Pemerintah sulit mendeteksi anak usia sekolah yang direkrut perusahan jasa tenaga kerja untuk menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Kesulitan itu terjadi arena orang tua sendiri ikut memainkan peran dengan memalsukan identitas anak-anaknya.
Kepala Bidang Pemberdayaan Hubungan Industeri dan Pengawasan Tenaga Kerja Dinas Transmigrasi dan Tenaga kerja, Herman Nai Ulu, mengemukakan hal itu berkaitan dengan laporan yang menyebutkan, bahwa banyak sekali pekerja anak dari NTT yang diduga telah direkrut perusahan jasa tenaga untuk ditempat di luar negeri. Mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh bangunan, dan bekerja di perkebunan kelapa sawit.
Tim Advokasi Eliminasi dan Pencegahan Anak (AEPPA) Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam suatu survei melaporkan, banyak anak usia 13-15 tahun diduga telah direkrut dan menjadi tenaga kerja di luar negeri. Laporan ini berdasarkan temuan di lapangan, khususnya di Kota Kupang di mana banyak sekali pekerja anak.
Ketua Tim AEPPA NTT Teda Littik menuturkan, anak-anak tersebut bukan hanya yang sudah putus sekolah, tetapi juga anak yang bekerja sambil bersekolah. Herman Nai Uli mengakui, pihaknya banyak sekali menemukan anak-anak yang masih kecil yang direkrut perusahan jasa tenaga kerja untuk dikirim keluar negeri. Namun ketika ditanya, anak-anak itu mengaku sudah berusia di atas 20 tahun.
Karena itu, upaya yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah mencegah semaksimal mungkin agar semua pengiriman TKI dari NTT keluar negeri harus dilakukan secara legal dan perusahan jasa tenaga kerja bertanggungjawab terhadap keselamatan pekerja. Langkah ini untuk melindungi tenaga kerja dari segala macam resiko yang timbul selama mereka bekerja di luar negeri, katanya.