe dan Halayudha. Upasara menjadi serbasalah kalau membiarkan Halayudha bunuh diri. Makanya ia menarik pedangnya. Empat jari tangan Halayudha terputus karenanya. Justru di saat Upasara ragu, Halayudha merebut kesempatan! Kubur Kedua HALAYUDHA berlari keras. Darah masih mengucur. Cara berlari Halayudha sedemikian rupa sehingga mengesankan sedang bingung atau sangat ketakutan mendengar nama Paman Sepuh Dodot Bintulu. Memang Halayudha lebih berani menghadapi seribu mayat yang hidup kembali daripada mendengar nama gurunya! Itu lebih mengerikan daripada bumi yang terbelah atau langit yang runtuh patah menimpanya! Sejak Halayudha melarikan diri dari gurunya, sejak itu hanya ada satu yang ditakuti. Yaitu bila gurunya hidup kembali. Upasara tidak mengejar karena menduga toh Halayudha akan berputar-putar dan akhirnya kembali ke tempat semula. Memang nyatanya begitu. Dua kali Upasara melihat Halayudha berputar kembali ke tempatnya. Akan tetapi tidak untuk ketiga kalinya! Inilah Halayudha! Bisa menggabungkan antara kesungguhan dan kelicikannya! Tanpa bisa dibedakan lagi. Sewaktu mendengar nama gurunya disebut-sebut, Halayudha memang ketakutan setengah mati. Baginya lebih baik bunuh diri daripada mati disiksa oleh sang guru yang kejam! Sejak kecil Halayudha terasing dari lingkungannya. Anak-anak sepermainan tak pernah mengacuhkannya. Ia dianggap anak yang lemah, tak mampu berenang di Kali Brantas, tak mampu mengambil sarang burung di ujung pohon. Nasibnya berubah sewaktu ia bertemu dengan orang tua yang kemudian mengangkatnya sebagai pembantu. Sejak itu Halayudha menjadi abdi setia yang melayani, dan kepadanya diajarkan cara-cara pernapasan. Barulah kemudian Halayudha mendengar bahwa gurunya tokoh sakti mandraguna seangkatan dengan Eyang Sepuh maupun Mpu Ragana Halayudha belajar dengan tekun. Sampai setahun kemudian ia kembali ke desanya dan membunuh habis semua teman yang dulu mengejeknya! Barulah Halayudha kembali berguru, melayani Dodot Bintulu untuk mencarikan buah segar, mencucikan baju yang dikenakan. Dan diajari cara-cara pernapasan. Segalanya berjalan dengan lancar, sampai kemudian Guru Dodot Bintulu menemukan anak kecil lain yang dianggap lebih berbakat darinya. Anak kecil itu tak lain dan tak bukan kelak kemudian hari dikenal sebagai Ugrawe, mataharinya matahari! Halayudha begitu dendam melihat kasih sayang gurunya yang berlebihan kepada Ugrawe. Satu-satunya siasat yang dilakukan adalah mencoba mencuri Kitab Bumi! Halayudha ingin bisa mengalahkan Ugrawe yang memang bisa mempelajari sangat cepat. Agaknya Ugrawe mencium keinginan busuk Halayudha. Karena Ugrawe juga merencanakan hal yang sama. Bedanya, Ugrawe berhasil mencuri kitab-kitab pusaka. Dalam kalutnya, Halayudha mengambil sisa-sisa yang tak diambil Ugrawe. Setelah lebih dulu membokong gurunya yang tengah bersemadi. Gurunya selalu berdiam bagai patung, bagai batu, jika melakukan latihan pernapasan. Itulah saat terbaik bagi Halayudha menjalankan tipu muslihatnya. Halayudha mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul hancur wajah sang guru. Kurang puas dengan itu, Halayudha melemparkan batu-batu keras ke wajah gurunya, menimbuni dengan batu keras. Menunggu beberapa hari. Baru kemudian meninggalkannya. Sejak itu Halayudha mengembara dan akhirnya nyuwita atau mengabdi kepada- Raden Sanggrama Wijaya. Kembali kegusaran mencapai ulu hatinya dan mulai menggerogoti dirinya ketika mengetahui bahwa adik-muridnya nyuwita kepada Raja Muda Jayakatwang dan menjadi senopati utama! Sekali lagi ia kalah! Merasa selalu kalah! Karena takut bakal diketahui oleh Ugrawe yang lebih sakti, Halayudha menyembunyikan diri. Makin parah hatinya, karena teman-teman seangkatan dengannya menjadi senopati yang gagah perkasa, sementara ia harus menahan diri menjadi bahan ejekan sebagai senopati utama tanpa memiliki prajurit dan kesaktian. Justru itulah yang dipakai senjata oleh Halayudha. Ia selalu memperlihatkan diri sebagai si dungu. Sambil menunggu waktu untuk melampiaskan dendam. Sebagaimana ia masih kanak-kanak dulu. Adalah keinginannya untuk menguasai ilmu dan menjadi lebih sakti sehingga lebih mudah membalas dendam. Lebih menggembirakan lagi karena secara diam-diam ia bisa berguru kepada Naga Nareswara. Hanya saja karena kini ia berada di tengah percaturan Keraton, strategi yang dijalankan juga berbeda. Namun Halayudha tak bisa menahan rasa takutnya. Karena ketika kembali ke tempat perguruannya, ia tak menemukan tulang-tulang gurunya. Setelah batu-batu yang menumpuk disingkirkan, tulang-belulang Kiai Dodot Bintulu tak ada! Tidak juga rambut atau giginya! Ketakutan utamanya adalah bahwa Kiai Dodot Bintulu atau gurunya ini masih hidup dan kini tengah mencari-carinya. Halayudha tetap merasa tak bisa melawan. Maka ia selalu ketakutan jika nama Kiai Dodot Bintulu disebut-sebut. Tapi Halayudha tetap mempunyai siasat yang membakar darahnya. Pada putaran berikutnya, Halayudha sadar bahwa ini adalah kesempatan untuk melarikan diri. Maka Halayudha mengambil putaran lain, dan membiarkan darahnya mengucur, agar Upasara terjebak ketika mengikuti! Ia sendiri kemudian mengisap jari-jari yang putus, sehingga darah tak mengalir lagi. Kemudian mengambil jalan yang benar dan keluar dari gua bawah Keraton! Dan tentu saja kemudian menutupnya. Sebagai tutupan terakhir! Yang berarti gua itu tertutup untuk selamanya. Tak mungkin Upasara bisa menembus lapisan tanah. Pun andai dibantu oleh Kiai Dodot Bintulu! Upasara belum sepenuhnya mengerti bahwa sebenarnya Halayudha telah meninggalkannya. Pikirannya masih dipenuhi dengan Kiai Dodot Bintulu, alias Paman Sepuh. Jadi benar dugaannya selama ini! Paman Sepuh satu angkatan dengan Eyang Sepuh dan Mpu Raganata. Tiga nama yang menjadi cikal bakal dunia kanuragan di sekitar Singasari dan kini Majapahit! Paman Sepuh Dodot Bintulu dengan dua muridnya, Halayudha dan Ugrawe; Eyang Sepuh mendirikan Perguruan Awan dengan sekian banyak muridnya, di antaranya Jaghana dan Wilanda; sementara Mpu Raganata secara diam-diam mengajarkan ilmunya kepada Jagaddhita dan juga Gendhuk Tri. Upasara sendiri sebenarnya berada di luar ketiga jalur yang mempengaruhi dunia persilatan. Ia dididik dengan ilmu Keraton yang sebenarnya lebih dekat dengan ajaran Mpu Raganata. Di mana pengolahan kepada raga atau jasmani lebih mendapat perhatian utama. Sesuai dengan keinginan Baginda Raja Sri Kertanegara. Maka jenis dan jurus-jurus yang diajarkan Ngabehi Pandu penuh dengan permainan tenaga keras. Seperti yang dibuktikan dengan jurus-jurus ciptaannya, Banteng Ketaton. Jurus-jurus Banteng Terluka adalah jurus-jurus yang lebih mengandalkan kepada raga, kepada kekuatan lahir. Yang berbeda adalah perjalanan hidup Upasara. Ia juga mempelajari ilmu-ilmu dari Eyang Sepuh yang berdasarkan pada kekuatan batin, bukan kekuatan raga. Bahkan boleh dikatakan mendalami dari awal sampai akhir kidungan-kidungan Bantala Parwa. Lebih dari itu Upasara juga mempelajari beberapa bagian utama dari cara pernapasan ilmu Kiai Dodot Bintulu atau Paman Sepuh yang lebih murni. Bagi Upasara hal ini tak menimbulkan kesulitan. Karena walau berbeda cara dan penekanan, dasar-dasar ajaran yang diterima tak jauh berbeda. Karena sesungguhnya Eyang Sepuh, Mpu Raganata, dan Paman Sepuh juga mempelajari dari sumber yang sama. Ditambah dengan pengalaman bertemu Kiai Sangga Langit yang membawa ilmu Jalan Budha, boleh dikatakan saat ini Upasara telah menyerap semua ilmu yang ada. Inti segala ngelmu, banyak atau banyak sekali dikecap dan dipelajari. Dengan latihan dan penguasaan, Upasara akan masuk ke tahap di mana kasampurnaning ngelmu itu bisa dijadikan bagian dari dirinya. Dalam keadaan seperti ini, sepuluh Halayudha tetap tak akan bisa mengalahkannya. Akan tetapi, ternyata satu Halayudha saja tak bisa dikalahkan. Bahkan berhasil menguburnya hidup-hidup. Berulang kali Upasara berusaha mencari jalan keluar, dan selalu berakhir di tempat yang sama. Berulang kali Upasara berusaha menggempur ke arah dari mana ia datang, tak ada hasilnya. Tanah lembek yang bercampur putih telur dan tingginya bagai gunung anakan itu tak bergoyang. Makin digali, makin banyak tanah yang berguguran. Berarti tetap saja tak bisa keluar. Hanya langit yang samar bisa dikenali siang hari. Dan kadang bintang atau bulan terlihat sekilas bila malam tiba. Burung Pun Tak Turun BEBERAPA malam berlalu. Hanya perubahan terang dan gelap yang menjadi tanda. Selebihnya tak ada tanda-tanda lain. Upasara duduk di ruang terbuka. Saat-saat matanya memandang ke atas, hanya lapisan langit yang menutup. Seakan selimut yang diletakkan persis di mulut gua. Upasara menyadari bahwa tak ada tanda-tanda kehidupan yang lain. Tidak juga seekor burung yang berani terbang rendah, masuk ke dalam gua. Kalau ada yang harus dipuji, pujian itu diperuntukkan bagi para empu yang telah memanfaatkan gua yang lubangnya bagai tujuh belas sumur bersambungan. Dinding-dinding gua terdiri atas batu yang sangat keras. Hanya di bagian terowongan ada lapisan tanah. Akan tetapi sia-sia kalau ingin menjebolnya. Satu lubang dibuat, tanah di bagian atas akan berguguran. Namun yang akan menyulitkan lagi ialah bahwa bagian lorong yang terdiri atas tanah tak bisa dipastikan mana ujung dan mana pangkalnya. Memang sebuah kurungan yang sangat sempurna! Upasara tak terlalu menyesali kalau harus terkubur hidup-hidup. Satu-satunya yang masih mengganjal dalam hatinya ialah ternyata segala ilmu yang dipelajari tak mempunyai arti untuk meloloskan diri. Kemampuan untuk meringankan tubuh tetap tak banyak mengubah. Upasara sudah menjajal. Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, tubuhnya melayang ke atas dua tombak. Mencoba hinggap di salah satu dinding. Dengan memakai tenaga loncatan keras, tubuhnya melayang ke dinding sebelah lain. Dari tempat itu pula mencoba meloncat ke atas lagi. Akan tetapi dengan lima kali berloncatan, tenaganya makin merosot, dan dengan berjumpalitan keras, Upasara bisa turun ke bawah dengan selamat. Beberapa kali Upasara menjajal, akan tetapi hasilnya sama. Upasara menjajal dengan bantuan Kangkam Galih. Sekali ini ia meloncat ke atas dengan pedang hitam kurus di tangan. Pada loncatan yang tertinggi, tangan kirinya mengayun keras. Berhasil! Kangkam Galih bisa menusuk dinding batu yang keras. Dengan satu kali tarikan, Upasara berusaha meloncat naik lebih tinggi. Dengan menancapkan Kangkam Galih untuk kedua kalinya. Berhasil! Upasara makin bersemangat. Akan tetapi, Kangkam Galih terlalu tajam. Bisa menusuk dinding batu, akan tetapi seperti menyelusup ke tengahnya! Sehingga diperlukan tambahan tenaga untuk mencabutnya. Agak sulit, karena dengan itu pula harus mengayun tubuh ke atas. Sehingga jarak loncatan ke atas makin lama makin pendek. Delapan kali loncatan, Upasara sudah kehilangan kekuatan. Sehingga loncatan berikutnya adalah cara paling selamat untuk turun kembali ke dasar gua. Dengan cara yang sama ketika mendaki. Upasara tidak menyerah begitu saja. Pada waktu senggang, Upasara bersemadi untuk memulihkan tenaga dalam ke arah tangan kanannya. Meskipun tak lagi menimbulkan rasa nyeri, akan tetapi belum bisa digunakan secara leluasa. Setelah pulih, kembali Upasara menjajal naik. Tak banyak artinya. Kalau seekor burung pun tak berani menjajal masuk, apalagi yang tak mempunyai sayap! Upasara mencoba mengukur tingginya lubang gua dengan cara melemparkan batu ke atas. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, batu di tangannya disambitkan ke atas. Batu itu meluncur ke atas dengan dorongan tenaga penuh. Hingga seakan lenyap dari pandangan mata. Berubah menjadi satu titik hitam tak berarti. Namun dalam waktu beberapa kejap, batu itu jatuh kembali ke bawah. Hancur berkeping-keping. Berarti gua ini memang tinggi, seakan tanpa tepi. Berarti satu-satunya jalan harus melalui lorong dari mana ia masuk. Justru itu yang tak mungkin. Halayudha tak memberi kesempatan yang paling kecil sekalipun. Tak ada cara lain, selain harus menunggu datangnya kilatan pikiran baru. Upasara berusaha pasrah, berusaha menyerahkan pikiran agar membersit suatu petunjuk. Suatu wangsit. Wangsit atau petunjuk atau bersitan pikiran yang bisa pasrah secara total. Karena justru pada saat pikiran bisa dikosongkan, percikan pikiran bisa datang menyusup. Bagi Upasara hal semacam itu tak terlalu sulit dilaksanakan. Maka Upasara bisa tenggelam dalam semadi.
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 2:47 pm | |
| Dan sedikit heran ketika terbangun dari semadinya sudah ada buah-buahan di dekatnya. Semula Upasara merasa bermimpi, akan tetapi ternyata buah yang dipegang, digigit, dan dimakan bukan khayalan. “Itu buah pertama.” Upasara tak bisa menyembunyikan rasa herannya. Karena yang berada di depannya adalah Dewa Maut! “Tak sia-sia aku menanamnya. Kalau Tole datang, bisa makan bersama. Upasara, kenapa kamu datang sendirian? “Mana Tole-ku?” Upasara teringat keterangan Nyai Demang, bahwa Dewa Maut terkurung dalam gua. Dan nyatanya masih ada sampai sekarang. Tubuhnya kelihatan segar bugar, seluruh rambutnya yang putih berkibar-kibar. “Paman Dewa Maut masih mengenali saya?” “Masih. Kamu kan Upasara yang disegani Tole. Di mana Tole-ku sekarang ini? “Ini tempat yang diciptakan Dewa Maha Pencipta untuk didiami. Maka aku lebih suka berada di sini, ketika senopati mabuk itu menutup semua pintu keluar. “Kukira tak ada lagi yang datang. “Ternyata kamu datang juga, Upasara.” Upasara merasa gembira sekaligus berduka. Gembira karena bisa bertemu dengan Dewa Maut. Gembira karena meskipun Dewa Maut yang selama ini dikenal hilang akal sehatnya, nampak lebih segar dan bergairah. Tapi juga berduka karena Dewa Maut menyukai tempat ini. Dan walau mengetahui Halayudha menutup semua jalan keluar-juga jalan yang terakhir, Dewa Maut sama sekali tidak berusaha menghalangi. Atau bahkan sama sekali tidak memedulikan. Bukan tidak mungkin Dewa Maut mengetahui kedatangan Upasara dan Halayudha sejak pertama kali masuk. Namun Dewa Maut lebih suka menekuni beberapa tanaman yang dikembangkan di bagian lain dari lorong yang ada. Di situ Dewa Maut merawat tanaman, buah-buahan yang bijinya diambil dari luar, sewaktu ia masih bebas bisa keluar-masuk. Upasara makin bisa mengerti kisah yang diceritakan Nyai Demang. Bahwa sesungguhnya Dewa Maut tidak ingin keluar. Merasa telah menemukan dunianya! Itu sebabnya tak peduli sewaktu Halayudha menutup semua jalan keluar. “Bukankah begitu, Upasara?” “Paman sangat tepat sekali.” “Aku heran. Kenapa kamu masih bersemadi, bernapas dengan aneh? Di sini kita tak perlu berlatih pernapasan. Di sini kita bisa mengamati tumbuhnya daun, tumbuhnya akar. Seperti bayi yang lahir dan menjadi dewasa. “Ajaib. Tole-ku pasti senang mendengar cerita ini. Aku cukup sabar menunggu ia datang. “Bukankah begitu, Upasara?” Anggukan Upasara melegakan Dewa Maut . “Paman…” “Sssttt… jangan berisik. Dengar baik-baik… itulah suara akar yang tumbuh… Dengar… “Sssttt…” Dewa Maut berdiam diri. Memejamkan mata. Mengikuti irama tumbuhnya akar, yang hanya bisa dirasakan sendiri. Kembali Upasara termenung dan menghela napas dalam. Suara helaan napasnya membuat kepala Dewa Maut menggeleng, seperti terganggu. Merayap kesadaran lain ke dalam tubuh Upasara. Dewa Maut, dalam arti sebenarnya, lebih waras dari dirinya sendiri. Dewa Maut yang dianggap kurang waras, sesungguhnya justru sehat. Justru lebih benar! Tak ada gunanya melatih pernapasan atau mengatur tenaga dalam. Adalah lebih mulia mendengarkan tumbuhnya akar, yang suaranya dan perubahannya seperti pertumbuhan bayi! Betapa mulianya. Betapa besar jiwa Dewa Maut. Secara tidak langsung Dewa Maut menjalankan semua ajaran Perguruan Awan. Dalam hal menikmati alam secara total. Dalam hal mengambil apa yang ditanam dengan tangannya sendiri. Hidup tanpa dendam. Tanpa kecemburuan. Tanpa nafsu duniawi. Kalau untuk seluruh hidupnya berada di dalam gua, Dewa Maut tidak merasakan sesuatu yang merugikan hidupnya, itu berarti baginya bukan merupakan hukuman. Tapi Upasara tak bisa menahan keinginannya untuk keluar. Dengan Tanah, dengan Air, Itulah Kehidupan PERASAAN ingin melepaskan diri dari kurungan itu yang membuat Upasara gelisah. Berusaha keras mencari jalan keluar. Tiap kali menjajal, tiap kali pula gagal. “Aku bisa memelihara ular atau kelabang di sini. Tetapi aku tak ingin menyakiti mereka. “Bukankah itu baik, Upasara?” “Baik, Paman Dewa Maut.” “Aku selalu baik.” “Paman masih menunggu Tole?” Alis Dewa Maut yang putih terangkat. Wajahnya menunjukkan kegusaran. “Kalau kamu ikutan menyebut Tole, aku tak mau bicara padamu. Hanya aku yang boleh mengucapkan sebutan itu.” “Maaf, Paman…” “Enak saja meminta maaf. Kenapa tidak kamu coba menanam sendiri maaf itu sehingga kamu tak usah meminta. Buah-buahan ini juga kutanam sendiri.” Sekilas omongan Dewa Maut seperti ngawur. Melantur ke segala arah, dan salah jawaban dari pertanyaan. Akan tetapi di telinga Upasara terdengar ada benang merah yang bicara tegas mewarnai kebenaran yang diungkapkan. “Baik, saya akan belajar menanam.” “Nah, begitu.” “Supaya kalau Gendhuk Tri datang, saya bisa memberikan padanya.” “Itu juga baik.” “Kalau Gendhuk Tri tidak datang, saya akan menjemputnya.” Dengan kalimat ini, Upasara bermaksud memancing agar Dewa Maut tergerak hatinya untuk keluar. Sebab, menurut pikiran Upasara, sangat mungkin sekali Dewa Maut melihat jalan keluar itu! Kalau mengingat bahwa ia cukup lama berada di tempat ini. Bukankah Nyai Demang sendiri yang bercerita bahwa pemecahan untuk jalan keluar dulu itu justru dari Dewa Maut? Kalau dihubungkan dengan Tole, sebutan untuk buah hatinya, sangat besar kemungkinan Dewa Maut tergerak hatinya. Nyatanya tidak. “Buat apa dicari. “Kalau datang pasti kelihatan. Kalau pergi pasti tak kembali. Bukankah begitu, Upasara? Bukankah kamu datang begitu saja? Bukankah perempuan yang tubuhnya subur itu pergi begitu saja?” Upasara mengangguk. “Benar, saya datang kemari untuk mencari Paman dan Gendhuk Tri.” “He, siapa menyuruhmu memanggilku Paman?” “Maaf, Eyang…” “Aku masih cukup muda untuk kamu panggil Kakang! “Bukankah begitu, Upasara?” “Ya… ya… tepat sekali, Kakang Dewa Maut.” ‘ “Panggil aku Paman saja.” Upasara makin bisa merasakan apa yang diceritakan oleh Nyai Demang. Terkurung berdua dengan Dewa Maut yang tetap berbelit jalan pikirannya. Hanya saja saat itu Nyai Demang bisa keluar. “Kenapa tidak mau dipanggil Kakang?” “Perempuan ayu itu sudah memanggilku Kakang. Ia baik hatinya. Hanya saja tubuhnya sering disenggol-senggolkan” “Kalau begitu kita cari dia, Paman. “Lewat jalan yang mana?” Dewa Maut menggeleng. “Tak usah. Aku malu melihatnya. Aku pernah memeluk tubuhnya. Merangkul lama. Membaui tubuhnya. “Aku malu. “Bukankah begitu, Upasara?” “Bukan!” “Kamu tak tahu. Aku tak pernah memeluk wanita lain. Membaui tubuh wanita lain, selain kekasihku dulu itu, tak pernah! “Aku mencintai kekasihku! “Tapi nyatanya aku memeluk, dan membaui tubuh wanita itu.” “Tubuh Nyai Demang? “ Jadi Paman… Paman…” Wajah Dewa Maut nampak jengah. Kali ini Upasara juga menjadi malu. Merasa kurang enak, melanggar kesopanan yang membuatnya risi. Tak seharusnya ia memperjelas apa yang dilakukan Dewa Maut bersama Nyai Demang! Jelas Dewa Maut tidak berdusta! Ini yang menjadi beban hidupnya. Upasara hanya bisa mengira-ngira. Sebagai ksatria yang tangguh, Dewa Maut pernah malang melintang dalam dunia persilatan. Namun yang bisa menundukkan adalah seorang kekasih. Itulah daya asmara! Entah kenapa, hubungan Dewa Maut dengan wanita kekasihnya tidak berlangsung selamanya. Sejak itu Dewa Maut mengasingkan diri dengan berdiam di atas perahu yang terus berlayar bolak-balik sepanjang Kali Brantas. Bisa jadi saat bersama kekasihnya, Dewa Maut berjanji tak akan bersentuhan dengan wanita yang lain. Sehingga lebih dekat dengan sesamanya, yaitu Padmamuka. Hubungan ini tidak melanggar sumpah setianya. Bahwa kemudian sebagian tenaga dalam yang bersifat racun dalam tubuh Padmamuka berpindah ke tubuh Gendhuk Tri, maka Dewa Maut juga menganggap Gendhuk Tri adalah Tole-nya! Yang luar biasa adalah bahwa selama ini Dewa Maut tak pernah menganggap Gendhuk Tri sebagai anak gadis. Melainkan tetap sebagai penjelmaan Padmamuka! Upasara menertawakan tingkah Dewa Maut. Dalam hati. Menertawakan dengan perasaan yang getir. Karena sesungguhnya, apa beda dirinya dengan Dewa Maut dalam soal terpengaruh oleh daya asmara? Tak ada bedanya. Bahkan barangkali dirinya lebih bisa ditertawakan. Daya asmara Gayatri-lah yang, kalau mau diakui, menyeret semua tindakan ini. Sejak menolak pangkat yang diberikan Baginda dan memilih mengasingkan diri di Perguruan Awan. Bukankah ini sama dungunya dengan kesetiaan yang ditunjukkan Dewa Maut? Bukankah dengan menjauhkan diri dari Gayatri, sebenarnya sebagai pengakuan bahwa ia masih terikat? Bedanya hanyalah bahwa Dewa Maut sepenuhnya larut dalam suasana, dan dirinya bisa melihat dari suatu jarak. Akan tetapi selebihnya tetap tak berbeda. “Paman lebih bahagia,” kata Upasara lirih. “Sesuatu yang tak berani saya akui.” “Omong kosong! “Kamu juga bisa. Apa susahnya bertanam? “Omong kosong kalau kamu tak berani mengakui. “Bukankah begitu, Upasara?” Kening Upasara berkerut. Mendadak tangan kirinya terkepal. Matanya mendongak ke arah langit. “Benar, Paman! “Omong kosong kalau tak bisa. Sumber segala kehidupan di jagat ini adalah tanah dan air. Baginda Raja Sri Kertanegara adalah raja yang perkasa karena mengetahui kekuatan air. Mengetahui kekuatan gelombang lautan, sehingga bisa menjelang ke segala pelosok jagat! “Tanah adalah kehidupan. “Air adalah kehidupan.” Ganti Dewa Maut yang menatap heran. “Tanah di sini adalah batu gunung yang menjadi dinding tak tertembusi. Tak mungkin ditanami, bahkan oleh lumut sekalipun.” “Ya, tapi masih ada tanah di bawah buat ditanami.” Upasara menggeleng. Suaranya mengandung semangat tinggi. “Tidak, Paman. “Justru tanah batu keras inilah yang akan menghidupi. Kalau kita tak mampu memahami hakikat tanah dan hakikat air yang sesungguhnya, kita akan menyalahkan dinding batu. “Paman… gua ini ibarat batang bambu. Lurus mendongak ke langit, dengan bagian pinggir yang licin, keras tak tertembusi.” “Bambu? Aku sudah lupa seperti apa bambu itu.” “Kita adalah dua binatang kecil yang terkurung dalam bambu. Tak bisa mendaki ke atas. Tak bisa menembus dinding.” Tapi masih ada budaya air. “Paman, mari kita persiapkan. Kita mengumpulkan kayu. Suatu kali akan turun hujan lebat. Jika dinding-dinding batu ini tak membuat air merembes ke luar, tempat ini akan tergenang. “Dan air makin naik ke atas. “Kita bisa keluar!” “Untuk apa?” Wajah Upasara penuh harapan. “Mari kita usahakan agar air hujan tidak terserap oleh dasar tanah. Paman membantu membuat alas gua yang tak merembeskan air. “Kita tinggal menunggu hujan besar.” Dewa Maut terkekeh. “Mustahil. Aku sudah menjajal. Dan gagal. Aku sudah menyaksikan beberapa kali musim hujan. “Bukankah begitu, Upasara?” Dua Cundhuk Asmara Upasara terdiam sesaat. “Paman, ada dua cara. Yang pertama kita menunggu kiriman air hujan hingga menggenangi lubang ini. Sehingga kita berdua bisa lebih dekat ke atas permukaan tanah. “Yang kedua, kita bongkar bebatuan di dasar ini. Kita keduk sehingga mengeluarkan mata air. Paling tidak, air akan menggenangi setinggi permukaan air di sumur. Dengan demikian lebih mudah bagi kita untuk meloncat ke luar. “Hanya dengan demikian, kebun Paman akan tergenang.” “Itulah yang paling tidak kusukai. Kita merusak apa yang tak perlu kita lakukan.” Suara Dewa Maut sangat memelas. Seakan menyesali keputusan Upasara. “Bagaimana, Paman?” “Di jagat ini selalu yang memegang pedang lebih tajam yang menguasai alam. Kalau maumu begitu, kenapa harus menunggu? “Bukankah begitu, Upasara?” “Agaknya ini satu-satunya cara keluar. “Nyai Demang pernah terperangkap di tempat ini. Berdasarkan tembangan dan kidungan Paman Dewa Maut, bisa meloloskan diri. Pasti bukan hanya satu atau dua jalan keluar. Namun Halayudha telah menutup semuanya.” “Semuanya.” “Kita tak mungkin bisa menembusnya.” “Mungkin saja.” Suara Dewa Maut meninggi. “Itu lebih baik daripada menenggelamkan kebun sayurku. “Senopati busuk itu menutup semua jalan keluar. Akan tetapi pasti kekuatannya tidak sama. “Bukankah begitu, Upasara? “Ada yang bisa ditutup kuat dengan tanah dicampur adonan telur atau tetes tebu. Sehingga liat. Tapi mana mungkin semua bisa sekuat itu?” “Kalau begitu kita coba. “Siapa tahu justru bisa menunjukkan tempat di mana Gendhuk Tri dikurung.” “Tole-ku dikurung?” Upasara menghela napas. “Gendhuk Tri langsung menuju Keraton begitu mendengar Paman Dewa Maut terkurung. Ingin membebaskan. Akan tetapi sejak masuk kemari, saya belum pernah bertemu. “Paman sendiri belum bertemu dengannya… “Berarti begitu banyak gua kurungan di sekitar sini.” Di luar dugaan, Dewa Maut segera menunjukkan berbagai jalan keluar yang sudah ditutup. Lalu di setiap jalan keluar yang sudah ditimbuni, Dewa Maut berjongkok, menempelkan daun telinganya ke tanah. Beberapa kali diulangi di berbagai tempat. “Ini salah satu yang paling ringan.” Alis Upasara berkerut. “Aku tahu, tahu pasti. Aku sudah lama berada di sini, Upasara. Aku mengenal segala getar alam. Suara kibasan angin di mana-mana. Suara akar tumbuh dan daun yang menguning. Aku menanam mangga, jambu, maja, sejak masih biji hingga beberapa kali berbuah. “Kau tak usah meragukan. “Bukankah begitu, Upasara?” Upasara tak membuang waktu lagi. Perhitungan Dewa Maut sangat masuk akal. Walau semua jalan keluar telah ditutup, pasti cara menutupnya tidak sama kuat. Dan ini sangat masuk akal, karena tidak semua jalan keluar kurungan ini dikuasai siang dan malam. Salah satu yang mungkin tidak cukup kuat ialah jalan keluar yang bermuara di kaputren! Bukan kaputren yang lebih menyemangati Upasara. Akan tetapi kini lebih melihat kemungkinan untuk bisa keluar. Maka segera Upasara memainkan Kangkam Galih. Di tangan kirinya Kangkam Galih bergerak menembus, mendongkel, dan Upasara menendang guguran tanah berbatu-batu dengan kedua kakinya. Tanpa kenal lelah Upasara terus menjajal. Bahkan ketika malam hari pun, ia terus menggebrak. Batu besar disingkirkan, batu kecil dibuang ke kiri dan ke kanan. Hingga tak cukup lama sudah bisa digali terowongan sampai tiga tombak. Tanpa memedulikan keringat, Upasara hanya beristirahat untuk mengembalikan tenaga, lalu menyelusup maju. Membuat terowongan. Walau makin lama batu-batuan yang menghadang makin banyak yang buatan manusia, Upasara sebaliknya malah makin bersemangat. Karena ini berarti makin dekat. Tiga hari Upasara menjadi manusia tikus yang terus-menerus menggali, akhirnya berhasil juga. Dengan satu gempuran keras, batu terakhir yang menghalangi tergeser. Tinggal bata-bata tanah yang sekali sentak berlubang! Upasara berdiri tegak. “Paman.” Dewa Maut menggeleng. “Tak selalu tempat di luar lebih baik, aku akan menunggu Tole di tempat ini.” Sekejap darah Upasara berdesir lebih cepat lagi. Dewa Maut tetap menunggu Gendhuk Tri. Yang sekarang ini tak diketahui mati-hidupnya! Upasara menunduk. Tubuhnya membungkuk, dengan tangan terlipat. Tangan kanannya yang masih kaku tertekuk, dengan ibu jari tertuju kepada Dewa Maut. “Kalau Paman lebih suka di sini, saya akan keluar lebih dulu. Suatu hari saya akan balik kemari, menjemput Paman dan kita kembali ke Perguruan Awan.” “Bukankah begitu lebih baik, Upasara?” Upasara memberi hormat sekali lagi. Satu sentakan, tubuhnya menerobos tembok bikinan. Dan lolos melalui sumur mati. Tak terlalu sulit untuk meloncati. Dengan satu loncatan, Upasara sudah berada di tengah, dengan tangan bertahan satu sisi, tubuhnya meloncat keluar dan membuyarkan penutup sumur yang terdiri atas kayu-kayu gelondongan. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, Upasara mengembalikan kayu-kayu itu ke tempat semula. Kini ia kembali di udara bebas. Sinar matahari senja terasa begitu indah. Setelah sekian lama terkurung dalam gua dan hanya sempat menyaksikan matahari persis di tengah langit, sinar senja itu terasa lunak dan enak di mata. Apalagi sinar senja itu terbiaskan oleh tanaman bunga yang ditata dengan tangan dan perawatan penuh kasih. Sejenak Upasara termangu. Tak masuk akalnya, bahwa di jagat ini ada tanah luas yang ditata begitu sempurna, hanya untuk mengejar keindahan pandangan mata. Sungguh terenyak ia ketika mendengar suara-suara kecil. Dengan sedikit berendap, ia menuju ke bagian samping. Yang ternyata lebih indah, lebih teratur, dengan berbagai kolam dan ikan-ikan yang juga terawat sempurna. Tak salah lagi, inilah kaputren! Tempat para putri Raja. Meskipun waktu kecil dibesarkan di Keraton Singasari, Upasara tak sempat menikmati pemandangan yang memesona seperti ini. Akan tetapi perhatiannya lebih tertuju kepada dua putri kecil. Ludah Upasara tertahan di tenggorokan. Siapakah dua putri ini? Sekilas Upasara menemukan wajah yang selama ini dirindukan dalam diri anak-anak itu. Wajah wanita yang pernah mengguncangkan jiwanya. Wajah Gayatri! Wajah yang selalu membayangi. Yang cundhuk pemberiannya masih tetap disimpan. “Kakangmbok Ayu Tunggadewi, tangkapkan kupu-kupu itu.” Yang dipanggil Kakak Tunggadewi meloncat pendek, akan tetapi kupu-kupu yang tengah diincar lebih dulu menghindar. “Susah, Yayi Dewi… kupu-kupu punya sayap.” Dada Upasara terguncang hebat. Tak salah lagi, kedua anak ini adalah putri Permaisuri Rajapatni. Yang tua adalah Tribhuana Tunggadewi dan adiknya Dyah Wijah Rajadewi. Bahkan cundhuk yang dikenakan sama seperti yang diberikan kepadanya oleh Halayudha! Upasara menyalurkan tenaga dalam lewat tangan kirinya. Mengibas pelan ke arah kupu-kupu yang diincar. Sehingga kupu-kupu menjadi oleng terbangnya dan bergoyang, berbalik mendekat ke arah Dyah Wijah Rajadewi. Apa yang ditunjukkan oleh Upasara adalah penguasaan tenaga dalam murni yang tinggi. Yang digebrak adalah angin, dan dengan tenaga itu mendesak seekor kupu-kupu, tanpa mencelakakannya. “Kakangmbok Ayu, kupu-kupu ini datang sendiri.” “Sssttt, jangan-jangan ada demit.” Dyah Wijah Rajadewi menangkap kupu-kupu itu dengan hati-hati. “Saya tak takut demit atau setan, kalau ia baik dan mau menangkap kupu-kupu. Lebih banyak lebih baik.” Upasara menggerakkan tangan kirinya lagi. Kali ini bukan hanya satu jari, melainkan kelimanya. Dalam satu tarikan, kelompok kupu-kupu yang sedang terbang jatuh ke pangkuan Rajadewi. Putra Mahkota yang Berkuasa Tentu saja Rajadewi berteriak-teriak kegirangan. Sebaliknya, Tunggadewi memandang sekeliling dengan curiga. Untuk usianya yang masih di bawah delapan tahun, ini bisa ditebak dari kain yang dikenakan, Tunggadewi termasuk putri yang cerdas. “Yayi… di tempat ini ada demit… amit-amit…” “Kakangmbok Ayu, sudah saya katakan. Kalau demit begitu baik, kenapa kita takut?” Dibesarkan dalam tradisi Keraton, Upasara cukup mengerti beberapa peraturan yang sangat ketat. Apalagi ini adalah putri langsung Baginda Raja. Semasa masih di Keraton Singasari dulu, Upasara bahkan tak pernah melihat bayangan Gayatri! Tapi, walaupun tumbuh dalam pergaulan yang sangat ketat dan terbatas, keduanya menunjukkan perbedaan. Tunggadewi lebih waspada dan sangat hati-hati, sementara Rajadewi lebih terbuka dan berani. “Demit yang baik, maukah kamu mengambilkan burung di pohon sawo itu? “Saya sudah lama ingin memelihara… ingin sekadar melihat, seperti apa sebenarnya burung itu. “Tolonglah, demit yang baik, nanti saya akan memberimu bunga dan kemenyan yang harum baunya.” Upasara berbunga-bunga dadanya. Ada perasaan aneh yang selama ini belum pernah dirasakan. Berhubungan dengan anak-anak. Anak-anak Permaisuri Rajapatni. Sungguh aneh. Tapi inilah yang terjadi. Dirinya disangka demit atau hantu oleh putri kecil yang memakai cundhuk yang sama dengan yang sekarang masih disimpannya erat. Daya asmara menyeruak kembali ke dalam seluruh pembuluh darahnya. Upasara mengambil tanah dan memelintir dengan dua jari. Dibidiknya seekor burung kecil yang tengah berloncatan di antara dahan pohon sawo kecik. Pohon-pohon sawo kecik sengaja ditumbuhkan di pelataran Keraton, baik di kaputren maupun tempat lain. Karena terawat sempurna dan boleh dikatakan tak pernah diambil buahnya, pohon itu menjadi surga bagi berbagai burung. Agaknya inilah yang menggoda Rajadewi. Setiap hari menyaksikan, mendengar ocehannya, akan tetapi tak pernah mengetahui bentuk sebenarnya. Itulah putri Keraton! Dalam usia yang sama, Gendhuk Tri bukan hanya telah mengenal berbagai burung, akan tetapi juga segala jenis binatang buas yang lain. Malah boleh dikatakan seluruh binatang hutan dikenalnya! Tanah yang dipelitir Upasara cukup keras, akan tetapi tak membuat burung kecil itu terluka. Terbang jatuh dan dengan terburu-buru Rajadewi menangkapnya. Burung kecil itu hanya sekali bisa meloncat lagi, sebelum akhirnya tertangkap. “Kakangmbok Ayu… lihat. Bagus sekali.” Tunggadewi menjauh. “Benar-benar demit itu ada. “Dongengan itu tidak berdusta.” “Lihat, Kakangmbok Ayu. Apakah Kakangmbok Ayu juga ingin memiliki sendiri?” “Ya.” Belum selesai tarikan napas Tunggadewi, seekor burung lain telah terbang ke tanah di dekatnya. Rajadewi makin gembira sehingga berloncatan. Suaranya yang nyaring membuat emban pengasuhnya datang mendekat dan menyembah. “Kalian pergi dulu, aku masih ingin bermain-main.” “Gusti Putri, sekarang sudah sore…” “Kalau kamu tidak pergi, aku akan menangis dan menjerit.” Upasara merasa geli. Untuk sesaat terhibur segala duka yang baru saja dialami. Terlupakan kehidupan dalam kurungan bawah tanah. Rajadewi, dengan segala kenakalan dan akalnya, bisa menyuruh emban pengasuhnya mundur kembali. Merasa tak dimata-matai, Rajadewi mendekat ke arah Upasara. “Aku sudah puas melihat burung ini. Nah, sekarang kulepaskan kembali,” Rajadewi melepaskan burungnya. “Kupu-kupu ini kusimpan sebentar. “Ibu Permaisuri suka melihat kupu-kupu. “Demit, kamu tidak marah, bukan?” Hampir saja Upasara terpancing mengatakan tidak. “Kalau tidak, kamu gerakkan bunga Puspanyidra di dekatku ini.” Upasara memang tak mengenal jenis-jenis bunga, akan tetapi ia mengikuti petunjuk tudingan jari Rajadewi. “Jadi kamu tidak marah?” Kembali batang pohon Puspanyidra bergoyang. “Bagus, bagus. Kita bersahabat. Nanti malam akan kubawakan kemenyan dan bunga seperti janjiku. “Kita akan main-main terus. “Mau?” Tunggadewi memegang erat tangan adiknya. “Demit, kenapa kamu tidak mau menunjukkan dirimu? Apakah benar tubuh manusia panas bagimu? Apakah wajahmu sangat mengerikan?” Upasara menggerakkan Puspanyidra seakan menggeleng. “Iiii, lucu sekali. Ibu Permaisuri bakal senang sekali.” Tunggadewi berdiri ke depan. “Kamu yang menguasai taman ini?” Pohon Puspanyidra mengangguk. “Selain burung dan kupu-kupu, kamu bisa memberikan apa lagi?” Upasara tak pikir panjang melemparkan cundhuk. Tunggadewi terperangah. “Adik Ayu Rajadewi, ini cundhuk milik kita yang dikatakan hilang oleh Ibu Permaisuri.” “Ya. Ya. Benar. “Jadi kamu mencuri, Demit?” Pohon Puspanyidra menggeleng. “Waktu cundhuk ini hilang, Ibu Permaisuri tidak marah. “Eh, Demit, kamu mengenal Ibu Permaisuri tidak?” Pohon Puspanyidra mengangguk. “Kalau tahu, siapa namanya?” Upasara mengambil selembar daun, menuliskan nama, dan melemparkan. Tunggadewi memungut. Wajahnya cemberut.
