Nahdlatul Ulama menyambut baik beberapa keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada saat Munas 2010.
Ketua Badan Komunikasi, Informasi dan Publikasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) HM Sulthan Fatoni menilai keputusan MUI itu juga sudah diputuskan oleh Nahdlatul Ulama. Yaitu pada prinsipnya, tidak ada perbedaan substansi meski masih memungkinkan berbeda sudut pandang dalam melihat beberapa kasus yang ada.
Menurut Sulthan, beberapa keputusan Nahdlatul Ulama yang mendahului keputusan Komisi Fatwa MUI, di antaranya, tentang asas pembuktian terbalik.
Sesuai keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 2006, asas pembuktian terbalik dapat diterapkan ketika ada seseorang yang memiliki kekayaan melebihi batas kewajaran dan menimbulkan kecurigaan.
Namun, kecurigaan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti secara hukum karena tidak ada bukti dan saksi. Karena itu, perlu ada pembuktian terbalik, pemilik harta tersebut diminta untuk membuktikan asal-usul hartanya.
Jika tidak mampu membuktikan keabsahannya, kekayaan tersebut dijadikan barang bukti bahwa mereka memperolehnya dari perbuatan korupsi, kata Sulthan merujuk keputusan tahun 2006 itu.
Menurut dia, Nahdlatul Ulama dengan tegas menyatakan bahwa hukum Islam dapat menerima pembuktian terbalik dalam kedudukan sebagai qarinah (indikasi). Jadi, pembuktian terbalik sah ditempuh sebatas menempatkan harta tersebut sebagai indikasi hasil korupsi, bukan sebagai alat bukti.
Ia menerangkan, para kiai saat itu berkesimpulan demikian setelah mengkaji kitab al-Minhaj syarh Shahih Muslim, ath-Thuruqul Hukmiyah fis Syiyasatisy Syar’iyyah serta kitab Tanwirul Abshar.