Program mengimbau masyarakat agar berhemat listrik selama ini dinilai sulit tercapai, karena pengenaan tarif listrik yang ditetapkan oleh pemerintah maupun DPR juga dinilai belum 'pas'.
Selagi masyarakat beranggapan tarif listrik masih murah, maka efisiensi penggunaan listrik sulit dilakukan.
Kepala Divisi Niaga PLN Benny Marbun, menyatakan, Hemat listrik tidak akan terjadi tanpa pricing signal yang pas.
Benny menjelaskan, pada saat sistem tarif baru (disinsentif-insentif) yang dikenakan kepada pelanggan PLN kelas 6.600 VA ke atas, faktanya telah terjadi fleksibelitas pemakaian daya listrik.
Hal ini kata dia, sebagai contoh bahwa tarif listrik sangat menentukan sikap boros atau hemat masyarakat dalam menggunakan listrik. Lanjut Benny, Salah satu tools adalah pricing, yang membentuk behaviour pelanggan.
sementara itu, Murtaqi menjelaskan, seperti sudah pengetahuan umum, bahwa kebijakan harga (pricing policy), subsidi, termasuk kenaikan TDL berada di luar PLN. Pemerintah maupun DPR memegang sepenuhnya kebijakan tersebut.
PLN mengklaim tarif listrik saat ini harga jualnya mencapai (rata-rata) Rp657 per kwh, sedangkan biaya produksi PLN mencapai Rp1.200 per kwh, artinya ada selisih harga yang menjadi subsidi sebesar Rp543 per kwh.
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) mengusulkan agar usaha kecil dan menengah (UKM) dibebaskan dari pajak pertambahan nilai (PPN) untuk Usaha beromzet Rp 1,8 miliar ke bawah. Hal ini bagian dari upaya insentif fiskal dan biaya modal yang rendah dalam menjalankan usaha agar tetap eksis atau supaya lebih bisa bersaing pasca kenaikan tarif daftar listrik (TDL).
Ketua Umum HIPMI Erwin Aksa, menyatakan HIPMI mengusulkan pemerintah agar menaikkan batasan peredaran bruto atau omzet pengusaha UKM bebas PPN dari Rp 600 juta menjadi Rp 1,8 miliar ke bawah.
Menurut Erwin Kenaikkan TDL jelas-jelas sangat memukul dunia usaha terutama UKM. Kenaikan yang sangat tinggi membuat UKM semakin tidak bisa bertahan. Faktor inilah membuat UKM semakin tidak bisa bersaing.