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 2:48 pm | |
| “Salah. Nama Ibu Permaisuri bukan Gayatri, melainkan Ibu Permaisuri Rajapatni!” Sudah barang tentu, Tunggadewi dan Rajadewi tak mengetahui bahwa ibu kandungnya lebih dikenal Upasara sebagai Gayatri. “Demit, siapa namamu?” Upasara sedang menyiapkan daun kedua, ketika mendengar langkah kaki mendekati. Seorang bocah, sedikit di atas usia Tunggadewi, masuk ke dalam taman. Yang membuat Upasara sedikit heran adalah pengiringnya sangat banyak sekali. Dan bocah yang berkulit lebih putih dari kebanyakan orang ini memakai kalung bertatahkan hiasan berkilauan. Tunggadewi dan Rajadewi berjongkok, menyembah. “Adik Dewi, sejak sekarang kalian berdua tidak boleh ke taman sendirian. Mulai hari ini tak boleh ke taman lagi, untuk seterusnya.” Tunggadewi lebih tenang. Menunduk dan menyembah. Rajadewi berguncang dadanya. “Aku yang memutuskan. Tak ada yang membantahku. “Selesai. “Pergilah. “Ini perintah Putra Mahkota.” Upasara melihat bahwa Putra Mahkota Kala Gemet nampak begitu yakin dengan penampilannya. Cara tangannya memberi aba-aba mengusir, kelihatan sekilas sudah sangat terbiasa. Dan tanpa menoleh sedikit pun, terus melanjutkan perjalanan. Hilang di bagian lain bersama para pengikutnya. Sementara Tunggadewi dan Rajadewi sudah dibimbing para emban pengasuh. “Kakang Raja jahat sekali, Kakangmbok Ayu.” “Apa kata Kakang Raja, terjadilah.” “Saya masih ingin bermain dengan Demit.” “Pasti ia akan ke kamar menemui kita. Demit bisa berada di mana-mana.” Kalau tidak menyaksikan sendiri, Upasara tak akan yakin bahwa Putra Mahkota Kala Gemet demikian keras pengawasannya kepada kedua adiknya. Bukan tidak mungkin, seperti banyak cerita yang didengar, Putra Mahkota perlu mengawasi Tunggadewi dan Rajadewi dalam segala hal. Karena sebagai putra mahkota yang dinobatkan sejak kecil, sejak lahir, para pengasuh Kala Gemet sudah mengisiki bahwa Tunggadewi dan Rajadewi bisa menjadi persoalan di belakang hari. Karena keduanya adalah putri Permaisuri Rajapatni. Yang jika kelak kemudian hari mempunyai suami, bisa menjadi ancaman. Paling tidak, bisa merasa berhak atas takhta! Ini yang tak dikehendaki! Maka segala sesuatu yang bisa tumbuh di luar pengawasan, sedini mungkin dihapuskan. Alangkah menderitanya Tunggadewi dan Rajadewi dalam pengawasan kakaknya. Kaukah Itu, Kakang… UPASARA setengah menyalahkan dirinya sendiri. Menyalahkan jalan pikirannya yang begitu mudah mendakwa Putra Mahkota Kala Gemet. Belum tentu sejahat yang dipikirkan. Hanya saja, suara Putra Mahkota yang bergema keras, membuat Upasara berpikir kembali. Untuk seorang putra mahkota, rasanya tak perlu berkata dengan nada yang begitu tinggi. Kecuali kalau sedang marah. “Paman… siapa namamu? …Taman kaputren ini sungguh bagus. Terawat dengan baik. “Kenapa Paman Sora tak pernah bercerita padaku mengenai hal ini?” Yang dipanggil dan tak dipanggil menunduk, menghaturkan sembah hormat yang dalam. “Duh, Pangeran Pati sesembahan kawula seluruh Majapahit, kalau Yang Mulia Pangeran Pati menghendaki, hamba akan mengusahakan taman seperti ini di Dahanapura.” Putra Mahkota Bagus Kala Gemet mendongakkan wajahnya sambil menarik udara dari hidungnya. Dari tempat persembunyiannya, Upasara bisa melihat jelas sikap unggul yang dilihat. Sebutan sebagai Pangeran Pati, atau pangeran putra-mahkota, agaknya merupakan sebutan yang biasa didengar. Untuk memberikan penghormatan dan sekaligus juga membedakan dari para pangeran yang lain, bahwa hanya dialah yang menjadi putra mahkota yang akan menggantikan kekuasaan atas Keraton di kelak kemudian hari. “Makan waktu lama, Paman. “Ingsun ingin segera menikmati. Daripada susah-susah membuat taman seperti ini di Dahanapura, bukankah akan lebih baik kalau ingsun yang pindah kemari?” “Kehendak Pangeran Pati seperti juga kehendak Baginda. Terkabul sesuai dengan keinginan.” Tanpa terasa Upasara mengatupkan gerahamnya. Ada perasaan tidak enak menyeruak dari benak Upasara. Pertama, cara Putra Mahkota menyebut dirinya sendiri sebagai ingsun. Meskipun ingsun juga berarti saya, akan tetapi cara membahasakan diri seperti itu hanya biasa dipergunakan oleh Raja. Kurang pas jika Putra Mahkota menggunakan istilah itu. Pengalaman hidup di Keraton Singasari mengajarkan hal ini. Ditambah sebagai Ksatria Pingitan, Upasara memang mau tak mau mempelajari segala adat-istiadat yang berlaku dalam Keraton. Bahwa akan lebih baik lagi kalau mau sedikit merendah. Bukan sebaliknya seperti yang digunakan oleh Putra Mahkota! Sebab kedua adalah mengetahui cara berpikirnya. Bahwa karena tidak mau menunggu lama, akan lebih mudah kalau dirinya pindah. Tak menjadi halangan benar. Karena apa yang diinginkan bakal terlaksana. Ditilik dari usianya, Putra Mahkota sekarang ini masih sekitar dua belas tahun. Namun keinginannya tidak kalah dengan mereka yang telah lama memegang kuasa. Upasara menghela napas. Barangkali juga bukan kesalahan Putra Mahkota sepenuhnya. Sejak lahir Baginda telah mengangkat sebagai pewaris takhta. Dengan demikian segala perlakuan, sejak masih bayi sudah menjadi sangat istimewa. Hal ini secara tidak langsung sudah tertanam dalam diri para pengasuh dan pengikutnya. Kalau ia bertindak seperti sekarang ini, bisa jadi biasanya sudah seperti itu. Upasara menunduk. Ia sadar bahwa pikirannya lah yang terlalu lancang. Biar bagaimanapun, dirinya tak bisa dibandingkan dengan Putra Mahkota! Dalam segala hal berbeda, bukan hanya dalam hal daya asmara, seperti ketika ia mengharapkan Gayatri! Ah, putri Keraton Singasari! Andai dirinya seorang yang dilahirkan secara resmi oleh raja, akan lain ceritanya. Akan bisa memahami Putra Mahkota. Tetapi tidak juga. Para pangeran dalam Keraton Singasari terdidik dalam suasana yang berbeda. Sejak kecil justru lebih dulu diajari untuk tidak berlaku semena-mena, untuk menahan diri bila menginginkan sesuatu. “Kalau begitu, sampaikan kepada Mahapatih Nambi dan Halayudha bahwa mulai malam nanti ingsun akan bermalam di sini.” Para pengikutnya serentak menyembah. “Tempat ini jauh lebih asri daripada di Dahanapura.” Tentu saja lebih asri, pikir Upasara. Dahanapura, walau pernah menjadi pusat pemerintahan, tak bisa dibandingkan dengan Keraton yang baru dibangun. Dahanapura tak lebih dari kadipaten, dibandingkan dengan Keraton pusat. Meskipun Putra Mahkota mendapat perlakuan yang teramat istimewa, akan tetapi tetap saja merasa kalah dengan apa yang dialami sekarang ini. Upasara ingin segera meninggalkan tempat persembunyiannya. Karena merasa kurang senang mendengarkan. Karena pikirannya seperti membenarkan dugaannya bahwa perlakuan kepada Putra Mahkota membuatnya seakan bisa berbuat apa saja. Kalau dugaan ini benar, kesimpulannya yang pertama yang benar. Bahwa Tunggadewi dan Rajadewi sepenuh-penuhnya berada dalam pengawasan Putra Mahkota. Ibarat kata, tak akan seekor nyamuk bisa menggigit Tunggadewi atau Rajadewi tanpa diketahui oleh Putra Mahkota, atau tanpa izinnya. Upasara jadi bertanya-tanya sendiri. Kenapa ia begitu memikirkan Tunggadewi dan Rajadewi? Mereka berdua bukan apa-apanya. Mereka adalah saudara Putra Mahkota! Satu-satunya hubungan yang ada ialah bahwa Upasara pernah terkena daya asmara Gayatri. Dan sekarang Gayatri yang telah berubah menjadi Permaisuri Rajapatni itu mempunyai dua putri. Lalu kenapa ia begitu menguatirkan? Lalu kenapa ia mulai memperhitungkan bahwa sebagai lelaki, Putra Mahkota tak diperkenankan masuk ke dalam kaputren. Suatu pantangan besar. Walau hanya menemui saudaranya. Untuk hal semacam ini ada tempat pertemuan tersendiri. Tak perlu datang ke kaputren. Begitu pula sebaliknya. Para putri tak diizinkan masuk ke gerbang ksatrian! Nyatanya Putra Mahkota masuk dengan leluasa, bersama para pengawalnya yang setia. Untuk apa sesungguhnya ia memikirkan ini semua? Meskipun Upasara Wulung dikenal di seluruh jagat sebagai ksatria yang sakti, yang menguasai ilmu Bantala Parwa, akan tetapi dalam hal usia dan pengalaman hidup masih sederhana. Apalagi yang menyangkut daya asmara. Boleh dikatakan hanya tahu satu hal. Bahwa sepanjang hidupnya, ia pernah hampir tertarik kepada Nyai Demang. Dan kemudian benar-benar tertarik dan berangan-angan hidup bersama Gayatri. Bagi Upasara, Gayatri adalah satu-satunya wanita yang pernah menghiasi mimpinya, serta disebut namanya dalam doa dan semadinya. Sewaktu kemungkinan untuk mendapatkan musnah, Upasara tak tahu lagi harus berbuat apa. Seperti sekarang ini. Perhatian kepada nasib Tunggadewi dan Rajadewi adalah perpindahan dari perhatiannya terhadap ibunya. Itu yang menyebabkan Upasara tidak segera meninggalkan persembunyiannya. Sampai Putra Mahkota dan rombongannya meninggalkan taman. Sampai burung-burung tak lagi berkicau. Sampai purnama memancarkan sinarnya. Upasara tak beranjak dari tempatnya. Menunggu kalau-kalau bayangan Tunggadewi dan Rajadewi muncul kembali. Betapa menyenangkan kalau ia bisa menghibur. Mencarikan kupu-kupu atau menangkapkan burung. Tetapi tak ada bayangan yang ditunggu. Tak ada suara kaki anak-anak yang lembut beringsut. Yang terdengar adalah langkah lembut bergeser, seakan ada kain yang disapukan ke lantai kaputren. Tiga langkah yang berbeda. Satu langkah sangat ringan, sedangkan dua langkah yang lain kelihatan berat, ragu, dan berada di belakang. Mulut Upasara terkunci, manakala mengetahui suara langkah kaki itu mendekat ke arahnya. Dan dari ujung muncul bayangan, hampir seluruhnya gelap oleh cahaya bulan yang membelakangi ketiganya. Kalau dua bayangan itu dayang-dayang Keraton, berarti yang satunya adalah tuan putri. Darah Upasara makin cepat berdesir. Pandangannya menyipit. Apakah yang muncul itu Gayatri? Permaisuri Rajapatni yang menyempatkan diri datang? Karena mendengar cerita kedua putrinya yang memperlihatkan cundhuk padanya? Nyatanya begitu. Bayangan yang di depan terus mendekat ke arah Upasara. Sementara kedua tangannya mengibas pelan, dan dua dayang yang seakan menjadi bayangannya berhenti, dan duduk bersila. Bayangan yang mirip Gayatri itu mendekat. Lembut langkahnya. Seirama dengan sinar bulan, dengan alam kaputren. Lalu berhenti beberapa saat. “Kakang, kamukah yang menjadi demit itu? “Benarkah kamu Kakang Upasara, kakangku?” Inilah Kakangmu, Yayi… SUKMA Upasara melayang sempurna. Seakan moksa, lenyap bersama raganya. Tubuhnya tetap berada di tempatnya, akan tetapi serasa tak ada. Suara itu adalah suara lembut yang pernah mengusik telinganya, menerobos jantungnya, dan mengalir dalam darahnya. Suara Gayatri, wanita pertama yang mengguncangkan kesadaran Upasara akan sesuatu yang lain. Setelah mengenal Gayatri, Upasara menemukan makna-makna yang lain, yang berbeda dari yang selama ini dialami. Dinding gerbang Keraton Majapahit mengingatkan dinding gerbang Keraton Singasari, di mana ia pernah memahatkan kidung kerinduan. Menaiki seekor kuda, Upasara terbetot kembali sukmanya. Hanya karena ia pernah berkuda bersama. Betapa tiba-tiba alam sekitar dan suasana memperlihatkan warna yang tak dikenali sebelumnya. Adalah aneh bahwa pohon yang sama dengan buah yang sama, seakan bisa bercerita panjang tanpa awal tanpa akhir, tanpa pembuka tanpa penutup. Upasara tak pernah mengalami sebelumnya. Sepanjang hidupnya, ia bisa memusatkan pikiran dengan penguasaan yang selalu dipuji gurunya yang pelit memberikan rasa kagum. Akan tetapi sekali ini, justru ketika ia mengalihkan ke arah lain, bayangan Gayatri makin jelas. Dan sekarang, yang begitu dirindukan itu berdiri di depannya, menengadahkan wajah ke arahnya. Dengan suara alam yang dulu, dengan perasaan yang menyambar-nyambar jantungnya. Suara yang secara tak sengaja menyelinap dalam mimpi dan lamunan. Suara menggeletar seakan berbisik di daun telinganya seperti dulu juga. “Kakang, aku datang untuk menemui Kakang. “Sewaktu putriku datang dan bercerita tentang demit pembawa cundhuk yang pernah kutitipkan Paman Sora, aku yakin Kakang yang datang. “Kakang, aku tak tahu apakah Kakang telah menjadi demit atau roh yang gentayangan karena penasaran. “Aku berdoa kepada Dewa yang Maha agung, agar Kakang mendapat tempat yang sempurna-bahagia-selamanya.” Tidak, Yayi, tidak. Akulah Upasara Wulung, bersembunyi di sini, masih hidup. Aku belum menjadi demit. Aku masih di jagat dan lebih bahagia di sampingmu, Yayi. Memandangmu. “Kakang, kudengar berita Kakang muncul di alun-alun. Rasanya aku tak percaya Kakang mau datang ke Keraton. Rasanya tak mungkin Kakang mau menemui bayanganku lagi. “Aku tak cukup berharga untuk ditemui. “Tetapi aku tak bisa menutupi keinginan dalam doa-doaku, bahwa sebelum aku menuju alam nirwana, aku bisa melihat Kakang.” Upasara menutup matanya. Bibirnya gemetar, menahan getaran dadanya yang bergelombang. Itulah Gayatri! Tetap Gayatri yang dikenalnya dulu. Yang lembut tetapi menyimpan kekerasan. Pelan bicaranya, akan tetapi menggantungkan kepastian yang begitu mendalam. Gayatri-lah yang berani memulai membicarakan hubungan mereka berdua. Gayatri yang putri Baginda Raja Singasari yang mulai membuka persoalan dan mengakui bahwa ia akan menerima Upasara andai Upasara datang memintanya! Sesuatu yang tak pernah mampir dalam benak Upasara. Seorang gadis, apalagi bunga segala bunga Keraton, lebih dulu membuka pembicaraan ke arah itu. Dengan mata bening menatap ke arah Upasara. Sambil mengatakan bahwa bibirnya terpaksa memulai bicara karena yakin Upasara tak pernah berani memulai. Nyatanya begitu. Upasara tak tahu harus berkata bagaimana saat itu. Hatinya dipenuhi dengan bunga-bunga harapan, bunga-bunga impian. Sedemikian penuhnya sehingga hanya bisa menunduk bisu. Sesungguhnya Upasara tak tahu harus bagaimana. Daya asmara telah menutup semua kemampuannya. Selama hidupnya Upasara hanya mengenal dua wanita yang pernah membuatnya tertarik. Diakui bahwa yang pertama adalah Nyai Demang. Wanita gemuk dengan pantat besar itu sangat menggoda berahinya yang sedang tumbuh. Namun kemudian Upasara menyadari bahwa hal itu akan dialami semua lelaki yang berhubungan dengan Nyai Demang. Dengan cepat Upasara bisa melupakan tanpa beban. Sungguh berbeda perkenalannya dengan Gayatri. Di mata Upasara, Gayatri wanita yang sangat sempurna. Bukan hanya karena putri Baginda Raja, bukan karena cantik jelita, melainkan juga karena seolah Gayatri menjawab semua kerinduannya akan wanita. Kerinduan akan wanita yang berkulit halus, yang lembut gayanya akan tetapi mampu berterus terang. Kerinduan akan wanita yang sebenarnya. Gayatri menjawab segalanya! Sejak pertemuan dan perjalanan bersama dari desa Tarik menuju Singasari, sejak itu pula bersemi semua akar asmara. Daya asmara yang lekat tumbuh di semua bagian tubuh Upasara. Dalam pertempuran antara mati-hidup melawan Naga-Naga dari Tartar, Upasara nekat menyabung nyawa. Demi Gayatri. Justru ketika Sanggrama Wijaya merasa tak memperhitungkan lagi. Betapa luas dan dalam pengaruh daya asmara. Pertarungan yang bukan hanya mempertaruhkan nyawa, akan tetapi seperti anai-anai menyerbu ke api. Para senopati pilihan tak bisa menang dalam pertempuran utama. Tetapi Upasara nekat maju menggempur. Betapa bahagianya Upasara ketika usahanya berhasil. Membebaskan Gayatri. Betapa sakitnya ketika Sanggrama Wijaya mengatakan bahwa Gayatri akan dipermaisuri olehnya karena suratan para Dewa yang didengar para pendeta adalah Gayatri tak akan terpisahkan dari Sanggrama Wijaya. Upasara memilih mundur. Menyembunyikan diri di Perguruan Awan. Menolak segala anugerah, termasuk menjadi mahapatih. Menolak menemui Gayatri yang sudah bergelar Permaisuri Rajapatni ketika diculik Klikamuka yang ternyata adalah Halayudha. Upasara menghindar karena tak ingin melukai perasaan Gayatri. Baginya, penderitaannya tak menjadi suatu apa, asal Gayatri bahagia sebagai permaisuri. Adalah di luar jangkauan pikirannya, bahwa justru Gayatri yang merasa berdosa. Gayatri-lah yang merasa bersalah karena meninggalkan Upasara. Sehingga merasa pantas jika Upasara tak sudi menemuinya. “Kakang, katakan apa keinginan Kakang. “Aku akan melakukan sebisaku, agar Kakang tenteram dan bahagia. Katakan, kakangku.” Sukma dan raga Upasara hanyut. Terserap kekuatan yang tak mampu dikuasainya. Walaupun dirinya disegani semua lawan dan kawan karena ilmunya yang tinggi, tetap saja ia seorang yang tak mampu menguasai terkaman daya asmara. Dalam Kitab Bumi yang dikuasai, tak pernah disebut-sebut mengenai daya asmara. Tidak juga jurus-jurus yang dikenal sebagai Jalan Budha ataupun Tepukan Satu Tangan. Daya asmara yang dijabarkan adalah daya asmara untuk menyatukan dengan Dewa Segala Dewa, untuk berbakti kepada tanah air kelahiran, untuk menjunjung tinggi Keraton. Bukan daya asmara antara lelaki dan wanita. Sekian tahun Upasara menyembunyikan perasaannya. Bahkan kilasan lamunan pun ditolak. Akan tetapi ia tak bisa mendustai sudut hatinya yang suci. Bahwa Gayatri tetap mampu menggeletarkan hatinya. Tetap dirindukan, di atas segalanya. Dan ternyata Gayatri pun merasakan hal yang sama. Tetap menyempatkan diri untuk menitipkan cundhuk. Tetap datang ke taman begitu merasa bahwa Upasara muncul. Bagi permaisuri, apa yang dilakukan Gayatri adalah pertarungan nasib yang luar biasa. Betapa aibnya jika diketahui bahwa Permaisuri Rajapatni yang jelita itu keluar dari kamarnya, untuk menemui lelaki! Aib dan hina. Nista yang akan disandang semua anak-cucunya. Tak bisa disucikan dengan menyiramkan seluruh air Kali Brantas sekalipun. Kalau bukan karena daya asmara yang sama, tak mungkin Gayatri mencarinya. “Kakang…” Yayi… “Kakang…” “Yayiku…” Upasara tersentak. Tersadar bahwa ada suara lain yang mengutarakan isi hatinya. Betapa kaget Upasara melihat bayangan mendekati Permaisuri Rajapatni dan sekaligus memanggil “yayiku”. Raja Kertarajasa Jayawardhana! Suaminya, rajanya, pemiliknya! “Yayi Ratu… sudahlah… Jangan membiarkan tubuhmu disinari bulan tengah malam. Kurang baik. Temani aku di dalam. Yang lalu biarlah berlalu. “Rembulan dan matahari mempunyai tatanan sendiri. “Kenapa berharap rembulan kalau ada matahari bersinar terang?” Baginda menggerakkan tangannya lembut dan berlalu. Gayatri menyembah, mengikuti dengan menunduk. Tak sedikit pun menengok ke arah Upasara. Semuanya berlalu, begitu cepat dan sempurna. Jalan Keutamaan di Trowulan UPASARA masih terkesima. Pandangan kosong tak bertenaga. Kosong yang berbeda dari beberapa kejap sebelumnya. Kosong yang sekarang ini adalah kosong nelangsa, kosong yang hampa. Belum satu tarikan napas, sukmanya seperti dilambungkan ke langit tingkat tujuh. Segala impiannya berubah menjadi kenyataan. Bahkan lebih dari yang diharapkan. Gayatri datang menemuinya. Hanya sekejap. Berubah menjadi kenyataan lain. Gayatri adalah Permaisuri Rajapatni, yang kemudian mengikuti langkah kaki Baginda. Tak bisa lain. Selesai. Kembali seperti semula. Kenyataan yang ada, bahwa kerinduannya adalah siksaan yang sia-sia. Bahkan wanita yang dipujanya adalah permaisuri seorang raja yang berkuasa. Sejak semula Upasara menyadari hal ini. Sejak melepaskan niatnya untuk mendampingi Gayatri. Sejak mendengar Gayatri mempunyai putri. Akan tetapi dalam kenangan Upasara, Gayatri masih Gayatri yang dulu menyertai. Putri-putrinya adalah putri yang manis pemberian Dewa. Sekarang, matanya melihat sendiri. Gayatri-nya adalah Rajapatni yang menyertai suaminya, rajanya, pemiliknya yang sah. Berjalan bersama, menuju tempat yang tak diganggu sinar bulan berhawa dingin. Beberapa kejap Upasara masih bengong. Sebelum akhirnya memutuskan untuk segera meninggalkan tamansari. Bayangan ingin menemui Tunggadewi dan Rajadewi mendadak sirna. Yang ingin dilakukan seketika adalah meninggalkan kaputren. Dan itu yang segera dilakukan. Dengan sekali menjejak tanah, tubuh Upasara melayang melewati dinding kaputren. Tanpa menimbulkan kecurigaan penjaga, Upasara meloncat ke arah bangunan Keraton. Pandangannya sempat melirik ke bawah. Di salah satu bangunan itu, Gayatri bersama Sanggrama Wijaya. Ah, bagaimana nasibnya? Bukankah Baginda mengetahui apa yang dikatakan Permaisuri Gayatri? Mendengar jelas apa yang diucapkan dengan suara lembut? Yang berarti mengetahui kenangan Gayatri akan Upasara? Kemurkaan macam apa yang akan ditumpahkan? Dosa dan hukuman apa yang akan ditanggung? Upasara merasa bingung. Semalaman penuh ia berlarian kian-kemari di atas bangunan Keraton. Upasara berharap mendengar tangis Gayatri atau penyiksaan. Itu satu-satunya alasan untuk mendobrak, dan dengan Kangkam Galih di tangan kirinya, ia akan melabrak masuk. Menyapu bersih yang menghalangi. Tapi tak ada isak tangis. Di kamar peraduan, Permaisuri Rajapatni tak meneteskan air mata. Hanya bisa menunduk, tepekur, ketika Baginda menghela napas. “Yayi Ratu, aku tak percaya ketika para emban melaporkan bahwa Yayi Ratu menuju tamansari di tengah malam. Hanya untuk bercakap dengan sukma Upasara. “Yayi. Aku merasa bersalah karena tak memberitahumu. Bahwa Upasara Wulung memang telah terkubur hidup-hidup di dalam gua bawah Keraton. “Kalau aku tahu, aku akan mencegah Halayudha melakukan hal itu. “Tetapi semuanya telah terlambat. “Apakah kamu menginginkan aku menghukum Halayudha?” Permaisuri Rajapatni tetap menunduk. Tak bergeser seujung rambut caranya duduk. “Kamu ini aneh, Yayi Ratu. “Dengan arwah bisa bicara panjang-lebar, akan tetapi dengan raja yang masih berkuasa, kamu membisu. “Apa sebenarnya kekuranganku? “Apakah ada lelaki di jagat ini yang bisa menyamaiku? Apalagi melebihiku? Katakan, aku bisa melihat siapa lelaki ajaib itu. “Tak ada, Yayi. “Tak ada. “Dari ujung kaki langit hingga ujung kaki langit yang lainnya, tak akan ada yang menyamaiku. “Katakanlah. Atau dengan mengangguk saja, aku bisa memperlihatkan kepala Halayudha di depanmu.” Permaisuri Rajapatni bergeming. Suasana sangat hening. Kecuali suara Baginda yang melengking. “Yayi Ratu Rajapatni. “Kamulah satu-satunya sumber kekuatanku. Kalau kamu tersenyum sedikit saja sejak semula, aku tak akan menunjuk Bagus Kala Gemet menjadi putra mahkota. “Tetapi kamu selalu membisu. “Tertipu oleh bayanganmu. “Sesungguhnya, Yayi Ratu, kamulah wanita yang paling bahagia, tetapi sekaligus juga paling sengsara. Aku mendapatkan tubuhmu, tetapi bukan sukmamu. “Tetapi kamu tak mendapatkan apa-apa. “Upasara tak mendapatkan apa-apa. “Tidak sukma, tidak juga raga. “Bukankah aku tetap tak bisa dikalahkannya?” Tak ada isak tangis. Tak ada air mata. Tetapi lolongan serigala yang kesakitan, ringkik orang hutan yang kesakitan, kalah menyayat dengan apa yang dirasakan oleh Gayatri. Juga oleh Baginda. Dan oleh Upasara. Yang masih terus mengelilingi Keraton hingga fajar dini hari. Baru ketika embun pagi terasakan, Upasara melompat keluar dari benteng sebelah luar. Berjalan tanpa tujuan. Mengitari dinding alun-alun. Pandangannya tertegun melihat satu rangkaian tulisan yang dipahatkan di dinding: satu-satunya jalan keutamaan hanya di Trowulan satu-satunya lelaki sejati bisa melewati menjadi lelananging jagat Yang membuat Upasara bertanya-tanya ialah bahwa tulisan itu dibuat dalam beberapa bahasa dengan beberapa huruf. Seakan ditujukan untuk mereka yang tak mengerti bahasa setempat. Upasara jadi teringat bahwa akan ada pertemuan para ksatria seluruh jagat. Di antaranya, Paman Sepuh Dodot Bintulu, yang keluar dari sarangnya. Jika benar begitu, tulisan di dinding itu juga ditujukan kepadanya. Meski tanpa itu pun, barangkali Upasara akan berangkat ke sana. Bukan karena ingin berebut gelar sebagai lelananging jagat atau ksatria nomor satu di seluruh jagat, akan tetapi karena masih ada yang perlu dibuat perhitungan dengan Paman Sepuh. Yaitu soal balas dendam kematian Pak Toikromo dan Galih Kaliki! | |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 2:49 pm | |
| Episode 9
Hanya ini yang tersisa dalam diri Upasara sebagai sesuatu yang harus dilakukan sebelum akhirnya tak peduli dengan sisa hidupnya. Tanpa membuang waktu, Upasara segera berangkat menuju desa Trowulan. Untuk mencari tahu siapa-siapa yang datang yang berebut gelar, dan mencari Paman Sepuh. Upasara makin yakin karena di berbagai tempat juga ada tulisan terpahat dengan bunyi yang sama yang disalin dalam beberapa huruf dan bahasa. Di antaranya adalah bahasa dan huruf yang dulu digunakan oleh pasukan Tartar. Serta huruf-huruf dari tlatah Hindia. Walau keinginannya menggebu, Upasara tak mau bertindak sembrono. Karena mengetahui bahwa yang akan datang ke Trowulan adalah jago dari segala jago, ksatria dari segala ksatria. Yang kalau dilihat sekelebatan mungkin tak ada bedanya dengan penduduk biasa. Akan tetapi pasti, beberapa ksatria dari penjuru yang lain berdatangan. Undangan terbuka di dinding pasti terbaca dan terpahami oleh yang lain. Upasara merasa yakin, ketika dalam perjalanan melihat bayangan tubuh Jaghana dan Wilanda di tepi Kali Brantas. Paman Jaghana dan Paman Wilanda. Dua tokoh utama yang sejak awal tak pernah meninggalkan Perguruan Awan. Yang tak terpengaruh oleh angin dan badai yang betapapun hebatnya terjadi dalam dunia persilatan. Apalagi untuk waktu sekarang ini. Sewaktu memperhatikan lebih teliti, Upasara makin yakin bahwa wajah-wajah yang ditemui seperti berasal dari wilayah yang lain. Cara mereka berdiam, tanpa banyak kata, juga seakan menyembunyikan asal-usul kedatangan mereka. Upasara makin berhati-hati. Dulu semua ksatria juga datang ke Perguruan Awan karena perangkap yang dipasang Ugrawe. Bukan tidak mungkin hal yang sama bisa terjadi. “Walau Ugrawe telah tiada. Upasara tak menduga bahwa Halayudha yang memasang jerat!
