Tiap dikenalkan pada makanan pendamping air susu ibu (ASI), Nayla sering memuntahkan makanan yang disuapkan. Bayi berusia tujuh bulan itu masih banyak mengkonsumsi ASI. "Tapi diusahakan tetap dikenalkan pada makanan padat," kata Ani, 27 tahun, sang ibu.
Tindakan Ani tepat. Meski dimuntahkan, tetap harus diupayakan agar sang buah hati mendapat asupan makanan padat sejak berusia enam bulan. Jika terlambat, selain mengganggu keterampilan mengunyah sang bayi, ada potensi alergi yang memunculkan reaksi, seperti penyakit kulit eksem.
Alergi makanan jamak terjadi pada anak. Prevalensi alergi makanan pada anak mencapai 6 persen. Sedangkan pada orang dewasa mencapai 3,7 persen. Prevalensi alergi makanan menempati puncaknya pada anak berusia enam bulan.
Menurut Profesor Sibylle Koletzko, Kepala Divisi Pediatric Gastrology and Hepatology Ludwig Maximilians, University Munich, Jerman, alergi makanan menempati posisi puncak di beberapa negara Asia.
Telur dan susu menempati posisi tertinggi pemicu alergi di Cina, Malaysia, Korea, Jepang, Hong Kong, serta Australia. Di Indonesia, kata Koletzko, dalam sebuah workshop tentang alergi di Jakarta beberapa waktu lalu, makanan yang memicu alergi diduduki secara berurutan oleh udang, kepiting, kacang-kacangan, seafood, telur, dan susu.
Koletzko menambahkan, jumlah angka kejadian alergi berbanding terbalik dengan angka kejadian infeksi. Di negara yang angka infeksinya tinggi, kasus alerginya justru lebih rendah. Negara-negara berkembang yang lingkungannya cenderung kotor justru minim alergi. "Anak-anak yang terkena infeksi cacing justru lebih sedikit terkena alergi," ujarnya.
Koletzko menjelaskan, munculnya alergi berkaitan dengan sel T, yakni sel yang berperan dalam merespons kekebalan tubuh, terutama dalam mengenali benda asing yang masuk dalam tubuh. Dr Zakiudin Munasir, SpA(K), dari Divisi Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, menambahkan, sel T ada dua macam, yakni sel T Helper 1 (TH 1) dan sel T Helper 2 (TH 2).
Jika ada infeksi dalam tubuh, sistem imun tubuh sibuk melawan infeksi dan tidak sempat mengembangkan alergi. Sel TH 1 meningkat bila terjadi infeksi. Sedangkan sel TH 2 meninggi bila seseorang terkena alergi. Dalam kondisi sehat, jumlah sel TH 1 dan TH 2 dalam tubuh seimbang.
Makin sering anak terkena infeksi, sel TH1 menjadi dominan dan menggusur sel TH 2. Akibatnya, alergi tak muncul. "Inilah yang menjelaskan mengapa pada lingkungan yang kotor kasus alerginya rendah," tutur Zakiudin.
Zakiudin menambahkan, alergi hanya mengenai anak yang memiliki bakat alergi, yang disebut atopik. Atopik ini warisan dari salah satu atau kedua orang tuanya. Anak yang memiliki atopik, dalam kasus alergi makan, mengembangkan respons berbeda atas benda yang masuk dalam tubuh.
Misalnya, alergi susu. Bagi orang normal, susu dikenal sebagai minuman. Namun tubuh yang memiliki atopik mengenali susu sebagai benda asing. "Sehingga tubuh menjadi alergi," kata dia.
Reaksi atas alergi makanan ini bisa bermacam-macam, misalnya eksem, gatal-gatal, dan bersin. Puncak alergi eksem terjadi pada usia 1-2 tahun. Sementara untuk asma, puncaknya pada usia 10-12 tahun. Adapun alergi rhinitis terjadi pada usia di atas 15 tahun. Selain makanan, pemicu alergi lain di antaranya hewan piaraan, kutu, serangga, dan obat.
Untuk itu, diperlukan pendekatan yang tepat bagi anak yang mengidap alergi makanan. Menurut Koletzko, langkah yang harus dilakukan adalah melakukan diagnosis yang tepat. Tumbuh-kembang anak perlu dipantau. "Setiap 6-12 bulan, periksalah anak, apakah bisa menoleransi makanan atau tidak."
Mencegah Alergi
- Ibu jangan diet selama hamil dan menyusui. Diet selama kehamilan dan menyusui tidak membantu menangkal alergi pada bayi di kemudian hari. Malah mungkin berisiko.
- Hindari paparan asap rokok selama kehamilan dan selama anak berusia balita.
- Kenalkan makanan padat kepada bayi pada saat yang tepat, yakni usia enam bulan. Terlalu cepat (sebelum tiga bulan) atau terlalu lambat (lebih dari enam bulan) memberikan makanan padat bisa meningkatkan risiko terkena eksem pada bayi.
- Memberikan ASI pada bayi bisa mengurangi risiko alergi makanan dan eksem. Namun hal itu tidak berefek pada alergi asma dan alergi rhinitis.
- Berikanlah ASI karena asupan itu adalah hal terbaik bagi bayi untuk mencegah alergi.