Membasmi Hingga Cindil Abang Halayudha sudah menyiapkan semuanya. Begitu lolos dari kurungan bawah Keraton, Halayudha langsung menghadap Baginda. Serta-merta menyerahkan diri, minta hukuman mati. “Menjatuhkan hukuman mati bagimu, tak perlu mencuci tangan lebih dulu. Tetapi katakan, apa kesalahanmu.” Dengan segala kecerdikannya, Halayudha menyusun laporan bahwa sebenarnya ia sangat berdosa, karena bersedia dititipi cundhuk kenangan dari Permaisuri Rajapatni buat Upasara. Selama ini ia tak berani melapor ke Baginda. Namun ia mengambil prakarsa sendiri untuk mengurung Upasara secara hidup-hidup. Itulah yang diakui sebagai dosa. Hal yang kedua yang disampaikan ialah bahwa para jago silat akan berebut kesaktian. Maka Halayudha ingin mengalihkan medan pertempuran ke Trowulan. Agar pihak Keraton tidak terseret, sebaiknya Halayudha secara pribadi yang menangani. Mohon petunjuk Baginda. Dalam situasi seperti itu, Baginda lebih terpukul oleh berita bahwa permaisurinya ternyata masih menyimpan kenangan terhadap Upasara. Maka keinginan Halayudha diluluskan, sementara Baginda ingin menyelidiki Permaisuri. Kepada Mahapatih Nambi, Halayudha menjelaskan bahwa sebenarnya ia hanya menjalankan tugas menangkap Upasara-hidup atau mati. Karena Upasara sangat kurang ajar berani berhubungan dengan Permaisuri. Karena Upasara mempunyai pengikut yang banyak, atas nama Baginda Halayudha akan membawa senopati pilihan menuju Trowulan. Padahal ia sendiri yang menyebarkan undangan bahwa tempat pertemuan di Trowulan. Dengan membawa senopati pilihan, Halayudha siap melaksanakan semua impiannya. Menyapu bersih lawan-lawannya. Bagi Halayudha tumpes tekan cindil abang, atau menumpas hingga anak tikus yang masih merah, adalah siasat habis-habisan. Artinya akan menumpas lawan hingga habis. Cindil adalah anak tikus, abang, berarti merah. Jadi bahkan bayi tikus yang masih merah pun harus dibasmi, kalau ingin memusnahkan lawan hingga ke akar-akarnya. Halayudha tak mempunyai pilihan lain, karena sekarang ini yang bermunculan adalah tokoh-tokoh sakti mandraguna, dalam tingkat yang sulit ditandingi. Paman Sepuh Dodot Bintulu, yang adalah gurunya sendiri, tak mungkin bisa dihadapi. Untuk itu satu-satunya cara menghadapi adalah mengadu dengan Kiai Sambartaka-yang pernah disebut-sebut Naga Nareswara. Atau juga dengan ketiga Kangkam yang rasanya setanding dengan mereka. Dengan perhitungan masih mungkin muncul empu-empu yang kampiun, Halayudha menyiapkan satu medan. Saat itu ia justru akan melibatkan para senopati Keraton, termasuk Mahapatih Nambi. Sebab ganjalan utamanya tinggal Mahapatih Nambi. Kalau Mahapatih bisa ditarik ke medan pertempuran, berarti pulang hanya tinggal nama. Ia bisa merebut posisi. Ia bisa mengganti. Apa susahnya melaporkan kepada Baginda, bahwa Mahapatih Nambi sudah diberitahu untuk tidak terlibat, akan tetapi ingin memperlihatkan kekuatannya. Halayudha sedikit kecewa, karena sebenarnya ingin mengajukan satu nama agar sepadan. Yaitu Raja Segala Naga atau Naga Nareswara. Hanya saja ia telah telanjur menguburnya hidup-hidup dengan Gendhuk Tri. Kalau tidak, ini benar-benar menjadi pertarungan puncak di atas puncak. Para pendekar utama dari Tartar, Hindia, Jawa, Jepun, bertarung menjadi satu. Dari sekian banyak nama, Halayudha hanya takut pada satu nama, yaitu gurunya sendiri. Rasa bersalah tidak terlalu menghantuinya, akan tetapi kalau mengingat pembalasan yang akan diterimanya, membuat tetap gelisah. Banyak tipu muslihat bisa dilakukan dengan sempurna tanpa berkedip. Namun sekali ini Halayudha bergidik. Karena tahu persis apa tindakan yang akan diambil gurunya yang sakti. Halayudha terpaksa memutar otak untuk tidak sampai bertemu dengan bayangan gurunya! Satu-satunya jalan ialah mengundang para ksatria. Semakin banyak ksatria bermunculan, dirinya akan semakin tersembunyi. Maka yang dikerahkan ikut muncul secara diam-diam adalah para senopati pilihan. Halayudha melihat bahwa undangan yang digoreskan di dinding banyak menarik perhatian para ksatria. Dalam perjalanannya, ia segera mengenali bahwa kedua belas murid Kiai Sumelang Gandring ikut datang. Lengkap seluruhnya. Demikian juga Jaghana dan Wilanda yang datang tanpa penyamaran. Satu langkah telah berhasil. Menggerakkan semua ksatria ke suatu tempat. Yang segera bisa dikenali ialah hadirnya Kama Kalacakra dan Kama Kalandara. Karena ikatan kucir di rambutnya maupun kepalanya yang separuh botak. Hanya saja Halayudha masih was-was karena guru mereka berdua-tokoh utamanya, Kama Kangkam-belum kelihatan. Dukuh Trowulan mendadak berubah dengan datangnya tokoh-tokoh yang kelihatan saling berdiam diri. Upasara yang sepenuhnya menyembunyikan diri merasa bahwa udara di dukuh itu makin panas dan berbau kematian. Kekuatiran terbukti ketika keesokan harinya sebagian atau seluruh penduduk Trowulan terbunuh. Tubuhnya terbelah dengan sabetan miring! Ini berarti Paman Sepuh Dodot Bintulu sudah bereaksi untuk memperlihatkan diri. Tokoh sakti yang sejajar dengan Eyang Sepuh dan Mpu Raganata ini ternyata begitu ringan tangan untuk menyapu bersih semua penduduk setempat. Menyaksikan begitu banyak mayat bergeletakan, Upasara tak bisa menahan dirinya lagi. Dengan gagah perkasa ia menuju ke suatu tanah terbuka. Satu tangan memegang Kangkam Galih, Upasara berteriak mengguntur, “Kesaktian dan bukan kesaktian tidak dibuktikan dengan membunuh penduduk tanpa dosa. “Kalau memperebutkan Jalan Budha, kenapa harus melewati jalan yang sesat. “Hari ini aku, Upasara Wulung, menunggu di sini. Aku datang untuk menerima undangan, dan siap dengan segala apa yang terjadi. Bukan seperti penduduk setempat yang tidak tahu segala apa. “Hari ini, aku menunggu di tempat ini.” Serentak dengan itu semua pandangan tertuju kepada Upasara. Wilanda dan Jaghana segera meloncat mendekat dan saling melemparkan senyum hormat. Kelihatan jelas dari pandangan mereka berdua banyak yang ingin dibicarakan, akan tetapi bisa dipendam. “Aku, Upasara Wulung, dari Nirada Manggala, menunggu di sini.” Belum habis ucapan Upasara Wulung, kedua belas murid Kiai Sumelang Gandring sudah membentuk barisan yang mengepung. Bagian awal serangan Jiwandana Jiwana. “Kami murid Kiai Sumelang Gandring mohon dengan sangat diikutkan dalam memilih jalan utama ini.” Kama Kalacakra dan Kama Kalandara juga maju sambil membungkukkan badan. “Kami berdua mewakili guru kami untuk menanyakan mengapa bukan Eyang Sepuh sendiri yang datang menyambut, mengingat kami datang dari jauh.” Upasara balas menghormat. “Maaf, Kisanak dari Jepun. Saya tak bisa mengatakan apa dan bagaimana mengenai Eyang Sepuh pepunden, yang kami muliakan. Beliau telah menyerahkan segala tanggung jawab Perguruan Awan kepada kami.” Jaghana dan Wilanda ikut mengangguk hormat. “Kalau begitu caranya, rasanya tak perlu guru kami datang sendiri. Cukup diwakili kami berdua.” “Kalau itu yang dikehendaki, silakan.” Mendadak terdengar sindiran halus tapi menyayat. “Segala tikus celurut Jawa ini hanya pintar memutar lidah. Mana mungkin kalian tetap menghormati Eyang Sepuh yang bahkan muncul pun tak berani? “Bagaimana kalian bisa mengatakan menciptakan ilmu Tepukan Satu Tangan kalau tak berani mempertanggungjawabkan? Cabut kembali ucapan pemilik Kitab Bumi.” Ternyata Naga Nareswara yang mengucapkan itu. Ia tetap duduk bersila, hanya saja tubuhnya terangkat setengah tombak dari tanah. Yang membuat Upasara merasa heran ialah ternyata di sebelah pendeta Tartar ini ada Gendhuk Tri! “Kalian semua salah tampa. Akulah penulis Bantala Parwa dan bukan si bejujag yang mengaku mendirikan Perguruan Awan. “Kepadakulah kalian meminta pertanggungjawaban. “Namaku tak ada, tapi mereka menyebutku Dodot Bintulu!” Dengan wajah tetap tertutupi caping besar, Paman Sepuh Dodot Bintulu duduk di atas tongkat bambu yang kurus. Walau tubuhnya bergoyang-goyang seakan mau jatuh, akan tetapi ternyata kelihatan enak. “Kalau semua sudah datang, alangkah baiknya kita mulai pertemuan ini. “Sebelumnya aku minta maaf, kalau di antara yang datang masih suka makan nasi, harap menyingkir.” Terdengar suara sangat berat sekali nadanya. Membuat sesak! Pertarungan Penghabisan di Trowulan UDARA seperti terimpit. Seperti menyempit di tenggorokan. Betul-betul pameran tenaga dalam yang sangat sempurna. Untuk sementara Upasara tak bisa menentukan siapa yang berbicara. Baru kemudian menyadari bahwa arah suara dari sebelah kanannya, dari seorang lelaki yang tinggi, dengan tangan terlipat di dada. Tanpa menggerakkan bibir. Yang lebih membuat Upasara bertanya-tanya ialah bahwa Nyai Demang ada si samping tokoh sangat jangkung itu. “Selamat datang, Kiai Sambartaka, aku sudah menunggu lama.” “Aha, kamu tak pernah mau kalah. Aku membawa wanita, kamu juga membawa. Untuk sementara, kita berdua belum ada yang kalah. Untuk sementara ini saja.” Upasara memang tak begitu mengenal nama Kiai Sambartaka. Akan tetapi melihat bahwa hanya dengan suara perut-tanpa menggerakkan bibir-bisa menguasai seluruh udara di tanah terbuka, ini sungguh luar biasa. Kesempurnaan penguasaan tenaga dalam yang Upasara pun merasa tak mampu melakukan. Bahwa yang mengenali dan mengenalkan adalah Naga Nareswara, agaknya antara dua tokoh sakti itu sudah ada hubungan sebelum ini. “Sahabat-sahabat lama, aku senang dengan pertemuan ini. “Tak percuma Dodot Bintulu datang kemari. “Mari kita mulai saja, daripada yang Naga juga menjadi tikus celurut karena banyak bicara.” Tanpa terasa Upasara memegang erat Kangkam Galih. Jaghana dan Wilanda mengumpulkan tenaga di dada. Siapa pun yang berada dalam keadaan seperti sekarang ini, rasanya tak bisa menyembunyikan ketegangan yang ada. Perkecualian utama barangkali hanya pada Kiai Sambartaka, Naga Nareswara, maupun Paman Sepuh. “Mana bisa main gempur seperti semut?” Mendadak Nyai Demang berteriak nyaring. “Kalau kita semua menginginkan disebut sebagai pewaris tunggal sari ajaran yang kita agungkan, kita bisa bertarung satu lawan satu.” “Tak perlu, tak perlu. “Wanita selalu merepotkan. Biar saja kita bertempur terus. Siapa yang berdiri terakhir, itu yang berhak mengaku paling murni ilmunya.” Paman Sepuh nampak bergoyang-goyang tubuhnya. “Paman Dodot Bintulu, kalau Paman tak mau diatur, silakan mulai saja.” “Memang! “Ayo, siapa yang akan mulai? “Naga tikus yang berani mengatakan aku mencuri ilmunya? Ayo maju saja. Akulah yang menciptakan Bantala Parwa. Kutulis sendiri, dengan tanganku yang ini.” “Baik, Kakek Guru, sekarang saatnya memperlihatkan ilmu yang sesungguhnya. Itu sudah jelas lawannya.” Suara Gendhuk Tri membuat Nyai Demang mengerutkan keningnya. Apakah tak salah dengar, sampai Gendhuk Tri memanggil Kakek Guru kepada Naga Nareswara? Kalau Nyai Demang merasa heran, Gendhuk Tri pun sebenarnya tak mengerti bagaimana Nyai Demang bisa mendampingi Kiai Sambartaka! Padahal kalau diterangkan dengan satu-dua kata, bisa saling mengerti. Pertemuan Gendhuk Tri dengan Naga Nareswara boleh dikatakan pertemuan tak sengaja. Setelah terjebak dan terkurung, Gendhuk Tri mulai menggali tanah. Terus-menerus tanpa peduli lelah dan istirahat. Naga Nareswara jadi tergerak hatinya. Dan melihat bahwa Gendhuk Tri tetap mempunyai semangat hidup yang luar biasa. Tak surut sedikit pun! Sesuatu yang tak diduga Naga Nareswara. Bahwa ada “tikus” yang melihat jauh ke depan. Usaha Gendhuk Tri memang melelahkan dan nyaris membuat putus asa. Hanya karena kebetulan pernah terkurung dalam gua saja, maka Gendhuk Tri mempunyai harapan. Pasti ada jalan keluarnya. Masalahnya hanyalah apakah ia mampu berpacu dengan maut yang datang atau tidak? Mengingat itu Gendhuk Tri jadi makin bersemangat. Itu pula yang menggerakkan Naga Nareswara ikut menggangsir tanah. Tentu saja lebih cepat. Beberapa hari tanpa makan tanpa minum, akhirnya tembus juga! Tepat di tempat Upasara dikurung. Dan dengan bantuan Dewa Maut akhirnya bisa lolos. Satu-satunya yang menyebabkan Gendhuk Tri hampir menangis ialah bahwa Dewa Maut yang begitu gembira berlonjakan melihatnya, tetap tak mau ikut keluar. Gendhuk Tri tak tahu apakah itu berarti Dewa Maut sudah tak tertolong lagi jiwanya atau malah sudah waras! Dalam hati, Gendhuk Tri sangat iba. Terasa betul betapa sangat dekat hubungan mereka selama ini, dan ia lebih banyak mengabaikan. Keharuan ini sedikit cair karena mendengar cerita bahwa belum cukup lama Upasara meninggalkan tempat itu. Maka ketika melihat undangan di dinding, Gendhuk Tri segera mengajak Naga Nareswara menuju Trowulan! Hanya Gendhuk Tri sangsi apakah Upasara sudah kembali seperti sediakala atau masih cacat. Kemungkinan kedua yang masuk akal baginya. Sehingga Gendhuk Tri seperti tak memedulikan Upasara, karena takut semua perhatian tertuju ke arah Upasara yang sudah dikondangkan sebagai pewaris Kitab Bumi! Hal yang sama, bukan sesuatu yang aneh, juga dirasakan oleh Nyai Demang. Kekuatiran akan keadaan Upasara-lah yang menyebabkan ia setengah menyembunyikan sikap akrabnya. Perjalanan hidup Nyai Demang bisa bersama Kiai Sambartaka, meskipun bisa disebut aneh, tidak terlalu mengherankan. Nyai Demang selalu berkelana, dan kemampuannya menguasai berbagai bahasa dengan mudah membuat Kiai Sambartaka erat dengannya. Nyai Demang bisa bercakap dengan Kiai Sambartaka dalam bahasa Kiai Sambartaka, sementara Kiai Sambartaka bisa lebih berlatih. Lebih dari semua itu, pandangan luas Nyai Demang akan berbagai ilmu membuat Kiai Sambartaka sangat terikat. Apalagi Nyai Demang memperlihatkan bahwa ia cukup mengenal beberapa jurus dari Tartar. Bahkan bisa menghafal cara berlatihnya. Benar-benar merasa mendapat sahabat yang diturunkan oleh Dewa di Langit! Nyai Demang mendengar penuturan bahwa selama ini memang ada persaingan antara Kiai Sambartaka terutama dengan Naga Nareswara. Maka kalau bisa lebih mengenal, Kiai Sambartaka mau memberikan apa saja! Kalau tadi Nyai Demang mengusulkan ada aturan pertarungan, semata-mata untuk melindungi Upasara. Kalau kemudian Gendhuk Tri membujuk Naga Nareswara menghadapi Paman Sepuh, juga untuk melindungi Upasara. Baru setelah kalimat itu diucapkan, baik Gendhuk Tri maupun Nyai Demang menjadi merah wajahnya! Gendhuk Tri, yang sudah bertambah umurnya beberapa tahun, merasa malu. Hanya Upasara yang sama sekali tidak merasa bahwa sesungguhnya ia begitu diperhatikan oleh Gendhuk Tri dan Nyai Demang. “Kama murid, kalian berdua menghadapi anak-anak kecil. Yang tua urusan saya.” Kama Kangkam maju ke gelanggang. Pedang panjang dan juga pedang pendeknya digenggam bersamaan di depan dada. “Saya Kama Kangkam, khusus datang dari Jepun untuk minta pelajaran. Apakah ajaran di tanah Jawa, di tanah Hindia, atau di negeri Cina yang lebih benar? “Biarlah anak-anak bermain sendiri, kita yang tua segera menyelesaikan perkara.” “Bagus,” kata Kiai Sambartaka. “Semua sudah lengkap. Saat ini kita tuntaskan semua, dan mulai sekarang tak perlu lagi adu mulut untuk perkara semacam ini.” Paman Sepuh meloncat turun dari tongkatnya. Naga Nareswara menurunkan kakinya. Kini berdiri gagah. Membentuk lingkaran bersama Kama Kangkam dan Kiai Sambartaka. “Tak begitu mudah menganggap kami kanak-kanak.” Mendadak dua belas murid Kiai Sumelang Gandring meloncat maju secara bersamaan. Nyai Demang menarik napas. Ia paling mengenal kehebatan barisan Jiwandana Jiwana atau Tembang Kehidupan. Apalagi kini dimainkan secara komplet. Dua belas orang. Sembilan orang saja sudah sangat merepotkan! Namun agaknya mereka salah perhitungan! Salah besar. Karena hanya dengan menggerakkan tongkat bambu tipis, anginnya sudah cukup untuk menjatuhkan salah satu dari dua belas murid Kiai Sumelang Gandring. Mati seketika dengan luka panjang miring dari samping. Yang di dekat Naga Nareswara remuk kepalanya terkena tongkat emas. Yang di dekat Kama Kangkam tertebas batang lehernya. Di dekat Kiai Sambartaka, jatuh muntah darah. Suara Tanpa Nada, Angin Tanpa Suara Bahwa yang berkumpul jago di atas jago, dewa dari semua tokoh persilatan, Nyai Demang maupun Gendhuk Tri atau bahkan Upasara Wulung sudah tahu. Sudah bisa memperkirakan keunggulan di atas keunggulan. Akan tetapi tetap tak terbayangkan bahwa ilmunya sudah sedemikian tinggi, sehingga dalam satu gebrakan sanggup menewaskan murid-murid pilihan Kiai Sumelang Gandring, yang justru masuk serempak dengan komplet. Hanya dalam satu gebrakan saja, sepertiga murid utama Kiai Sumelang Gandring mati terbunuh! Ini berarti kalau yang tersisa membuat gerakan menyerang yang sama, hasilnya juga sama. Diulangi lagi, berarti tamatlah riwayat anak turunan Kiai Sumelang Gandring, empu sakti yang mengembara ke tlatah kulonan, ke wilayah barat. Dan dugaan Nyai Demang tak meleset. Empat bersaudara terbunuh tanpa sempat mengetahui gerakan lawan, delapan yang tersisa justru menggempur maju. Dan kembali terlihat gerakan setengah terlihat setengah tidak. Empat korban jatuh kembali. Satu korban terbelah mencong dari bagian pundak menyamping. Satu lagi tertebas lehernya. Yang ketiga rontok isi kepalanya bagai bubur. Yang keempat, muntah darah hitam pun tak selesai. Gendhuk Tri mengeluarkan keringat dingin. Pemandangan kali ini sungguh luar biasa. Ia mengikuti banyak pertempuran. Bahkan terakhir kali bersama Naga Nareswara yang ganas lidah maupun ancamannya. Namun baru sekarang terbuka matanya, bahwa Naga Nareswara memang pantas mengumbar suara. Kalau tidak, tak mungkin bisa mengulangi gerakan yang sama dengan hasil yang sama. Apalagi kalau diperhitungkan bahwa murid Kiai Sumelang Gandring mempunyai kemampuan rata-rata sejajar dengan dirinya. Dan kalau bergabung, bisa berlipat ganda kekuatannya. Toh nyatanya, mereka semua kelihatan tak berdaya seperti nyamuk kelelahan yang tak bisa menghindar. Keringat dingin Gendhuk Tri menjadi lebih banyak mengalir, jika mengingat jangan-jangan para jawara ini sengaja memamerkan keunggulannya satu sama lain dengan memakai korban mereka yang lancang menyerang. Satu gebrakan lagi, benar-benar tamatlah barisan Jiwandana Jiwana. Gendhuk Tri tak tahu harus berteriak menahan atau mengoceh seperti biasanya. Pikirannya sangat kacau. Dan sebelum sadar sepenuhnya, terdengar aba-aba dari empat murid sisa Kiai Sumelang Gandring. Ada beberapa gerakan di tengah udara. Dengan hasil akhir yang sama. Satu tertebas kepalanya sebatas leher, satu luka menganga menyamping, satu lagi remuk batok kepalanya, dan satu lagi mati dengan muntah darah! Jaghana menghela napas sangat berat. Setelah Upasara, Jaghana yang menyadari bahwa tiga kali serangan satu gebrakan, dengan hasil yang sama ini, memperlihatkan beberapa perbedaan mendasar. Memang pada gebrakan yang pertama, Paman Sepuh yang membelah serong lawan yang berada di dekatnya. Akan tetapi sebenarnya pada gebrakan kedua, bukan Paman Sepuh Dodot Bintulu yang menyobek dengan gaya menebas semacam itu. Melainkan tokoh lain. Kalau bukan Kama Kangkam, Naga Nareswara, atau Kiai Sambartaka! Ajaibnya, tokoh-tokoh unggul ini mengganti pula jurusnya dengan jurus yang diandalkan tokoh lain! Sementara Paman Sepuh mengganti jurus dengan meremukkan kepala seperti yang dilakukan Naga Nareswara, sementara itu pula Naga Nareswara menebas leher seperti yang dilakukan Kama Kangkam. Dan Kama Kangkam menirukan ilmu Sambartaka, dan Kiai Sambartaka menggunakan jurus Paman Sepuh. Hanya Jaghana tidak bisa memastikan siapa memakai jurus siapa pada gebrakan kedua dan ketiga. Nyai Demang yang menyadari kemudian menjadi terbatuk. Sebaliknya Gendhuk Tri makin banyak keringatnya. “Dalam satu gebrakan saja, para jawara ini bisa menirukan gebrakan maut lawan, seakan tanpa cacat,” katanya dalam hati. “Ini barangkali satu tingkat di atas kesempurnaan. “Walau Kakang Upasara adalah tokoh yang paling disegani selama ini dengan penguasaan ilmu Kitab Bumi, rasa-rasanya masih tak mampu melakukan hal ini. “Kalau bisa terpancing keempat tokoh yang bertarung ini, tanpa melibatkan Kakang, barangkali…” Gendhuk Tri pucat wajahnya, karena justru Upasara mengangguk dalam-dalam, sambil menggeser ke tengah arena pertempuran. “Saya belum mampu menirukan kekejaman tanpa ampun yang kini tengah dipamerkan. Akan tetapi bukan berarti wakil dari Perguruan Awan sebagai pengundang bisa dikesampingkan begitu saja.” Dari kata-katanya jelas terbaca, bahwa Upasara Wulung siap dilibatkan dalam pertarungan habis-habisan. Wilanda dan Jaghana paling bisa mengerti bahwa tindakan Upasara terutama karena beberapa kali disebutkan bahwa Eyang Sepuh yang menjadi pengundang. Sungguh tak masuk akal, kalau sekarang Upasara Wulung yang menjadi penghuni utama, dan dianggap guru dari Perguruan Awan, mencuci tangan. Apa pun alasannya! Naga Nareswara mendesis. “Tubuhnya masih bau air susu kerbau, bagaimana mungkin lidahnya bisa memaki kita sebagai peniru? “Apakah seorang ksatria sejati begitu pengecut sehingga takut dikatakan meniru? “Upasara, tikus gunung yang suka makan angin, sebelum ini aku mendengar namamu sekilas disebut-sebut. Tapi agaknya kamu belum pantas mewakili siapa pun. Carilah kesempatan lain. Di pasar malam, di alun-alun waktu terang bulan, kamu akan menemukan kesempatan yang baik untuk memamerkan kebolehanmu. “Bukan di sini.” Upasara menggenggam Galih Kangkam erat-erat. “Saya yang menyingkirkan ketiga Naga dari Tartar, sudah sepantasnya saya menjajal Naga yang menganggap dirinya raja. Atas nama penghuni Nirada Manggala, Upasara Wulung siap menghadapi kedatangan Naga Nareswara…” Nyai Demang menjerit. Gendhuk Tri berkomat-kamit. Tubuh Naga Nareswara bergerak, anginnya menggeleser, dan mendadak tongkat emas menyabet ke arah Upasara! Tongkat yang dengan satu kali gebrakan membuat batok kepala seperti adonan lumpur! Yang bisa untuk menebas leher sama runcingnya seperti pedang panjang Kama Kangkam. Wilanda yang berada di dekat Upasara terdorong mundur, karena dadanya seperti ditusuk dengan sodokan berat yang membuat ngilu. Bahkan Jaghana pun terpaksa memundurkan kakinya sampai empat langkah, surut ke belakang! Sebaliknya, Upasara tidak beringsut sedikit pun. Seluruh tenaga menggumpal di dada begitu kesiuran angin menerkam. Pedang tipis hitam ditarik, dengan tangan tertekuk di depan dada. Pandangan Upasara tidak ke arah tongkat emas, melainkan menatap lekat ke arah Naga Nareswara. Begitu tongkat emas menyapu, Upasara menangkis dengan menusukkan Galih Kangkam ke arah lingkaran-lingkaran berlubang di ujung tongkat pusaka! Begitu bersentuhan, Upasara merasakan tenaga pusaran yang luar biasa kuatnya mengisap. Seperti pusaran puting beliung, yang dahsyat mengisap, akan tetapi juga sekaligus bisa berubah arah dan sasarannya. Ini yang membuat Nyai Demang menjerit. Pengetahuan secara teori, mengajarkan kepada Nyai Demang bahwa tongkat pusaka para pendeta yang kebetulan datang dari Tartar adalah pusaka yang istimewa. Bukan hanya karena terbuat seluruhnya dari logam emas dengan campuran istimewa, akan tetapi justru lubang-lubang berbentuk lingkaran di bagian atas tongkat sengaja untuk meredam semua senjata dan kekuatan lawan. Apa pun bentuk dan kekuatannya-tombak, keris, gada, cemeti, panah-kalau sampai masuk ke dalam lingkaran bisa dimentahkan. Karena dalam hal ini tinggal adu tenaga dalam. Kalau ada yang berbeda dalam serangan pertama Naga Nareswara hanyalah karena tongkat pusaka itu tidak dipegang secara langsung. Namun untuk tingkatan tokoh sakti mandraguna, hal itu tak banyak bedanya. Upasara menusuk ke tengah pusat kekuatan, dan menerobos semua getaran panas-dingin silih berganti, sambil mencoba mengangkat dan membalikkan. Naga Nareswara menggerakkan bibirnya, ketika tongkat pusaka kembali ke arahnya dalam gerak sedikit oleng! Ini berarti kekuatan tenaga dalam yang disalurkan Upasara mampu menggoyang tongkat emas kebanggaannya. “Tidak jelek, tidak terlalu jelek tikus gunung ini.” Baik Jaghana maupun Wilanda menduga komentar ini terdengar dari bibir Naga Nareswara. Akan tetapi Gendhuk Tri menggeleng. Walau nada dan caranya persis sama, Gendhuk Tri yakin bukan suara Naga Nareswara yang dikenalnya. Ataukah ini suara Kiai Sambartaka, Kiai Kiamat yang mampu bersuara tanpa menggerakkan bibir? Sebaliknya Nyai Demang yakin bahwa bukan Kiai Sambartaka yang bersuara. Tak mungkin ada pujian darinya. Berarti ada tokoh sakti yang lain lagi! Gerak Tanpa Getaran BEGITU tongkat emas kembali ke genggaman Naga Nareswara, Kama Kangkam memegang pedang panjang dengan dua tangan. “Aku ingin menguji sebelum kamu secara resmi ikut dalam pertarungan ini.” Pendek dan singkat kalimat Kama Kangkam yang langsung bersiap. Kedua tangan menggenggam pedang panjang yang dipegang menjulang di tengah jidatnya. Pandangan matanya sangat tajam. Kucirnya tak bergerak. Rahangnya kaku. Upasara mengangguk. Pedang tipis hitam diangkat, tangan kirinya ditekuk, dan sikapnya kurang-lebih sama dengan Kama Kangkam. Hanya saja bagian yang tajam menghadap ke arah wajah Upasara Wulung! Dengan satu tangan! Tangan kiri. Sementara tangan kanannya terkulai. Kalau Kama Kangkam berdiri dengan posisi kedua kaki setengah mengangkang terbuka, dengan kaki kanan sedikit di depan kaki kiri, sebaliknya kedua kaki Upasara lurus. Jarak keduanya tak lebih dari tiga tombak. Dibarengi dengan teriakan yang menyayat, kedua kaki Kama Kangkam bergerak sangat cepat sekali, dengan langkah yang berat dan kukuh, pedang panjangnya menyabet begitu dekat dengan Upasara Wulung! Sesuai dengan posisi kakinya yang sudah bersiaga menyerang! Upasara membalik pedangnya dengan sama gesit dan cepatnya, dan dengan membabat berusaha menangkis. Serangan Kama Kangkam memutar ke arah pundak kirinya sendiri. Yang berarti menghantam dengan tebasan kuat dari arah kanan. Napas Nyai Demang jadi ngos-ngosan! Dadanya seperti ditindih oleh balok-balok yang makin lama makin berat mengimpit. Wilanda bahkan mencelos dan merasa harapannya habis karena melihat pedang hitam tipis Upasara terlepas dari tangan dan melayang di tengah udara. Teriakan… Radeeeen… barangkali telah terlepas dari bibirnya, atau barangkali hanya jeritan dalam hati saja. Gendhuk Tri bahkan tak sempat berteriak. Wajahnya berpaling ke arah lain! Untuk pertama kalinya, Gendhuk Tri yang suka ugal-ugalan, yang tega melihat segala macam bencana, memalingkan wajahnya! Tak tahan melihat apa yang terjadi. Bahkan juga Jaghana meletakkan kedua tangan di depan dada, sebagai sikap pasrah sumarah, apa pun yang terjadi. Secara keseluruhan, baik Nyai Demang, Gendhuk Tri, Wilanda, maupun Jaghana, tidak menganggap bahwa Upasara Wulung bakal bisa dikalahkan dalam satu gebrakan. Rasa was was muncul, justru karena selama ini Upasara dikenal tidak seperti dulu. Itu yang pertama. Bahwa kemudian Upasara bisa pulih kembali seperti sediakala, jelas itu menunjukkan kualitas yang luar biasa. Akan tetapi ini tak mengurangi rasa cemas! Karena yang dihadapi sekarang ini justru tokoh-tokoh puncak yang tak bisa diperkirakan sampai di mana tingkat ilmunya. Itu yang kedua. Sebab yang ketiga memang karena hubungan emosi yang ada. Namun kalaupun tanpa hubungan emosi, kekuatiran itu tetap ada. Karena tokoh-tokoh sakti mandraguna ini, sudah berada pada tingkat di mana ilmu yang dimainkan tak bisa dimainkan setengah-setengah atau sepertiga. Dalam pengertian, bahwa andaipun Kama Kangkam tidak menyerang dengan sepenuh tenaga-andai!-akibatnya tetap fatal. Dua belas murid utama Kiai Sumelang Gandring yang belum kering darahnya dan belum dingin mayatnya bukti yang masih bisa dilihat dengan mata telanjang. Dan mereka semua menyaksikan secara langsung! Jaghana yang melihat secara jelas beradunya dua tebasan keras itu. Begitu pedang panjang Kama Kangkam menebas pinggang dengan songkelan ke atas, Upasara menangkis dengan gerak yang sama. Beradunya dua senjata andalan utama meninggalkan bunyi tipis, membersit, seolah merobek udara. Pada saat itu, Galih Kangkam terlepas ke udara! Justru pada saat yang sama, Kama Kangkam mengayunkan tebasan kedua, sebagai bagian kelanjutan dari gerakan tebasan yang pertama. Jaghana sedikit-banyak mengenal kehebatan gerakan samurai yang selain mengandalkan kekerasan tenaga dan kecepatan gerak, juga jenis serangan, sabetan yang satu mudah ditangkis, tapi seketika itu pula dilanjutkan dengan sabetan yang lain. Perbedaan utama dengan jurus yang biasa dimainkan di tanah Jawa maupun dari Tartar ialah, bahwa kebiasaan mengadu kekuatan dan senjata dengan membenturkan diri tidak terlalu menonjol. Satu tebasan lebih banyak dihindari dan melancarkan serangan balasan. Sementara Kama Kangkam justru berlari kencang, menebas, dan sambil berbalik tubuhnya masih menyertakan tebasan kedua. Yang tak kalah ganasnya. Karena yang diarah adalah pangkal leher Upasara. Padahal posisi berdiri Upasara bukan berada dalam keadaan untuk meloncat menghindar, dengan merendahkan tubuh, atau membuang tubuh. Cara Upasara membentuk kuda-kuda, paling banter hanya untuk digerakkan satu atau dua langkah. Itu belum cukup, karena daya jangkau samurai yang panjang. Dengan kata lain, lehernya tetap bakal tertebas, ke mana pun kakinya membawa pergi. Apa yang dikuatirkan dan diperhitungkan Jaghana dengan teliti, bukan tak terpikirkan oleh Upasara. Dengan penguasaan Kitab Bumi, kemampuan Upasara lebih dari sekadar mengenal jurus-jurus yang diajarkan. Akan tetapi juga berhasil menyerang inti ilmu tersebut. Barangkali titik kecil ini yang membedakan Upasara dari mereka yang sama-sama mempelajari Kitab Bumi. Pada yang lain, sesuai dengan pengenalan pertama, lebih menjadi titik pokok mempelajari dan mematahkan jurus-jurus yang disebut Dua Belas Jurus Nujum Bintang, serta Delapan Jurus Penolak Bumi. Sementara Upasara, selain mempelajari dan mematangkan jurus-jurus, juga berusaha mempelajari intisari utama. Sesungguhnya pada bagian inilah Upasara sempat terombang-ambing pikirannya, antara meneruskan dan tidak. Karena seolah menemukan jalan buntu. Sehingga tak ada jalan lain kecuali melepaskan kembali semua tenaga dalamnya yang dianggap sia-sia! Akan tetapi perjalanan hidupnya tidak berhenti ketika itu. Sebaliknya menjadi semacam titik balik. Menjadi hidup kedua kalinya, apalagi setelah bertemu dengan Paman Sepuh Dodot Bintulu yang secara tidak langsung mengajarkan bagaimana mengubah tenaga simpanan menjadi tenaga yang bisa dipergunakan. Maka, boleh dikatakan Upasara telah siap menghadapi apa yang terjadi sekarang ini. Sewaktu menghadapi serangan uji coba dari Naga Nareswara, Upasara berani langsung menusuk ke pusat tenaga pusaran. Karena di situlah inti kekuatan. Dalam ilmu Kitab Bumi, inti kekuatan juga sekaligus inti kelemahan. Kalau ia berhasil tepat memasukkan tenaga, berarti menguasai sepenuhnya kekuatan lawan. Nyatanya begitu. Menghadapi Kama Kangkam, Upasara menyadari bahwa tumbal atau tenaga penolak dari jurus yang sama bisa gagal. Karena Kama Kangkam mengatur tenaga yang sama di seluruh pedang panjangnya. Bahkan juga pada sabetan kedua atau ketiga tak berbeda jauh dari tenaga sabetan pertama.
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 2:49 pm | |
| Ini terlepas apakah sabetan kedua perlu ayunan panjang atau gerakan pendek. Inilah kehebatan pedang Jepun! Pada benturan pertama, tenaga Kama Kangkam seolah sengatan matahari yang mengiris. Akan tetapi bukan karena itu pedang Upasara terlepas. Justru dilepaskan untuk menolak tenaga yang menebasnya. Dengan melepaskan, tenaga itu akan diterima alam semesta. Buyar! Pada saat yang tepat Galih Kangkam ditarik kembali, dan begitu tebasan kedua datang, kuda-kuda Upasara jauh lebih kuat daripada Kama Kangkam yang tubuhnya berbalik. Sehingga benturan kedua itu mendorong pedang Kama Kangkam mendekat ke arah tubuhnya sendiri. Kama Kangkam cepat berbalik, dengan dua tangan siap memegang hulu pedang. Sebaliknya Upasara siap seperti semula. “Saya, Kama Kangkam, menerima Saudara ke dalam pertarungan ini…” Kali ini bahkan Wilanda pun tahu bahwa bukan Kama Kangkam yang mengucapkan itu! Karena kemudian Kama Kangkam mendongak ke arah langit dan berteriak mengguntur, “Apakah Eyang Sepuh masih perlu menyembunyikan diri lagi? Kenapa kita semua orang tua di sini dianggap anak-anak?” Wilanda dan Jaghana berlutut tanpa terasa. Upasara menggigil. Siapa lagi tokoh yang mampu bergerak tanpa membuat getaran, bersuara tanpa nada, berkata tanpa membuat angin bergerak, selain Eyang Sepuh? Tokoh pepunden, tokoh pujaan para ksatria, ternyata muncul juga pada akhirnya. Pukulan Beku KIAI SAMBARTAKA memiringkan wajahnya. Wajahnya yang gelap, tanpa mengungkapkan perasaan yang mudah terbaca, menatap ke arah Upasara. Tanpa memperlihatkan bahwa ada perubahan tarikan napas, Kiai Sambartaka merenggangkan jarinya. Upasara melepaskan pedang hitam panjang. Bersiap menghadapi dengan tangan kosong. Keduanya bertatapan. Sama tajam dan menusuk pandangannya. Upasara menatap langsung ke biji mata Kiai Sambartaka yang menukik, mempengaruhi, dan sekaligus menguasai. Hanya Kiai Sambartaka yang agaknya tak tergoda melirik sedikit pun, sewaktu mendengar nama Eyang Sepuh disebut-sebut. Kalau Kama Kangkam sampai perlu mengucapkan nama dan menaruh hormat, Kiai Sambartaka seperti tak menganggap sebelah mata. Pusat perhatiannya kepada Upasara Wulung. Yang dalam anggapannya menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Diperhitungkan dari usianya, Upasara masih sekitar 25 tahun. Usia yang masih terlalu muda, bahkan untuk menjadi cucu murid tokoh kelas utama. Akan tetapi dilihat dari kemampuannya, sungguh memperlihatkan kelas utama. Tongkat emas sakti Naga Nareswara bisa digagalkan. Dan juga sabetan pedang panjang Kama Kangkam yang merupakan jurus maut-ganas-telengas, berhasil dimentahkan. Tua dalam usia, matang dalam berbagai pengalaman, Kiai Sambartaka tetap tak bisa menahan diri untuk menjajal. Sebenarnya hal ini bukan sesuatu yang luar biasa. Di kalangan jago silat, keinginan menguji ilmu, mengadu kepandaian, adalah hal yang sangat lumrah. Dalam berbagai keadaan dan situasi, keinginan yang utama adalah membuktikan kemampuan, menakar keunggulan lawan. Apalagi kalau dirasakan ada ilmu yang belum diketahui. Bagi Kiai Sambartaka, penampilan Upasara sangat menarik perhatiannya. Puluhan tahun ia melatih ilmunya, dan merasa telah mencapai puncak yang paling tinggi, ia diakui di negerinya sendiri. Nama dan julukan sebagai Kiai Kiamat, lebih ditakuti daripada malaikat pencabut nyawa sekalipun. Dan setelah sekian lama mengembara, nama besar itu tetap tak tertandingi. Dan itu pula sebabnya, Kiai Sambartaka melanglang buana, menuju tanah Jawa. Untuk merebut gelar sebagai lelananging jagat, ksatria yang paling ksatria, pendekar nomor satu di dunia. Kiai Sambartaka tahu bahwa yang bakal ditemui adalah juga dewa-dewa dunia persilatan yang tak kepalang tanggung. Maka sangat mengherankan hatinya, bahwa ada seorang anak muda yang terjun ke gelanggang! Itu betul-betul di luar perhitungannya! Tak masuk akal ada anak muda yang mampu menyejajarkan dirinya di kalangan sesepuh yang memerlukan waktu lebih dari usia Upasara untuk memantapkan latihan tenaga dalam. Lebih mengejutkan lagi, justru Upasara bersiap menghadapi dengan tangan kosong! Memang di kalangan yang sudah mencapai puncak kemahiran, senjata ampuh atau sebatang ranting, tak banyak menentukan. Akan tetapi adalah sangat luar biasa, kalau Upasara berani menghadapi dengan tangan kosong. Ini berarti, bersiap menghadapi dirinya yang justru kondang tanpa tanding dalam tangan kosong. Dari sekian banyak yang menjadi kuatir dan cemas, Nyai Demang-lah yang paling was was. Nyai Demang menyadari bahwa Kiai Sambartaka memiliki pukulan yang disebut Pukulan Beku, atau pukulan Mandeg-Mangu. Atau dalam arti harfiahnya adalah pukulan Terhenti-Termangu. Jenis pukulan yang menjadi andalan dalam khazanah ilmu dari tlatah Hindia. Sudah menjadi rahasia di kalangan tokoh persilatan dan keagamaan, bahwa jago-jago utama dari Hindia selalu merasa lebih hebat ilmunya, lebih tua penguasaannya daripada jago-jago di tanah Jawa. Bahkan hampir semua jawara Hindia menganggap bahwa ilmu yang ada di tanah Jawa hanyalah ilmu tetiron, atau ilmu tiruan dari Hindia. Hal ini termasuk dalam berbagai ilmu yang kini diterapkan dalam pemerintahan Keraton. Segala jenis peraturan, perundangan, semua mempunyai asal-usul sari perundangan yang ada di Hindia! Ada semacam kesombongan akan adanya pengakuan, bahwa segala yang lebih dari tanah Jawa, hanyalah bayangan perpanjangan dari apa yang ada di tanah Hindia. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah. Bahkan kitab-kitab utama juga berasal secara langsung dari Hindia. Maka ketika Eyang Sepuh mengeluarkan tantangan untuk mengadakan pertemuan, Kiai Sambartaka tak terlalu memperhitungkan. Yang lebih diperhatikan adalah kemunculan Naga Nareswara dan Kama Kangkam. Perebutan utama sumber ilmu silat memang berkisar dari tiga negara ini. Maka sungguh tak terduga, bahwa ada seorang Jawa yang mampu menunjukkan awal yang sama. Bahkan langsung berdiri sama tinggi. Walau bukan tak percaya bahwa Naga Nareswara dan Kama Kangkam sengaja memberi kesempatan, Kiai Sambartaka ingin menguji sendiri secara langsung. Upasara menggeser kakinya. Tangan kirinya bergerak perlahan, dari bawah, berhenti di dekat pusar, sementara pandangannya lurus ke depan. Gerahamnya beradu. Perlahan telapak tangan kiri yang membuka bergerak naik, sama perlahan, seakan mengurut udara mengumpul di dada. Tangan kanannya masih terkulai, agak ditarik ke belakang karena tubuhnya sedikit miring. Angin dingin mengalir seakan disemburkan dari suatu gua entah di mana. Nyai Demang mundur dua tindak. Pukulan Beku, bukan hanya andalan dan memperlihatkan ciri khas pukulan tanah Hindia, akan tetapi juga pukulan maut yang tiada duanya. Merupakan ciri khas, karena dalam Pukulan Beku ini terkandung segala ajaran mengenai ilmu keras dan ganas, yang dibumbui dengan beberapa ajian tertentu. Lebih dari negara lain, pukulan dari tanah Hindia mengandung tenaga-tenaga yang tidak sewajarnya. Ada pengembangan ilmu kebal yang berbeda dengan ilmu kebal dari negeri Tartar, misalnya. Melatih otot menjadi kuat, kulit tidak mempan kena sabet, adalah hal yang biasa. Akan tetapi ilmu dari negeri Kiai Sambartaka lebih khusus mengembangkan lagi. Sehingga adalah hal yang biasa jika dalam keadaan sehari-hari pun mereka selalu melatihnya. Tidur di atas tumpukan pedang, keris dengan menusuk punggung atau dada adalah merupakan latihan sehari-hari. Di tengah kepulasan tidur, ditusuk merupakan kebiasaan sehari-hari. Demikian juga halnya dengan jenis-jenis pukulan yang dilancarkan. Ada campuran antara tenaga dalam murni dan tenaga yang untuk mereka yang berasal dari wilayah lain masih misteri. Karena bahkan tanpa bergerak pun, pukulan bisa dilontarkan, dan segala jenis paku, keris, pedang, tiba-tiba saja bisa menyusup ke dalam anggota tubuh lawan! Bahwa jenis ilmu semacam itu juga banyak berkembang di tanah Jawa- atau di mana saja-sebenarnya juga bukan sesuatu yang luar biasa. Hanya saja Nyai Demang mengetahui bahwa jenis pukulan semacam itu digolongkan dalam pukulan hitam. Yang dianggap tidak cukup ksatria. Karena bersekutu dengan tenaga setan-iblis-hantu yang tidak suci. Namun, setan atau bukan, keganasan ilmu itu diakui. Dan kini dimainkan sendiri oleh salah seorang empu yang menguasai. Yang dijuluki Kiai Kiamat. Karena setiap kali pukulan maut bekerja, lawan tamat riwayatnya. Keunggulan utama Pukulan Beku, terutama sekali bukan karena pengerahan tenaga yang luar biasa besar, atau meremukkan batu gunung. Justru sebaliknya, keunggulan Pukulan Beku terutama sekali mengarah kepada usaha menghentikan atau membekukan kekuatan lawan pada satu titik yang lemah! Kalau pukulan Kiai Sambartaka bisa menyambar lengan Upasara, pada saat itu pula lengannya akan membeku. Semua darah, urat, nadi, otot, saraf di bagian itu akan membeku. Mati rasa! Bisa dibayangkan akibatnya jika Pukulan Beku singgah di tempat yang berbahaya. Jantung atau ulu hati akan membeku selamanya. Satu tarikan napas sangat berguna bagi kelangsungan pertempuran atau justru kehidupan. Kalau terhenti sesaat atau beberapa saat bisa diperkirakan sendiri akibatnya! Nyai Demang telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kehebatan Pukulan Beku. Selama berkenalan, Nyai Demang menyaksikan bahwa sebatang pohon yang diusap oleh Kiai Sambartaka menjadi beku. Bagian yang tersentuh itu mendadak mati seketika. Sehingga kelangsungan proses kehidupan secara keseluruhan terganggu. Diusapkan ke kaki seekor kuda, kaki itu seketika membeku: aliran darah, urat nadi, saraf, tak bekerja lagi. Melepuh dan menjadi hitam kaku tanpa bisa digerakkan. Untuk lawan yang bergerak pun, keampuhan Pukulan Beku tak menjadi berkurang karenanya. Dalam perjalanan menuju Trowulan, Nyai Demang melihat Kiai Sambartaka bisa menangkap ikan di Brantas hanya dengan menepuk air sungai. Seketika ada bagian air yang membeku, seolah menjadi es. Berikut binatang yang tengah berenang di air tersebut. Ketika bongkahan itu diangkat, ikan yang berada dalam air membeku itu telah matang dan siap disantap. Kalau ini mengenai jalan darah atau jalan napas Upasara, nasibnya sama dengan dua murid Kiai Sumelang Gandring. Suara Lewat Gendang Telinga DUA murid Kiai Sumelang Gandring juga tewas karena Pukulan Beku. Bahkan untuk muntah darah pun tak sempat! Bagi Naga Nareswara, ilmu pukulan dari tanah Hindia memang mengandung teka-teki. Di negerinya yang berkembang adalah ilmu menotok jalan darah. Dengan totokan ini jalan darah membeku, dan orang yang terkena akan kaku karenanya. Namun, dibandingkan dengan pukulan Mandeg-Mangu, tidaklah terlalu ganas. Karena totokan hanya menghentikan sementara, sedangkan Pukulan Beku agaknya justru diciptakan untuk akibat seterusnya! Dan wilayah yang terkena pukulan bukan hanya satu titik dalam aliran darah, melainkan bisa di mana saja, dengan wilayah yang lebih luas. Paman Sepuh Dodot Bintulu yang sejak tadi berdiam diri, kali ini sedikit menggerakkan caping penutup wajahnya. Seakan ingin melihat lebih jelas apa yang dilakukan Kiai Sambartaka. Upasara mengangguk pendek. Separuh anggukan, karena Kiai Sambartaka sudah bergerak. Membalikkan tubuh, bergulung maju, dengan kedua tangan langsung ke arah leher, jantung, ulu hati, pusar Upasara. Benar-benar pukulan maut! Naga Nareswara sendiri tak menggeser kakinya ketika menjajal Upasara. Kama Kangkam meskipun bergerak maju, akan tetapi jelas arah sabetannya, walau mengarah leher, tidaklah seganas Kiai Sambartaka. Yang sekali menggempur mencakup semua bagian sumber kehidupan. Upasara tidak mendengus, tidak menarik napas lebih panjang. Pandangan matanya tetap ke arah Kiai Sambartaka, seakan ingin menguasai lewat mata. Tangan kirinya yang terbuka sampai di depan dada, disorong ke depan. Dua pukulan Kiai Sambartaka seakan dibiarkan menerobos masuk, memilih sasaran yang empuk. Tapi pada saat yang bersamaan, tangan kanan Upasara bergerak bagai kitiran lepas. Memutar dan menghadang! Blek. Blek. Bukan suara plak atau adu tenaga yang keras. Melainkan suara lembek. Dua serangan Kiai Sambartaka berhasil menyentuh tangan kanan Upasara Wulung! Tapi sebaliknya tangan kiri Upasara seakan bisa menempeleng Kiai Sambartaka, yang terpaksa secepatnya membuang diri ke belakang dalam suatu putaran cepat sekali! Lagi terdengar suara menirukan nada Kiai Sambartaka! Seakan mewakili sikap Kiai Sambartaka yang tak mau mengakui kekalahannya. Sebenarnya, bagi yang berpandangan sangat jeli, dalam satu gebrakan ini boleh dikatakan Kiai Sambartaka bisa dikalahkan dengan telak. Lebih dari Naga Nareswara maupun Kama Kangkam. Dua dewa utama hanya berhasil dibuyarkan serangannya, akan tetapi Kiai Sambartaka kena gempur! “Baru sekarang saya tahu, Penolak Bumi memang ilmu yang menarik, Bejujag, kamu ternyata pantas mendongak.” Pujian Paman Sepuh terdengar tulus. Dalam pandangan Paman Sepuh, gerakan satu gebrakan itu sudah menggambarkan kemenangan Upasara Wulung. Dengan kejelian yang tinggi Upasara sengaja melepaskan pedangnya. Seakan mau mengimbangi keunggulan Kiai Sambartaka yang lihai dalam tangan kosong. Dengan keunggulan siasat, Upasara justru membiarkan Kiai Sambartaka masuk menyerang dan menyalurkan Pukulan Beku. Dibiarkan mengenai sasaran, sementara ia sendiri membarengi dengan pukulan! Apa pun yang terjadi, Kiai Sambartaka masuk perangkap! Pukulan Beku berhasil menyentuh tangan kanan Upasara, akan tetapi tak berarti banyak. Justru karena tangan kanan Upasara sejak terkena pukulan Halayudha tak mampu digerakkan secara sempurna. Justru karena tangan itu sendiri sebenarnya telah membeku. Inilah hebatnya Upasara! Kiai Sambartaka bisa terjebak dalam kesalahan yang fatal! Seorang tokoh kaliber dewa yang menguasai ilmunya menjadi pendekar utama di Hindia, yang menganggap ilmunya lebih tua, justru dimakan seorang yang masih muda. Langit dan bumi bisa tak percaya karenanya! Namun sesungguhnya, inilah ilmu silat. Bukan hanya kemampuan bergerak, memukul, atau melihat kekuatan dan kelemahan lawan, tetapi juga pikiran jernih. Pikiran bersih untuk menangkap dan bertindak dalam waktu yang singkat. Ilmu boleh dilatih setinggi langit, strategi boleh dilatih serumit bumi, akan tetapi itu tetap bukan segalanya. Hal ini sangat jelas terbukti dalam gerak jawaban Upasara. Pasti bukan suatu kebetulan kalau tiga kali Upasara berhasil membaca dan mementahkan serangan lawan-lawannya. Bahkan sebenarnya empat kali, kalau pertarungan pertama melawan Paman Sepuh ikut dihitung! Pertama, Upasara masuk ke tengah perputaran tenaga. Menusuk langsung ke tengah lingkaran, dan mementahkan putaran tongkat emas Naga Nareswara. Kedua, dalam menghadapi sabetan pedang Kama Kangkam. Keras diadu keras, tapi saat yang sama dilepaskan untuk menghadapi sabetan kedua. Tenaga sabetan pertama berhasil dimentahkan dengan melepaskan pedangnya, yang justru pada sabetan kedua tenaganya menjadi utuh, pulih, tak terpancing getaran sabetan pertama! Ketiga, tenaga pukulan Kiai Sambartaka dipancing masuk untuk mengenai tangan yang sudah tidak bergerak, dan kemudian mencuri satu tamparan kecil. Ini berarti tiga jenis serangan yang berbeda, dengan cara pemecahan yang berbeda pula. Dalam pandangan mata, Gendhuk Tri memang tidak melihat sesuatu yang hebat dan luar biasa. Gerakannya sederhana, hanya sangat cepat. Namun akibatnya tidak seperti ketika dua belas murid Kiai Sumelang Gandring mati seketika. Namun Gendhuk Tri bukannya tak mengetahui bahwa apa yang baru saja terjadi tak kalah ganas. Hanya Gendhuk Tri tak melihat secara teliti. Tidak juga Nyai Demang. Tak sempat mengetahui cara pemecahan yang dipakai Upasara. Satu-satunya yang memberi komentar adalah Paman Sepuh! Komentar yang membuat Kiai Sambartaka merasa panas-dingin tubuhnya. Karena yang dipuji Paman Sepuh tetap ilmu Penolak Bumi. Ini berarti Paman Sepuh ingin menekankan bahwa Bantala Parwa tetap yang lebih unggul dari yang lain. Tak perlu dimainkan oleh Eyang Sepuh-yang tetap dipanggil Bejujag-ilmu Penolak Bumi tetap bisa mengatasi! Inilah komentar yang paling menyakitkan. Memang dalam pertarungan satu gebrakan masih jauh dari ukuran menentukan siapa pemenangnya. Akan tetapi juga bisa diperhitungkan dalam gebrakan pembukaan kali ini, Upasara berhasil mengungguli Kiai Sambartaka, yang agaknya justru tak menduga akan dilumpuhkan. Kalau Paman Sepuh lebih memuji Eyang Sepuh dengan ilmu Penolak Bumi-nya, sebenarnya lebih mengatakan apa adanya. Bukan sekadar memojokkan Kiai Sambartaka. Apa yang dipertontonkan Upasara Wulung sebenarnya pertunjukan murni dari seluruh rangkaian ilmu Bantala Parwa, atau Kitab Bumi. Yang baru saja dimainkan adalah bagian Penolak Bumi. Keutamaan dalam mempelajari ilmu silat, sebenarnya bukanlah sekadar menghafal gerakan atau cara berlatih napas untuk menghimpun tenaga. Akan tetapi, lebih dari semua itu adalah menyelami kearifan yang tertulis atau tersembunyi dalam baris-baris kidungan. Itulah sesungguhnya inti, sukma ajaran silat. Bahwa Upasara bisa menangkap lebih total dan utuh, karena memang pada dasarnya Upasara berhasil menyerahkan diri secara sepenuhnya kepada apa yang dipelajari. Sikap batin itu telah tercermin semenjak ia dididik dalam Ksatria Pingitan. Upasara memperlihatkan penguasaan ilmu Penolak Bumi dari inti yang paling dalam. Bukan dari gerakan, melainkan dari cara memecahkan persoalan, cara mementahkan, cara menolak, cara menjadi tumbal. Ilmu Kitab Bumi, pada bagian delapan jurus terakhir yang disebut Penolak Bumi, seperti hanya untuk mementahkan jurus-jurus dalam Dua Belas Jurus Nujum Bintang! Tetapi sebenarnya, intinya bermula dari mementahkan semua serangan! Begitu menghadapi berbagai serangan, dengan sendirinya daya tumbal itu muncul. Tidak berlebihan kalau Paman Sepuh menyebutkan bahwa yang lebih hebat dari Upasara adalah yang menciptakan ilmu itu. Pujian kepada Eyang Sepuh. “Bejujag, apa benar kamu bisa memainkan ilmu itu seperti Upasara ini? Karena kupikir gendang telingamu sekarang ini sudah membatu, sehingga tak bisa mendengar kata-kataku.” Upasara seperti mendapat penjelasan dari Paman sepuh. Bahwa di samping pancingannya memanggil Eyang Sepuh, Paman Sepuh mampu mengetahui bahwa Upasara memainkan ilmu memindahkan tenaga suara. Tumbal atau penolakan atas serangan Kiai Sambartaka dilakukan dengan memindahkan suara, dengan cara meneroboskan suara dari gendang telinga kanan melewati gendang telinga kiri, dan sebaliknya. Dengan kata lain, gendang telinganya menjadi kosong, meneruskan getar suara paling keras dari kanan dan kiri, sepenuhnya! Semua Jalan Adalah Kebenaran KIAI SAMBARTAKA bukannya tidak menangkap apa yang dikatakan Paman Sepuh. Dalam penilaiannya, Upasara Wulung memang mempunyai dasar dan alasan untuk terjun ke gelanggang para dewa. Keunggulan atas dirinya, bagi Kiai Sambartaka, menunjukkan kelas Upasara Wulung yang sesungguhnya. Bahwa kebetulan tangan kanannya sudah setengah lumpuh, itu tidak menjadi alasan. Karena siapa pun bisa saja tangannya lumpuh atau sangat kuat. Namun nyatanya, Upasara mampu mempergunakan kelumpuhannya sebagai kekuatan. Mampu menerjemahkan sebagai kekuatan dan atau kekuatan yang bisa dipahami. Meskipun bercekat, diam-diam Kiai Sambartaka sedikit bersyukur. Karena dari gebrakan pertama ia menjadi sadar bahwa kini tak bisa sembarangan sedikit pun. Di lain pihak, walau Upasara mampu menggagalkan serangan Naga Nareswara, Kama Kangkam, dan juga Kiai Sambartaka, kepercayaan dirinya tidak bangkit utuh dengan sendirinya. Justru sebaliknya, hatinya menjadi kebat-kebit. Tiga kali gebrakan yang dilakukan lebih banyak membuka mata batin lawan-lawannya, yang biar bagaimanapun masih berada satu tingkat di atasnya. Rasa-rasanya, penguasaan dirinya belum sepenuhnya bisa dibandingkan para tokoh utama saat ini. Karena kemenangan sementara ini bukanlah sesuatu yang bisa disadari dan dikuasai sejak awal. Maka bukan basa-basi, kalau Upasara menunduk hormat kepada keempat tokoh yang berdiri mengelilingi. “Sungguh tak terhingga ucapan terima kasih saya, atas perlakuan baik para ksatria utama di jagat ini.” Paman Sepuh menggerakkan tangan, menyuruh Upasara berdiam. “Bejujag, kamu masih main petak umpet?” Angin seperti bergetar dari berbagai arah ketika terdengar jawaban. “Aku malu untuk memunculkan diri. “Lima puluh tahun lalu aku mengundang kalian turun dari kayangan, tempat para dewa bersemayam. Kukira ada alasan untuk mendatangkan kalian semua. “Setelah kupikir-kurasa-kulakukan, aku menyadari betapa tololnya aku ini. Kenapa kita berebut menemukan satu-satunya jalan kebenaran, kalau ternyata semua jalan menuju kepada kebenaran?” Panjang jawaban Eyang Sepuh, akan tetapi bahkan Upasara tak bisa memastikan dari mana asal suara. Sebentar terdengar sangat dekat, sebentar menjauh. Dari berbagai arah, yang tak bisa dipastikan. “Lalu, apakah kamu menganggap main sembunyi seperti ini lebih baik daripada memperebutkan Jalan Budha?” “Iya.” “Kalau itu berarti mengundurkan diri, untuk apa dipaksa-paksa?” Suara Naga Nareswara meninggi. “Kita sudah datang, sudah saling menjajal diri. Sungguh sayang kalau dilewatkan percuma.” “Bejujag, kamu sudah dihitung kalah.” “Itu lebih baik. Aku memang sudah kalah sejak mengundang kalian.” “Baik, kalau begitu, kita akan melanjutkan pertemuan tanpa kamu. “Naga Nareswara, Kiai Sambartaka, Kama Kangkam, Upasara Wulung, marilah kita lanjutkan. Karena kita semua ada lima orang, lebih baik kita saling tempur saja. Setiap sepuluh jurus, kita berganti lawan. Boleh pilih yang mana saja. “Sampai tinggal satu orang yang masih bisa berdiri. “Bagaimana?” Naga Nareswara mengangguk. Kama Kangkam menekuk tubuhnya. Kiai Sambartaka menunduk. Upasara menahan udara di dadanya ketika menghormat. “Tapi bagaimana mungkin,” mendadak suara Gendhuk Tri bagai kaca pecah. “Kalau hanya lima orang, berarti setiap kali ada yang beristirahat lebih dulu.” Sederhana kata-kata Gendhuk Tri, tetapi berhasil menyusup. Memang jika semua bertempur satu lawan satu, berarti ada satu orang yang menganggur selama sepuluh jurus pertama. Walaupun menganggurnya bisa bergiliran, akan tetapi agaknya ini tidak cocok dengan keinginan untuk bertempur terus-menerus tanpa ada yang berhenti, sampai tinggal satu orang yang masih sempat berdiri. Jalan pikiran Gendhuk Tri sebenarnya ingin mengistirahatkan Upasara Wulung. Akan tetapi justru terbalik. Paman Sepuh yang berjingkrak. “Bejujag, kamu masuklah kemari. Untuk menemani kami!” Kalau ini terjadi, berarti Eyang Sepuh akan turun ke gelanggang. Mau tidak mau akan ada giliran untuk bertempur melawan Upasara Wulung! Sungguh mati, Gendhuk Tri tak bisa membayangkan hal itu akan terjadi. Biar bagaimanapun, rasanya tak mungkin Upasara mempunyai keberanian untuk menggempur Eyang Sepuh. Sepuluh titisan yang akan datang tetap tak akan mengubah hal ini. Celakanya juga, tak mungkin Eyang Sepuh maupun Upasara berpura-pura saling menggempur. Pada tingkat pertarungan seperti sekarang, hal itu boleh dipastikan tak akan terjadi! Ini sama juga mengeroyok keempat peserta yang lain! Tak masuk akal hal semacam ini akan dilakukan oleh Eyang Sepuh! “Kenapa harus mengganggu Eyang Sepuh? Aku masuk cukup untuk…” Suara Gendhuk Tri terputus di tengah jalan. Jaghana, Wilanda, dan Nyai Demang secara bersamaan telah melindungi Gendhuk Tri. Jalan pikiran mereka sama! Kalau sampai Gendhuk Tri berbuat nekat, malaikat pun tak bisa mencegah kematian! “Tikus-tikus dengan lidah berbisa, kalian membuat aku tidak sabar saja.” Suara Naga Nareswara yang meninggi membuat Paman Sepuh menggerakkan capingnya. “Majulah. Kita mulai.” Tanpa membuang waktu, tongkat emas bergelang menerjang ke arah caping Paman Sepuh. Pada saat yang bersamaan, Kiai Sambartaka menggulung kedua tangannya, menyampuk tubuh Upasara Wulung. Dalam satu kejapan, uap putih bergulung di tengah, saling menerjang! Pertempuran telah mulai! Bahkan kesiuran angin saja membuat Jaghana, Wilanda, Gendhuk Tri, dan Nyai Demang mundur lebih jauh lagi. Begitu juga kedua murid Kama Kangkam. Kesiuran angin betul-betul bagai maut. Menyambar, menusuk, mematikan. Kama Kangkam yang berada di tengah sendirian, menggenggam pedang panjang dengan kedua tangan dan menggerung keras. Lalu tubuhnya melayang ke arah satu titik. Antara terlihat dan tidak, dari arah yang digempur Kama Kangkam melayang satu getaran angin yang aneh. Sejuk, lembut, meliuk, dan berputar bersama tubuh Kama Kangkam. “Eyang!” Teriakan Jaghana seperti rintihan, semacam jeritan bahagia sukma yang memasrahkan diri masuk ke pintu surga. Wilanda menggigil tak berani bergerak sedikit pun. Gendhuk Tri bahkan tak berani menelan ludahnya. Hanya Nyai Demang yang menghela napas sambil menutupkan kedua matanya. Di antara semua yang menyaksikan pertarungan, barangkali hanya Nyai Demang yang sedemikian luas pengetahuannya, dan sedemikian haus menyelami berbagai ilmu persilatan kelas dunia. Nyai Demang yang mengetahui secara teori ilmu-ilmu dari negeri Tartar, dan kemudian juga mengenal ilmu dari negeri Hindia. Adalah keinginan yang wajar jika Nyai Demang ingin menyaksikan apa dan bagaimana ilmu-ilmu kelas dunia yang didengar dan dipelajari itu dimainkan oleh tokoh-tokoh kelas dunia. Akan tetapi justru sewaktu kesempatan itu datang, Nyai Demang menutup kedua matanya. Untuk pertama kali, Nyai Demang tak tahan melihat apa yang ingin dilihat. Sukmanya seperti terbetot dan tercabik-cabik. Dan ini bukan semata-mata karena Upasara Wulung tengah bertarung di tengahnya. Terutama karena kesadaran bahwa kematian dan penguasaan ilmu itu tak bisa dibedakan. Lain yang dirasakan oleh Wilanda. Ia berjongkok, menutup mata karena merasa tak mempunyai tenaga sama sekali. Bahkan seekor nyamuk yang hinggap tak mungkin bisa ditepuk. Semua kekuatannya telah lolos, hilang entah ke mana. Begitu juga Gendhuk Tri yang tak tahu harus berbuat apa. Menyaksikan jalannya pertempuran pun tak bisa leluasa. Bagi Jaghana, teriakan menyayat yang meluncur dari bibirnya menandai bahwa rasa kecewa dan gembira menyatu. Kecewa dan gembira karena pada akhirnya Eyang Sepuh dipaksa muncul! Bagi batin Jaghana, biar apa pun yang terjadi, Eyang Sepuh tak perlu mengotori diri untuk tampil kembali. Tapi Kama Kangkam bisa menentukan arah, dan memaksanya! Semua Kebenaran, di Mana Jalan… EYANG SEPUH berada dalam medan pertempuran! Walau Jaghana tidak melihat jelas. Pastilah Kama Kangkam tidak sekadar menyerang angin hingga jungkir balik. Pedang panjang menggores, mengiris, menebas, menerjang dengan torehan bertenaga. Sementara hanya goyangan angin yang kadang terasa memberat, menekan, silih berganti. Yang membingungkan Wilanda ialah kenyataan bahwa sebenarnya Eyang Sepuh tidak sedang menggunakan ilmu meringankan tubuh. Dalam soal ini, Wilanda merasa belum tertandingi. Namun, kalau sosok tubuh Eyang Sepuh tidak terlihat, agaknya karena mempergunakan ajian manjing ajur-ajer, atau ajian bisa berada di mana saja. Itu salah satu ajian untuk pergaulan. Dalam arti harfiah, bisa bermakna dapat bergaul dengan siapa saja dari golongan mana saja. Dalam tingkat Eyang Sepuh, juga berarti bisa berada di berbagai tempat, seakan, pada saat yang sama. Sebenarnya, kalau Wilanda mencoba berpikir, sedikit-banyak keunggulan ada pada pihaknya. Dari enam tokoh utama dunia persilatan yang tengah bertarung ini, tiga di antaranya mewakili Perguruan Awan, baik secara langsung atau tidak. Yaitu Eyang Sepuh dan Upasara Wulung. Sedangkan Paman Sepuh Dodot Bintulu juga bisa dimasukkan, karena beliau adalah “adik seperguruan” Eyang Sepuh. Dan kalau ini diperhitungkan satu lawan satu, berarti ketiga tokoh itu bisa memilih menghadapi tokoh dari Jepun, Hindia, maupun dari Tartar! Akan tetapi kenyataannya, medan pertarungan tidak seperti itu. Melainkan mereka saling menggempur, sehingga kawan seperguruan pun terpaksa bertarung. Dalam menentukan gelar lelananging jagat, tidak terbedakan mana saudara mana bukan. Dari sisi ini, Wilanda benar-benar menyesal. Timbul secuil pertanyaan dalam lubuk hatinya: apakah ilmu silat justru menjadi pemisah persaudaraan? Sementara penonton berpikir sesuai dengan jalan pikirannya, pada saat itu yang berada di tengah pertarungan sedang bergulat antara mati dan hidup. Satu tarikan pukulan bisa mengakibatkan kematian. Kalau tidak kematian lawan, ya kematian diri sendiri. Sehingga setiap gerak yang paling kecil pun mempunyai perhitungan yang sangat teliti. Upasara tidak sempat berpikir banyak dan bercabang. Apa yang dihadapi tidak memungkinkan untuk itu. Pedang hitam kurus menyabet, menutup, dan serentak dengan itu berusaha menerobos cengkeraman Kiai Sambartaka. Yang dengan sepenuh tenaga mencoba menindih Upasara. Pukulan Beku yang menjadi andalannya seakan membekukan udara di sekitar. Beberapa kali tangan kanan Upasara yang susah bergerak sempurna nyaris menjadi sasaran! Kalau sekarang tangan kanan Upasara kena tersentuh, jangan berharap akan bisa memakai tipuan yang sama! Kiai Sambartaka mampu mengubah tenaga penyerangan beku menjadi tenaga yang menghancurkan. Digempur ketat seperti itu, Upasara hanya mampu bertahan. Gempuran arah atas berganti dengan gempuran kaki. Yang menguntungkan Upasara hanyalah jarak dan jangkauan pedang kurusnya lebih panjang. Dan agaknya Kiai Sambartaka merasa ngeri untuk merampas. Keuntungan kedua adalah Upasara lebih menunggu dibandingkan dengan Kiai Sambartaka. Serangan pertama Kiai Sambartaka yang agaknya tidak sabar menunggu lama. Pada titik itulah Upasara menerjang! Berjalan lima jurus, walau posisi Upasara bertahan, akan tetapi sesungguhnya malah menunjukkan beberapa keunggulan. Delapan Jurus Penolak Bumi dengan sebat dimainkan dalam satu tarikan jurus yang terus mengalir. Memecah dan mencegah serangan Kiai Sambartaka yang semakin tidak sabar. Masuk ke jurus ketujuh, Kiai Sambartaka mendadak mengubah serangannya. Kedua tangannya membuka, dan mendadak tubuhnya berputar. Kali ini Kiai Sambartaka menggertak dengan tangan kiri menghantam ulu hati Upasara. Tanpa memedulikan sabetan pedang. Karena pada saat yang bersamaan, tangan kanan dan kedua kakinya menggunting tubuh Upasara. Upasara menarik pedangnya dan menggertak ke arah serangan tangan kiri lawan. Akan tetapi pada saat itu tangan kanan yang justru maju cepat sekali, dibarengi guntingan dua kaki, dan tangan kiri ditarik! Begitu Upasara mengubah sedikit arah tebasan pedang, kaki kiri menggantikan posisi penyerangan tangan kanan, sementara kedua tangan dan kaki melipat habis tubuh Upasara! Inilah jurus yang disebut Tiga Langkah Kresna. Atau yang dikenal Upasara dengan julukan tiwikrama, dalam gerakan aslinya! Inilah tenaga Kresna yang berubah menjadi dahsyat. Seorang ksatria yang bertenaga raksasa dengan sepuluh kepala dan tubuh kebal mampu menahan aliran banjir dan lahar gunung yang paling panas. Mampu berdiri sampai ke langit! Betul-betul mencengkeram tanpa ampun. Tumbal permainan Upasara, sebentar ke arah selatan, sebentar ke arah utara, berbalik ke kanan, dan terpaksa memutar. Upasara mengertakkan giginya, dan mendadak tubuhnya berputar kencang, meluncur lurus. Bagai angin puting beliung! Jaghana mengertakkan giginya. Jurus penyerangan sambil memutar tubuh adalah jurus yang paling banyak menguras tenaga dan berbahaya. Karena dalam keadaan berputar kencang dan tubuh melayang, lawan akan mudah terkena serangan, dan sekaligus membuka diri pada serangan lawan. Jaghana mengenal sekali, karena penyerangan dengan memutar tubuh adalah ilmu yang menjadi andalannya. Yang hanya dikeluarkan kala terpaksa. Agak mengejutkan, justru Upasara yang dalam satu gebrakan terpaksa bisa menampar Kiai Sambartaka, kini ketika memasuki jurus kesembilan sudah mengeluarkan ilmu simpanan. Upasara tak melihat pilihan lain! Daya tindih serangan Kiai Sambartaka memang membuat tangan atau kakinya seolah bergumpal dan membeku, sehingga untuk bernapas sangat menyakitkan. Hampir semua jago silat memang sengaja menguasai udara sekitar medan pertempuran dengan menindih dan menguasai. Boleh dikatakan siapa yang menguasai udara, dialah yang menguasai lawan. Biasanya udara menjadi tipis atau panas, sehingga lawan akan tersengal-sengal. Akan tetapi Kiai Sambartaka mampu mengubah menjadi gumpalan! Inilah kehebatan ilmu Hindia. Dan Upasara yang merasa makin tertindih, membebaskan dengan serangan bergulung di tengah udara! Ini berarti Upasara melepaskan ilmu Kitab Bumi! Karena inti Kitab Bumi yang diajarkan selalu memakai kekuatan bumi. Mengambil tenaga bumi untuk menghadapi lawan. Dengan melayang di angkasa, berarti Upasara membebaskan sepenuhnya dari ketergantungan tenaga bumi. Dengan cara ini Upasara berusaha menumbalkan, atau mengorbankan diri atas pengaruh bumi. Yang berarti juga membuyarkan daya tindih angin beku dari Kiai Sambartaka. Akan tetapi memasuki suatu wilayah tenaga baru. Bukan tenaga bumi. Kiai Sambartaka mengeluarkan desis panjang karena sama sekali tidak menduga bahwa Upasara juga mampu mengubah sama sekali jurus-jurusnya! Seakan anak kemarin sore yang melupakan satu permainan dan bermain yang lain. Kiai Sambartaka seperti menghadapi lawan yang lain, pada kejap yang bersambungan! Upasara memang mencoba apa yang selama ini dipahami dalam kidungan Tumbal Bantala Parwa. Inti kidungan itu sebagian tadi diucapkan oleh Eyang Sepuh:
Jika semua jalan adalah kebenaran untuk apa kita memperebutkan jika semua kebenaran adalah jalan apa itu kebenaran mana itu jalan semua jalan adalah semua kebenaran semua perebutan adalah kebenaran adalah jalan!
Bait pertama dalam kidungan itu diucapkan Eyang Sepuh sebagai kata-kata ketika menghadapi pembicaraan Paman Sepuh Dodot Bintulu. Akan tetapi bagi Upasara memberi semacam petunjuk untuk memahami gencetan Kiai Sambartaka. Nyatanya, tindihan Kiai Sambartaka menjadi buyar. Gumpalan udara yang tadinya membeku bisa dihirup oleh Upasara yang tetap menggulung di udara, dengan serangan bolak-balik seakan memutari Kiai Sambartaka! Ini luar biasa. “Cukup. Sepuluh jurus kedua!” Belum Upasara hinggap di tanah, Kama Kangkam telah datang. | |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 2:50 pm | |
| Sebelum Ada Kawan, Jadilah Lawan KAMA KANGKAM menyentakkan samurai, dan dengan dibarengi “ciaaat”an panjang, memotong lambung Upasara. Upasara menarik pedangnya hingga lekat ke dada dan menangkis. Trang! Sabetan kedua. Traaaang! Disusul sabetan ketiga, keempat, dan berubah menjadi tusukan ke arah ulu hati. Trang! Trang! Trang! Upasara menjajal terus. Memapak setiap serangan yang datang secara berurutan dengan tenaga sabetan yang makin keras, makin kencang, dan makin cepat. Dua puluh kali bunyi trang yang makin pendek jaraknya tetapi makin mantap desakannya, Upasara membarengi tangkisannya dengan sabetan kaki. Tumpuan kaki Kama Kangkam yang menjadi sumber kekuatan berhasil dijegal. Begitu tubuh Kama Kangkam terangkat karena kuda-kudanya jebol, Upasara ganti menebas. Kama Kangkam mengeluarkan teriakan “ciaaaat” yang membelah telinga sewaktu tubuhnya melayang ke atas. Ini bahaya. Bahaya terbesar. Karena sewaktu tubuhnya melayang tegak lurus, samurai Kama Kangkam mengarah pada jidat Upasara. Lurus, mantap, tepat! Untuk sepersekian kejap, Upasara merasa nyawanya telah lenyap. Ubun-ubunnya menjadi dingin seperti teriris es! Rasanya tak bisa dibedakan apakah yang mengiris jidatnya persis di tengah pedang panjang ataukah hanya angin. Upasara menjatuhkan tubuhnya ke atas, pedang hitamnya menebas ke arah samping. Trang! Dua pedang beradu keras. Seakan saling membelit. Tusukan Kama Kangkam tegak lurus, menjadi sedikit mencong karena tebasan Galih Kangkam. Sebaliknya tangan Upasara menjadi luar biasa ngilunya. Sehingga ketika punggungnya menjadi pengganjal kekuatan dengan gerakan uler kaget, masih belum sepenuhnya bisa menggenggam kencang. Sebaliknya Kama Kangkam juga segera menjauhkan diri. Kini keduanya berdiri dalam jarak dua tombak. Saling menatap, dengan angin mendidih berembus dari semua lubang tubuh. Terutama memancar dari hidung! Siap dengan gerakan penghabisan! Bagi Upasara, cara bertarung seperti ini memang baru dikenalnya. Ketika memasuki jurus kesepuluh, Upasara tidak menduga dalam waktu seketika lawannya kemudian berganti. Dan Upasara yang merasa sedikit di atas angin sewaktu menggempur Kiai Sambartaka, seakan tidak siap menghadapi Kama Kangkam. Sebaliknya justru Kama Kangkam nampak siap begitu mendengar Paman Sepuh meneriakkan jurus kesepuluh telah berlalu! Ketidaksiapan Upasara bukannya karena tidak tahu bahwa setelah sepuluh jurus ia harus berganti lawan. Ketidaksiagaannya terutama karena dalam waktu yang bersamaan, yang merupakan sambungan jurus kesepuluh, datang lawan yang lain sama sekali. Pada jurus kesebelas yang dimainkannya! Ini pengalaman baru. Karena berarti ia memainkan partai terusan yang tadi dimainkan Eyang Sepuh! Seperti juga Eyang Sepuh yang kini menghadapi Naga Nareswara, dan Kiai Sambartaka yang menghadapi Paman Sepuh. Ini juga berarti keadaan bisa berubah sama sekali! Upasara Wulung merasa lolos dari lubang jarum. Nyawanya yang sudah berada di ujung bibir, kembali menyelinap sewaktu meloloskan diri dari gempuran Kama Kangkam yang menusuk dari atas. Dalam keadaan berdiri, berhadapan, Upasara menjadi sadar apa yang sesungguhnya terjadi. Pedang hitamnya ditarik ke dekat dada. Kama Kangkam, kali ini tidak mencekal dengan kedua tangan. Tapi menggenggam erat pada tangan kanan, dengan posisi membuka. Pedang di arah samping, dadanya terbuka. Yang sedikit menyelamatkan Upasara adalah bahwa tempo serangan ksatria Jepun ini mempunyai jeda sesaat sebelum jurus berikutnya. Kalau gempuran itu bergelombang dan bersambungan seperti yang dilakukan Kiai Sambartaka, barangkali ia sudah tak mampu berdiri lagi! Sepersekian kejap, pikiran Upasara berurut kembali. Pemusatan pikiran menyatu kembali. Pertarungan kali ini ibarat permainan congklak atau catur bersamaan. Ada tiga papan yang dimainkan, dengan enam pemain. Setelah memainkan sepuluh jurus, masing-masing pemain pindah papan lain, menghadapi lawan yang lain, dengan posisi memainkan apa yang ditinggalkan lawannya. Ibarat kata, Upasara sekarang ini harus memainkan biji catur atau biji congklak pada papan yang tadi dimainkan Eyang Sepuh. Tidak berangkat dari awal, akan tetapi tinggal melanjutkan. Dengan susunan biji congklak atau biji catur yang sudah dimainkan oleh masing-masing, baik Eyang Sepuh maupun Kama Kangkam selama sepuluh jurus! Ini yang baru saja dipahami! Pertarungan menyeluruh. Sebelum terjun ke gelanggang, Upasara berpikir bahwa ia akan menghadapi Kiai Sambartaka yang langsung menyambarnya dalam sepuluh jurus. Lalu berhenti, dan berganti menghadapi entah siapa selama sepuluh jurus dari awal. Itu yang berada dalam benaknya. Maka sungguh tak menyangka kalau mendadak saja Kama Kangkam sudah menerkam ke arahnya. Keunggulan Kama Kangkam terutama karena kejelian melihat medan lain, sehingga bisa merangsek ke arah Upasara, yang dipaksa main “di papan catur atau papan congklak” di mana ia memainkan bersama Eyang Sepuh. Dari segi pengenalan medan, jelas Kama Kangkam lebih unggul. Ini yang nyaris membuat ubun-ubunnya terbelah. Begitu lolos dari lubang jarum, Upasara mengenali cara pertarungan secara menyeluruh seperti ini. Berarti juga dalam bertarung, ia harus memperhatikan suasana sekitar dengan cepat, dan memaksa lawan bermain di “papan permainannya”. Atau setidaknya, ia tidak main pada papan di mana lawannya tinggal melanjutkan saja! Upasara menarik udara sepenuhnya, memompa ke dadanya. Hingga menggelembung sempurna. Pasrah. Sumarah. Menyerahkan diri secara total, mengikuti suara, mengikuti gerak yang muncul dari tenaganya. Seperti ketika mendengar bisikan Eyang Sepuh dalam pembicaraan, yang menjadi petunjuk dari gerakannya menghadapi Kiai Sambartaka. Bait-bait kidungan tentang “kebenaran” dan “jalan” yang bertentangan. Kilatan pikiran itu membersit dengan sendirinya, dan bait-bait kidungan dalam Kitab Penolak Bumi menemukan maknanya. Bahwa kalau semua jalan adalah kebenaran, tak ada lagi kebenaran. Bahwa kalau semua kebenaran adalah jalan, sebenarnya bukan lagi kebenaran dan bukan lagi jalan. Bersitan sesaat itu yang terwujud dalam gebrakan Upasara yang berani meninggalkan pengambilan pusat tenaga bumi! Dan nyatanya berhasil. Justru karena tidak mengambil kekuatan bumi, Upasara lepas dari pengaruh ilmu Kiai Sambartaka. Kini menghadapi Kama Kangkam, Upasara memusatkan serangan berikut yang bakalan dahsyat, akan tetapi juga mulai memperhitungkan bahwa sepuluh jurus nanti, lawan yang dihadapi bisa siapa saja. Bisa Kiai Sambartaka lagi, bisa Eyang Sepuh, Paman Sepuh, atau Naga Nareswara. Yang jelas bukan Kama Kangkam lagi. Ini berarti dalam setiap sepuluh jurus, dari lima lawan dihadapi, empat adalah kemungkinan menjadi lawan, dan satu yang jelas tak terulang. Mata Upasara menyempit. Kama Kangkam masih menunggu.
Sebelum ada kawan, jadilah lawan lawan membuat kita menang kawan membuat kita tak tenang hanya lawan yang bisa dikalahkan hanya kawan yang jadi persahabatan sebelum ada kawan, jadilah lawan lawanlah kawan ilmu tumbal ialah ilmu penolak kebenaran pun ditolak sebab kebenaran adalah kawan kawan adalah kebenaran setelah ada kawan, jadilah lawan sebab ilmu tumbal ialah ilmu penolak menolak kawan, menolak lawan, menolak kebenaran menolak ialah tidak tiada kawan, melainkan lawan!
Inilah kuncinya! Upasara menerjang maju!
Timinggila, Jurus Ikan Gajah KALAU Upasara lebih dulu menerjang maju, berarti ia memapak apa yang menjadi keunggulan Kama Kangkam. Ilmu Jepun adalah ilmu yang keras, tajam, dan mendahului. Dengan gerakan sangat cepat menyabet atau menyodet sekaligus. Saat berdiam diri adalah pemusatan pikiran sepenuhnya. Begitu bergerak dengan berlari kencang, sabetan samurai akan mengenai sasaran. Ataukah sabetannya yang lebih dulu, atau tusukan lawan. Dalam hal ini tak ada kemungkinan lain. Berbeda dengan ilmu silat dari tanah Hindia maupun Tartar, gerakan-gerakan Jepun tidak mempunyai bunga-bunga. Permainan secara langsung. Upasara mengenai dalam beberapa hal, justru karena mengenai permainan ilmu silat Galih Kaliki yang ternyata mempunyai sumber yang sama. Maka kini ia mendahului! Jaghana yang berdiri di tepi, seperti mendengar kidungan lirih Upasara. Rasanya, seperti Upasara yang mengumumkan, akan tetapi nadanya seperti dikidungkan oleh Eyang Sepuh. Bukan sesuatu yang luar biasa, mengingat kemampuan Eyang Sepuh yang luar biasa. Kalaupun benar Eyang Sepuh yang mengidungkan dalam hati dan mampu tertangkap oleh Upasara karena gelombang rasa pasrah yang sama, bukan berarti Eyang Sepuh memberi petunjuk perlawanan Upasara. Karena kidungan itu sudah dihafal dengan sendirinya, oleh siapa pun yang mempelajari Kitab Bumi. Yang menjadi titik cerah sebagai pemecahan adalah bagaimana menerapkan lirik-lirik dalam kidungan itu menjadi gerakan yang mempunyai makna. Sesungguhnya, inilah yang dipuji oleh Paman Sepuh Dodot Bintulu. Karena Eyang Sepuh mampu mengembangkan lirik-lirik dalam kidungan menjadi sesuatu yang bisa ditafsirkan secara luas dan mengena. Saripati ilmu Bantala Parwa adalah ilmu yang dimulai dari penolakan. Ilmu yang mendasari kepada ada yang berasal dari ketiadaan. Dimulai dengan tiada… selain… Peniadaan inilah yang disebut sebagai tumbal, sesuatu yang harus dikorbankan. Seperti lirik dalam kidungan yang baru saja menggema dalam hati. Dengan menolak arti persahabatan, arti persaudaraan, arti perkawanan, akan menemukan tenaga yang sesungguhnya. Dengan menganggap siapa saja sudah lawan, terbuka kesempatan untuk mengembangkan diri. Karena, hanya dengan adanya lawan, seseorang bisa muncul, bisa maju, bisa melawan. Pengertian-pengertian ini mempunyai arti yang luas. Karena dengan demikian, Upasara akan menghadapi semua bayangan yang bergerak sebagai lawan. Siapa pun dan apa pun yang melintas harus dikalahkan, ditaklukkan. Apakah itu Kama Kangkam atau Eyang Sepuh, tak ada bedanya. Apakah itu gerakan berbahaya atau tidak, menjadi sama dalam pandangan Upasara. Maka begitu Kama Kangkam mengumpulkan tenaga, Upasara menyerang lebih dulu. Sebelum ada kawan… Kama Kangkam berlari kencang sekali, memapak serangan Upasara. Sabetan keras merobek udara dan menoreh segalanya. Semua bagian tubuh Upasara diserang tajam. Galih Kangkam di tangan Upasara mengeluarkan desiran angin tajam, sebelum beradu keras lawan keras. Ketika dua tubuh seolah bertabrakan, terdengar beradunya pedang dengan sangat tajam menimbulkan suara yang memiawakkan. Kini bukan hanya Nyai Demang, Gendhuk Tri, dan Wilanda yang terpaksa menutup telinganya, kedua Kama pun menutup telinganya dan mundur sampai delapan langkah! Menjauh dari gelanggang. Gempuran dan gelombang keras lawan keras makin lama makin mencapai puncaknya, setelah mendadak saja suasana berubah bersamaan dengan teriakan Paman Sepuh. Sepuluh jurus kedua telah berlalu. Caping dan tongkat kurus Paman Sepuh telah menutup pandangan Upasara, yang segera menyambut dengan loncatan ke atas. Melewati caping dan galah. Serta-merta dengan itu tangan kirinya menyabet ke bawah dari segala arah. Menutup segala kemungkinan untuk meloloskan diri. Karena tiba-tiba saja pedang hitam Upasara menutup bagian bawah dengan hujan tusukan, pada kecepatan yang tinggi. Siwamba Siwapatra, desisan Paman Sepuh antara terdengar dan tidak. Seakan mengenali apa yang dilakukan Upasara, tapi sekaligus juga mengagumi bahwa dari ilmu Penolak Bumi bisa dimainkan begitu sempurna! Siwamba bisa diibaratkan Air Penghidupan. Dalam penguasaan Upasara, air penghidupan adalah air hujan. Tusukan pedangnya berubah menjadi air hujan yang tertumpah dari langit. Hanya saja yang jatuh menusuk bukan air penghidupan, melainkan tusukan pedang yang naik-turun dengan cepat. Itu sebabnya bagian tersebut dirangkai dengan Siwapatra atau gerakan Teratai Merah. Tusukan air penghidupan, menyebabkan teratai merah berkembang, dan terkena! Dalam keadaan seperti ini, Paman Sepuh yang menjadi teratai merah. Kekuatannya tak bisa dipencarkan, karena ia menjadi pusat serangan. Terdengar batuk-batuk kecil. Serentak dengan itu, bagian tubuh Paman Sepuh mendadak berubah. Seolah menjadi gumpalan raksasa yang mengeluarkan gelombang besar, dengan kibasan angin yang terasakan sampai ke pinggir medan pertarungan. Tubuh tua Paman Sepuh berubah menjadi naga yang mengeluarkan tenaga luar biasa besarnya, dan udara sekitarnya seperti ombak laut yang tersibak dalam gelombang besar. “Timinggila.” Upasara mendesis karena kagum. Apa yang dipamerkan Paman Sepuh memang pameran kekuatan yang luar biasa. Dalam sekejap, kekuatan dan tubuhnya berubah seakan ikan gajah, atau ikan paus, atau timinggila. Kekuatan ikan gajah yang menyeruak dari dasar laut, dan menyebabkan gelombang sekitarnya terpecah. Ketika ikan gajah menyeruak dari dasar samudra, titik-titik hujan tak menjadi bahaya! Paman Sepuh bukan teratai merah yang diam, melainkan ikan gajah! Upasara terperangah. Paman Sepuh yang berada di bawah menjadi gagah. Gelombang kekuatannya juga berpengaruh pada suasana sekitar yang mau tak mau kecipratan ulah sibakan tenaga ikan gajah. “Timinggila Kurda.” Kembali Upasara mendesiskan nama jurus, Ikan Gajah Murka, lebih untuk meyakinkan diri sendiri bahwa lawan di bawahnya memang menyapu apa saja yang ada di sekitarnya. Sebenarnya bagi Upasara ini adalah pengalaman yang paling berharga dalam perjalanan hidupnya sebagai ksatria. Karena apa yang dialami secara langsung, merupakan bagian-bagian yang telah dipelajari! Seperti diketahui, sumber ilmu silat Upasara yang kemudian berkembang pesat berasal dari Kitab Bumi. Menurut pengakuan yang didengar, Kitab Bumi yang sesungguhnya diciptakan kembali oleh Paman Sepuh, dan mendapat kesempurnaan di sana-sini oleh Eyang Sepuh. Sampai di tangan Eyang Sepuh, tentu saja banyak perbedaan, baik penambahan maupun pengurangan pada bagian-bagian tertentu. Namun di atas semua itu, intisari tetap sama. Maka, baik Paman Sepuh maupun Upasara saling mengenali dasar-dasar apa yang tengah dimainkannya sendiri maupun lawannya. Bahwa Timinggila adalah raja segala ikan di laut, yang besar dan buas, Upasara bisa mengerti. Akan tetapi bahwa Paman Sepuh bisa mengubah dirinya menjadi kekuatan itu, sungguh membuatnya kagum dan tak habis pikir. Ternyata nama-nama yang dipakai dan atau disebutkan dalam kidungan itu bukan sekadar nama. Bukan merupakan perumpamaan, akan tetapi betul-betul bisa diperhatikan secara jelas. Kembali Upasara seperti menemukan jalan buntu. Hujan tusukan yang dimainkan seperti mandul dan percuma. Mentah oleh gelombang ombak munculnya Timinggila yang sedang murka. Bahkan mau tidak mau, Upasara terdesak ke arah tempat yang agak jauh, karena tak mampu meniti gelombang untuk mendekat. Tanpa terasa sepuluh jurus kembali berlalu. Mau tak mau lawan yang dihadapi berganti! Di pinggir lapangan, Wilanda menyadari bahwa matahari sudah makin condong ke barat, dan kegelapan mulai menyelimuti. Akan tetapi tak ada tanda-tanda pertarungan dihentikan sejenak. Bayangan-bayangan yang tengah bertarung-Wilanda tak bisa memastikan apakah yang bergerak enam bayangan atau lima atau hanya empat-masih sama ketika mulai. Wilanda tak bisa mengikuti kini, siapa melawan siapa. Siapa menghadapi siapa, dan siapa yang lebih unggul dari siapa. Hal yang sama dihadapi Gendhuk Tri. Karena memaksakan diri untuk mengikuti dengan jelas, kepalanya mulai pusing, kesadarannya menurun. Beberapa kali tenaga dalamnya dikerahkan agar terjaga, namun makin lama makin sia-sia. Malam, kini, sepenuhnya kelam. Kemenangan yang Kalah DALAM keadaan terang benderang pun susah mengikuti jalannya pertempuran, apalagi sekarang ini. Tanpa cahaya bulan. Bahkan rasanya tanpa desir angin. Gendhuk Tri tertunduk lemas, sementara Nyai Demang beberapa kali menghela napas. Antara sadar dan tidak, Nyai Demang masih memaksa diri melihat kelebatan bayangan. Akan tetapi pandangannya makin kabur. “Jangan memaksa diri,” suara Jaghana terdengar mengalir perlahan. Baru sekarang terdengar suaranya, diawali dengan helaan napas dan batuk kecil. Wajahnya seolah menggigil. “Apa yang terjadi di medan pertarungan di luar kemampuan kita. Bahkan untuk menyaksikannya. Kita bukan apa-apa dibandingkan para sesepuh. “Marilah kita memanjatkan doa dan pujian kepada Dewa yang Mahaagung, agar jalannya dan petunjukNya yang terjadi.” “Apa kita tak bisa berbuat sesuatu?” “Gendhuk Tri, rasanya berat, akan tetapi saya hanya bisa membenarkan apa yang Gendhuk Tri kuatirkan.” “Paman Jaghana juga tak bisa berbuat apa-apa?” “Sama sekali.” Geraham Nyai Demang menggertak. “Paman Jaghana tak bisa mengetahui sekarang ini siapa melawan siapa dan bagaimana keadaannya?” Jaghana menghela napas berat. “Apa bedanya kalau saya katakan Adimas Upasara melawan Kiai Sambartaka atau Eyang Sepuh sekalipun? “Pada setiap jurus terjadi pergantian pertarungan. Tak ada yang mampu memisahkan mereka. Hanya maut yang bisa menghentikan.” “Paman…” Suara Gendhuk Tri seakan memohon dengan sangat. “Apakah benar-benar Paman tak mengetahui siapa yang bakal keluar dari medan pertarungan dengan selamat?” “Tidak.” “Tidak mampu memperkirakan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang?” “Tidak ada yang keluar sebagai pemenang. Inilah kemenangan yang kalah. Bahkan juga termasuk Eyang Sepuh. Saya sedih mengatakan ini. Akan tetapi batin saya makin merintih, tertindih beban yang tak kuasa saya panggul kalau tidak mengatakan hal ini. Saya tak ingin membagi kecemasan, akan tetapi agaknya tak bisa lain. “Pemunculan Eyang Sepuh dari kedamaian yang dicapainya adalah kegagalan. Eyang Sepuh dipaksa turun ke gelanggang dan bertempur. “Ah, betapa sesungguhnya ilmu silat itu jalan sesat yang maha jahat. Ketika kaki kita melangkah di jalan itu, tak ada langkah surut kembali. Di sana hanya ada lingkaran yang membelit tak keruan ujungnya. “Semakin mempelajari ilmu silat, semakin jauh kita tersesat. Pertarungan ini hanya mempunyai makna dari segi ini. Bahwa pada akhirnya semua jago silat di jagat ini harus memamerkan keunggulannya. Secara rela maupun tidak sengaja. “Betapa sesungguhnya, Eyang Sepuh lebih bahagia di kedamaian dan Upasara di kedamaian ketika melepaskan semua ilmunya.” “Paman…” Kali ini suara Wilanda yang memohon. “…Inilah titik akhir dan sekaligus awalnya.” “Paman tidak akan…” Jaghana membisu. Sebentar. “Saya tak cukup berarti. Memiliki atau tidak memiliki ilmu silat, saya tak akan mengubah apa-apa.” “Paman!” Kali ini Wilanda berseru, bersamaan dengan Gendhuk Tri dan Nyai Demang. Badan Jaghana bergoyang-goyang. Wilanda segera menunduk, bersila, dan menempelkan telapak tangannya ke tubuh Jaghana. Nyai Demang dan Gendhuk Tri juga melakukan hal yang sama. Serentak dengan itu terasakan udara dingin dan panas berganti-ganti bergolak dari tubuh Jaghana. Kalau tadi Gendhuk Tri merasakan pusing, itu karena gangguan penglihatan. Sedangkan Jaghana, sebenarnya, lebih parah lagi! Peristiwa yang dilihatnya lebih melukai jiwanya! Sehingga terjadi keguncangan. Sehingga Wilanda, Gendhuk Tri, dan Nyai Demang berusaha menenteramkan. Sewaktu usaha ketiganya mulai menyatu, mendadak terdengar teriakan keras. Semacam jeritan yang menyayat. Nyai Demang bergoyang tubuhnya. Napasnya menjadi kacau-balau. Di kejauhan nampak dua tubuh terbanting! Tak bergerak lagi! “Duh, Dewa.” Rintihan suara Gendhuk Tri menyadarkan semuanya. Bahwa dua orang telah menjadi korban. Dua-duanya telah menjadi mayat. Gendhuk Tri menggigil. Di saat yang kritis, suara Wilanda terdengar tipis mengelus. “Kedua Kama, murid utama Kama Kangkam, telah menemukan jalan buruk menuju kepada kematian. “Sebaiknya kita menyingkir dari tempat ini. “Sementara…” Memang, dua tubuh yang terkapar tak berdaya adalah Kama Kalandara dan Kama Kalacakra. Mereka berdua mengalami proses keguncangan yang sama parahnya. Hanya karena latihan dasar ilmunya berbeda, lebih keras dari Jaghana, ketidakmampuan menahan diri itu berakibat fatal. Keduanya mencabut pedang pendek dan menusuk perut sendiri! Begitulah dua murid utama pendekar Jepun mengakhiri ketegangan dan guncangan dirinya. Tradisi bunuh diri karena merasa tak mampu mengikuti jalannya pertempuran, menemukan bentuknya. Itu pula sebabnya Wilanda mengusulkan untuk berpindah tempat. Yang segera dituruti, walau dengan berat hati. Barulah mereka berempat sadar, bahwa di sekitar Trowulan banyak dijumpai mayat para prajurit Keraton. Yang agaknya secara sembunyi-sembunyi menyaksikan dan mengikuti pertarungan. Barangkali karena tenaga dalam mereka masih belum kuat, kesiuran angin atau pukulan tak langsung, membunuh tanpa sempat bereaksi. “Pasrah kan kepada Dewa yang Maha Mengetahui…” Wilanda terus memimpin pemusatan pikiran ketiga kawan nya. Sampai fajar menyingsing. Berarti pertarungan dahsyat sudah berjalan sehari-semalam. Tanpa henti! Tanpa mengendor. Dalam kemelut pertarungan, Upasara sendiri tidak tahu apakah kini sudah fajar atau siang hari. Ia bagai tenggelam dalam gelombang yang makin lama makin menyeret dirinya. Membetot sukmanya. Gerakan-gerakan yang dimainkan telah membuat getaran yang menjalar di seluruh tubuhnya. Upasara tenggelam, larut, menyatu dengan ilmu silat yang dimainkan. Tak bisa membedakan lagi siapa lawan yang dihadapi. Seolah segalanya berjalan berdasarkan naluri semata-mata. Tubuhnya kuyup oleh keringat dan mengering lagi. Dahaga dan kesesakan datang dan hilang kembali. Pedang hitam ratusan kali mengulang gerak yang sama, sedikit berbeda di bagian awal atau akhir. Kalau sebelumnya sempat mengingat kidungan dan melihat pemecahan, kini sepenuhnya larut. Menyatu. Tak bisa menghentikan atau menunda. Semua mengalir begitu saja. Sampai gelap seluruhnya, dan mendadak gerakannya terhenti begitu saja. Terlintas dalam kejapan ingatannya bahwa tongkat emas Naga Nareswara seperti menari-nari di depannya, dan mendadak tongkat kurus Paman Sepuh berhasil mengenyahkan. Naga Nareswara berlutut, memegangi dadanya yang terbelah. Torehan melenceng dari pundak kiri, ke arah pangkal paha di sebelah kanan. Luka menganga, hingga rasanya Upasara melihat tulang, otot, dan urat nadi Naga Nareswara. Dan melihat bahwa tongkat emas pusaka itu bergulir, menghantam wajah Paman Sepuh yang seketika seperti mengepulkan debu. Pada saat yang sama, Upasara merasa ada angin berdesir di pundak kanannya, dan melihat Kama Kangkam tersungkur dengan pedang hitam amblas masuk ke tubuhnya! Upasara berdiri dengan kaki limbung. Ada semacam rasa mual dan mabuk yang menguasai diri sepenuhnya. Tak jelas sekali, apakah Paman Sepuh telah hancur kepalanya, dan Naga Nareswara telah terbelah, atau Kama Kangkam yang lebih dulu tertusuk Galih Kangkam hingga amblas. “Aku, utusan dari Jepun, menyerah kalah!” Tubuh Kama Kangkam masih berlutut, kaku seketika. Naga Nareswara mengeluarkan suara mengguntur. “Hebat. Tikus-tikus ini bukan hanya lidahnya yang sakti. Aku puas. Terimalah hormatku.” Tangannya berusaha terangkat dan memberi hormat, sebagaimana kebiasaan ksatria Tartar. Akan tetapi tangan itu telah terlepas, dan tubuhnya terempas! Bait Terakhir yang Tersisa INI yang luar biasa! Akhir yang tak terduga. Naga Nareswara terbelah bagai disobek paksa. Terkelupas secara sempurna. Sementara Paman Sepuh hancur bagai debu, rontok seluruh isi kepalanya. Dan Kama Kangkam terpanggang pedang hitam hingga ke gagang. Dalam tarikan napas terakhir, ketiga senopati utama dunia ini mengakui kekalahannya dan memberi penghormatan kepada pemenang. Kalau dibuat perhitungan secara kasar, Upasara yang bisa muncul sebagai pemenang dengan bersih. Kama Kangkam, ksatria utama dari Jepun berhasil dirobohkan. Sedangkan Paman Sepuh yang lebih dulu unggul, dalam sekejap berikutnya menjadi tak bersisa. Hanya satu perhitungan yang harusnya masih berjalan. Antara Eyang Sepuh melawan Kiai Sambartaka. Yang pasti sudah mencapai titik akhir juga. Karena dalam pertarungan yang berlangsung tinggi dan penuh dengan ilmu-ilmu utama yang dilontarkan secara bersamaan, tak bisa berakhir sendirian. Nyatanya memang begitu! Hanya saja hasilnya lain! Antara sadar dan tidak, Upasara Wulung melihat bahwa pertarungan Eyang Sepuh dengan Kiai Sambartaka sampai ke bagian yang paling menentukan. Tak bisa dicegah tak bisa dipisah. Hanya akan menghasilkan satu pemenang! Eyang Sepuh berhasil menguasai semua ilmu Kiai Sambartaka, dan berhasil mempengaruhi getaran udara. Akan tetapi agaknya Eyang Sepuh tidak ingin merebut kemenangan. Dengan penguasaan yang maha sempurna, Eyang Sepuh berhasil membebaskan dirinya, tanpa membunuh Kiai Sambartaka. Pada tingkat yang serba sempurna ini, ternyata Eyang Sepuh tetap mendudukkan dirinya sebagai di atas yang paling atas. Tubuh Kiai Sambartaka hanya bergulingan di tanah. Tapi akhirnya memang berbeda. Begitu terbebas dari pengaruh ilmu Eyang Sepuh, Kiai Sambartaka bukannya mengucapkan terima kasih atau menerima kalah. Justru sebaliknya. Teriakan mengguntur, mirip jeritan yang memilukan, terdengar menyayat, dan serentak dengan itu dua tangannya memukul Eyang Sepuh! Pukulan terakhir yang menggemuruh! Pekikannya serta-merta membuat semua binatang berbisa di sekitar Trowulan mendesis dan menyerbu dengan ganas siapa saja yang ada di dekatnya. Kiai Sambartaka mengerahkan ilmunya yang terakhir. Upasara tak menduga sama sekali. Hanya bisa memandang dengan kaki masih limbung. Melihat tanpa bereaksi munculnya ular berbisa, kalajengking yang secara mendadak menyerbu ke arahnya. Juga ke arah Gendhuk Tri, Wilanda, Jaghana, maupun Nyai Demang. Sebagian binatang berbisa itu muncul dari tanah, sebagian muncul dari tubuh Kiai Sambartaka. Bahwa Kiai Sambartaka mampu menjinakkan dan menggunakan ular kobra sebagai senjata, hal itu bukan sesuatu yang luar biasa. Semua pendeta dari tlatah Hindia menguasai dengan sempurna. Dan Kiai Sambartaka lebih dari sekadar menguasai! Yang tak terduga ialah bahwa Kiai Sambartaka menggunakan secara licik. Sungguh tak masuk akal bahwa tokoh pujaan yang telah mencapai ilmu sedemikian tinggi masih bisa berbuat busuk! Sungguh tak sepadan dengan sifat ksatria Kama Kangkam maupun Naga Nareswara serta Paman Sepuh. Tapi itulah jalan yang ditempuh Kiai Sambartaka. Terlambat Upasara untuk menangkis. Apalagi yang lain. Dalam sepersekian kejap, segala binatang beracun akan memangsa! memiawik pun tak sempat. Upasara berusaha berdiri dengan tegak. Akan tetapi puyeng di kepalanya makin berdenyut. Yang bisa dilakukan hanyalah menahan napas. Pada saat itu terasa angin berdesir. Antara kelihatan dan tidak, bayangan putih Eyang Sepuh mendesir, mengibaskan pakaian putih, dan semua binatang berbisa, berikut pukulan Kiai Sambartaka, terarah padanya. Pada Eyang Sepuh! Yang mengambil alih semua bencana dan risiko. Pujian dan segala kehormatan bagi Eyang Sepuh yang mulia! Kiai Sambartaka terbanting, muntah darah kental, dan tubuhnya bergoyang-goyang sebelum akhirnya terbanting ke Kali Brantas dan lenyap! Kini Jaghana, Wilanda, Gendhuk Tri, dan Nyai Demang bisa melihat jelas. Melihat bayangan tubuh Eyang Sepuh yang bergerak perlahan. Kalau tadinya antara kelihatan dan tidak, sekarang terlihat gerakannya. Lembut. Ringan. Bahkan Jaghana bisa mengamati jubah yang dikenakan Eyang Sepuh ada tanda darah dan luka. Bisa jadi cipratan darah segala binatang terluka. Bisa jadi Eyang Sepuh sendiri yang terluka! “Eyang!” Hampir bersamaan, kelima warga Perguruan Awan itu bersujud dan meneriakkan nama yang sama. Terdengar suara batuk kecil. Terdengar suara, antara terdengar dan tidak:
Kenapa menyesali yang pergi kalau rumput bisa bersemi berkorban itu melepas harapan pergi itu lahir kembali dalam Kitab Bumi Ada bait terakhir, tak terbaca hati!
Suara batuk menghebat. Disusul batuk-batuk kecil. Bayangan tubuh Eyang Sepuh semakin menjauh, tapi perlahan. Menghilang di kesenyapan. Lenyap. Senyap. Gelap. Upasara Wulung tertekuk tubuhnya. Samar-samar masih terasa seperti terlibat dalam pertarungan, yang makin lama makin tak bisa dibedakan siapa yang dihadapi, dengan siapa ia bertarung, yang menyeretnya begitu saja, seolah ia dipaksa memainkan jurus-jurus tanpa bisa mengontrol. Semua kemampuan silatnya mengalir begitu saja. Tubuhnya seperti digerakkan oleh kekuatan lain. Gerakan silatnya menjadi, membentuk. Tubuhnya menyerang dan menekuk dengan sendirinya. Lalu korban berjatuhan. Dan Kiai Sambartaka yang berbuat sangat licik dan hina. Lalu pengorbanan Eyang Sepuh. Sehari-semalam Upasara Wulung selalu terseret dalam lamunan dan lingkaran pikiran yang begitu berat serta meletihkan. Dan tak bisa ditanggalkan. Baru kemudian tubuhnya seperti terseret arus gelap. Malam hari Upasara sadar kembali. Menemukan dirinya dikelilingi Jaghana, Wilanda, Gendhuk Tri, serta Nyai Demang. “Paman…” | |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 2:50 pm | |
| Episode 13 Senopati Pamungkas I - 13 “Gendhuk Tri, bebaskan temanmu itu. Lima puluh tahun lagi kita akan saling bertemu kembali.”
Pewaris Kitab Air GENDHUK TRI berteriak kuat, akan tetapi bayangan samar di depannya menghilang. Singanada menghela napas. Kakinya masih tak bisa digerakkan. Kalaupun bisa, juga tak bisa mengejar. Cebol Jinalaya bingung memandangi Gendhuk Tri yang berteriak. Sejak tadi ia melihat Gendhuk Tri berbicara sendirian, karena ia tak bisa melihat bayangan Putri Pulangsih. Makanya ia menjadi heran ketika Gendhuk Tri berteriak kuat. Apalagi setelah itu, Gendhuk Tri dan Singanada duduk, menyembah dengan hormat. “Banyak yang ganjil di dunia ini. Tetapi yang namanya tokoh-tokoh terhormat lebih ganjil lagi. “Aku tak mengerti kenapa Eyang Putri masih menunggu lima puluh tahun lagi, dan sekarang ini ingin memperdalam ilmunya. Rasa-rasanya aku pun belum tentu masih hidup lima puluh tahun lagi. “Sungguh tak bisa dimengerti.” Maha Singanada berdiam diri. Perlahan anyaman di benak kepalanya membentuk gambaran kebesaran Keraton Singasari. Baginda Raja Sri Kertanegara tetap raja yang paling dahsyat di seluruh jagat. Pada saat memerintah, semua kitab yang ada di seluruh jagat ini diubah dan dibuat salinannya. Dan itu bukan hanya kitab kanuragan, tetapi juga kitab-kitab susastra yang adiluhung. Itu yang menyebabkan kedua orangtuanya berangkat ke tanah Campa. Tempat ia dilahirkan, dibesarkan dengan dongengan dan kenyataan. Itu yang menalikan sebagai kekuatan raksasa. Mpu Raganata dengan gemilang menjadi penghubung, termasuk mengirimkan salinan Kitab Bumi yang dipelajari hingga sekarang. Sungguh mengagumkan. Baru saja disaksikan sendiri salah satu kesaktian yang tiada taranya. Ilmu Manjing Ajur Ajer yang dipelajari, ternyata bisa mencapai puncaknya dengan menghilangkan diri. Menjadi moksa. Menjadi cat katon cat ilang, antara kelihatan dan hilang. Ini pula yang berbunyi di hati Gendhuk Tri. Seumur hidupnya, ia menyaksikan sendiri dua tokoh sakti memperlihatkan ilmu itu. Yang pertama ialah Eyang Sepuh. Dan kini Putri Pulangsih. Yang sudah mencapai tingkat kasampurnan, sempurna. Sehingga tidak penting lagi, perlu ada secara nyata atau tidak. Ada rasa berbunga-bunga pada Gendhuk Tri. Ternyata, dirinya masih cucu murid kesekian pencipta Tirta Parwa, yang selama ini namanya saja tak diketahui. “Bagus, bagus sekali ilmu kamu.” “Ilmunya yang hebat, aku sendiri masih luar biasa gobloknya.” “Baru bisa mencapai tingkat itu,” kata Maha Singanada. “Apa susahnya mempelajari?” “Mana mungkin? “Aku tak pernah mengetahui.” “Bukankah Nyai Demang bisa tahu dari Kakek Berune? Bukankah Halayudha menyimpan salinannya?” “Gila! “Benar apa yang kamu katakan. Aku akan merebut kembali.” “Berangkatlah segera.” “Kamu sendiri bagaimana?” Maha Singanada menggelengkan kepalanya. “Jangan urusi diriku. “Perhatianmu sudah cukup melegakanku.” Wajah Gendhuk Tri merah padam. Ia berpaling ke arah lain. “Aku cuma kasihan melihatmu tak bisa bergerak. Jangan berpikir yang macam-macam.” “Kakiku kaku. “Tapi biar saja.” “Tadi dikatakan aku bisa menolongmu. Tapi mana bisa?” Gendhuk Tri bersemadi. Duduk bersanding. Menarik udara keras-keras, menahan di dada. Memusatkan perhatian kalau-kalau mendengar bisikan petunjuk. Lama sekali Gendhuk Tri menunggu. Sampai perasaannya sendiri hanyut terbawa alunan irama angin. Tanpa terasa tangannya bergerak, memegang kaki Singanada. Dirasakannya satu getaran dingin yang menggumpal. Dengan mengikuti tenaga gumpalan, Gendhuk Tri berusaha menyalurkan tenaganya. Perlahan. Yang terbayang hanyalah air. Bukan selendang warna-warni. Bukan wajah Jagaddhita. Bukan Mpu Raganata. Melainkan air. Gemercik air, tapi bukan bunyinya. Air. Air mengalir. Tapi bukan geraknya. Air yang menggenang. Air yang mengubang. Air. Air. Air. Singanada juga memusatkan perhatian. Kalau tadi tenaga dalamnya berusaha membebaskan kakinya yang kaku dan selalu terhalang, kini diikutinya saja pelukan tenaga dari telapak tangan Gendhuk Tri yang terasa hangat. Mengurung bagian yang ngilu tak bisa digerakkan. Cebol Jinalaya menyaksikan semua kejadian dengan diam. Tenang dan menunggu. Ia tak mengerti bahwa pada saat itu Gendhuk Tri dan Maha Singanada sedang memusatkan seluruh kemampuan tenaga dalam mereka. Sedang mencairkan kebekuan! Bagi Gendhuk Tri maupun Singanada, menerima dan menyalurkan tenaga dalam merupakan latihan sehari-hari. Sehingga meskipun baru sekarang ini bersentuhan, bisa langsung mengatur diri. Hal semacam ini lumrah dalam dunia persilatan. Gendhuk Tri bahkan mengalami yang lebih dari ini. Tenaga dalam Upasara Wulung dimasukkan secara paksa ke dalam tubuhnya untuk membongkar racun ganas dalam tubuhnya. Maka baginya tak terlalu sulit menyalurkan tenaga dalamnya. Begitu juga Singanada. Tak terlalu sulit menerima saluran tenaga dalam dan digabungkan dengan tenaga dalamnya sendiri. Yang sedikit mengganjal ialah bahwa tenaga dalam dari tangan Gendhuk Tri seperti merembes. Perlahan, lunak, mengalir. Tak bisa dipaksa dan dibantu dengan tenaga dalamnya sendiri. Kadang terasa sangat penuh di kakinya, terkadang justru lenyap kembali. Sampai sepenanak nasi Gendhuk Tri menjajal, hingga seluruh tubuhnya bermandikan keringat dingin. “Aku tak tahan lagi,” kata Gendhuk Tri sambil menarik kembali tangannya. Maha Singanada memandang dengan sorot mata penuh rasa terima kasih. “Kiai Sambartaka memang hebat. Tapi kamu lebih hebat lagi.” “Tidak, aku sendiri tak mengerti sepenuhnya. Aku hanya menjajalnya. “Bagaimana, masih tak bisa digerakkan?” Singanada menarik kakinya. Masih kaku sedikit, akan tetapi mulai bisa bergerak. Juga jari-jari kakinya bisa digerakkan. “Kamu pewaris tunggal Ilmu Air. “Pasti bisa.” “Harusnya begitu. Tapi selama ini aku tak pernah mempelajari secara langsung. Aku hanya mengikuti petunjuk guruku.” “Jangan tersinggung kalau kukatakan kamu pada dasarnya bodoh. Kalau guru yang sebenarnya bisa mencapai tingkat seperti yang kita lihat, seharusnya kamu bisa mengungguli. “Sudah jelas dikatakan intinya adalah air. Tenaga air. Maka kamu tinggal melatih lagi, menjajal lagi.” Gendhuk Tri berdiri seketika. “Enak saja. Kamu mau memperbudak aku untuk mengobatimu?” “Tidak apa. “Kamu bisa menjajal pada tubuhmu.” Suara Singanada polos. Pandangan matanya juga polos. Tanpa prasangka apa-apa. Memang itulah Maha Singanada yang diketahui Gendhuk Tri. Berbicara secara terus terang. Apa yang ada di benaknya keluar tanpa disaring dengan basa-basi. “Ayo kita jajal lagi.” “Jajal saja sendiri.” “Tak bisa, tak bisa. “Dengan mengatur napas Nawawidha, justru kebekuan dan rasa sakit jadi berlipat sembilan. Barangkali ini yang membuat lebih sakti. Tapi usahamu malah menjadikan lebih baik. “Itu, barangkali saja, sifat air. “Dan wanita cocok dengan sifat itu. “Aku ingin kamu menguasai lebih banyak dan lebih sadar, sehingga bisa merebut kitab salinan dari tangan Halayudha.” Gendhuk Tri tak menjawab. Cebol Jinalaya mengangguk. “Kalau saya bisa melakukan, akan saya lakukan. Apa yang harus saya lakukan sekarang ini?” Pasangan Bumi dengan Air APA yang dikatakan si cebol hitam sangat tepat. Dengan menanyakan “Apa yang harus saya lakukan sekarang ini?”, Cebol Jinalaya masuk ke tengah persoalan. Bahwa ia bisa berbuat sesuatu yang sangat dibutuhkan saat ini. Gendhuk Tri bukannya tidak mengetahui bagaimana mengatur pernapasan atau menyalurkan tenaga dalam untuk membantu Maha Singanada. Walau secara teori tidak sempurna, akan tetapi sejak masih kecil Gendhuk Tri sudah berlatih secara langsung. Ditambah pengalamannya yang luar biasa dalam berbagai medan pertempuran, dengan sendirinya penguasaan akan ilmunya boleh dikatakan sangat mudah digerakkan semau hatinya. Yang tak mungkin dilakukan saat itu ialah membantu Singanada dengan memegangi kakinya! Karena Gendhuk Tri yang sekarang bukanlah Gendhuk Tri yang dulu. Sekarang ia adalah gadis remaja yang sedang tumbuh. Yang secara alamiah merasakan getaran aneh yang membuat wajahnya merah padam, daun telinganya terasa panas. Apalagi menghadapi Singanada. Singanada adalah satu-satunya lelaki yang pernah menyadarkan Gendhuk Tri akan usianya yang berkembang. Selama ini Gendhuk Tri selalu mendapat perlakuan seperti anak kecil. Karena dikelilingi oleh orang-orang yang lebih tua, yang mengenalnya sejak masih ingusan. Terutama tokoh-tokoh dari Perguruan Awan. Termasuk di dalamnya Upasara Wulung maupun Nyai Demang. Dalam anggapan mereka, Gendhuk Tri merasa perlu diperlakukan sebagai anak kecil. Sebagai gendhuk. Padahal bibit-bibit kedewasaan mulai tumbuh. Perasaan kewanitaan berkembang sesuai dengan usianya. Gendhuk Tri yang sekarang adalah seorang gadis remaja! Geletar yang paling bisa disadari sendiri ialah ketika rasa cemburunya yang membesar saat melihat Upasara bergandengan tangan dengan Nyai Demang. Untuk pertama kalinya, Gendhuk Tri merasa sangat gusar. Kecemburuan yang mirip persaingan. Perubahan yang secara agak terlambat disadari oleh Gendhuk Tri. Akan tetapi tumbuhnya kepekaan ini tak bisa ditolak. Maka sekarang ini, kalau ia menolak membantu Singanada, terutama sekali karena tebalnya rasa rikuh, sungkan, malu. Singanada adalah perjaka, dan dirinya adalah perawan. Mana mungkin pegang-pegang kaki segala macam? Hanya saja, jelas Gendhuk Tri tak mungkin bisa menerangkan perasaan hatinya. Celakanya, Maha Singanada juga tak bisa menangkap gelagat. Bahwa ia menganggap Gendhuk Tri bukan sebagai anak-anak, itu sudah dilakukan sejak pertama kali bertemu. Akan tetapi jiwa Singanada kosong dalam menghadapi soal hubungan lelaki-perempuan. Ia dibesarkan di rantau, digembleng dalam suasana persilatan. Sehingga mengenai hubungan semacam ini kurang diketahui dengan baik. Kalau ia mengusulkan dan mengajak berlatih bersama, semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmu silat. Tidak lebih. Baru ketika Cebol Jinalaya mengajukan diri, dan Gendhuk Tri melengos ke arah lain, Singanada menyadari. Dalam hatinya timbul rasa senang dan sekaligus penyesalan. Senang karena merasakan getaran yang sama aneh tapi menggugah perasaan yang tak pernah dialami. Penyesalan karena menduga bahwa Gendhuk Tri belum tentu bersedia membantunya. “Baik, cebol yang baik. “Letakkan tanganmu pada kaki Singanada. Aku akan mencoba menjajal seperti tadi.” Cebol Jinalaya mengangguk. Kedua tangannya bergerak. Akan tetapi Singanada menggeser, meskipun kelihatan masih kaku. “Apa maumu?” teriak Gendhuk Tri kaget. Singanada menarik udara dari hidungnya. “Kalau kamu merasa segan, tak usah dipaksakan. Aku tak bisa menerima perlakuan semacam itu.” “Kamu ingin aku melakukan sendiri?” Singanada memandang tajam. “Ya.” “Huh!” “Bagiku tak ada gunanya kalau kamu sendiri tak rela. Kalau kamu tak suka menolongku, buat apa melalui perantara?” Cebol Jinalaya berdiri bengong. “Sejak dilahirkan, saya memang tak ada gunanya.” “Tunggu!” teriak Gendhuk Tri. “Bukan salahmu, cebol yang baik. Ksatria Campa ini mau memaksakan kehendaknya agar aku mau mengurut kakinya. “Dan itu tak akan terjadi.” “Kalau tidak suka, tak perlu dipaksa. Aku sudah bilang tadi.” “Jangan cerewet. Sudah kukatakan aku mau menolongmu.” “Kenapa tidak kamu lakukan sendiri?” “Aku… aku… aku…” Singanada menggeleng. “Kalau kamu sudah mempunyai Upasara Wulung, ya sudah. Jangan berpikir yang macam-macam. Aku juga tidak memaksa kamu mau denganku. “Aku tak memaksa berhubungan denganku….” Gendhuk Tri menggigil. Ia tak tahu harus berbuat apa. Kalimat Singanada sangat terus terang, terbuka, dan langsung mengenai hatinya. “Singanada, apakah kamu menyukai aku?” “Ya.” “Lalu apa maumu?” “Kalau kamu juga mau denganku, kita jalan bersama. Kita rebut kembali Kitab Air. Karena kamu pewarisnya yang sah.” Wajah Gendhuk Tri merah terbakar. “Kalau kamu sudah janji sama Upasara Wulung, ya sudah.” “Ngawur. “Siapa janji sama dia?” “Atau lelaki lain?” “Ngawur.” “Atau tak suka padaku?” “Ngawur…” Gendhuk Tri gelagapan sendiri. Dengan menjawab ngawur pada pertanyaan terakhir, berarti ia suka kepada Singanada. Itu yang menyebabkan Singanada bergelak keras sekali. Suaranya mengguntur. “Hebat, hebat sekali tanah Jawa ini. “Orangnya serba berbelok, serba berputar. Suka, tapi emoh bilang suka. Tapi aku suka cara begini ini. Ada malu-malu, sungkan, antara iya dan tidak… “Ha… ha… ha… “Sungguh menarik hidup begini ini. “Kanyasukla, di sini hanya ada kamu dan aku. Dan disaksikan cebol yang baik ini, kenapa kamu masih malu-malu? “Ayolah kita pelajari bersama.” Sesungguhnya, Gendhuk Tri masih bimbang. Dalam hatinya yang paling dalam ia tak mengetahui bagaimana harus menghadapi Singanada. Ia tak tahu persis jawabannya: apakah ia menyukai Singanada atau tidak. Yang jelas, ia tak membenci. Tidak menimbulkan rasa muak, seperti misalnya melihat Kala Gemet, walaupun ia putra mahkota! Yang selama ini yang menjadi idamannya adalah Upasara Wulung. Segalanya yang sempurna dalam angannya tercipta dalam diri Upasara Wulung. Hanya kemudian perasaan itu bergeser karena Upasara Wulung cuma mempunyai satu daya asmara—kepada Gayatri. Perasaan itu lebih bergeser lagi dan mengubah pendiriannya, sewaktu Upasara akhirnya menikah dengan Ratu Ayu Bawah Langit, dan kemudian sekali dilihatnya bergandengan tangan dengan Nyai Demang. Sejak itu berturut-turut kekaguman yang utuh mulai rontok. Pada saat yang tepat, muncul lah Singanada. Ksatria gagah yang mirip Upasara Wulung. “Kalau kamu menguasai Kitab Air, dan aku menguasai Kitab Bumi, rasanya yang namanya Halayudha atau siapa saja bukan sesuatu yang menyulitkan kita di belakang hari. “Cebol yang baik, hari ini kamu menjadi saksi bersatunya bumi dengan air.” Singanada duduk memusatkan pikiran. Gendhuk Tri memegang tangan Cebol Jinalaya yang segera menggenggam kaki Singanada. Perlahan gelombang tenaga dalam Gendhuk Tri merembes masuk ke kaki. Mengurung rasa dingin yang membeku, mencairkan dan menggiring, mendorong ke segala nadi. Hasilnya memang luar biasa. Dalam waktu sekejap, rasa sakit dan kaku itu lenyap. Bahkan Gendhuk Tri sendiri tak menyangka akan sehebat itu hasilnya. Kalau sebelumnya ia mencoba sampai kehabisan tenaga, kali ini bisa langsung masuk terserap. Apakah ini perpaduan antara tanah dan air? Kembali ke Kemelut Keraton KALAU Gendhuk Tri merasa keheranan, Singanada justru sebaliknya. Ia merasakan bahwa tenaga dalam yang dimilikinya dan yang dimiliki Gendhuk Tri merupakan pasangan yang saling membantu dan berlipat ganda. Jalan pikiran Singanada sangat tepat. Walau tak bisa menerjemahkan secara tepat. Singanada hanya merasakan bahwa dasar ilmu pernapasan dan ilmu silat yang dimiliki berasal dari Kitab Bumi. Dengan segala perubahan dan kembangan yang ada. Pada puncak perkembangan itu adalah kemampuan untuk melipatkan tenaga dalam sampai sembilan kali. Inti tenaga keras yang dimiliki, ternyata bisa ditandingi dengan tenaga keras yang lain. Yang bisa lebih memusnahkan. Bahwa dalam hal begini lebih ditentukan siapa yang menguasai tenaga dalam lebih kuat, Singanada bisa mengerti sepenuhnya. Akan tetapi yang membuatnya takjub ialah ketika Putri Pulangsih mengatakan mengenai Kitab Air. Dengan cepat pengertian itu membersit dan masuk ke dalam kepala serta hati Singanada. Jauh lebih cepat membuka mata batin Singanada dibandingkan dengan Gendhuk Tri. Sesungguhnya ini hanya perbedaan sikap dasar ketika sama-sama mempelajari ilmu silat. Bagi Gendhuk Tri, ia mempelajari ilmu silat secara langsung. Lewat guru yang langsung melatih. Tanpa banyak penjelasan. Hasilnya memang lebih cepat, lebih tangkas, karena tak direpotkan dengan berbagai teori. Sebaliknya, bagi Maha Singanada, ia dibesarkan dalam ajaran yang disampaikan lewat kidungan. Kedua orangtuanya, paman-paman, serta para senopati yang berada di tanah seberang, harus mempelajari lebih dulu kitab-kitab yang dikirimkan. Sebagai perkembangan yang kemudian lebih didasarkan atas pengalaman batinnya sendiri ketika berlatih. Cara pendekatan semacam ini lebih melelahkan dan lebih menyita waktu banyak. Akan tetapi keuntungan yang utama ialah mata batinnya siap terbuka. Bahkan segala sesuatu yang baru, bisa dengan cepat ditangkap. Maka sewaktu bayangan Putri Pulangsih menceritakan sekilas mengenai kidungan Tirta Parwa, Singanada bisa menangkap intinya. Bahkan Singanada yang lebih dulu menyadari Kitab Air adalah kitab utama ilmu silat Gendhuk Tri. Bahwa perpaduan tenaga bumi dengan tenaga air bisa hebat luar biasa. Kalau Singanada mengetahui asal-usul penciptaan kidungan, penciptaan Kitab Bumi maupun Kitab Air, ataupun Pukulan Pu-Ni dan atau yang dikembangkan Mpu Raganata, ia bisa menangkap dan mengungkap lebih banyak lagi. Dan itu juga akan dikatakan secara terus terang kepada Gendhuk Tri. Yang bisa saja malah mengurungkan diri! Karena, sebenarnya masih ada titik keraguan untuk menerima Maha Singanada secara total. Yang tidak diketahui baik oleh Gendhuk Tri maupun Maha Singanada adalah bahwa Kitab Air diciptakan oleh Putri Pulangsih pada saat-saat setelah Kitab Bumi disempurnakan oleh Eyang Sepuh. Dan niatan untuk menciptakan Kitab Air, terutama juga didorong karena keinginan menciptakan maha karya yang bisa dipakai sebagai babon ilmu kanuragan. Akan tetapi di balik kisah ilmu silat yang sakti, terjalin juga hubungan asmara yang sulit diterangkan bagi mereka yang tidak mengalami secara langsung. Karena saat itu Putri Pulangsih merupakan pilihan utama para ksatria. Dan Putri Pulangsih merasa bisa lebih dekat dengan Eyang Sepuh. Bisa dimengerti kalau ada suasana yang padu. Setidaknya kalau dibandingkan perpaduan Kitab Air dengan sumber penciptaan yang lain. Itu sebabnya dalam sekejap rasa sakit di kaki Singanada lenyap seketika. Keampuhan perpaduan tenaga dalam Gendhuk Tri dengan Maha Singanada yang terpantul dari perpaduan perasaan, menyebabkan timbulnya tenaga yang hebat. Singanada bisa langsung merasakan, karena inti penguasaan ilmunya adalah kelipatan sembilan kali. Kini yang dirasakan bukan hanya sembilan kali, akan tetapi secara menyeluruh. “Kita berhasil.” Singanada melompat tinggi. Kakinya bisa digerakkan dengan leluasa. Cebol Jinalaya pun berseri-seri. Gendhuk Tri membenahi selendangnya. “Ayo kita kembali ke Keraton. Kita cari Halayudha….” Gendhuk Tri mengangguk. “Bagaimana kalau saya ikut ke Keraton?” Suara Cebol Jinalaya terdengar asing di telinga Gendhuk Tri. “Kenapa, kamu mau cari mati di sana?” “Entahlah, saya tak tahu. “Tadinya saya hanya ingin segera mati. Agar bisa bersatu dengan Baginda Raja. Lagi pula hidup saya tak ada gunanya. Akan tetapi setelah ikutan memegang kaki dan kamu pegangi, ada perasaan segar.” Gendhuk Tri membelalak. “Apa betul begitu?” “Ya, segar.” “Kamu tak mau mencari mati lagi?” “Entahlah, saya tak mengerti.” “Itu baik, baik sekali,” kata Singanada. “Kamu terkena sawan tenaga dalam kami berdua.” Sawan, atau berkah atau tuah atau faedah tak langsung, yang dikatakan Singanada bisa dirasakan pula oleh Gendhuk Tri. Kalau bukan Cebol yang mengatakan, Gendhuk Tri akan curiga. Akan tetapi, ia sendiri mengalami bersama-sama Cebol yang setiap saat ingin mati. Yang sebelum menyentuh kaki Singanada masih merasa dirinya tak pernah ada gunanya. Yang membuat Gendhuk Tri sedikit bertanya-tanya dalam hati ialah kenapa pengaruhnya bisa begitu cepat. Akan tetapi pertanyaan itu disimpannya dalam hati. Ia merasa bersyukur bahwa Cebol mau ikut. Sekurangnya akan membuat dirinya tidak menjadi sangat kikuk kalau harus berduaan saja dengan Singanada. Dalam perjalanan kembali ke Keraton, mereka berdua sempat berlatih dua kali. Cebol ikut mendengarkan dan mencatat kidungan yang ditembangkan baik oleh Gendhuk Tri maupun oleh Maha Singanada. Singanada sendiri tak segan-segan menggendong ke pundaknya saat mereka melakukan perjalanan. “Tunggu, rasanya ada apa-apa di dalam Keraton,” kata Gendhuk Tri berbisik. “Kenapa?” “Sejak di perbatasan tadi para prajurit disiagakan secara penuh.” “Lalu kenapa?” “Jangan-jangan ada huru-hara….” “Kalaupun ada, apa bedanya? “Kita datang untuk merebut Kitab Air, bukan urusan Keraton.” “Mana mungkin kita bisa bergerak leluasa, kalau urusan seperti ini?” “Kanyasukla, aku tahu kamu dibesarkan di Keraton. Aku di bawah panji-panji kebesaran Keraton. “Tetapi aku sekarang tak peduli lagi. Aku tak menemukan kebesaran Keraton di mana aku harus mengabdi diri. Putra Mahkota yang masih kecil sudah segenit itu, dan aku tak mau jadi korban pemuasan nafsunya. “Ayolah kita selesaikan urusan kamu, dan kita bisa keliling jagat.” Gendhuk Tri merasakan kekecewaan dalam nada suara Singanada. “Mengabdi kepada Keraton adalah tugas mulia. Tanpa harus memedulikan siapa yang duduk di takhta. “Itu sudah keputusan para Dewa. “Tidak sebaiknya kita mengungkit soal itu.” “Baik, baik, kalau begitu maumu. “Tapi aku tetap mau merebut Kitab Air milikmu. Sebab kita sama-sama. Kalau itu kitab warisan buatmu, berarti juga buatku.” Hati Gendhuk Tri berdenging. Sama sekali tak disangkanya bahwa perhatian Singanada begitu mendalam padanya. Singanada sudah menganggap Gendhuk Tri adalah bagian dari hidupnya. Diam-diam ada rasa takut dalam hati Gendhuk Tri. Hanya saja ia tak tahu takut soal apa dan bagaimana. Karena Gendhuk Tri kadang masih membayangkan di mana sekarang ini Upasara berada. Apa yang terjadi dengannya? Perasaan itu masih muncul. Walau ditenggelamkan kembali. Ia tak ingin Maha Singanada mengetahui bersitan pikiran semacam itu. Tak tahu kenapa, tapi Gendhuk Tri merasa lebih baik menyembunyikannya. Senopati Sidateka BUKAN hanya Gendhuk Tri yang keheranan melihat suasana keraton yang nampak tintrim, tenang tapi menakutkan. Perasaan yang sama dialami ketika Halayudha kembali ke Keraton. Sambil membawa Nyai Demang yang masih menggendong Eyang Berune. Hanya saja penciuman Halayudha lebih peka. Begitu melihat bahwa di perjalanan tak banyak masyarakat lalu-lalang, pun di siang hari, Halayudha merasa ada sesuatu yang sedang terjadi. Apalagi melihat kenyataan bahwa para prajurit disiagakan penuh. Segera ia menghindar. Tidak langsung menuju ke dalam Keraton. Melainkan menyelundup masuk ke bagian belakang. Menyembunyikan Nyai Demang dalam salah satu ruangan. Lalu dengan sigap ia menyusup masuk ke dalam. Yang pertama dituju ialah Mahapatih Nambi. Karena sebagai mahapatih, Nambi pastilah paling mengetahui keadaan dan keamanan Keraton. Namun, hatinya bercekat, karena sama sekali tak bisa menemukan Mahapatih di tempat kediamannya. Juga lebih kaget lagi ketika menuju ke tempat kediamannya yang sudah dijaga ketat. Tak ada satu pun prajurit yang setia kepadanya berada di tempat. Dengan kemampuannya, Halayudha bisa menyusup masuk, dan melihat bahwa seluruh isi rumahnya telah diobrak-abrik. Tak ada yang tersisa. Tak ada barang yang tak dipindahkan tempatnya. Luar biasa. Boleh dikatakan ia tak meninggalkan Keraton untuk jangka waktu lama. Tapi begitu melangkah ke luar, kamarnya telah disatroni lawan yang berbuat seenaknya. Seketika darah Halayudha mendidih. Akan tetapi jalan pikirannya yang mampu menembus kemarahan, membuatnya tidak murka seketika itu juga. Ia ganti masuk ke kaputren. Hasilnya sama saja. Tak ada siapa-siapa, selain prajurit yang menjaga di setiap sudut. Ini sangat aneh. Prajurit Keraton atau pengawal pribadi mana yang mendapat tugas begitu istimewa? Usaha Halayudha untuk menembus sampai ke dalam Keraton juga tak mungkin. Tempat kediaman Baginda dijaga kelewat ketat. Tak ada ruang tersisa di mana tidak ada prajurit dalam keadaan siaga. Sebenarnya Halayudha bisa muncul dan masuk dengan leluasa. Ia tak perlu terlalu kuatir mengenai dirinya. Siapa pun yang kini menguasai Keraton, pasti dikenalnya. Akan tetapi karena belum tahu pihak mana, membuatnya bersabar untuk tidak segera muncul. Baginya hanya ada perhitungan sederhana. Kalau sekarang Keraton dikuasai seseorang, pastilah bukan orang yang terlalu asing. Pastilah masih kerabat sendiri. Rasanya tak mungkin ada prajurit atau pendekar lain yang bisa membuat Keraton sunyi dan sepi. Kalau musuh dari luar, pertempuran berdarah yang terjadi. Nyatanya kali ini tidak. Bahkan tanda-tanda pertarungan ramai pun tak ada jejaknya. Kemungkinan yang paling dekat hanyalah dari Putra Mahkota Kala Gemet, yang direstui sepenuhnya oleh Permaisuri Indreswari. Tak bisa lain. Akan tetapi kalau ini gebrakan yang dilakukan oleh Putra Mahkota, termasuk modal sumbi, di luar kebiasaan. Putra Mahkota tak perlu melakukan hal seperti ini. Kecuali ada yang mengisiki. Ada yang membakarnya. Kalau perhitungan ini benar, orang di belakang’ Putra Mahkota pastilah Pendeta Sidateka. Tak ada yang lain. Hanya Pendeta Syangka itu yang sangat didengar dan dihormati oleh Putra Mahkota, yang rela memakai gelaran dari negara manca. Pendeta yang cukup sakti itu memperlihatkan taringnya dengan menyapu semua lawannya. Ini yang paling mungkin terjadi. Dengan memunculkan Putra Mahkota yang kini menghimpun para pendekar, tak akan membuat para senopati lain curiga. Dengan restu Permaisuri Indreswari, gebrakan pembersihan lawan bisa dilakukan dengan mudah. Halayudha benar-benar merasa kecolongan. Hanya sepekan ia meninggalkan Keraton, Pendeta Syangka mampu menjungkir balikkan keadaan. Mengubah peta pemerintahan. Halayudha sedikit pun tak gentar menghadapi Pendeta Sidateka ataupun para pengikutnya. Ibarat kata, seorang diri pun ia sanggup menghabisi lawan-lawannya. Akan tetapi karena di belakangnya ada Putra Mahkota, juga Permaisuri Indreswari dan sekaligus Baginda, kalau ia bangkit melawan, dirinya yang menjadi pemberontak. Tak jauh berbeda dari Senopati Lawe atau Senopati Sora. Dan setiap pemberontakan atas Keraton harus ditumpas habis! Tanpa ampunan! Dugaan Halayudha mendekati apa yang sesungguhnya terjadi, sewaktu berhasil menemui Senopati Kuti yang sedang tepekur di taman, duduk bersujud di antara tanaman cabe. “Senopati dalem, kenapa harus mengendap-endap seperti kadal?” Halayudha menghaturkan sembah. “Senopati Kuti yang budiman, terkasih di antara para senopati… sengaja saya merayap bagai kadal, karena saya memang hina seperti binatang itu. “Saya sowan ke hadapan Senopati Kuti, karena tak bisa lagi melihat siapa yang pantas saya datangi.” “Apa yang bisa saya lakukan untuk Senopati Halayudha?” “Berikan petunjuk, kepada siapa saya harus menghaturkan sembah….” Senopati memotes daun cabe. “Saya tak tahu harus bagaimana. Keadaan Keraton tak menentu.” “Bagaimana keadaan junjungan kita Baginda?” “Menurut Senopati Sidateka, segalanya berjalan sebagaimana biasa. Hanya Baginda tak menghendaki ada hati yang bercabang. Dan menugaskan Senopati Sidateka untuk membersihkan.” Halayudha bisa dengan cepat menangkap apa yang terjadi. Naiknya Senopati Sidateka sebagai pelaku utama, sudah sangat jelas membuktikan perpindahan kekuasaan dari tangan Mahapatih Nambi. Yang segera terasakan pula oleh Halayudha ialah bahwa Senopati Kuti juga tak sepenuhnya menyetujui apa yang terjadi. “Tugas yang mulia. “Saya pun rela menyerahkan kepala saya ke tangan Senopati Sidateka jika bersalah. “Yang merisaukan saya, apakah benar Baginda mengetahui hal ini?” “Kenapa Senopati Halayudha mempertanyakan hal ini? “Tidak ada rasa hormatkah Senopati kepada junjungan kita semua?” Senopati Kuti meraba hulu kerisnya. “Demi segala Dewa di langit, biarlah saya tak menitis sebagai manusia, biarlah saya tak tumimbal lahir, kalau berani mempertanyakan keadilan Baginda. “Hanya rasanya masih ada yang mengganjal. “Kenapa Pendeta Sidateka yang diserahi tugas begini penting?” “Bagi Baginda, siapa saja bisa ditunjuk.” “Dalam hal begini, kita tak berbeda pendapat,” sahut Halayudha cepat. “Akan tetapi, biar bagaimanapun Pendeta Sidateka yang mengangkat diri menjadi senopati adalah manusia manca. Pendeta tanah sabrang. “Apakah kebanggaan kita sebagai prajurit Sri Baginda Raja warisan Singasari tak ada artinya lagi? “Apakah telah demikian busuknya kita semua, sehingga merayap seperti kadal pun tak punya keberanian lagi?” Halayudha mampu mengobarkan perasaan yang paling dalam yang menghuni hati Senopati Kuti. Atau senopati yang lainnya. Yang masih mewarisi semangat dan kebanggaan sebagai prajurit Singasari. Sebagai pengabdi setia Baginda Raja Sri Kertanegara. Siapa pun yang pernah mengenyam zaman itu akan selalu membanggakan! Dengan menyinggung masalah ini, Halayudha bisa merebut simpati. “Senopati Kuti yang gagah berani. “Saya hanyalah senopati yang bertugas di dalam Keraton. Akan tetapi saya tak rela Keraton diinjak-injak semaunya oleh orang sabrang tanpa kejelasan. “Saya akan merayap seperti kadal, seperti cacing busuk menggaruk tanah, untuk mendapat kejelasan dari Baginda. “Hari ini saya minta izin Senopati Kuti, sebagai sesepuh yang bisa saya temui.” Senopati Kuti tergerak hatinya. “Apa yang akan Senopati lakukan?” | |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 2:51 pm | |
| Senopati Brahma HALAYUDHA menyembah hormat. Senopati Kuti menjadi kikuk karenanya. Dalam keadaan biasa sehari-hari, Senopati Halayudha tak perlu melakukan sembah padanya. Bahkan sebaliknya. Meskipun dirinya termasuk senopati yang mempunyai hak-hak istimewa, Kuti mengakui bahwa hubungan Halayudha sangat dekat dengan Baginda. Jadi dalam jajaran kepangkatan sama. Tak perlu melakukan sembah. Cukup dengan membungkukkan tubuh menghormat. Bagi Halayudha perbuatan semacam ini tidak membuatnya merasa hina. Justru sebaliknya. Dengan cara begini ia bisa menjadi lebih dekat. “Saya ingin mendengar langsung atau tidak langsung dari Baginda, mengenai pengikut yang mempunyai hati bercabang.” “Berarti kita harus menemui Senopati Sidateka.” “Itu yang tak mungkin. “Karena belum tentu Senopati Sidateka bisa menangkap penuh kemauan Baginda.” “Rasanya tak mungkin menemui Baginda. “Bahkan Mahapatih sudah mengajukan diri untuk sowan, akan tetapi ditolak oleh Putra Mahkota Bagus Kala Gemet. Cukup menghadap beliau.” Ini berarti semua jalan tertutup! “Kalau bisa, apakah Senopati kira saya akan berdiam di sini menunggui cabe rawit?” Halayudha menggigit bibirnya. “Kalau begitu tinggal satu jalan saja…” Senopati Kuti menunggu. Halayudha menghela napas. “Saya melihat kemungkinannya hanya satu,” sahut Senopati Kuti. “Hanya seorang seperti Upasara Wulung yang bisa menerobos ini. “Upasara adalah senopati kesayangan Baginda. Upasara juga bergelar lelananging jagat, sehingga Pendeta Sidateka akan memperhitungkan kalau ingin menolaknya.” Halayudha manggut-manggut. “Sayangnya, kita tak tahu di mana Upasara Wulung. “Sayang, Putra Mahkota tak menyukai Upasara Wulung, sejak Upasara merebut Ratu Ayu Bawah Langit….” “Bagaimanapun juga, itu pilihan terbaik. “Kami, para senopati, sudah memperhitungkan kemungkinan itu, akan tetapi rasanya tak ada pilihan lain. Tidak saya, atau Senopati Halayudha sendiri….” “Maaf, bolehkah saya mengajukan usulan?” “Selama demi kebaikan dan ketenteraman Keraton, setiap prajurit wajib mengutarakan pendapatnya.” “Kalau misalnya semua senopati menyetujui, kenapa kita tidak menemui Senopati Brahma….” Kalimat pendek Halayudha bagai sambaran petir. Bagai seratus kilat berpijar bersamaan. Namun yang tak pernah terlintas! Senopati Brahma. Senopati Agung Brahma! “Perhitungan saya hanyalah, bahwa Senopati Agung Brahma masih didengar dan dihormati oleh Putra Mahkota, sehingga Pendeta Sidateka pun akan menuruti kemauan Putra Mahkota.” Sangat masuk akal. Sungguh tidak percuma Halayudha berada di dalam Keraton. Senopati Brahma bisa menjadi kunci untuk sowan ke Keraton. Tokoh yang selama ini terlupakan, karena dianggap tak memerintah secara langsung. Pada situasi sekarang ini, kedudukan Senopati Brahma tak mungkin tergantikan oleh yang lain. “Sungguh cemerlang pikiran Senopati Halayudha….” “Saya secara kebetulan saja teringat….” Bagi Halayudha, segala kekuatan dalam kekuasaan di Keraton boleh dikata ia hafal seperti menghafal telapak tangannya sendiri. Seperti menyusun jari-jari untuk mencubit atau menggenggam atau menjitak atau memelintir. Begitu dekat dengan puncak kekuasaan, Halayudha mempelajari situasi secara cermat. Bukan kebetulan jika Halayudha mengingat nama Senopati Brahma. Senopati Brahma atau Senopati Agung Brahma, tokoh yang cukup disegani oleh Putra Mahkota. Karena masih paman besar, atau paman agung. Baginda sendiri memanggil dengan sebutan hormat karena merasa kalah umur. Adwaya Brahma yang mempersunting Dyah Dara Jingga, kakak perempuan Dyah Dara Petak atau Permaisuri Indreswari. Sehingga Putra Mahkota memberi hormat sebagaimana keponakan. Lebih dari itu, kehadiran Senopati Agung Brahma juga bisa meredam kekuasaan Permaisuri Indreswari. Sekurangnya dari sisi istrinya! Maka betapa jitu perhitungan dan penunjukan Halayudha. Halayudha akan melakukan sendiri, kalau hal itu memungkinkan. Akan tetapi sejak bertugas di Keraton, Halayudha tak pernah memperhitungkan Senopati Agung Brahma. Yang meskipun mempunyai pangkat sangat tinggi, tak memegang kekuasaan secara langsung. Bahkan kehadirannya tertutup sepenuhnya oleh Permaisuri Indreswari. Kini saatnya dibuka. Diberi peranan. Halayudha bisa menyusup sendiri kalau mau. Akan tetapi selain dengan Senopati Brahma yang diberi tambahan gelar Agung, ia pernah bentrok dengan putranya, Janaka Marmadewa atau Mantlorot, yang seusia dengan Bagus Kala Gemet. Ini berarti kalau ia yang maju, malah bisa disikat habis sebagai pembalasan dendam. Itu pula sebabnya Halayudha menghubungi orang lain. Senopati Kuti! Untuk Senopati Kuti, pujian bagi Halayudha tak ada habisnya. Ia sama sekali tak mengetahui ada peristiwa yang meretakkan hubungan antara Senopati Agung Brahma dan Halayudha. Dari jalan pikiran yang tanpa prasangka, jelas yang diutarakan Halayudha sangat berarti sekali. Pada saat menghadapi jalan buntu, Halayudha tampil dengan gagasan yang cemerlang. Cemerlang dan suci: menyelamatkan Baginda! Senopati Kuti menyembah hormat. “Hari ini juga saya akan menemui semua senopati, dan menghadap kepada Senopati Agung Brahma. Kalau Senopati Halayudha mengizinkan…” “Duh, Senopati Kuti yang perwira. “Manusia kadal seperti saya tak pantas dibawa ke tempat terhormat dalam urusan sepenting ini. Biarlah saya tinggal di rumah, menjaga rumah ini….” “Kalau itu kemauan dan budi baik Senopati Halayudha, silakan saja… saya akan segera pamit.” “Semoga Dewa memberkati tugas mulia ini….” Saat itu juga Senopati Kuti memerintahkan prajuritnya untuk memberi tempat pada Senopati Halayudha dan menyediakan segala keperluannya. Ia sendiri langsung berangkat dan menemui Mahapatih Nambi untuk melaporkan. Mahapatih Nambi tersentak. “Selama ini saya selalu menduga jahat kepada Halayudha, nyatanya hatinya begitu baik. Bahkan maksud mulia ini diserahkan kepada orang lain, tanpa ingin pamer kemampuan. “Kuti, Halayudha adalah senopati Singasari yang tulen, dari darah dan keringatnya. “Kita tak boleh melupakan hal ini.” Sore itu juga Mahapatih Nambi meminta waktu untuk sowan kepada Senopati Agung Brahma. Sambil mengatakan akan menyerahkan arca yang baru ditemukan. Dengan senang hati, Senopati Agung Brahma menerimanya. Bahkan ia sendiri berkenan untuk melihat wujud arca yang menjadi barang kesayangannya. Pada saat itulah Mahapatih Nambi secara tidak langsung mengutarakan, bahwa sudah saatnya Senopati Agung Brahma menghadap Baginda. “Sudah dijelaskan, bahwa di Keraton masih ada sisa-sisa prajurit yang hatinya bercabang. Itu perlu dibersihkan. “Untuk apa saya mempertanyakan itu?” “Senopati Agung, meskipun hamba ini mahapatih, tetapi hamba hanyalah prajurit biasa. Tidak mempunyai derajat apa-apa. Hanya Senopati Agung yang mungkin melaksanakan tugas mulia ini. “Sekarang ini hanya Paduka yang bisa menemui Baginda.” “Sungguh menyenangkan. “Akhirnya, di samping bersenang-senang di Keraton, ada yang bisa kubuktikan untuk negeri ini. “Baiklah, Mahapatih, kusanggupi keinginanmu. “Malam ini juga aku akan menghadap ke Keraton.” Mahapatih menghaturkan sembah tulus dan hormat. Terasa ada pencerahan yang dalam. Kalau saja mengetahui bahwa Halayudha sudah menyusup ke dalam Keraton, perasaan itu berbalik seperti siang dengan malam. Darahku Darah Singasari SENOPATI AGUNG BRAHMA menepuk pundak Mahapatih Nambi. Walaupun Mahapatih Nambi adalah pimpinan seluruh senopati Keraton, dalam hal ini Mahapatih yang melakukan sembah. Karena walaupun Brahma hanya senopati, pun ditambah gelar Agung, akan tetapi hubungan darah kekeluargaan yang lebih dituakan dari Baginda menyebabkan siapa pun menyembah padanya. “Aku tahu kegelisahanmu, Mahapatih. “Kita bukan orang yang baru saja mengenal. Dalam darahku masih mengalir deras darah Keraton Singasari. Aku tahu apa yang harus kulakukan. “Bukan karena arca kesayangan itu yang menyebabkan aku menghadap Baginda. Akan tetapi ini adalah kewajiban seorang prajurit, seorang senopati yang pernah dibimbing Sri Baginda Raja. “Kukira Mahapatih bisa memahami.” Mahapatih merunduk hormat. Sekilas bisa menebak kerisauan Senopati Agung Brahma. Dalam jajaran kepangkatan di Keraton, Senopati Agung Brahma tidak mendapatkan derajat tinggi hanya karena kebetulan beristrikan saudari Permaisuri Utama. Bukan hanya itu. Senopati Adwaya Brahma adalah senopati utama di zaman Baginda Sri Kertanegara memegang tampuk kekuasaan. Bahkan terpilih sebagai salah satu dari sekian banyak senopati yang mewakili untuk dikirim ke tanah seberang, ke tlatah Pagar Ruyung, guna membawa arca Amoghapasa. Suatu cara menaklukkan negeri seberang, cara untuk menundukkan dengan damai. Kalau tidak cukup sakti dan dianggap mempunyai kebijaksanaan luhur, tak mungkin Senopati Adwaya Brahma menjadi pilihan Sri Baginda Raja. Dan nyatanya tugas suci yang dijalankan berhasil dengan baik. Tlatah Pagar Ruyung di Melayu mengakui kebesaran Keraton Singasari. Bahkan secara suka rela menyerahkan seluruh wilayahnya untuk diambil oleh Sri Baginda Raja, saat kapan pun diperlukan. Bahwa kemudian Baginda Kertarajasa Jayawardhana memilihnya sebagai suami Dyah Dara Jingga, juga menunjukkan penghormatan yang tinggi. Pengakuan itu tercermin dari perlakuan kepada Senopati Agung Brahma. Berhak memakai kebesaran yang biasanya diperlakukan untuk raja. Pada upacara-upacara yang penting, Senopati Agung selalu diminta hadir. Demikian juga perlakuan kepada putranya, Bagus Janaka Marmadewa, tak dipisahkan sedikit pun dari Bagus Kala Gemet. Dalam segala hal diperlakukan sama. Hanya memang selama ini Senopati Agung tak pernah mau menonjolkan diri. Malah boleh dikatakan sangat menjauhi kesempatan-kesempatan untuk tampil. Baik pada kesempatan yang penting maupun tidak. Sewaktu Baginda memilih siapa yang pantas menjabat mahapatih, Senopati Agung justru menyurutkan diri. Ia sama sekali tidak memberikan suara, tidak memperlihatkan dirinya. Jauh dalam hati, Senopati Agung merasa bahwa ia tidak pantas untuk pangkat dan derajat yang begitu tinggi, kalau hanya diperhitungkan sebagai saudara ipar raja. Baginya itu penghinaan. Senopati Agung merasa dirinya senopati, prajurit, dan sekaligus seorang yang memiliki jiwa prajurit sejati. Pangkat tinggi, kehormatan yang agung, bukan semata-mata tujuannya. Inilah kebanggaan para prajurit yang pernah dibesarkan dalam kekuasaan Baginda Raja Sri Kertanegara. Maka kalau Senopati Agung sampai mengatakan bahwa ia bersedia melakukan permintaan Mahapatih Nambi, itu juga karena dasar jiwa prajuritnya. Bukan karena upeti. Betapapun dirinya tergila-gila kepada segala jenis arca yang mempunyai nilai tinggi. “Maaf, Senopati Agung Brahma. “Setitik pun hamba tak mempunyai perasaan dan penilaian….” “Aku mengerti, Mahapatih. “Aku mengerti justru karena kita sama-sama prajurit. “Dan sebagai prajurit, aku hanya bisa menunggu titah, menunggu dawuh, menunggu perintah. “Kalau suatu saat Bagus Kala Gemet memerintahkan untuk menaklukkan Ratu Ayu Bawah Langit, akan kulakukan juga. Aku bisa menyarankan bahwa Bagus Kala Gemet belum pantas untuk memilih jodoh. Akan tetapi jika itu diperintahkan, akan kulakukan juga. Sampai darah Singasari yang menderas dalam tubuhku ini kering.” “Hamba mengerti, Senopati Agung….” “Kamu mengerti. Ya, kamu mengerti. “Betapa lama aku merapatkan bibirku erat-erat. Karena aku tak mau membuat kisruh. Karena aku tidak ditanya. “Sekarang saatnya aku melakukan dharma baktiku sebagai prajurit. Menyampaikan kepada Baginda. “Bahkan tanpa permintaan Mahapatih pun, aku akan sowan. Hanya sekarang ini menjadi lebih mantap, karena kerisauan ini juga tergema dalam dada Mahapatih.” Senopati Agung menghela napas. “Jangan kecewa kalau aku tak membawa kabar apa-apa. “Aku hanya ngunjuk atur, meminta kesediaan Baginda mengatakan sesuatu. “Mahapatih, barangkali sebelum ayam jantan berkokok besok pagi, aku ingin menemuimu. “Antarkan arca ini ke sana, dan kita bisa melanjutkan pembicaraan.” “Sembah bekti bagi Senopati Agung….” “Mudah-mudahan malam nanti purnama tidak tertutup awan. Pada musim hujan seperti sekarang ini, kadang ada awan yang muncul begitu saja….” Dengan kalimat isyarat, Senopati Agung memperingatkan bahwa bukan tidak mungkin ada sesuatu yang masih gelap, yang bisa mengacaukan keinginannya menghadap kepada Baginda. Hal yang bisa dimengerti oleh Mahapatih Nambi. Karena secara tiba-tiba, pekan lalu Putra Mahkota Kala Gemet memerintahkan agar semua senopati berkumpul. Pada saat yang sama, Putra Mahkota mengatakan bahwa ia membawa sabda Baginda untuk membersihkan hati yang bercabang, yang masih ditemui pada beberapa senopati Keraton Majapahit. Saat itu Mahapatih sudah bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Putra Mahkota yang mengatakan hal itu? Lebih menjadi tanda tanya lagi karena Putra Mahkota menunjuk Pendeta Sidateka menjadi senopati yang bertanggung jawab secara penuh atas pembersihan ini. Ini sama artinya dengan mengambangkan atau meniadakan pangkat dan tanggung jawab yang selama ini dipegang oleh Mahapatih Nambi! Dipecat secara resmi pun tak akan seterkejut sekarang ini. Akan tetapi Putra Mahkota tidak menyinggung sedikit pun masalah pergeseran atau pencabutan pangkat. Putra Mahkota hanya mengatakan bahwa semua prajurit harap disiagakan secara penuh, dengan komando kekuasaan di bawah tangan Senopati Sidateka. Segala sesuatu, baik perintah ataupun ucapan, dijalankan dari Senopati Sidateka. Selebihnya semua berjaga diri. Kenyataan yang sangat membingungkan dan menimbulkan rasa was was. Mahapatih Nambi tak bisa mengatakan sesuatu atau menanyakan. Bersama para senopati yang lain, hanya bisa menunggu. Menunggu. Dan lebih aneh lagi, selama Senopati Sidateka memegang kekuasaan dan tanggung jawab, tak ada perubahan yang berarti. Hanya beberapa prajurit yang ditangkap dan diperiksa. Akan tetapi tidak ada pergeseran atau perubahan di tingkat atas. Ini yang membingungkan. Dan membuat saling curiga. Pada saat itu, Baginda tidak mungkin bisa ditemui. Sehingga Mahapatih merasa seperti anak ayam yang kehilangan pelindungnya. Tak tahu-menahu harus mempertahankan apa atau siapa. Semua ini dipendam dalam-dalam, sampai Senopati Kuti muncul dan memberitahukan pendapat Halayudha. Yang serta-merta dilaksanakan. Tidak terlalu meleset karena Senopati Agung juga merasakan keprihatinan yang sama. Bahwa Putra Mahkota melakukan sesuatu yang di luar dugaan, bukan baru sekarang ini. Bahwa tindakan Putra Mahkota untuk mengurung dua putri Permaisuri Rajapatni menimbulkan tanda tanya, itu sudah jelas. Akan tetapi karena ini menyangkut urusan keluarga, Mahapatih Nambi tak berhak bertanya satu patah pun. Persoalannya menjadi lain, ketika menyangkut masalah ketenteraman dan keamanan serta kelangsungan pemerintahan. Mahapatih ingin bisa menemui Baginda. Atau sekurangnya Senopati Sidateka. Untuk memperoleh keterangan yang berarti, karena masalah keamanan dan ketenteraman selama ini berada dalam tangannya. Menumpas Bibit Kraman BAHWA munculnya Pendeta Sidateka yang langsung menjabat senopati utama atau satu-satunya, bisa dikaitkan hubungan dan pengaruhnya selama ini. Sidateka sendiri merasa bahwa ia tak bisa berada di balik layar terus-menerus. Ia harus segera tampil. Satu-satunya yang bisa dikendalikan ialah Putra Mahkota. Maka ketika itu Sidateka langsung menghadap Permaisuri Indreswari dan mengatakan gagasannya. “Sebelum kejadian menjadi berlarut-larut, barangkali saja Permaisuri Indreswari perlu memberi pelajaran kepada para prajurit yang masih bercabang kesetiaannya kepada Putra Mahkota.” “Atas dasar alasan apa kamu mengatakan itu?” “Pada saat sekarang ini, kita belum mengetahui jelas siapa yang betul-betul setia kepada Putra Mahkota. Ini bisa menjadi beban dan bencana di kelak kemudian hari yang tak lama, jika Putra Mahkota naik takhta. “Maka sebelum bibit kraman, bibit pemberontakan, bersemi, Permaisuri Indreswari perlu memerintahkan pembersihan. Agar bibit kraman itu tak bisa tumbuh.” “Siapa yang hatinya masih bercabang?” “Saat ini hamba tak bisa menghaturkan nama-nama, karena akan membuat hamba berdosa. “Akan tetapi kalau dilihat sewaktu Putra Mahkota dinobatkan, sewaktu Putra Mahkota menghendaki Ratu Ayu Bawah Langit, terlihat jelas bahwa masih ada yang ragu-ragu untuk mendukung Putra Mahkota secara penuh. “Senopati Sora yang sejak kecil mengabdi Putra Mahkota, yang tak pernah kita perhitungkan akan membangkang, ternyata bisa menggagalkan kebesaran Putra Mahkota. “Menurut pertimbangan hamba, yang seperti Senopati Sora masih ada.” “Perasaanku mengatakan hal yang sama. “Apa yang akan kaulakukan, Sidateka?” “Barangkali saja, Putra Mahkota memegang kendali pemerintahan, mengatur Keraton untuk sementara waktu. Pada saat itu akan segera terlihat siapa yang menerima Putra Mahkota dan siapa yang bercabang hatinya. “Saat itulah kita bergerak. “Kalau dipercaya, rasanya hamba mampu menjalankan tugas ini.” Permaisuri Indreswari mengelus rambutnya. “Usulmu bagus, akan tetapi berbahaya. “Apa sabda Baginda jika mengetahui Putra Mahkota yang menjalankan pemerintahan?” “Kalau Permaisuri Indreswari bisa membujuk Baginda, rasanya tak ada yang mustahil. Hanya untuk beberapa lama….”, “Aku bisa menangkap maksudmu. “Baginda kita minta memberi kesempatan kepada putraku.” “Demikianlah maksud hamba.” “Kata-katamu agak lancang, Sidateka. “Akan tetapi karena putraku sangat menghormatimu, kelancanganmu bisa kumaafkan sekarang ini.” Bagi Sidateka, hal yang dianggap menjadi ganjalan utama ialah sewaktu Baginda memerintahkan mengambil Tirta Parwa yang dimilikinya. Sangat gamblang bahwa Baginda tidak berminat lagi pada kidungan di kain sutra tersebut. Pastilah dikendalikan oleh orang lain. Yang tak lain adalah Halayudha. Kalau Halayudha mampu mempengaruhi Baginda dalam satu hal, bukan tidak mungkin dalam hal lain juga bisa menanamkan pengaruhnya. Bisa meminjam tangan dan sabda Baginda. Yang begini sungguh berbahaya. Justru di saat ia telah bisa begitu dekat dan menguasai Putra Mahkota. Bukankah Putra Mahkota telah berani memakai gelaran raja-raja di negeri Syangka? Dan tidak mengagungkan tetesan darah Sri Baginda Raja Kertanegara? Alasan lain yang dipandang Sidateka membuat ia mengajukan usulan ialah bahwa masih banyak ksatria yang ilmunya sangat tinggi. Setidaknya masih ada Upasara Wulung dan Kiai Sambartaka. Kalau ia tak bisa melumpuhkan mereka sekarang ini, mungkin kesempatan semacam itu tak akan pernah ada lagi. Adalah menjadi tujuan utamanya untuk menaklukkan Keraton Majapahit, sehingga nantinya mengakui kekuasaan utama Keraton Syangka. Tanah Syangka akan menjadi kiblat baru. Menjadi panutan utama. Dan bukan tlatah Hindia. Maka meskipun dalam keadaan belum sepenuhnya sehat, Senopati Sidateka mengadakan perburuan. Yang menjadi sasaran utama ialah kediaman Halayudha. Diobrak-abrik untuk menemukan bukti-bukti bahwa Senopati Halayudha menyimpan Tirta Parwa. Langkah yang kedua ialah mengumumkan bahwa Upasara Wulung maupun Kiai Sambartaka adalah musuh utama Keraton. Bisa diusahakan pencarian besar-besaran. Siapa yang menghalangi maksud ini dianggap membangkang dan tidak setia kepada Keraton. Rencana itu dianggap sempurna, dan akan melicinkan jalan yang dicita-citakan. Menguasai Keraton, dan menjadi lelananging jagat. Sidateka boleh merasa dirinya jago dalam mengatur siasat. Akan tetapi Halayudha bukan lawan yang enteng. Kalau Halayudha berada dalam posisi seperti Pendeta Sidateka, apa yang dilakukan jauh lebih menguntungkan. Tapi membuat para senopati bertanya-tanya dalam hati. Tanpa menimbulkan kecemasan yang tak perlu. Dalam hal ini Sidateka menganggap kegelisahan itu tak ada artinya. Karena memang tujuannya tidak akan terpengaruh oleh kegelisahan atau kecemasan para senopati dan prajurit. Peluang inilah yang dimanfaatkan oleh Halayudha. Menghadapi lawan yang memegang kekuasaan, Halayudha tidak muncul sebagai penantang. Ia meminjam tangan untuk mengedepankan Senopati Agung Brahma. Itu langkah yang pertama. Langkah yang kedua ialah kebalikan dari langkah yang pertama. Yaitu mengadu domba. Mengatakan bahwa para senopati berkomplot menunggangi Senopati Agung Brahma untuk menandingi Permaisuri Indreswari. Dengan cara ini, Halayudha mengadu dua kekuatan utama. Tanpa perlu turun tangan. Tanpa perlu menanggung risiko. Karena siapa pun yang tersingkir, tak akan mencela Halayudha. Karena siapa pun yang unggul, akan merasa adanya jasa baik Halayudha. Dengan persiapan seperti itu, Halayudha muncul dan masuk ke Keraton. Dengan sekali gebrak, tiga prajurit utama yang menjaga kaputren bisa dibekuk tanpa menimbulkan suara. Kemudian beranjak masuk ke tempat peraduan Permaisuri Indreswari. “Apakah kamu mau mencari mati berani menyusup kemari?” “Hukumlah hamba, Permaisuri Utama dan satu-satunya. “Ini adalah kebodohan hamba. Namun hamba rela mendapat hukuman potong lidah setelah menghaturkan sesuatu ke hadapan duli Permaisuri Indreswari….” “Katakan secepatnya.” “Mudah-mudahan yang hamba dengar salah, akan tetapi telinga ini tak bisa ditutupi….” Halayudha menyampaikan bahwa ia diajak para senopati untuk membujuk Senopati Agung Brahma agar menghadap Baginda, malam ini juga. “Urusan apa?” “Para senopati merasa bahwa Putra Mahkota sangat membatasi gerak-gerik dan keleluasaan para senopati yang memang busuk. Para senopati merasa lebih pantas berlindung di balik kejayaan payung kebesaran Bagus Marmadewa….” “Yang menjadi putra mahkota itu anakku. “Bukan anak kakakku.” “Duh, Permaisuri Indreswari… “Dewa di langit segala langit pun mengetahui hal ini. Juga tetumbuhan di hutan. Akan tetapi para senopati bisa memaksakan kehendaknya. Atau barangkali Senopati Agung Brahma merasa lebih tua dan lebih…” “Kamu selalu muncul dan mengguncang perasaan. “Dosamu tanpa takaran….” “Bunuhlah hamba sekarang juga, Permaisuri yang mulia. “Hamba hanya ingin menyampaikan hal ini sebagai abdi yang pernah merasakan sikap Permaisuri yang maha welas asih….” “Lepas dari benar-tidaknya kata-katamu, ada baiknya kita bersiaga. “Kalau malam nanti Kakang Senopati Agung Brahma menghadap, apa yang kamu katakan adalah benar. Jika tidak, aku sendiri yang akan mencincang tubuhmu….” “Hamba rela dicincang sekarang ini….” Permaisuri Indreswari memerintahkan Halayudha untuk menyingkir. Saat itu juga Permaisuri Indreswari memanggil Senopati Sidateka dan mengatakan kemungkinan Senopati Agung Brahma akan menghadap. “Tanyakan apakah benar ia mau menghadap Baginda. “Bila jawabnya ‘ya’. Kamu tak usah menunggu perintah. Ringkus seketika itu juga.”
Air Palsu Air yang Keruh SIDATEKA menghaturkan sembah. “Nambi akan mengatasi dengan baik….” “Aku ingin kamu sendiri yang bergerak. “Sebab Nambi ada di belakang Kakang Brahma….” Mendadak terdengar suara nyaring dari luar. “Aku adalah Senopati Brahma. Kalau menyebut namaku, kenapa di belakangku?” Permaisuri Indreswari menudingkan telunjuknya. Sidateka serta-merta melangkah ke luar. Di halaman prameswaren, perumahan untuk para permaisuri yang menjadi satu dengan kaputren berdiri gagah seorang lelaki dengan berkacak pinggang. “Karena kudengar namaku disebut-sebut, aku ingin mendengar apa yang dibicarakan.” “Kamukah Senopati Brahma?” Mata Senopati Agung Brahma mendelik saking gusarnya. Jakunnya naik-turun. Belum pernah ia dihina sedemikian rupa. Di dalam Keraton lagi! “Aku Senopati Agung Brahma.” Kedua tangannya terangkap, bersidekap di depan dada. “Apa pedulimu bertanya tanpa tata krama seperti itu?” “Aku Senopati Sidateka yang mendapat tugas menjaga ketenteraman Keraton sekarang ini.” “Bagus kalau begitu. “Minggir dari depanku. Karena kakiku tak punya mata, sehingga bisa menendang kepala yang menghalangi.” Gagah melangkah tanpa peduli. Pendeta Sidateka menggerung. Kedua tangannya bergerak, dan seketika itu pula puluhan prajurit pribadi bersiaga. “Kalau harus memandikan keris dengan darah Keraton, aku tak akan menyesali.” Sret, tangan kanan Senopati Agung Brahma mencabut kerisnya. Langsung diacungkan ke atas. Dalam kejap berikutnya, keris itu menuding lurus ke depan. Sabetan yang digerakkan dengan cara yang luar biasa cepat. Mengiris udara. Pendeta Sidateka mengeluarkan seruan tertahan. Menggeser tubuhnya ke arah kiri, tangannya terulur, mencengkeram pergelangan tangan. Senopati Agung Brahma membalik telapak tangannya, kali ini ujung kerisnya menoreh ke arah nadi. Pendeta Sidateka agak gelagapan karena sama sekali tak mengira serangan lawan yang ganas bisa berubah dalam satu pukulan. Terpaksa uluran tangan kanannya mengeras bagai kepalan dan langsung ke arah lambung. Tanpa menarik mundur kaki dan tubuhnya, Brahma membalikkan ujung kerisnya. Memapak ke arah jotosan lawan. Gerakan keris Singasari! Yang pernah dimatangkan oleh Upasara Wulung. | |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 2:51 pm | |
| Tidak mengherankan, karena Brahma memang prajurit Singasari yang mendapatkan ilmu dengan dasar yang sama. Yang sedikit membuat Sidateka terkesiap ialah bahwa gerakan-gerakan pergelangan tangan Brahma sangat luwes, sangat prigel, sehingga arah ujung keris bisa berubah dalam sekejap. Dari menusuk lurus, ke samping, atas, ataupun mengiris. Sehingga mau tak mau Sidateka mengeluarkan semua ilmu simpanannya. Bahwa Brahma masih menguasai jurus-jurus silatnya dengan baik, rasanya tak perlu diragukan lagi. Akan tetapi bahwa tenaga dalamnya tak mendukung kemampuannya, juga bisa dimengerti. Karena praktis sejak menjadi keluarga Keraton yang terhormat tak bisa latihan dengan leluasa. Padahal jago silat di mana pun, kematangan dan kemampuan tenaga dalamnya sangat tergantung dari latihan setiap kali secara berkesinambungan. Maka dalam sepuluh jurus berikutnya, Brahma tak bisa mendesak lebih jauh. Meskipun pada awalnya mampu menyudutkan Sidateka. “Tangkap pemberontak!” Mendengar teriakan Sidateka yang adalah senopati utama, para prajurit segera bergerak mengurung. Bahkan Senopati Kuti yang berada di kejauhan segera mendekat. Demikian juga Mahapatih Nambi. “Kurung pemberontak satu ini!” “Maaf, Senopati….” “Apakah kamu membantah perintahku, Nambi?” Mahapatih Nambi mendongak. Dadanya membusung. “Senopati Sidateka, jangan kelewat kurang ajar. Tata krama juga berlaku di antara tikus sawah. “Aku tak bisa diperlakukan seperti ini.” Begitu Mahapatih Nambi mengambil sikap sempurna, semua prajurit yang tadinya mengurung Senopati Agung Brahma jadi berubah sikap. Sidateka mundur selangkah. “Mau menghindar ke mana, pencuri ilmu?” Sidateka berpaling. Pandangan nanar. Hampir tak percaya apa yang dilihatnya. Halayudha berdiri di belakangnya. Senyumnya dingin. Yang membuat pandangannya nanar, terutama karena kalimat Halayudha yang menyebutnya sebagai pencuri ilmu silat. Sudah jelas bahwa Halayudha yang mencuri ilmu silatnya! Bagaimana mungkin begitu tega menuduh kepada pemiliknya? “Duh, para senopati linuwih, rasanya tak perlu mengotori tangan untuk menghukum seorang pendeta yang mencuri ilmu. Yang seperti ini tak ada harganya untuk dilayani.” Sidateka meludah. “Sudah jelas kamu yang mencuri ilmuku.” “Sejak kapan orang seberang menciptakan Kitab Air? “Seekor ikan kecil pun bisa tertawa. Mari kita buktikan di luar, siapa yang menimba air palsu pasti lebih keruh….” Di akhir kalimatnya, tangan kiri Halayudha bergerak. Seolah menenteng anak kecil yang nakal. Sidateka seperti tertarik pusaran air yang keras, sehingga tubuhnya condong ke depan. Tak ada jalan lain kecuali melompat tinggi untuk membebaskan diri dari terkaman tenaga mengisap. Pada saat yang sama Halayudha melayang ke udara. Sekali lagi kedua tangannya bergerak, bagai gelembung air ditiup angin. “Itu ilmuku!” “Inilah yang membuktikan kamu pencurinya.” Tanpa menunggu tubuh Sidateka menginjak tanah, kedua tangan Halayudha terayun ke depan. Kali ini yang dirasakan Sidateka adalah gelombang yang keras menghantam. Sekejap tubuhnya yang belum sehat sempurna menjadi sempoyongan. Pada waktu akan membuang tenaga ke belakang, saat itu justru Halayudha sudah bersiap. Karena mengetahui reaksi dan gebrakan Sidateka. Punggungnya kena diterkam. Sekali sentak tubuh Sidateka terbanting ke tanah! Satu kaki Halayudha terayun dan menginjak tepat di leher. “Kalau tidak segera minta maaf kepada Senopati Agung Brahma, hari ini nyawamu pindah ke telapak kakiku.” Siapa pun yang menyaksikan kehebatan Halayudha menjadi bercekat. Bahwa Halayudha mempunyai ilmu silat yang tangguh, sudah banyak didengar. Akan tetapi bahwa hanya dengan satu gebrakan saja bisa membuat Sidateka tak berdaya sama sekali, masih di luar perhitungan mereka. Tak terkecuali Senopati Agung Brahma. Masih terasakan kehebatan ilmu Sidateka. Bahwa dirinya tak bisa mendesak lebih jauh dan malah mulai keteter. Toh dengan gampang sekali Halayudha bisa menundukkan. Mahapatih Nambi menggerakkan tangannya. Terlambat. Kaki Halayudha telah turun. Amblas ke tengah leher. Hanya kelojotan sebentar. Sesudah itu tubuh Sidateka tak bergerak lagi. Halayudha memang ingin memusnahkan Sidateka yang di belakang hari bisa membongkar siasatnya yang menerobos masuk ke ruangan Permaisuri Indreswari. Atau mengungkit masalah kidungan dalam kain sutra. Dalam keadaan sekarang ini jelas lebih baik menghentikan napas Sidateka. Yang membuat Mahapatih Nambi tak berkedip ialah kenyataan bahwa Senopati Utama yang diangkat secara resmi oleh Putra Mahkota dibunuh di halaman Keraton. Di belakang hari bisa menimbulkan masalah. Halayudha mendongak ke langit. Napasnya ditarik keras sekali. “Dewa yang Mahaasih di langit. “Hari ini aku mengulang kesalahan kepada Putra Mahkota. Kalau sekarang ini aku harus menerima hukuman, biarlah aku jalani dengan hati yang lapang. “Sebab aku tak ingin mendengar mulutnya yang busuk.” Suara Halayudha sangat lantang. Ini disengaja karena dengan demikian akan terdengar oleh Permaisuri Indreswari. Seolah ia ingin mengatakan bahwa dibunuhnya Sidateka agar tidak mengumbar cerita apa yang sebenarnya tengah terjadi! Itulah Halayudha. Setiap gerakan mempunyai arti ganda!
Senopati Seleh Gegaman TINDAKAN Halayudha kelewat cepat. Dan menyelesaikan. Kini semua yang hadir hanya bisa memandangi. Berdiri dan duduk di tempat semula tanpa bisa melakukan sesuatu. Tidak segera memuji atau bisa mencegah. Karena masih terpukau dengan cara Halayudha menyelesaikan masalah. Sudah jelas Senopati Sidateka diangkat resmi oleh Putra Mahkota. Kini diinjak batang lehernya hingga putus. Sudah jelas Halayudha mengaku bersalah, akan tetapi tak segera diketahui siapa yang harus menindak. Kecuali desisan kecil. “Siapa menyuruh kamu berbuat kurang ajar di depanku?” Senopati Agung Brahma maju setindak. Dialah yang paling merasa tersinggung dengan tindakan Halayudha. Pada saat ia bertarung, dengan seenak perutnya sendiri Halayudha mencomot lawannya, membanting dan menginjak. Walaupun semua dalam rangkaian menyelesaikan pertempuran, akan tetapi sebagai seorang ksatria Senopati Agung Brahma merasa tersinggung. “Saya bersedia menerima murka Senopati Agung. “Akan tetapi yang saya lakukan semata-mata demi keselamatan Senopati Agung.” Lebih jelas kata-kata Halayudha. Ia memenangkan pertarungan dan mengatakan bahwa sebenarnya Senopati Agung Brahma tak bisa menyelesaikan urusan. Bahkan jiwanya terancam bahaya. Sehingga Halayudha perlu turun tangan. Kata-kata kasar yang membuat Senopati Agung Brahma naik darahnya. Tangannya mencabut keris yang baru saja disarungkan. “Mari kita buktikan siapa yang lebih lelaki….” Kaki Senopati Agung melangkah maju. Halayudha mengerahkan tenaga di kedua tangannya sambil menunggu. Begitu Senopati Agung bergerak, Halayudha memperlihatkan keunggulannya. Sikunya yang tertekuk menyodok ulu hati lawan, dan dengan tangan kiri, membetot keris lawan. Gerakan yang bisa diduga. Senopati Agung bisa mengubah ujung keris ke dalam. Menusuk siku yang berusaha membentur dadanya. Dan kejapan berikutnya bisa diubah lagi untuk menyerang. Perhitungannya meleset. Kaget pun tak sempat. Karena tenaga sodokan dengan siku berjalan sangat cepat. Yang lebih menakjubkan lagi angin tusukan terasakan sangat tajam, sehingga ulu hati Senopati Agung sangat sakit. Menyentuh pun belum. Kesiuran angin pun belum terasakan. Tapi tenaganya menjadi buyar. Pada saat yang bersamaan, hanya dengan tangan kiri, Halayudha mampu merampas keris. Satu sentakan saja! Apa yang dipamerkan Halayudha memang permainan tenaga dalam yang lihai. Yang bisa diatur secara sempurna. Kini saatnya Halayudha memperlihatkan siapa dirinya. Kalau selama ini dirinya hanya dipandang sebagai senopati yang dekat hubungannya dengan Baginda, sekarang mempertunjukkan kebolehannya. Sudah sekian lama Halayudha merasa terganjal hatinya. Kemampuan ilmu silatnya sebagian sengaja disembunyikan, dan ia lebih dikenal sebagai pelayan Baginda. Untuk ini semua ia menahan sakit hati karena pandangan yang merendahkan dirinya. Di mana ukuran keunggulan ditentukan oleh tebal atau tipisnya kulit. Halayudha tak bisa menahan diri lebih lama. Pada kesempatan yang terbaik seperti sekarang ini, ia memunculkan siapa dirinya. Yang pada dasarnya lebih unggul. Yang seperti terlupakan bahwa Halayudha adalah murid langsung Paman Sepuh Dodot Bintulu, salah satu dari ksatria utama yang setara dengan Eyang Sepuh! Ini saja sudah menunjukkan dasar-dasar yang jauh lebih kuat dari senopati yang lain. Bagi Halayudha ini masih harus segera ditambahkan, bahwa selama ini ia telah mengisap habis semua ilmu kelas satu di jagat. Ia berhasil menimba tuntas dari Kama Kangkam, ksatria utama dari Jepun. Ia juga berhasil mengakali Raja Segala Naga Tartar. Bahkan terakhir mampu menyerap apa yang termaktub dalam Kitab Air. Itu pula sebabnya dalam gebrakan yang pendek, Pendeta Sidateka yang masih menderita sakit bisa dilipat habis seketika. Demikian juga halnya dengan Senopati Agung Brahma. Dengan sangat cepat Halayudha bisa membaca arah gerakan lawan, dan dengan sama cepatnya memberikan tangkisan dan mendahului menyerang. Titik terlemah lawan yang menjadi sasaran penyerangan. Gerakan siku tak begitu berarti banyak kalau tidak disertai tenaga dalam yang kuat menerobos. Yang langsung menghentikan sumber tenaga dalam Senopati Agung. Maka keris pusakanya bisa dirampas dalam sekejap. Halayudha tidak berhenti di situ saja. Dengan gerakan memutar, tubuhnya membentuk lingkaran. Keris yang terampas di tangannya, dilontarkan dari tangan kiri, sementara kakinya menendang mayat Sidateka. Begitu tubuh Sidateka melayang ke arah dinding, tangan kanannya melempar. Mahapatih Nambi mengeluarkan seruan tertahan. Karena tubuh Pendeta Sidateka melayang ke arah dinding. Disusul tusukan keris. Yang amblas hingga ke dinding, menembus tubuh Sidateka. Tubuh Sidateka terpantek ke dinding! Bisa disaksikan siapa saja yang berada dalam halaman kameswaren dengan jelas. Apalagi kaki Sidateka masih bergoyang-goyang karena gerakan lemparan, dan darahnya basah menetes. Menjijikkan. Membuat Senopati Agung berpikir tiga kali. Kalau saja Halayudha mau mengarahkan keris itu ke tubuhnya yang mana saja, atau bahkan keningnya, Senopati Agung tak bisa mengelak. Karena inti tenaganya tak bisa dikerahkan, juga untuk menghindar. Yang menimbulkan kesan lebih dahsyat ialah kenyataan tubuh Sidateka yang terpampang di dinding. “Biarlah ini menjadi pelajaran bagi setiap pemberontak. Kekuasaan Keraton tak boleh dikotori oleh siapa saja. “Kalau di antara kalian ada yang ingin membela Sidateka, silakan maju!” Ganas dan keras. Ucapan Halayudha bisa ditafsirkan bahwa ia menantang siapa saja yang bisa mendengar, walau seperti ditujukan kepada para prajurit. Bisa ditafsirkan sebagai tantangan terbuka untuk menguji ilmu silatnya. Sejenak tak ada suara atau gerakan. Halayudha mendongak, menanti. “Kalau memang tak becus, lebih baik seleh gegaman.” Suara yang berat menekan, penuh dengan wibawa. Serentak semua yang berada di halaman bersujud, menghaturkan sembah. Tak berani mendongak atau melepaskan sikap menyembah. Termasuk Halayudha dan Senopati Agung Brahma. Suara berat itu dimiliki oleh Baginda Kertarajasa. Pengertian seleh gegaman, dalam arti harfiahnya, ialah meletakkan senjata, bisa juga menyerah kalah. Mengakui keunggulan lawan dan rela menyerah tanpa syarat. “Kalau para senopati seleh gegaman, apa lagi yang tersisa? Kenapa untuk menyingkirkan seorang perusuh harus banyak kalimat berbusa-busa?” “Sembah bekti bagi Baginda….” Jawaban serentak yang terdengar. “Taman ini tidak untuk pertikaian. Kalian semua saya izinkan untuk bubar….” Tanpa menunggu reaksi, Baginda meninggalkan tempat. Agak lama baru satu per satu mendongak, menyembah lagi, dengan laku ndodok meninggalkan ruangan. Yang tersisa adalah pertanyaan dalam hati. Kenapa Baginda mendadak muncul? Siapa yang menggugah Baginda untuk berjalan keluar dari kamar peraduannya? Ataukah selama ini Baginda tidak berdiam di Keraton? Sehingga Putra Mahkota bisa memerintah dengan leluasa? Bahwa kematian Sidateka menimbulkan masalah yang pelik, bisa ditebak. Akan tetapi kehadiran Baginda yang mendadak, menimbulkan pertanyaan lebih pelik lagi. Karena tak mungkin ada jawaban, untuk sementara atau selamanya. Baginda bisa muncul sesaat, dan dengan sabdanya segalanya diselesaikan. Sekurangnya pertemuan saat itu. Hanya diiringkan oleh lima prajurit pribadi, Baginda memasuki Keraton. Ketika tangannya bergerak perlahan, lima prajurit pengiring utama berhenti di gerbang. Baginda melangkah sendiri menuju peraduannya. Tanpa suara. Tanpa gema. Tapi terasa betul keberadaannya memenuhi ruangan seluruhnya. Melewati dinding, halaman, batas sebelah luar. Kehadiran yang tak bisa diganti atau disamai dengan wibawa yang lain. Juga ketika berada dalam kamar peraduan. Menghadapi Permaisuri Rajapatni.
Isyaratkan Kemauanmu, Yayi…. DALAM kamar peraduan yang sunyi, hanya terasakan bau dupa wangi yang pekat. Permaisuri Rajapatni duduk bersimpuh di bawah dengan menundukkan wajah. “Yayi, masih perlukah kamu membisu seperti batu? “Apa sebenarnya yang menjadi kemauanmu?” Tubuh Permaisuri Rajapatni tetap bergeming. “Susah menangkap isyarat apa yang terpaku dari kepiluanmu. “Hmmm, kalau bukan karena Dewa menjodohkan kita sebagai pasangan yang bakal melahirkan keturunan raja yang berkuasa di seluruh jagat raya, sifatmu yang kekanak-kanakan tak bisa kumaafkan. “Kalau yang kamu prihatinkan kedua putrimu, yang adalah putriku juga, pulanglah kembali ke kamarmu. Mereka ada di sana.” Mendadak kesunyian pecah oleh isak tangis. Tubuh Permaisuri Rajapatni bergerak-gerak, perlahan. Tangannya gemetar ketika menyembah. Dalam cahaya yang tak begitu terang, dengan aroma bau dupa harum dan asap samar-samar, nampak jelas wajah pucat dan mata yang cekung karena kurang tidur dan makan. Namun semburat keayuan yang hanya dimiliki putri Keraton tetap terpancar. “Cukup puas?” Tubuh Permaisuri kembali tergetar. “Segala puji syukur bagi kebesaran Baginda, raja Keraton Majapahit yang perkasa.” Baginda menggerakkan kepalanya. “Kadang aku bertanya-tanya dalam hati. “Apakah kamu ini sebagian dari dayang-dayangku, atau kamu ini yang kutitipi anakku. “Yayi Gayatri… wanita seluruh Keraton ini bisa kumiliki dan kubuang seketika tanpa membuatku berpikir dua kali. Hanya kepadamu, kadang kurasakan ada sesuatu yang menahanku. Yang membuatku ragu. “Ketika semua wanita seluruh Keraton berusaha bisa menyembah bayanganku dengan segala cara, kamu yang kuajak bicara malah berdiam diri. “Aneh. “Sungguh aneh. “Ataukah semua wanita aneh, atau kamu sendiri yang aneh? “Hmmm, Gayatri… Gayatri… “Setiap hari kutemukan berbagai persoalan. Baik yang besar maupun yang sangat besar. Tapi tak ada yang seganjil bila bertemu denganmu. “Sungguh tidak lucu. Kamu menguatirkan kedua putrimu, yang dijaga Gemet. Kenapa kamu harus begitu prihatin sehingga membisu, bertapa seperti tak punya sukma? “Apa kamu kira aku tega kalau ada selembar rambut yang rontok dari putrimu?” Permaisuri Rajapatni menghaturkan sembah kembali. Khusyuk, hormat, bekti. Tulus, menghormat dari lubuk hati. “Perjalanan hidup ini banyak ragamnya. Dewa di Atas Dewa yang mengatur langit dan bumi bisa menentukan apa saja. Termasuk sifatmu. “Apa kurangnya menjadi permaisuri seorang raja yang berkuasa seperti aku? Apakah masih ada lelaki yang bisa menyamai, bahkan hanya bayanganku? “Rasanya di seluruh jengkal tanah wilayah Keraton tak akan pernah ada. “Tetapi anehnya, kamu seperti masih menyimpan, masih memberi tempat kepada seorang ksatria yang bernama Upasara Wulung. Kuakui ia senopatiku yang menentukan saat melawan prajurit Tartar. Ia masih muda. Tapi ia tak ada apa-apanya. “Upasara tidak membuatku cemburu. “Tidak membuatku harus berhitung dengannya. “Setiap saat aku bisa menyuruhnya membunuh diri. Setiap saat ia akan menyembah bayanganku. Ia tak akan mungkin bisa menyamai bayangan tubuhku yang telah lenyap. “Yayi Gayatri… sudahilah perasaan yang tak perlu itu. “Itu hanya akan menyiksamu. “Dan menyiksa Upasara….” Suara Baginda berubah menjadi lebih keras. Nadanya menjadi lebih cepat. “Kamu harus tahu, Yayi, Upasara bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Ia seorang prajurit tanpa diketahui siapa orangtuanya, dari mana asal-usulnya. Ia tak punya pangkat, tak punya derajat. Sewaktu bertugas menyelidik ke Keraton Singasari, kamu menemaninya. Saat itu tumbuh daya asmara yang luar biasa. “Karena dalam bayangannya, dan sesungguhnya begitu, kamulah bidadari yang paling bidadari, dewi yang paling dewi, sehingga kehadiranmu bagaikan sinar bulan purnama. “Lebih menyedihkan lagi karena kekonyolan merasa kamu menanggapi perasaannya. “Katakan terus terang, apakah itu tidak menyiksanya? “Melukai sampai ke tulang sumsumnya? “Upasara boleh saja menjadi perkasa. Menjadi ksatria utama, menguasai segala ilmu yang memang diperlukan prajurit, menjadi lelananging jagat, akan tetapi tetap saja merasa jiwanya tak imbang. “Merasa sisa-sisa daya asmaramu masih melekat di sana. “Itulah beban yang akan ditanggung seumur hidupnya.” Baginda terbatuk sesaat. Wajahnya memperlihatkan sinar puas. Akan tetapi senyuman yang terpancar terlalu dingin. “Padahal kalau direnungkan, apalah arti hubungan kalian. Daya asmara apa yang kalian rasakan? Tak ada. Tak akan pernah ada. Tak akan pernah ada selamanya. “Hanya impian. “Impian keinginan yang melelahkan. “Yang membuat Upasara gila. “Yayi-lah penyebabnya!” Kembali terdengar suara. Antara batuk dan terbatuk. Baginda melirik istrinya sekejap. Tak ada perubahan yang bisa ditangkap dari wajah yang tetap menunduk sejak pertama tadi. “Apa lagi namanya kalau bukan kegilaan yang menjadi beban? “ Sekian tahun telah berlalu. Kamu tak pernah tahu, tak pernah bertemu bayangannya. Entah hidup atau matinya kamu tak tahu. Dan Upasara masih merasa memiliki daya asmara denganmu. Sehingga Ratu Ayu Bawah Langit yang menjadi istri pendampingnya ditinggal pergi. “Tidak pernah jelas. “Yang jelas dan nyata adalah merawat daya asmara denganmu. Yayi, katakanlah terus terang, bukankah Yayi sangat jahat padanya? Membuat Upasara edan dalam keadaan waras? Membuat ia cacat dalam keadaan sehat? “Ah, betapa dungunya. “Betapa tololnya. “Di jagat ini ada begitu banyak wanita. Tapi ia masih bernyanyi, masih mengidungkan sesuatu yang tak ada. “Dan kamu yang menjadi penyebabnya, diam-diam merasa bahagia. Dan aku, raja yang berkuasa, yang bisa melakukan apa saja, jadi terdorong untuk membicarakannya. “Terus terang aku kasihan pada Upasara. “Ksatria yang bisa berbakti sebagai abdiku, tenggelam seperti kotoran….” Permaisuri Rajapatni tetap tertunduk. Tak bergerak. Tak berubah tarikan napasnya yang pelan dan berirama. “Isyaratkan apa maumu, apa keinginanmu. Aku selalu bisa mewujudkannya. Tetap tak ada jawaban. Tak ada perubahan. Seperti tak ada. Seperti dupa. Hati Baginda tergetar tanpa terasa. Selalu begitu setiap kali berhadapan dengan Permaisuri Rajapatni. Selalu ada rasa yang mengintip, mengilik-ngilik setiap kali melihat permaisurinya yang ini, karena selalu terpeleset hubungannya dengan Upasara. Dalam hatinya Baginda merasa bahwa dirinya di atas segala apa. Tetapi juga dalam hatinya, secara tak dipaksa, tersisa tanda tanya, apa yang sebenarnya membuat Gayatri selalu membisu pada saat-saat tertentu? Apa yang dulu membuat Upasara menolak diberi jabatan mahapatih? Pertanyaan yang bisa dijawab siapa saja. Juga hatinya sendiri. Untuk memuaskan. Tapi kadang tergema lagi. Meminta jawaban baru. “Sekarang ini, Keraton lagi diguncang kerisauan. “Dan aku membicarakan sesuatu yang tak ada gunanya. Pergilah, Yayi….” Permaisuri Rajapatni menyembah tulus. Lalu menggeser tubuhnya perlahan sekali. Meninggalkan Baginda yang untuk beberapa saat menghela napas dua-tiga kali, sebelum berusaha menenggelamkan semuanya ke alam impian.
Asmara Bumi dengan Air SEJAK Baginda meninggalkan halaman prameswaren, suasana masih hening beberapa saat. Baru kemudian terdengar suara Halayudha. “Baginda baru saja bersabda, kita semuanya seleh gegaman. Tak ada lain yang bisa kita lakukan kecuali menjunjung tinggi sabda Baginda. “Maafkan, kalau saya mendahului….” Halayudha menyembah ke arah di mana Baginda tadi berada, lalu berjongkok, sebelum akhirnya berdiri. Dengan memakai kalimat Baginda, Halayudha menekankan bahwa tak ada gunanya melanjutkan sengketa. Semua yang hadir dianggap tidak becus, sehingga perlu meletakkan senjata. Perlu untuk tidak melakukan suatu apa. Dalam artian yang lebih luas, semua senopati, tanpa kecuali, tidak memegang jabatan apa-apa. Menunggu perintah selanjutnya. Dari semua yang mendengar, hanya Senopati Agung Brahma yang mendehem kecil. “Kita semua harus mematuhi. “Akan tetapi aku tak akan pernah melupakan hal ini. Halayudha, masih ada hari lain untuk bertemu muka.” Di luar dugaan, Halayudha balas menatap sorot mata Senopati Agung. “Dengan senang hati, Senopati Agung. “Sebagai prajurit, saya menjalankan sabda Baginda. Sebagai sesama ksatria, saya siap melayani kapan saja. Di luar batas wewenang Keraton, kita bisa berhadapan sebagai sesama lelaki.” Gamblang sekali Halayudha menyambut tantangan Senopati Agung! Ditambah lagi: “Semua yang hadir di sini menjadi saksi. “Saya tak akan mundur menunggu sampai keris pusaka Senopati Agung dibersihkan dengan bunga melati.” Sindiran Halayudha terdengar kasar. Menyinggung masalah keris, seolah Halayudha ingin menekankan bagaimana ia bisa merebut dengan mudah, dan menggunakan untuk menggantung Sidateka di dinding Keraton. Senopati Agung harus mengambil, membersihkan dulu sebelum bisa menghadapi Halayudha. “Kalau masih ada yang tersinggung dengan kata-kata saya dan yang saya lakukan, silakan menyelesaikan di luar halaman.” Lebar langkah Halayudha ke arah luar. Menuju kori butulan atau pintu kecil. Akan tetapi pintu itu terbuka lebih dulu. Gendhuk Tri berdiri di samping Singanada. Menunggu. Sejak mereka berdua datang, mereka masih menunggu untuk membaca situasi. Karena begitu banyak prajurit bersiaga. Sewaktu mendengar suara gaduh di bagian dalam, mereka berdua menyerbu masuk. Tak terlalu menimbulkan kesulitan. Di pintu kecil, keduanya menunggu masuk. Saat itu justru Halayudha sedang melangkah ke luar. “Persoalan kita belum selesai, Halayudha….” “Apa yang kamu perlukan dariku, anak muda?” Singanada bertolak pinggang. “Kembalikan kitab pusaka Gendhuk Tri.” Halayudha mengangkat alisnya. “Kitab pusaka macam apa? “Ditulis di daun apa, bagaimana bunyinya?” Singanada terenyak. Sama sekali tak diduganya bahwa ia akan menghadapi pertanyaan balik seperti yang diucapkan Halayudha. Ia mengetahui bahwa Halayudha menyimpan kitab yang menjadi inti ajaran Gendhuk Tri. Akan tetapi ia sendiri tak tahu kitab apa, dan ditulis di tempat apa, atau bagaimana bentuknya. Demikian juga Gendhuk Tri. Seumur hidup ia belum pernah melihat atau menyentuhnya. “Kalian bilang aku mencuri atau mengambil kitab kalian. Katakan yang mana. Kalau memang kalian ingin mencari gara-gara, tak perlu menuduh tanpa alasan. “Aku sudah siap menghadapi.” Para senopati yang masih berada di sekitar halaman depan Keraton saling pandang tak mengerti persoalannya. “Kalau itu yang dikehendaki, bersiaplah.” Singanada mencabut kantar-nya. “Sebagai prajurit, kamu tidak mematuhi perintah Baginda untuk seleh gegaman. Malah bikin ribut. “Singanada, lebih baik aku simpan barang mainanmu itu.” Sebat sekali Halayudha bergerak maju. Tubuhnya bergerak bagai bayangan yang melesat ke depan. Akan tetapi sesungguhnya kakinya yang lebih dulu menggunting kuda-kuda Singanada. Singanada mengetahui bahwa Halayudha cerdik sekali membaca kekuatannya. Tenaga lipat sembilan yang menjadi andalannya, dengan meloncat ke arah sembilan penjuru, bermula dari loncatan pertama. Bagian itulah yang dimatikan Halayudha. Singanada tidak mengubah kedudukan kakinya. Rambutnya yang tergulung tiba-tiba saja lepas terurai dan menyampok ke wajah Halayudha. Bagai tusukan seratus jarum seketika. Dengan mengeluarkan suara ejekan dingin, Halayudha merebahkan tubuhnya, dengan kaki tetap menggunting kaki lawan. Singanada merasa tempurung lututnya berdenyut. Getaran tenaga Halayudha terasakan. Secepat ancaman datang, secepat itu pula Singanada mengubah serangan. Tubuhnya kembali tegak, rambut tertarik ke belakang, dan kantar di tangan kanan dan kiri menghantam ke arah dada. Ke arah satu tempat. Halayudha justru membalik tubuhnya. Menyongsong maju. Menyerahkan dadanya kena totokan kantar. Senopati Agung Brahma menahan napas. Apa yang dipertontonkan Halayudha jarang dilakukan tokoh silat kelas utama. Tenaga yang tadinya ditarik ke belakang dengan menekuk punggung, justru diubah ke depan saat serangan datang. Gendhuk Tri juga heran. Karena gerakan yang pertama tadi, biasanya disusul dengan gerakan menjatuhkan tubuh. Seperti yang selama ini selalu berhasil dilakukan untuk mengecoh lawan. Akan tetapi sekarang justru dibalik. Singanada memindahkan dua kantar pendek ke satu tangan. Dalam sepersekian tarikan napas, ia merasa bahwa dada lawan yang diarah seperti pusaran air yang menenggelamkan tenaga yang datang. Pada saat yang bersamaan kakinya terancam. Tak ada cara lain kecuali melompat ke atas. Dengan kekuatan satu kaki. Karena kaki yang sebelah, lebih untuk menghindar dengan jalan memutar tubuhnya. Saat melayang ke atas Singanada sudah bersiap menyambut datangnya serangan beruntun. Yang pasti akan segera datang. Pertarungan di tengah udara. Perhitungan yang tepat. Akan tetapi tetap juga melesat. Karena Halayudha tidak melanjutkan serangan dengan melompat ketengah udara, melainkan memutar tubuhnya, dengan kaki terangkat sempurna ke atas. Tubuh Singanada yang melayang ditendang dari jarak jauh dengan kekuatan berputar, searah dengan putaran tubuh Singanada. Mahapatih Nambi yang sejak tadi memperhatikan setiap gerakan, menduga-duga bahwa Halayudha secara sengaja membalikkan setiap gerakan yang sudah diduga lawan. Sesuatu yang sebenarnya sangat berbahaya. Karena gerak rangkaiannya terpatah-patah dan sulit diterka kemungkinan yang terjadi. Di samping itu, perlu diperhitungkan juga kekuatan lawan. Yaitu Maha Singanada, yang bukan sembarang jago silat.
| |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 2:51 pm | |
| Sebagai sesama jago silat, Mahapatih Nambi bisa mengetahui bahwa dengan membalik-balik gerakan, memungkinkan untuk sedikit “bermain-main”, merangsang kepekaan baru. Akan tetapi itu tak bisa dilakukan dengan lawan yang seimbang. Gerakan pembukaan dalam ilmu silat, tersusun langkah demi langkah yang berangkaian. Setiap gerakan awal boleh dikatakan sudah pasti, sekurangnya sampai pada jurus-jurus tertentu. Kecuali kalau memang kekuatan tenaga dalamnya lebih berlipat ganda dari musuhnya. Ibarat melawan prajurit biasa, walau gerakan lawan rumit dan tersusun, Nambi bisa menyapu keras. Memusnahkan dengan mengadu tenaga dalam. Kalaupun Halayudha lebih unggul setingkat, Singanada bukan lawan yang bisa disapu begitu saja. Akan tetapi toh itu yang dilakukan oleh Halayudha. “Loncat!” Teriakan Halayudha begitu keras, dan ternyata Singanada memang berloncatan ke arah sembilan penjuru. Setiap kali bayangan tubuhnya berkelebat ke delapan penjuru, untuk kemudian berada di tengah. “Ini menarik, akan tetapi membosankan. “Gendhuk kecil, bergabunglah. “Aku ingin menyaksikan perpaduan bumi dengan air.” Telapak tangan Halayudha mengincar ke arah dada Gendhuk Tri! Benar-benar kurang ajar!
Asmara Berasal dari Dalam BENAR-BENAR kurang ajar. Dan hebat. Kurang ajar karena telapak tangan Halayudha mengincar dada Gendhuk Tri. Sesuatu yang tak seharusnya dilakukan ksatria, apalagi senopati setingkat seperti Halayudha. Akan tetapi Halayudha seperti bisa menebak dengan jitu, bahwa hanya dengan gerakan kasar inilah ia bisa memancing Gendhuk Tri terseret ke dalam medan pertempuran secara seketika. Kalau hanya dipanasi atau diserang, belum tentu Gendhuk Tri mau ikutan terjun mengeroyok. Hebat, karena di saat menghadapi serangan dari segenap penjuru, Halayudha masih bisa mencuri peluang untuk menyerang Gendhuk Tri yang bersiaga. Padahal dilihat selintasan, medan pertarungan yang dihadapi Halayudha belum sepenuhnya menguntungkan dirinya. Belum ada tanda-tanda ia bisa merebut keunggulan. Akan tetapi sudah mengeduk ke arah lain, membuat medan baru yang membuatnya menghadapi risiko ganda. Bahkan kalau didengarkan apa yang diucapkan, Halayudha seakan tengah melatih lawan. Bukan sedang berusaha mengalahkan. Diam-diam Senopati Agung Brahma mengakui bahwa Halayudha dua tingkat di atas ilmu yang dimiliki. Terutama sekali dari kecepatan dan ketepatan membaca gerakan lawan. Sewaktu menghadapi Singanada, Halayudha sudah tahu bahwa ia tak bisa merebut kemenangan dalam waktu singkat. Akan tetapi seperti sudah memperkirakan gerakan lawan dan gerakannya sendiri. Pertarungan seperti yang telah direncanakan, telah dihafal, sehingga ia bisa bergerak sangat cepat sekali. Dengan mengundang Gendhuk Tri, Halayudha seperti menemukan gairah baru untuk menghadapi dua lawan sekaligus. Pancingan mengena. Begitu tangan Halayudha merayap liar di depan dada, secara spontan Gendhuk Tri menyampok keras. Selendangnya yang warna-warni menggulung tangan Halayudha. Tangan kirinya terulur ke depan, menyambut jakun Halayudha. Halayudha menarik tangannya, menekuk, dan sikunya menghantam perut Gendhuk Tri. Dalam gerakan berputar. Sementara kakinya yang lepas, menahan serbuan dari Singanada. Kali ini Senopati Agung yang menahan napas. Sodokan siku itulah yang menamatkan perlawanannya. Yang membuat kerisnya bisa direbut paksa. Itu yang akan dialami oleh Gendhuk Tri. Karena selendang yang melibat tangan Halayudha ikut tertarik ketika Halayudha menekuk tangannya. Badannya jadi ikut terdorong ke depan karena kerasnya tarikan. Pada saat itu siku Halayudha yang berbisa siap menghancurkan. Singanada yang melihat bahaya mengancam Gendhuk Tri, menyusup di antara celah kaki Halayudha. Menyusup masuk. Gendhuk Tri sendiri bukan lawan yang enteng. Yang bisa dibekuk dalam satu gebrakan. Dengan sangat cepat Gendhuk Tri memutar tubuhnya bagai gasing, ke arah yang berlawanan dengan libatan selendangnya. Sehingga meskipun tertarik, bisa melepaskan diri. Tanpa tersentuh siku Halayudha. “Bagus. “Jangan terbang terlalu tinggi. “Itu kurang bagus. Air tak akan membuat gelombang tinggi kalau tidak berada di laut, kalau tak ada angin kencang.” Tubuh Gendhuk Tri yang melayang ke atas bergoyang-goyang. Seperti gemetar. Karena pada saat itu Halayudha menggemboskan tenaga dalamnya. Tenaga tarikan Gendhuk Tri jadi punah karenanya. Hal yang juga dirasakan Singanada. Ia seperti amblas ke udara kosong. Sehingga tubuhnya jatuh menderas. Singanada menggerung keras. Dua kantar pendek berada di tangan kanan dan kiri. Pada saat yang sama kedua tangannya membuka dan tubuhnya berputar keras. Menyabet apa saja yang menghalangi. Halayudha mengeluarkan decak kagum. “Sembilan tenaga, bukan sembilan kali putaran.” Halayudha masih bisa memberi pengarahan, sambil menghindar ke arah samping. Dengan demikian serangannya ke arah Gendhuk Tri batal. Malah ia terpaksa menarik mundur kakinya. Tiga langkah saja. Langkah keempat sudah kembali masuk ke dalam pertarungan. Dengan kedua tangan terangkat ke atas, terkepal, dan pundak lurus rata dengan tangan sampai siku. Inilah cara menggempur putaran tangan Singanada. Mematahkan di tengah putaran. Dengan tenaga keras. Singanada kembali mengaum. Tubuhnya menggeliat, dengan gerakan dahsyat ia berusaha membelit tubuh lawan. Pertarungan keras dengan jarak sangat dekat. Membelit tubuh dengan tubuh adalah gerakan yang cukup berbahaya. Justru karena ilmu yang biasa dimainkan Singanada adalah ilmu Sembilan Penjuru. Mengurung udara dan ruang pertarungan. Berarti pertarungan berjarak. Akan tetapi Singanada tak bisa memainkan Nawagraha atau Siasat Sembilan Bintang. Bahkan kantar, tombak pendek, yang bisa untuk menjaga lawan berada dalam batas serangan seperti macet. Halayudha bisa menebak gerakan-gerakan yang ada. Dengan tenaga sedikit berlebih, Halayudha seakan siap menandingi benturan keras sama keras. Adu tenaga pada posisi sekarang ini jelas lebih menguntungkan Halayudha. Menghadapi situasi rumit, Singanada menggerung keras. Mengubah menjadi pertarungan jarak pendek. Nawadwara atau Sembilan Pintu diringkas menjadi pendek. Dengan pemikiran itu, Singanada ingin agar Halayudha tak mampu menebak gerakannya, yang bisa terbaca dengan mudah. Satu-satunya yang masih membuat Singanada was was ialah kemampuan tenaga dalam Halayudha yang sempurna. Pada saat yang sama bisa mengubah antara berisi, kosong, atau tenaga berputar. Seperti yang barusan terjadi. Tenaga putar demikian keras, lalu berubah menjadi kosong, dan kini berubah menjadi keras. Menjebol kurungan tubuh Singanada yang berputar. Singanada menggeliat ke sisi lain, untuk menghindar adu tenaga keras lawan keras. Akan tetapi dengan begitu, Halayudha mempunyai kesempatan menyapu kaki Gendhuk Tri yang sedang melayang dan bergoyang turun. “Srimpung habis.” Singanada mencelos. Tak menduga bahwa Halayudha akan menebas kaki Gendhuk Tri dengan gerakan kaki berputar yang keras. Dengan menyrimpung, diartikan menebas rata. Sekeras apa pun kaku dan kekuatan Gendhuk Tri, pasti bukan lawan Halayudha. Lebih berbahaya lagi karena tak mungkin menghindar. Tubuhnya sedang meluncur turun. Dilihat dari goyangan tubuh, Gendhuk Tri belum menguasai sepenuhnya berat tubuhnya. Gendhuk Tri menyadari bahaya. “Kamu keliru!” Justru itu yang diteriakkan. Dengan tubuh terus meluncur. Akan tetapi kedua kakinya ditekuk ke belakang. Sehingga srimpungan kaki dengan kaki yang menebas dengan gaya berputar, menemukan tempat kosong. Gendhuk Tri turun dengan lutut menyentuh tanah. Pada saat yang sama tangannya melepaskan selendang dan menggulung leher Halayudha. Hebat dan jeli Halayudha, akan tetapi terkesiap juga. Sabetan selendang ke leher membuatnya perih. Kalau saja tenaga dalam Gendhuk Tri setanding, Halayudha sudah terbanting seperti Sidateka! Singanada maju ke depan mendampingi Gendhuk Tri. Siap melindungi dan mengambil alih pertarungan. Halayudha berdiri tegak. Dadanya membusung. “Bagus, bagus sekali. “Kalian berdua ingat baik-baik. Inilah perpaduan sifat bumi dan air yang sesungguhnya. Bagai bersatunya daya asmara yang berasal dari dalam. Dari batin. “Ingat baik-baik. “Selama kalian berdua mencoba main sendiri-sendiri, ingin merebut kemenangan satu dari yang lainnya, hasilnya justru sebaliknya. “Tapi justru yang baru saja ini membuktikan kehebatan. “Bagus, bagus sekali. “Di kelak kemudian hari, kalian berdua akan menjadi pasangan yang luar biasa. Tapi karena sekarang ini masih terlalu ringan, kalian tetap kalah. “Hanya mampu menunjukkan kebolehan, tapi tak bisa memenangkan pertarungan.”
Duka dari Dewa HALAYUDHA menghela napas berat. Wajahnya mendongak ke langit. Guratan duka menggaris tajam. Mengiris suaranya yang menggeletar. “Dewa yang berada di langit, kenapa kamu begitu murka kepada Guru? Dosa apa yang dilakukan sehingga kamu turunkan duka bertubi-tubi pada guruku, dan harus kusandang? “Kalau kamu punya keberanian, turunlah. “Aku, Halayudha, murid utama Paman Sepuh Dodot Bintulu, menantangmu.” Tubuhnya yang kokoh perkasa, kepalan tangannya yang kaku, masih kalah mengerikan dibandingkan tusukan nada suaranya yang menyayat. Seakan disarati dengan beban duka yang tak tertanggungkan. Untuk pertama kalinya, siapa pun yang mengenal Halayudha merasa menemukan sosok yang lain. Bahkan Senopati Agung Brahma yang begitu mendendam, tercerabut perasaan iba untuk sesaat. Halayudha yang sekarang ini, seperti pertapa tua yang melontarkan dendam dengan rintihan. Selama ini Halayudha selalu bisa menampilkan berbagai wajah. Bisa mengubah raut muka untuk maksud-maksud tertentu. Akan tetapi sekali ini mengesankan sekali. “Dewa di langit. “Kenapa kamu begitu pengecut?” “Rupanya kamu pun kecewa. “Untuk apa penyesalan itu?” Gendhuk Tri menoleh ke arah datangnya suara. Karena serasa mengenali. Dan tidak salah. Yang muncul adalah Nyai Demang yang masih menggendong Kakek Berune. Masih beriapan tak keruan. Terjadilah pemandangan yang aneh. Halayudha yang baru saja memamerkan semua ilmu yang dimiliki, mendadak sangat berubah perangainya. Mengutuk Dewa. Pada saat berikutnya muncul seorang wanita yang menggendong mayat dan menjawab pertanyaan. Hanya karena semua perhatian sedang tertuju kepada Halayudha, kemunculan Nyai Demang dari persembunyian Halayudha tak begitu terperhatikan. Sekarang semua berusaha mengikuti setiap langkah dan kata pembicaraan yang membingungkan. “Jadi kamu pun kecewa, Dodot Bintulu? “Kamu pun mengutuk Dewa? Sungguh tak tahu malu.” Meskipun kata-kata itu keluar dari mulut Nyai Demang, akan tetapi nadanya sedikit berbeda. Karena sesungguhnya pengaruh Kakek Berune yang berbicara. Maha Singanada yang sedikit-banyak mengerti latar belakang persoalan masih tetap mengerutkan kening. Karena tak bisa menebak ke arah mana tanya-jawab yang tengah terjadi. Apalagi pendengar yang lain. Hanya Gendhuk Tri yang secara samar menemukan bentuk kira-kira apa yang tengah berlangsung. “Kenapa kamu sesali kalau jurus Air sengaja diciptakan untuk mendampingi jurus Bumi? Jurus Bumi yang ada bukan berarti Bejujag. Itu bisa berarti dirimu sendiri.” Halayudha menggeleng. “Kakek Berune, ketahuilah, aku adalah Halayudha, murid utama Paman Sepuh… Aku menuntut kepada Dewa, karena ia pilih kasih. Karena ia membenci Guru, dan ikut membenciku! “Dewa menjadi pengecut karena tak berani muncul menghadapiku. Padahal sudah jelas aku menantangnya.” “Ah, itu karena kamu kecewa saja. “Dari dulu yang namanya Dodot Bintulu selalu iri. “Dari dulu kamu tak pernah berubah.” “Kakek Berune, jangan turut campur.” “Aha, kamu kira siapa kamu ini? “Kamu kira, kamu yang dipilih Pulangsih? Tengok wajahmu yang morat-marit dan nasibmu yang buruk itu.” Halayudha mengertakkan giginya. “Bapa Guru yang mulia menciptakan Kitab Bumi, meramu ilmu segala ilmu yang ada di tanah Jawa. Untuk diabdikan kepada Keraton, untuk dijadikan pegangan para ksatria. “Akan tetapi justru wanita yang disayanginya menganggap itu ciptaan Eyang Sepuh. Justru wanita yang disayangi menciptakan ilmu untuk berpasangan seolah pasangan Eyang Sepuh dengan Putri Pulangsih. “Tidakkah itu menyakitkan? “Bukankah itu penghinaan Dewa yang hanya mengirimkan duka kepada Rama Guru? “Aku tak bisa menerima. “Sepanjang hidupnya Bapa Guru begitu banyak menderita. Sampai ke anak muridnya dipaksa menjadi durjana, karena duka yang kelewat berat. “Di mana ada keadilan? “Kalau tak bisa menunjukkan, biarlah aku yang ganti mengajari para Dewa.” Walau pembicaraan simpang-siur tidak menentu, Gendhuk Tri bisa menemukan alur yang sesungguhnya. Dari sisi tertentu, Halayudha tetap ksatria. Yang tergila-gila pada ilmu silat, lebih dari segala urusan. Termasuk kepangkatan dan derajat mulia dalam tata pemerintahan Keraton. Betapapun besar nafsu berkuasanya, masih terselip keinginan untuk muncul sebagai ksatria, untuk menjadi lelananging jagat. Itu sebabnya ketika menduduki jabatan yang begitu rapat dengan puncak kekuasaan, Halayudha masih mengejar ilmu silat. Masih menekuni dan mencoba menguasai. Pangkat dan derajat tinggi di Keraton pada dasarnya hanya untuk memudahkannya mengisap semua pelajaran ilmu silat yang ada. Segala ilmu yang dianggap sakti, tanpa memedulikan apa pun, akan dikuasai. Tindakan itu yang menyeret Halayudha kepada berbagai tokoh penjuru dunia. Sampai pada titik tertentu, menemukan Kitab Air. Tirta Parwa ini pula yang membawa kepada pengertian bahwa sesungguhnya penciptaan Kitab Air untuk melengkapi atau sebagai padanan Kitab Bumi. Untuk melengkapi kekurangan Kitab Bumi yang dikembangkan oleh Eyang Sepuh dengan jurus-jurus Tumbal Bantala Parwa. Hati Halayudha terluka. Tergores duka. Tersayat hina. Gabungan antara gerakan Gendhuk Tri, yang secara jelas mewarisi ilmu Putri Pulangsih, dan gerakan dasar Maha Singanada, menunjukkan bukti hubungan daya asmara di belakang penciptaan. Begitu kedua ilmu digabung, yang menyembul ke luar adalah kekuatan baru yang menakjubkan. Kekuatan yang mampu mengalahkan segala mara bahaya. Mampu mengungguli ilmu yang selama ini secara mati-matian memaksa Halayudha berlatih. Kenyataan inilah yang menjungkirbalikkan Halayudha. Jalan pikirannya menjadi kacau. Justru pada saat itulah tiba-tiba ia teringat Guru. Teringat Paman Sepuh yang hidupnya begitu menderita. Yang dikhianati murid-muridnya sendiri, yang dicelakakan, yang membuatnya menderita dan pedih sepanjang hidup. Loncatan pikiran ke arah penderitaan gurunya, selama ini tak mempunyai arti apa-apa bagi Halayudha. Sebelumnya. Tapi tidak setelah menyaksikan perpaduan gerakan Gendhuk Tri dan Maha Singanada. Apa yang ditemui adalah suatu kenyataan baru. Yang walaupun sudah terpikirkan, tetap membuatnya sangat terkejut. Keberhasilan perpaduan antara bumi dan air. Sekarang ini, Halayudha masih bisa mengalahkan Gendhuk Tri maupun Singanada. Halayudha masih percaya diri mampu menundukkan mereka berdua, walau tidak semudah sebelumnya. Baik karena penguasaan ilmu Gendhuk Tri-Singanada belum menyatu benar, maupun karena Halayudha percaya diri mempunyai siasat untuk merontokkan perpaduan itu. Akan tetapi ini semua tak membantah kekuatan baru. Kekuatan yang bisa menundukkannya, suatu ketika. Kekuatan yang bisa meletup, berbenih dari perpaduan daya asmara. Sesungguhnya, inilah yang menampar kesadaran Halayudha. Yang merasa akar pijakannya lepas. Pada saat itu, sebersit pikiran ingat gurunya. Pada saat itu pula, Kakek Berune yang kini memakai tubuh Nyai Demang sebagai perantara, menemukan jawaban yang sama. Kakek Berune, Paman Sepuh, Eyang Sepuh, Mpu Raganata, maupun Putri Pulangsih adalah tokoh-tokoh yang pernah hidup sezaman seperti mereka sekarang ini. Lebih dari itu mereka ditalikan oleh hubungan yang erat. Baik sebagai sesama prajurit Keraton Singasari dan pemuja Sri Baginda Raja Kertanegara, maupun sebagai sesama ksatria. Ikatan batin yang lebih kuat terjalin karena sama-sama berharap kepada Putri Pulangsih. Maka kemunculan Kakek Berune bisa langsung menyambung pembicaraan. “Kakek Berune, kalau mau mati, mati saja dengan tenang.”
Duka Itu Masih Menetes SUARANYA lantang keras, akan tetapi menyentuh. “Apa kamu bilang? “Aku baru mau mati setelah kalian semua melihat bahwa Pukulan Pu-Ni yang terbaik, dan Pulangsih mengakui itu.” “Apa ada gunanya lagi? “Bumi dan Air sudah bersatu. Bukan Pu-Ni dan Air, bukan yang lainnya. Masihkah penasaran dan tak mau menerima? “Bukankah Guru yang lebih penasaran karena Bumi yang diciptakan diakui sebagai milik orang lain?” Sampai di sini Gendhuk Tri mengentakkan kakinya. “Jangan asal bicara, Halayudha. “Tak nanti Eyang Sepuh mengakui ilmu orang lain.” Halayudha menggeleng. Berulang. “Kamu masih terlalu kecil untuk mengetahui semua ini.” “Ngawur! “Sudah jelas kamu yang mencuri kitab pusaka warisanku.” Halayudha tersenyum. Bagai seringai kesakitan. Seakan duka abadi masih menetes dari napasnya. “Gendhuk Tri, ambillah Kitab Air yang dibawa Sidateka. Entah kenapa bisa disalin oleh pendeta dari Syangka yang sembrono itu. Bawalah semuanya. Kamu berhak mendapatkannya. “Tak ada gunanya lagi bagiku.” Bahkan Singanada yang biasa berterus terang merasa aneh dengan perubahan sikap Halayudha yang berbalik. Gendhuk Tri sempat bertanya-tanya apakah Halayudha sedang menyusun siasat kotor. “Ambil kembali. Selama ini kusimpan di tempat pakaian kotor, yang tak bisa diendus Sidateka. “Gabungkan agar kalian meneruskan keinginan yang tak terlaksana. “Meskipun itu membuat Guru sakit hati selamanya. “Juga di tempat Guru bertemu para Dewa.” Halayudha berbalik setelah mengangguk. “Tunggu!” Nyai Demang maju setindak. “Bintulu, kamu sudah menyerah kalah? “Kamu sudah mengundurkan diri? Baik, baik. Kini giliranku.” “Bapa Guru jauh lebih tenang dan bahagia daripada Kakek yang masih penasaran.” Tangan Halayudha mengedut dan dua tombak prajurit di sampingnya bisa diraup sempurna untuk dilontarkan ke arah Nyai Demang. Yang dengan dingin menangkap. Tombak itu retak. Berkeping-keping. Jatuh ke samping. Dua kali Halayudha menjajal, hasilnya sama saja. Halayudha menoleh ke arah Gendhuk Tri dan Maha Singanada. “Itu adalah tugas kalian berdua, kalau ingin memulihkan Kakek Berune. Aku tak ada urusan lagi.” Halayudha mengibaskan tangannya. Tubuhnya melesat ke arah luar Keraton. Sedemikian cepatnya sehingga Singanada menggerung keras, dan kantar-nya terlontar. Karena menduga Halayudha melakukan gerakan menyerang. Tombak pendek itu meluncur tepat. Halayudha hanya menggerakkan tangannya pendek, dan kantar itu terlontar kembali. Amblas ke kori butulan. Sehingga mengunci. Tenaga kibasan yang luar biasa hebatnya. Tenaga yang sama yang ditujukan kepada Nyai Demang. Yang berhasil dipatahkan dengan gampang. Singanada memandang ragu ke arah Gendhuk Tri. Keduanya berpandangan. Menghela napas bersamaan. Apa yang baru saja terjadi menyingkap banyak persoalan dalam hati masing-masing. Gendhuk Tri membenarkan semua kalimat Halayudha. Termasuk bagian di mana perpaduan antara jurusnya dan jurus Singanada yang menjadi sakti. Ketika masih menyerang sendiri-sendiri, Halayudha seakan bisa mempermainkan. Bisa membuat seolah latihan di mana Halayudha memberi petunjuk. Namun begitu berubah perasaan hati mereka berdua, serta-merta Halayudha bisa terjerat. Terkena lilitan selendang. Padahal kalau dilihat dari kemampuannya, tak mungkin Halayudha bisa tersudutkan dalam pertarungan. Yang membuat Gendhuk Tri menjadi risau dan gamang ialah kenyataan bahwa ia menyadari perasaannya ketika harus sama-sama menggempur tadi. Perasaan kepada Singanada, seperti rasa kuatir, rasa membela, dan rela mengorbankan diri. Hal yang kurang-lebih juga dirasakan oleh Singanada. Hanya pada dirinya hal itu tidak begitu masalah. Karena merasa sejak sebelumnya ia menyukai Gendhuk Tri dan Gendhuk Tri menyukainya. Tak ada pikiran lain. Tak ada kerisauan seperti yang dirasakan Gendhuk Tri. “Mari kita ambil kitab pusaka itu, dan kita menyingkir dari tempat ini.” Gendhuk Tri masih berdiri terpaku. Nyai Demang memandang kiri-kanan. “Di mana kamu, Dodot Bintulu?” Perlahan-lahan tubuhnya bergerak, melaju ke depan, seakan gerakan yang limbung. Seolah beban di tubuh Nyai Demang begitu berat, atau kakinya tak begitu kuat. “Kenapa tidak ditolong?” Suara Cebol Jinalaya menjebol perhatian Gendhuk Tri. “Tidak sekarang ini. “Lebih mungkin membahayakan kami dan Nyai….” Cebol Jinalaya mengangguk-angguk. “Kalau begitu saya saja. Saya biasa mengantarkan orang menjelang ajal….” Dua langkah kaki Cebol Jinalaya bergerak, Gendhuk Tri menarik kembali dengan selendangnya. Lalu bersama dengan Singanada melangkah ke bagian samping, menuju ke tempat kediaman Halayudha. “Maaf, Senopati Campa, bolehkah aku yang tua ini mengenalmu?” Singanada berbalik. “Bukankah sekarang sudah mengenal?” “Namaku Brahma. Aku dulu utusan Baginda Raja yang sama-sama dengan Senopati Muda ke tanah Campa….” “Itu kedua orangtua ku. “Aku tak mau membicarakan itu. Maaf.” “Apakah orangtua Senopati bernama Mapanji Wipaksa?” Jari-jari Singanada saling beradu. Gerahamnya beradu, menimbulkan suara keras. Pandangan matanya tajam menusuk. Gendhuk Tri bergidik karenanya. Tak pernah ia mengetahui bahwa Singanada bisa berubah sama sekali. Selama ini ia bertanya-tanya dalam hati, dari mana asal-usul Maha Singanada. Yang diketahui hanyalah sepotong kecil: ia salah seorang putra senopati yang diutus ke tanah Campa untuk mengantarkan putri Keraton yang bernama Dyah Ayu Tapasi. “Jangan paksa aku bertindak kasar.” Senopati Agung Brahma menggelengkan kepalanya. “Rasanya aku mengenali. “Tapi kalau Senopati Muda tak mau membicarakan, aku minta maaf. “Maaf….” Suara Senopati Agung Brahma menjadi sangat berat. Wajahnya menunduk. Kedua bahunya menggunduk. Beberapa kali kepalanya menggeleng lemah. Seakan mengusir bayangan yang ganjil dan tak bisa dilepaskan seketika. Maha Singanada sendiri berubah sikapnya. Pandangan matanya menatap kosong. Gerahamnya beradu. Tangannya kaku. Langkahnya tak menentu. “Kenapa kamu begitu kasar kepada orang yang lebih tua?” “Aku tak mau kamu campur tangan urusanku.” Gendhuk Tri mundur setindak. Singanada menatap tajam. Mendadak berbalik. “Senopati Brahma, aku datang untuk membunuhmu. “Bersiaplah.” Singanada ternyata tidak main-main. Ia mengambil sikap sempurna. Kedua tangannya bersiaga, membentuk sembah, lalu berubah dalam keadaan siap menyerang. Senopati Agung Brahma menggelengkan kepalanya. Disertai helaan napas berat. “Sudah lama aku mengubur semua yang berlalu. “Kalau hari ini aku melangkah kemari, aku tak menduga bakal menemukan begitu banyak yang telah kulupakan. “Ah, ada sesuatu yang tak bisa mati dan dikubur.” Melihat gelagat, Mahapatih Nambi memberi isyarat dan semua prajurit serta para senopati bersiaga membela Senopati Agung.
Kidungan Masa Silam GENDHUK TRI tegak, tak segera bereaksi. Justru pada saat Singanada bersiap menghadapi Senopati Agung yang dikelilingi semua senopati Keraton yang ada, Gendhuk Tri termenung. Beberapa bayangan berkelebat dalam angannya secara tak teratur. Dalam waktu yang singkat beberapa hal terjadi dan berubah dari yang telah dikenalnya. Yang paling mencolok ialah perubahan Halayudha. Senopati licik yang dimusuhi Upasara—lagi-lagi Upasara, yang tak pernah merasa dendam pada seseorang, tiba-tiba saja kelihatan ganjil perangainya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Apa pun penyebabnya, perubahan itu kelewat mengejutkan. Yang juga membuat Gendhuk Tri bertanya-tanya dalam hatinya ialah seolah Halayudha sendiri tak menyadari sepenuhnya. Seakan ada kekuatan lain yang membuatnya berbuat berbeda dari biasanya. Keadaan yang sekarang dialami oleh Singanada. Selama hari-hari terakhir ia mengenalnya, Singanada adalah ksatria yang terbuka, lelaki yang bicara terus terang dan agak sembrono, tidak begitu memedulikan tata krama. Akan tetapi, dengan satu pertanyaan dari Senopati Agung saja, seakan menjadi pribadi yang lain. Ada apa sebenarnya di balik ini semua? | |
| | | mahaputra99
Posts : 413 Join date : 02.07.10
| Subyek: SENOPATI PAMUNGKAS I (sambungan...) Wed Jul 21, 2010 2:52 pm | |
| Jawabannya adalah masa lampau. Kidungan yang terdengar sebelumnya, yang masing-masing mengalami sebagai sesuatu yang tak ingin diketahui orang lain. Sekurangnya begitulah jalan pikiran Gendhuk Tri mengenai diri Singanada. Dibandingkan dengan dirinya sendiri, Gendhuk Tri tak pernah merasa bahwa Singanada mempunyai alasan untuk gusar besar. Apalah artinya disebutkan siapa nama orangtuanya. Yang bahkan Gendhuk Tri pun tetap tak mengenalnya. Selain nama yang disebutkan sebagai senopati sabrang yang dikirim ke negeri Campa. Seperti juga senopati sabrang lainnya. Dengan duka dan derita yang pasti dialami. Kalaupun sesuatu yang mengerikan, Gendhuk Tri kurang yakin hal ini, tak perlu membuat kalap. Gendhuk Tri tak pernah merasa risau dengan dirinya, ia bahkan tak mengetahui siapa kedua orangtuanya. Yang diketahui hanyalah sejak kecil ia diselamatkan seseorang—bisa saja Jagaddhita, bisa pula Empu Raganata— dari kemungkinan menjadi selir kesekian ratus Sri Baginda Raja. Ia bahkan belajar ilmu silat tanpa mengenai nama ilmu silat yang dipelajari, sebelumnya. Upasara—tidak adakah contoh lain, Gendhuk Tri?—juga tidak mengenai siapa kedua orangtuanya. Selain sedikit petunjuk bahwa ia berasal dari Ksatria Pingitan. Yang sangat mungkin sekali masih mempunyai darah Keraton. Kalaupun tidak, kalaupun mereka ini dilahirkan sebagai kelompok paminggir, kelompok yang asal-usulnya tak diperhitungkan dalam tata masyarakat, apa salahnya? Gendhuk Tri masih berdiri mematung. Pergelutan pikirannya masih belum selesai. Selain masalah masa lampau, pikiran Gendhuk Tri juga dipenuhi dengan berbagai kemungkinan dari pengaruh ilmu silat. Selama ini ia asal mempelajari saja, dan langsung terjun ke medan pertarungan yang ada. Tanpa peduli apa-apa. Di masa lalu ia pernah memutuskan telinga Mpu Ugrawe yang kesohor, pernah berhadapan dengan saudara seperguruannya yang bernama Halayudha. Pernah kerasukan darah yang sangat beracun. Semua dijalani dengan menggelinding saja. Akan tetapi kenyataan demi kenyataan baru memaksanya berpikir. Sejak kemunculan Putri Pulangsih yang “antara ada dan tiada” yang bisa manjing ajur ajer dalam pengertian yang tinggi, Gendhuk Tri tergugah hatinya. Bahwa sesungguhnya ilmu silat yang dipelajari bukan hanya membentuk dirinya menjadi bisa berjumpalitan atau mengerahkan tenaga dalam. Akibatnya yang lebih langsung justru lebih hebat dari itu. Yaitu perubahan dalam diri seseorang. Pembentukan watak. Bukan sesuatu yang sama sekali baru. Namun baru pertama kali Gendhuk Tri menyadari secara dalam. Pengaruh dalam watak inilah yang dulu menyebabkan Upasara Wulung— aaaah!—memusnahkan ilmu silatnya. Pengaruh Kitab Bumi yang tak akan terpahami sepenuhnya. Hal yang sama, yang mungkin sekali terjadi pada diri Halayudha! Pada satu tingkat tertentu, jalan pikirannya menjadi berbalik. Mendadak saja Halayudha mengetahui kesengsaraan gurunya. Merasakan kepedihannya. Pada satu tingkat tertentu, Kakek Berune masih menitipkan keinginan pada tubuh Nyai Demang. Sementara tubuhnya sendiri sudah tidak memungkinkan. Dilihat dari hal ini, Gendhuk Tri bisa menangkap dengan jelas perbedaan apa yang dicapai para pendekar sejati. Eyang Sepuh, seperti juga Putri Pulangsih, telah berada pada tingkat moksa, bisa lenyap seluruh raganya. Meskipun masih tergoda untuk muncul kembali. Sementara Kakek Berune, yang dikatakan melalui jalan agak sesat, menghadirkan dirinya kembali melalui raga orang lain. Lalu kalau benar ini pengaruh ilmu silat, apa yang tengah terjadi dengan Singanada? Lelaki gagah yang membuka mata hatinya sebagai wanita. Gendhuk Tri tak mampu meneruskan pertanyaan karena mendengar suara Senopati Sepuh yang berat. “Saya minta para senopati yang lain mundur. “Ini tantangan seorang ksatria kepada ksatria yang lain. Tak ada hubungannya dengan Keraton atau takhta. “Saya minta semua saja mundur….” Mahapatih Nambi mundur selangkah. Diikuti para senopati yang lain. Senopati Agung menunggu sesaat. Mahapatih Nambi mundur lagi. Lima langkah. Diikuti oleh yang lainnya. “Aku sudah bersiap, Singanada.” “Bagus. Aku sudah bersumpah, siapa pun yang menyebut nama orangtua ku harus mati di tanganku.” “Aku sudah menyebutnya. “Bunuhlah kalau bisa. “Hanya perlu kamu ketahui, anak muda, aku menyebut bahwa aku mengenalnya. Karena kami sama-sama berangkat pada hari yang sama ketika rembulan masih tersisa. Melalui lautan yang sama, menghirup angin yang sama.” “Aku tak peduli itu.” Senopati Agung mengentakkan kakinya. “Aku tahu, bapakmu keras kepala seperti kamu. “Tak salah lagi. “Aku iri dengan keberaniannya.” Tubuh Singanada tergetar. Diiringi oleh jeritan mengaum, tubuhnya meloncat ke depan. Kelebatan bayangannya menuju arah depan, tapi seketika berubah di delapan arah yang berbeda, sebelum akhirnya menerjang maju. Senopati Agung memperdengarkan suara nyaring yang sama. Kakinya menjejak tanah, dan meloncat ke arah bayangan Singanada. Mengikuti gerakan tubuh Singanada. Seakan wilayah udara yang dikuasai dengan cepat direbut kembali. Ke arah mana Singanada berkelebat, ke arah itu pula Senopati Agung memburu. Dalam sekejap keduanya seperti main kejar-kejaran. Diseling dengan berbenturan di tengah, saling mengadu telapak tangan, kaki, yang cukup keras. “Nawawidha.” Gendhuk Tri menarik kepalanya sedikit. Teriakan Nawawidha kali ini justru diucapkan oleh Senopati Agung! Bukan oleh Singanada yang sejak pertama dikenal mempunyai cara bernapas melipat gandakan sembilan kali. Singanada menggerung keras. Tubuhnya menggeliat, memutar, dan menerkam Senopati Agung. Yang terpaksa meloncat ke samping, untuk kemudian membuang diri ke arah dinding. Singanada mengejar. Hinggap di dinding. Keduanya terlempar ke dalam. Kembali ke dalam halaman prameswaren. Seperti diketahui tadi mereka sudah berada di halaman depan, melewati pintu kecil. Karena pintu itu ditutup paksa, sekarang keduanya melewati bagian atas. Mahapatih Nambi tidak berdiam diri begitu saja. Tubuhnya melayang ke atas, melompat dinding pembatas. Meskipun ia dilarang Senopati Agung turun tangan, tak mungkin berpangku tangan kalau keadaan membahayakan. Gendhuk Tri mendongak ke atas. Sekejap ia ragu. Menyusul ke balik dinding atau menunggu. Sekejap berikutnya, ia melihat satu bayangan berkelebat datang dari halaman, disusul bayangan berikutnya. Singanada dan Senopati Agung sudah kembali ke tempat semula. Dan melanjutkan pertarungan. Tubuh Mahapatih Nambi pun melompat kembali. Justru pada saat itu Singanada dan Senopati Agung melompat secara bersamaan ke balik dinding.
Raja Tanpa Takhta TUBUH Mahapatih berada di halaman prameswaren, ketika Singanada dan Senopati Agung di luar. Begitu juga sebaliknya. Sehingga sekilas seperti permainan petak umpet yang menggelikan. Namun para senopati yang lain menyadari bahwa yang sedang terjadi bukan hanya permainan yang menggelikan. Bukan hanya Mahapatih yang ternyata tak bisa menebak arah pertarungan. Melainkan pertarungan dua ilmu yang senada. Dua ilmu yang sejak lama tak bisa disaksikan. Senopati Agung selama ini tenggelam dalam kebesaran para senopati yang lain. Kedudukannya tidak memungkinkan dirinya tampil sebagai ksatria yang memainkan ilmu silatnya. Baru sekarang ini muncul. Itu pun bukan awal yang menguntungkan. Karena sudah langsung menghadapi Pendeta Sidateka, dan kemudian munculnya Halayudha secara meyakinkan. Sehingga tokoh terhormat yang tersembunyi seakan makin tenggelam. Dengan pemunculan Singanada, baru ketahuan bahwa Senopati Agung tetap ksatria yang berilmu tinggi. Karena para senopati sudah pernah menyaksikan kelebihan Singanada. Dan kini Senopati Agung mampu mengimbangi dengan baik. Malahan beberapa kali mendiktekan jurus-jurus yang dimainkan. Pada usia setinggi itu, kemampuan Senopati Agung menimbulkan kekaguman. Apalagi kalau dilihat bahwa selama ini seperti tak pernah berlatih atau memunculkan ilmunya. Sementara di halaman terjadi pertarungan, di dalam Keraton terjadi sesuatu yang tak diduga-duga. Halayudha ternyata melesat masuk ke dalam Keraton. Dengan gagah dan bertolak pinggang, tubuhnya melangkah lebar. Prajurit kawal pribadi Raja disingkirkan dengan sekali menggerakkan telapak tangannya. Dengan tetap berdiri gagah, Halayudha berdiri di depan kamar peraduan Baginda. “Sanggrama Wijaya, raja tanpa takhta, raja tanpa kebesaran matahari, apakah masih melanjutkan mimpi yang indah dalam dekapan wanita-wanita ayu? Suaranya betul-betul mengejutkan siapa pun yang mendengarkan. Nada suaranya begitu tinggi. “Apa yang kamu lakukan, Sanggrama Wijaya? Memerintahkan para istri memijati kakimu yang tak digunakan melangkah? Memerintah dupa wangi mengasapi rambutmu?” Semua prajurit kawal pribadi Raja berdiri siap. Dengan senjata dan keinginan untuk mempertahankan setiap jengkal tanah dan udara yang diisap oleh Halayudha. Sebagian sudah melarikan diri ke depan, untuk melaporkan kepada Mahapatih Nambi dan para senopati yang lain. Akan tetapi Halayudha seakan tak peduli. “Ingsun masih tetap raja, memegang tampuk pemerintahan tertinggi. Ingsun masih matahari yang tertinggi. “Siapa bermulut lancang membusuk di depan pintu?” Suara Baginda tetap mengguntur. Nada dan wibawanya mengalahkan apa saja yang berada dalam ruangan sekitar. “Benarkah kamu masih memiliki takhta? “Benarkah kamu masih setinggi matahari? Jangan-jangan itu hanya mimpimu yang terindah saat ini. “Sanggrama, kamu bukan raja. “Kamu tak memiliki takhta kewibawaan. Tak memegang matahari. Kamu tak berbeda dari Nambi, menjadi mahapatih telanjang. Tak beda dari Kala Gemet, putra mahkota yang mengejar gadis lajang. Apa yang akan kamu persembahkan kepada Dewa? “Apa yang membuatmu merasa sama gagah dengan takhta yang dikenakan Baginda Raja Sri Kertanegara?” Mendadak pintu kamar peraduan membuka keras. Dibanting dengan tenaga dalam yang besar. Baginda menapak maju dua tindak. “Ingsun di sini….” Kegagahan dan kewibawaan masih terserap dengan jelas. Bukan hanya dari penyebutan diri sebagai ingsun, akan tetapi juga memancar dari semua lubang kulit. “Kamu di situ, Sanggrama. “Semua tahu. “Kamu menjadi raja. “Semua tahu. “Tapi apa yang kamu lakukan selama ini? Sibuk dengan permaisurimu yang banyak, membiarkan senopati bertarung tak mematuhi perintahmu. “Itukah perbuatan seorang raja, wakil para Dewa?” Dengan satu tarikan napas atau satu kedipan mata, Baginda bisa membuat seluruh prajurit dan senopati yang ada bergerak serentak. Sakti seperti apa pun, Halayudha akan dibuat repot karenanya. Apalagi para prajurit dan senopati ini, seluruhnya, akan menyerang tanpa memperhitungkan keselamatan dirinya. Sepuluh prajurit terbunuh tapi bisa melukai Halayudha sudah lebih dari cukup. Karena tugas utama mengawal dan mengamankan Baginda. “Begitu banyak kitab bagus, tapi kamu bercengkerama. Begitu banyak ilmu sakti mandraguna, tapi kamu membuatnya tak bermakna. Begitu banyak kawicaksanan bisa kamu lakukan, tapi kamu bekukan?” “Apakah masih berani kamu melihat leluhurmu?” Wajah Baginda merah seketika. Gerahamnya beradu. Giginya bersentuhan. Pandangannya menyala. “Setan busuk mana yang menelan rohmu, hai, kawula alit?” Halayudha mendongak. “Setan busuk mana lagi kalau bukan tetesan kawicaksanan, kebijakan, Baginda Raja yang tanpa tanding di seluruh jagat ini? “Baginda Raja yang menguasai takhta. Yang mengarungi semua samudra, mendaki semua gunung, mengurung semua lembah yang diciptakan Dewa? “Raja segala raja yang pernah ada. “Takhta terbesar dari semua takhta yang ada. “Wijaya, mimpi apa kamu selama ini? Bertakhta dan menikmati kehidupan seperti prajurit kecil yang memenangkan pertarungan. Mendapat kenaikan pangkat dan hidup bersenang-senang. “Alangkah menyedihkan. “Alangkah kerdilnya. “Bagaimana mungkin yang begini ini mengaku turunan Singasari?” Dalam telinga semua prajurit, dentuman halilintar di siang hari tak lebih mengerikan dibandingkan apa yang diucapkan Halayudha sekarang ini. Setan paling busuk yang sedang mabuk pun tak akan mengucapkan kalimat sekasar dan sehina ini. Bahwa berdiri di depan Raja saja, merupakan dosa yang tak bisa terampuni selama tujuh turunan. Apalagi dilakukan seorang senopati! Langit dan bumi serta seluruh isinya tak bisa untuk menebus kesalahan ini. Apalagi bertolak pinggang dan mengeluarkan kata-kata lancang. Dunia seperti dibalik-balik, dengan matahari muncul dari arah barat menuju utara. Yang lebih aneh lagi, Baginda justru terdiam. Jelas terasakan kegusaran yang tinggi, akan tetapi tarikan napas dan suaranya masih tetap menunjukkan kelebihan yang utama. “Apa yang kamu inginkan, Halayudha?” “Saya ingin mengabdi raja yang raja. Raja yang menguasai jagat. “Raja yang duduk sejajar dengan para Dewa, yang memegang matahari di tangannya tanpa merasa panas.” “Apa yang dilakukan raja seperti itu?” “Membuang abu dupa. “Mengangkat senjata, membunyikan terompet, mengarungi seluruh jagat. Menaklukkan jagat.” “Apa itu semuanya?” “Raja yang dari tarikan napasnya lahir karya-karya terbesar yang pernah ada. Yang mengumpulkan semua kitab yang pernah ditulis manusia. Yang mengajarkan ilmu kanuragan seluruh jagat. Yang melihat ada gunung dan sungai seberang yang bisa dikuasai. Yang tidak memberikan tempat bagi anak-cucu dan keturunannya mengalahkan semua. Yang membuat perahu besar agar cucunya berlayar. Yang membuat gunung tinggi agar cucunya menggenggam matahari.” “Apa itu pernah dilakukan?” “Itu yang dipersembahkan kepada para Dewa. “Semua tanah, air, batu, rumput, semut menjadi saksi. Kebesaran yang tiada tara di kelak kemudian hari, dibangkitkan mulai hari ini. “Itulah takhta yang sesungguhnya. “Itulah ajaran hidup.” “Semua sudah lewat.” “Tak ada yang lewat!” “Waktu berubah.” “Kebesaran tidak berubah bersama waktu.” “Keadaan hari ini tidak sama dengan kemarin.” “Kebesaran, keluhuran, kawikcasanan selalu abadi, sampai saat para Dewa menyatu dengan manusia.”
Kidungan Para Raja BAGINDA menggerakkan jari kanan mengelus alis. Halayudha masih memandang secara langsung. “Tembangkan kidungan itu. “Seberapa jauh kamu mengetahui?” Halayudha menjulurkan lidahnya. Suara dari hidungnya mendesis. “Ingsun lebih mengetahui dari kamu yang mencuri baca kitab pusaka, Halayudha. Kamu tak akan pernah memahami.” “Itu tandanya tak pernah dibaca dengan hati. “Itu tandanya tak ada rasa tuntas.” Tubuh Halayudha tergetar hebat. Seolah kedinginan, menggigil. Bergoyang beberapa saat, lalu menunduk. Lututnya tertekuk. Ambruk. Kepalanya condong ke depan. Perlahan dahinya menyentuh lantai. Seiring dengan itu terdengar kidungan yang lembut, perlahan, seperti desiran angin menggoyang ujung daun yang menguning tanpa merontokkan.
Aku raja dengan takhta yang mencipta kidungan Dewa untuk para raja sebab aku Kertanegara hanya bisa bicara dengan sesama raja walau tanpa mahkota
Raganata menyembah ujung kakiku melaporkan Kitab Bumi sudah selesai ia sudah tua, mau mati tapi matanya tertutup hatinya redup aku berkata padanya
untuk apa itu semua kalau dibawa ke alam baka
Raganata menyembah ujung kakiku melaporkan Kidung Paminggir sudah selesai aku katakan, aku sudah membaca sebelum kidungan itu ditulis sebab akulah raja sebab akulah Dewa kalau aku murka karena kidungan itu tak bisa ditembangkan sembarangan hanya darah raja yang bisa sebab hanya Dewa yang punya matahari
ada banyak raja juga yang tak punya takhta aku raja, punya takhta punya semuanya jagat ini bakal kukuasai sebelum Dewa menyadari Singasari ini kayangan Tempat Dewa Sebab di sini dituliskan Kidungan Para Raja Yang menguasai jagat seluruhnya raja harus punya selaksa wanita untuk melayani siang dan malam raja harus punya lautan untuk membasuh kakinya, siang dan malam raja harus punya keris untuk menggaris raja harus punya selaksa hutan untuk memelihara singa aduan raja harus memiliki matahari untuk mengalahkan Dewa raja harus memiliki anak raja jumlahnya selaksa
kau mengerti apa, Raganata? kau tak berdarah raja kau bicara apa, Raganata? kalau Dewa tak memilihmu
inilah Kidungan Para Raja raja segala raja lahir dari Singasari ke seluruh jagat
tulislah kidungan apa saja tak akan mengimbangiku sebab aku raja dengan takhta seperti Dewa yang melahirkan raja yang mengalahkan Dewa….
Suara Halayudha lembut mengalun, akan tetapi dada Baginda naik-turun karenanya. Setiap ujung suara beralun, setiap kali pula Baginda merasa perasaannya diremas-remas. Kidungan Para Raja adalah kitab pusaka Keraton Singasari yang ditulis sendiri oleh Baginda Raja Sri Kertanegara. Menurut cerita yang didengarnya, Baginda Raja masih menuliskan di saat-saat terakhir, ketika prajurit Gelang-Gelang di bawah pimpinan Jayakatwang dan Senopati Ugrawe menyerbu masuk Keraton. Sudah barang tentu Baginda mengerti dan pernah mendengar serta membaca sendiri kidungan itu. Karena merupakan kitab pusaka Keraton yang tiada tandingannya. Yang dikumpulkan bersama kitab-kitab utama yang ditulis oleh para raja. Dari sekian ratus segala jenis kitab, kumpulan Kidungan Para Raja menempati tempat yang sangat terhormat. Boleh dikatakan tak ada angin yang bisa menjamah selain seorang raja. Maka termasuk langka kalau Halayudha bisa membacanya. Meskipun kalau dirunut, bukan sesuatu yang mustahil. Sewaktu Baginda belum menduduki takhta, keadaan tidak menentu. Terusirnya prajurit Kediri dan kemudian pertarungan terakhir dengan prajurit dari Tartar serta pemindahan pusat Keraton, sangat memungkinkan tangan lain memegang atau membuka. Akan tetapi barangkali hanya Halayudha yang dengan jail mengintip baca. Dan kemudian menembangkan! Bahwa kitab ilmu silat .saja dirahasiakan begitu rupa, dan masing-masing menganggap suci, bisa dimengerti betapa kaget Baginda mendengar Halayudha membaca Kidungan Para Raja.
Aku telah mengirimkan selaksa perahu menghitung jumlah air di laut biru aku telah mengirim selaksa senopati
menikam keris seluruh negeri aku telah mengirimkan putri-putri meneruskan keturunan Singasari aku telah menuliskan Kidungan Para Raja mengalahkan para Dewa
sebut negeri mana seberang macam apa yang tak kudirikan panji kebesaranku jawabannya: tak ada aku telah mengalahkan Dewa sebab aku telah menjadi Dewa aku telah mengalahkan semua raja sebab aku melahirkan selaksa raja
akulah raja, akulah takhta akulah Dewa akulah bumi dan air dan matahari dan semuanya menyatu dalam Singasari menyatu dari Sri Baginda Raja Kertanegara yang bersama semesta menciptakan semesta!
Di akhir kalimatnya, tubuh Halayudha seperti terangkat dari lantai. Melayang ke atas secara perlahan, hingga tinggal dahinya yang menyentuh lantai. Dengan napas Baginda mengiringi gerakan perlahan, dan kini sempurnalah Halayudha melayang ke angkasa. Tubuhnya, seluruhnya, tak menyentuh tanah. Menggantung di tengah udara. Beberapa saat. Sebelum akhirnya terbanting kembali. Dengan suara keras. Secepat itu pula, Halayudha meloncat bangkit. Bersamaan dengan itu pula para prajurit kawal pribadi menyerbu karena menduga Halayudha melakukan serangan.
| |
| | | Sponsored content
| Subyek: Re: SENOPATI PAMUNGKAS I | |
| |
| | | | SENOPATI PAMUNGKAS I | |
|
| Permissions in this forum: | Anda tidak dapat menjawab topik
| |
| |
| |